Anda di halaman 1dari 4

EPHOCH : periode waktu dalam sejarah atau kehidupan seseorang, biasanya ditandai dengan

peristiwa penting atau karakteristik tertentu.


(Thriller, fiksi)

*cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen sebelumnya, M'EVANESCENT - La Reine Quitte

Kamis 2020.

Jika ada satu hari di mana aku memilih kapan aku akan mati aku akan memilih kemarin, hari ini,
atau 3 bulan lalu bersama bunda. Mati tersengat listrik di tengah jalan atau mati ditabrak atau mungkin mati
karena bunuh diri. Bukan mati dengan cara pelan – pelan seperti ini, ini menyakitkan. Aku ingin mati dengan
damai seperti Bunda. Bukan mati dengan rasa sakit yang akan kuingat bahkan ketika jiwaku mungkin sudah
tidak berada di raga ini lagi, terbawa ke dunia lain yang tak kuketahui bagaimana wujudnya.

Aku gemetar dan keringat dingin bercucuran. Seperti sang malaikat maut berbisik tepat disampingku
bahwa sebentar lagi dia akan mencabut nyawaku dengan amat menyakitkan. Aku hanya disekap, hal yang
pertama aku rasakan saat ini hanya redup. Aku ada di mana? Aku telentang di sebuah kasur yang tak empuk
sama sekali, keras seperti tidur diatas batu. Telentang di sebuah ranjang yang terbuat dari besi. Aku bisa
merasakan besi – besi pendek yang dingin yang berjejer di atas kepalaku juga di ujung kakiku. Besi itu kasar
seperti berkarat dan permukaannya terkoyak. Karena saat kusentuh ada lapisan yang terkelupas.

Permukaannya dingin sebelum panas tubuh dari tanganku membuatnya menghangat sekejap saja.
Tangan dan kakiku terikat dengan rantai kuat pada ujung-ujung ranjangnya. Tubuhku menggigil. Entah karena
ketakutan atau memang karena ruangan luas yang berdebu ini suhunya terasa begitu rendah di malam yang
kelam. Cahaya Selene1 menemani meski hanya melewati sebaris ventilasi di sisi samping kiri tubuhku. Namun
tetap saja cahaya itu tak bisa menyentuh mataku yang butuh penerangan ini, karena jaraknya jauh saking
luasnya ruangan ini. Di bawahnya, dalam keredupan, jendela tertutup rapat, terkunci, bahkan mungkin akan
selamanya tetap begitu. Ruangan luas ini terasa begitu kosong. Hanya ada aku, ranjang, kegelapan, dan sebaris
cahaya.

Aku takut kegelapan, pengecut. Rasanya kegelapan sedang menertawakanku. Sementara, sang dewi
yang jaraknya begitu jauh dari tempatku terbaring nampak sedih menatapku miris sambil berkata, "Kasihan dia,
kegelapan sedang menertawakannya.”

Mulutku terkunci rapat, ada selotip yang menguncinya. Tubuhku terasa panas meskipun aku
kedinginan. Aku semakin menggigil ketika kudengar samar-samar suara tapak sepatu seseorang di luar sana, di
luar pintu yang tertutup itu. Semakin lama, semakin dekat. Hingga terdengar suara pintu yang berderit.
Semburat cahaya masuk, hanya sebentar saja. Tak lama kemudian, cahaya itu hilang. Bersamaan dengan
ditutupnya pintu.

Aku bisa melihat sosok seseorang berpakaian serba hitam tinggi menjulang itu di ambang pintu yang
tertutup dan aku begitu ketakutan. Jaket hitam yang kebesaran memeluk tubuhnya, dia perempuan. Tingginya
kira-kira seratus tujuh puluhan. Di tangan kirinya, dia menggenggam sebuah kain, lalu lentera yang apinya
melambai-lambai berada di genggaman tangan kanannya. Dia menunduk dan wajahnya tertutup bagian depan
topi hitam. Dia datang bersama lingkaran merah yang mengelilingi sosoknya. Seakan-akan lingkaran merah
besar dari pantulan cahaya api kecil lentera itu adalah budak penjaganya. Inikah Si Thanatos2 yang akan
mencabut nyawaku itu? Atau apakah dia hanya manusia biasa yang sedang dirasuki dewa kematian? Atau
mungkinkah dia justru seorang iblis yang menjelma menjadi Thanatos? Sebab, hanya iblis yang tubuhnya
dilingkupi cahaya api.

Dia sebenarnya tidak berjubah seperti dewa kematian yang sering digambarkan di film. Dia juga tak
bertanduk seperti iblis. Tapi meskipun dia seorang perempuan, tetap saja dia bahkan lebih mengerikan. Ada
kegelapan yang datang bersamanya. Kegelapan pekat yang bisa mengunci setiap jiwa berani manusia,
menyisakan ketakutan dan putus asa. Kehadirannya adalah intimidasi yang nyata. Dan aku benar-benar seperti
bocah kecil di hadapannya.

1 Selene adalah dewi bulan dalam mitologi Yunani. Selene merupakan saudara dari Helios dewa Matahari, dan Eos dewi
fajar, yang merupakan anak dari Hyperion dan Theia.
2 Thanatos (Bahasa Yunani: Θάνατος) adalah dewa kematian dalam mitologi Yunani.
"Selamat malam Hermes3, lama tidak bertemu.” Suara perempuan muda yang dingin dengan nada
datar menyapaku. Mendengar suaranya, entah kenapa membuat jantungku melompat-lompat tak jelas.

Seperti ada roh jahat yang ikut berbicara saat ia mengeluarkan sederet kalimat dari mulutnya.
Tunggu, mengapa dia memanggilku dengan sebutan 'Hermes’? Dan suara ini... di mana aku pernah
mendengarnya? Tidak asing.

Sebelum berada di sini, aku masih berada di sekolah, di ruang UKS dan aku pingsan. Aku bahkan
sekarang masih memakai kemeja putih dan celana abu-abu sekolah. Dengan hal yang terakhir kali kudengar
sebelum memejamkan mataku, "Selamat tidur. Hermes.” Aku merasa suaranya tidak asing, suara ini sudah sejak
lama pernah kudengar. Atau mungkin ini hanya satu dari khayalanku saja.

Tuk… tuk... tuk….

Suara sepatunya bergema mendekatiku. Cahaya merah dari lentera semakin mendekat bersama sosok
itu. Aku tidak mencium aroma apa-apa ketika tubuhnya itu sudah berada di sampingku. Dia tidak beraroma.
Justru aku hanya mencium bau apek ruangan ini. Dia mengenakan masker hitam. Kulirik sedikit mata tajam
gelap itu, lalu kupalingkan wajah. Sempat kutangkap sesuatu yang tersembunyi di matanya. Ada jurang yang
dikelilingi api seperti neraka di sana. Aku tahu khayalanku berlebihan, tapi cahaya dari lentera itu memang
membuat matanya menyala-nyala.

Dia meletakkan lenteranya di lantai, terdengar suara sesuatu yang menyentuh lantai dan ekor mataku
menangkap dirinya yang menunduk. Dia lalu bergerak hingga bibirnya mendekati telingaku. Keringat dinginku
semakin deras meluncur seperti air terjun Kaieteur di Guyana dan tubuhku gemetar ketakutan. Nafasku tak
beraturan, sementara nafasnya terasa begitu tenang dan hangat menyapu hangat telingaku. "Tahta atau jubah
hitam?”. Aku menggelengkan kepalaku. Aku tak mengerti apa maksudnya. Ia malah mengeluarkan sebuah pisau
tajam dan mendekatkannya di wajahku. Aku sama sekali tak memandangnya. Mataku menatap lurus langit-
langit ruangan yang penuh sarang laba-laba menjuntai. "Oh ma chère4. Kamu harus memilih salah satunya.
Akan lebih sakit lagi bila kamu tidak memilihnya." Ujarnya dengan sedikit bahasa Perancis, masih menatapku.
Aku gemetaran semakin takut. Oh, Tuhan selamatkan aku!

"Tahta atau jubah hitam?" Tanyanya sekali lagi, "Aku lepas ya lakbannya. Tapi, kalau kamu
berteriak aku bakal bikin kamu lebih sakit lagi. Jadi, jangan nakal ya." Dia melepaskan lakban ku perlahan. Aku
mengepalkan tanganku. Aku tak peduli, "TOLOOONGGGGGG!!!" Karena geram, ia kembali menempelkan
lakban itu kemudian dengan penuh amarah ia mendekatkan pisaunya ke daun telinga sebelah kanan. Merobek
keras daun telingaku dengan pisaunya.

AARRRRGGGHHHHH!! Aku berteriak sekuat tenaga, sakit sekali!!! Aku bahkan menangis
meronta-ronta, namun suaraku teredam lakban ini. Perih, sakit!! Ia kemudian mengambil daun telingaku yang
terjatuh ke lantai dengan cairan darah merah itu. Diletakkannya di bawah kakinya. "Sudah kubilang jangan
nakal! Ini akibatnya!" Ia memegang kedua pipiku dengan tangan kirinya. Mensejajarkan wajahku agar sejajar
dengan matanya, "Jawab! Tahta atau jubah hitam!" pekiknya membuatku semakin gemetaran. Andai rantai ini
bisa terlepas, mungkin akan dengan mudah perempuan ini kukalahkan dan aku tidak perlu ketakutan seperti ini.
Masalahnya, aku sudah kalah telak sejak awal. Sialan!

"Kamu pilih apa? Jubah hitam atau tahta?" Dia melepas lagi selotip yang menutupi mulutku. "A-a-
apa maksudmu? un-untuk apa?" Tanyaku gagap. Masih dengan begitu datar dan dingin. "Aku tidak suka jika
terlalu banyak bertanya. Baiklah, kita bermain jarum saja sambil kamu berpikir." Dia menutup selotip mulutku
lagi. Aku berusaha berbicara, meskipun suaraku teredam. Apa maksudnya dengan jarum? Aku terpaksa menoleh
dan menatapnya takut-takut, namun penuh tanda tanya.

Dia bergerak menjauhiku sebentar, menggantung kain di samping jendela di bawah ventilasi. Setelah
itu, dia kembali mendekatiku dan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Ketika dia mengacungkan barang yang
dikeluarkan dari sakunya, aku tahu bahwa barang kecil kurus dan melengkung berujung tajam berkilau itu
adalah sebuah jarum, jelas terlihat dalam redup cahaya lenteranya.

3 Hermes dikenal sebagai dewa yang cerdas dan tampan, Hermes adalah putra Zeus dengan istrinya yang bernama Maia.
4 “Oh sayangku”
Aku semakin gemetaran hebat. Tunggu dulu, apa yang dipikirkannya? Kenapa jarum tajam itu
semakin diarahkan mendekati mataku? Aku tambah membelalak. Apa yang kamu lakukan!!! Aku
menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Namun, dengan paksa tangan kirinya menutup mataku kuat-kuat,

"Fermez d’abord les yeux, mon Hermès5." Ucapnya. Kemudian perlahan dia masukkan benda kecil
tajam itu hingga menembus kulit tipis kelopak mataku.

SAKITTTT ARRGGGHHHHH!!! aku memekik sekuat tenaga namun suaraku teredam lakban sialan
di mulutku. Satu tusukan, perih luar biasa. Aku berkeringat deras dengan jantung berloncatan memberontak
hendak keluar dari dada. Saraf kepala dan leherku menegang menahan rasa sakit, rasanya semua saraf hendak
putus sebentar lagi.

Dua… Tiga… Argh sial sekuat apapun aku berusaha memekik dia benar - benar tidak peduli, dia terus berulang-
ulang menusukkan jarum itu pada kelopak mataku hingga mata sebelah kananku tertutup sepenuhnya dan
pantang untuk terbuka. Tubuhku basah oleh keringat. Aku takut meronta dan bergerak lebih banyak, jadi
kupegang kuat-kuat besi ranjang yang ada di dekat tanganku. Aku takut bila jarum itu justru menusuk bola
mataku. Aku meringis kesakitan ketika ia baru saja selesai menjahit benang-benang itu pada mataku. Kenapa
kamu lakukan ini padaku? Tapi, mulutku membisu. Aku hampir kehabisan tenaga.

"Sedikit lagi sayangku, Satu mata lagi. " Telingaku masih berdengung suaranya tidak terlalu jelas.
Dia mengelus lembut puncak kepalaku. Ia kembali menembus kulit kelopak mataku dengan jarumnya. Aku
menangis keras lagi. Sakitnya luar biasa. Cairan yang hangat terus keluar dari mataku. Mungkin air mataku
sudah bercampur darah, aku tidak bisa melihatnya. Aku tidak bisa lagi menjelaskan tentang rasa sakitnya. Dia
ingin membunuhku secara perlahan.

Selesai. Akhirnya selesai juga dia menjahit kedua mataku. Namun, kurasa penderitaanku tidak
berhenti sampai di situ. Ia menanyakan pertanyaan yang sama lagi, "Jubah hitam atau tahta? Jawab dengan
gelengan atau anggukan. Jubah hitam? Tahta?" Aku diam, tak punya lagi energi untuk berkata apapun,
sementara mataku masih terasa begitu perih. Gelap. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan mata terjahit
seperti ini.

"Kamu mau aku pilihkan? Bagaimana dengan tahta? Kupikir kamu akan menyukainya. Oh tidak,
jubah saja, ya?” Apa sih maksud orang gila ini? Aku tak bisa berpikir sama sekali. Aku tidak tahu apa yang akan
dia lakukan lagi setelah ini. Namun aku bisa merasa pipi sebelah kiriku ia tusuk-tusuk dengan benda kecil yang
tajam. Benda itu masuk ke kulitku. Tidak sakit sama sekali, teredam rasa perih di mata. Setelah itu, kudengar
suara derap kakinya yang pergi meninggalkanku. Suara derit pintu terbuka lalu tertutup kembali.

Dia kembali. Nafasku semakin tidak beraturan. Kurasakan ia menyentuh punggung tanganku.
Tangannya dilapisi sesuatu yang terasa kesat, mungkin sarung tangan karet. Terdengar suara kain yang disobek.
Bajuku. Udara dingin menggelitik perutku. Lalu, kurasakan lagi ada benda yang menyentuh perutku, lebih
dingin, ujungnya terasa runcing dan tipis. Aku mulai ketakutan lagi. Apa yang hendak ia lakukan? Kemudian...

AKKKKKK! AKKKKK! Aku berteriak lebih kencang dengan guncangan tubuh yang hebat. Tangan
dan kakiku meronta, berusaha melepaskan rantai ini sekuat tenaga. Benda tajam itu menusuk ke dalam kulit
pelan-pelan dan bergerak membelah kulit serta daging dari dada ke perut. Aku berteriak memohon ampun. Yang
kurasakan hanya rasa sakit yang luar biasa hingga aku kesulitan bernapas, seperti ada taring hewan buas yang
menyobek sedikit demi sedikit kulit di tubuhku. Rasa sakitnya menjalar hingga ujung kaki, di luar khayal. Aku
berteriak hingga rasanya pita suaraku hendak putus. Suaraku tetap terdengar menggema meskipun tertutup
lakban. Aku masih berteriak hingga aku benar-benar kehabisan energi. Tubuhku melemah. Setelah beberapa
saat yang rasanya begitu panjang, rasa sakit luar biasa itu mulai reda. Telingaku masih berdengung,
dengungannya memenuhi kepalaku.

”Kau tidak mengingatku? Kau menyebutku penyihir. Aku Helene6, anak dari Leda7. Aku orang yang
sama dengan dia 6 tahun lalu. Aku yang membunuh Zeus8, ayahmu. Zeus mu berdosa pada Leda di masa lalu,
dan aku datang untuk membalas dendamnya, nyawa dibalas nyawa, mata dibalas mata. Aku bukan imajinasimu,
aku benar – benar ada. Perkiraan mereka salah. Selamat tidur Hermes, silahkan bertemu Zeus dan Maia9 mu di

5 “tutup dulu matamu, Hermesku”


6 Mullatem Acisum, dibalik Musica Metallum diambil dari bahasa latin yang berarti musik dari logam (piano).
7 Helene, tokoh perempuan dalam mitologi Yunani. Orang tuanya adalah Tyndareus dan Leda tetapi ayah biologisnya adalah dewa Zeus.
8Leda, adalah anak perempuan raja Aitolia, Thestios, dan merupakan istri raja Tyndareus di Sparta. Dia adalah ibu Helene.
9Zeus, raja para dewa dalam mitologi Yunani. Dalam Theogonia karya Hesiodos, Zeus disebut sebagai "Ayah para Dewa dan manusia".
surga.” Berbisik tepat di sebelahku dengan suara lembut. Dia pembunuh yang marah karena penyebab
hancurnya orang yang dia bela, bisa bebas tanpa adanya penegakan hukum.

Hingga semuanya gelap. Tidak bukan gelap yang seperti itu, ini gelap yang hampa.

Lalu aku melihat bunda, dia sedang tersenyum bersama ayah. Aku bahagia? Entahlah. ”Sini Musa”.
Senyumnya indah, senyum yang aku rindukan. Ya, aku saat ini bahagia.

~~~

Brakk....

”Woi siapa yang ngerusak kursi woi ngaku!!” Pagi hari yang indah disambut dengan teriakan
melengking Adriel. Kursi tempat dia duduk patah, ia jatuh terduduk. ”Bwahahahaha ngapain lu kayak mermaid
gitu sih el?” Perutnya sakit tertawa, Gustaf yang hampir tersedak nasi goreng Koh Ojun dengan teh hangat di
bangkunya. ”Yaudah sih ambil aja lagi di gudang, lu ribet banget.” Dia lanjut memakan sarapan nasi goreng
kebanggan sekolah.

Dengan langkah menggebu – gebu dan malas, Adriel menuju gudang demi sebuah kursi pengganti.
Perlahan dia mendorong pintu, melangkah masuk ke sebuah gudang yang cukup luas. Langkah kakinya
ditemani keheningan ruangan. Lalu mulai memilih beberapa kursi disana. ”Ini cadangan kursi nggak ada yang
bagus apa? Jelek semua gini. Terus uang yang gue bayar pada kemana? Halah...” Dia menggerutu tidak
menemukan kursi yang layak digunakan. Dia makin menggeledah gudang. Tepat di sebelah piano hitam tua
yang duduk manis di pojok ruangan, dia mematung. Mulutnya terbuka lebar, matanya membulat, ia tak bergerak
bahkan mulutnya lumpuh. Ia melihat keunikan yang mengerikan di hadapannya.

Seorang remaja laki – laki berwajah tampan tapi pucat bagai dewa Yunani menyambutnya dengan
mata terjahit dan kepala yang sedikit miring terkulai menghadap lantai. Warna kulitnya memutih, darahnya
terkuras habis dengan pigmen kulit yang seakan lenyap. Ia seperti patung putih yang terpahat sempurna.

Dia duduk tegak di sebuah kursi yang seakan menjadi singgasananya. Kedua tangannya dipaku pada
kursi yang ia duduki. Ada paku besar yang menancap di atas pergelangan tangannya. Lalu, terdapat cairan
merah kecoklatan kering yang melingkar di sekitar paku dan membuat garis horizontal tak beraturan karena
cairan itu meleleh dari kedua pergelangan tangannya ke lantai, yang menimbulkan lingkaran kecil-kecil abstrak
berwarna merah kecoklatan kering di atas lantai keramik. Tubuhnya dirantai seolah tidak membiarkannya
bergerak sedikitpun. Dia benar – benar seperti seorang Raja yang sedang duduk di singgasananya. Yang jelas,
dia bukan patung. Tidak ada patung yang sesempurna dan senyata itu.

Celananya berwarna abu – abu campuran tinta merah kecoklatan yang menutupi sebagian besar
permukaan kain. Baju putih bercampur merah kecoklatan nya terbuka menampakkan garis melintang terjahit
yang membelah sisi kiri dan kanan dada hingga perut. Ia mengenakan jubah hitam dengan tudungnya menutupi
rambut, tapi tak menutupi wajah. Di pipi kirinya terjahit bunga lily kuning.

Namun tanpa disadari, diatas piano hitam tua terdapat sebuah jantung dan telinga hampir membusuk
dengan sepucuk surat yang dibubuhkan dengan tinta berwarna merah kecoklatan. Surat itu ditulis dengan huruf
kursif yang indah dan khas agar tidak mudah dikenali.

”Menarik bukan? saat sang Hermes disandingkan dengan raksasa Mullatem Acisum10 kesayangannya. Dia
sebenarnya rapuh tapi berhati batu. Dia tidak ingin terlihat lemah. Dia tidak mau dikasihani siapapun. Untuk
itu dia membangun sebuah benteng pada siapapun yang ingin mendekat, yang cukup kokoh. Dia juga penuh
kepalsuan. Aku memberikannya sebuah bunga, lily kuning. Mau menebak apa artinya? Juga memberikan dia
jubah hitamku sebagai simbol kematian dari Thanatos. Aku telah mengirim dia ke syurga menemui Zeus dan
Maia-nya disana, dia tidak lagi di dunia yang jahat ini lagi. Kalian jangan jahat lagi ya?”

- Penyihir yang tidak kalian percaya

"TOLOOONGGGG!" Pekik Adriel yang masih menggunakan suara ultrasoniknya. Ia berlari


tergopoh-gopoh keluar ruangan dengan rasa kesal akan kursi rusak yang menguap seketika.

10Maia, Anak tertua di antara para Pleiad, ketujuh putri Atlas dan Pleione. Salah satu istri Zeus

Anda mungkin juga menyukai