Akhirnya, para sahabat menjadi perawi hadits, ahli fikih, dan penghafal
Alquran. Tak diragukan lagi, diantara para sahabat tersebut ada yang
menjadi imam hadits. Mereka kemudian mensyiarkan ajaran Islam
kepada umat Islam dari generasi ke generasi.
Adapun perawi hadits dari kalangan para sahabat adalah imam yang
akan diteladani, dan mereka dimintai fatwa, dan mereka mendengar
hadits dan kemudian membacanya. Hadits para sahabat yang paling
banyak adalah Abu Hurairah, yang meriwayatkan sebanyak 5374
hadits.
Terbanyak kedua adalah Abdullah bin Umar. Dia meriwayatkan 2.630
hadits. Kemudian, Anas bin Malik meriwayatkan 2.286 hadits.
Sedangkan Ibnu Abbas meriwayatkan 1.600 hadits. Adapun Aisyah,
dia meriwayatkan 2210 hadits.
Beliau adalah adik kandung ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma. Bibi beliau adalah
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ibunda kaum mukminin. Dari beliaulah, keponakan yang shalih ini
banyak menimba ilmu dan meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sehingga tidaklah mengherankan kalau kemudian ‘Urwah menjadi salah seorang tabi’in yang
paling mengetahui hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Imam Adz-Dzahabi menempatkan beliau pada posisi thabaqah
yang kedua, thabaqahnya para tokoh besar tabi’in.
3. NAFI' AL MADANI
Nama lengkapnya adalah Nafi' bin Abdurrahman bin Abi Nu'aim al-Laitsi al-Kanani atau lebih
dikenal sebagai Nafi' al-Madani. Beliau lahir pada tahun 70 H, wafat di Madinah pada tahun
169 H, adalah seorang ulama dibidang qira'at al-Qur'an dan merupakan salah satu Imam qira'at
sepuluh.
Imam Nafi’ dalam pengakuannya—sebagaimana diceritakan oleh Abu Qurrat Musa bin Thariq—
dikatakan bahwa beliau berguru kepada tujuh puluh tabi’in, di antaranya adalah Imam Abu Ja’far
(imam qira’at kedelapan), Syaibah bin Nashah, Muslim bin Jundub, Yazid bin Ruman,
Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj.
Dari sekian banyak gurunya inilah, Imam Nafi’ melakukan seleksi bacaan, yaitu mengambil
bacaan yang sama di antara guru-gurunya, dan meninggalkan bacaan yang berbeda. Hasil dari
penyeleksian inilah kemudian dijadikan kaidah tersendiri oleh Imam Nafi’, yang kemudian
dikenal luas oleh para generasi berikutnya sebagai qira’at Imam Nafi’.
Dalam bidang hadits, beliau sangat sedikit sekali meriwayatkan hadits Nabi. Namun hal tersebut
tidak mengurangi kredibilitas dan kapabilitas beliau sebagai ahli qira’at. Karena hal ini justru
menunjukkan konsistensi beliau dalam mengabdikan hidup untuk menyelami lautan ilmu qira’at.
4. HASAN AL BASHRI
Beliau merupakan alim ternama pada era tabi'in, sekaligus murid para sahabat Nabi SAW dan
ahlul bait. Kata-kata mutiara dan nasihat yang disampaikan beliau selalu mampu menyentuh hati
kaum Muslimin.
Ayahnya merupakan pembantu sahabat Rasulullah SAW yang terkenal sebagai penulis Alquran,
Zaid bin Tsabit. Ibunya merupakan Khairoh, maula salah seorang istri nabi, Ummu Salamah.
Nama al-Hasan merupakan pemberian dari sang ummul mukminin. Hasan al-Bashri lahir di
Madinah pada 642 Masehi, atau sembilan tahun pasca wafatnya Rasulullah SAW.
Meski lahir dengan status orang tua sebagai mantan budak, Hasan besar di tengah-tengah kasih
dan sayang para keluarga dan sahabat Nabiyullah Muhammad. Ummul mukminin Ummu
Salamah bahkan menjadi ibu susu dari al-Hasan. Al-Hasan kecil pun belajar di rumah-rumah para
istri Rasulullah yang kala itu masih hidup.
la juga rajin ke masjid Nabawi untuk mendengarkan kajian ilmu dari para sahabat Rasulullah.
Khalifah Umar Bin Khattab pun pernah mendoakannya menjadi orang yang fakih dalam
beragama dan dicintai semua orang.
Bergaul dengan para sahabat Rasul sejak kecil membuat al-Hasan tumbuh menjadi pemuda yang
saleh. Beliau meriwayatkan banyak hadis dari para sahabat Rasul, seperti Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik,
dan masih banyak lain. Saat usia 14 tahun, beliau pindah ke Kota Bashrah, Irak. Dari sinilah
beliau kemudian mendapat nama al-Bashri karena mengacu pada kota Bashrah.
Tinggal di Irak tak membuat beliau berhenti belajar. Beliau pun kemudian menjadi murid salah
seorang sahabat Rasul, Abdullah bin Abbas. Dari Ibnu Abbas-lah, Hasan belajar tafsir, hadis, dan
qiraah. Dalam hal sastra, Hasan belajar dari Ali Bin Abi Thalib. la mengangumi sang khalifah
keempat karena lisannya yang penuh nasihat dan hikmah. Hasan juga sempat diasuh istri Rasul,
Ummu Salamah, yang dikenal paling berwawasan luas. Di bidang lain, Hasan bergilir mengikuti
majelis sahabat satu ke yang lain. Alhasil, jadilah beliau sangat fakih dalam ilmu agama.
Imam Bukhari
Ia terlahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H bertepatan dengan 21 Juli 810 M. Beliau
adalah ahli hadis termasyhur. Imam Bukhari dijuluki amirul mukminin fil hadits atau
pemimpin kaum mukmin dalam hal ilmu hadis. Nama lengkapnya Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari.
Tak lama setelah lahir, Imam Bukhari kehilangan penglihatannya. Bersama gurunya
Syekh Ishaq, ia menghimpun hadits-hadis shahih dalam satu kitab, dari satu juta
hadis yang diriwayatkan 80 ribu perawi disaringnya menjadi 7.275 hadis. Ia
menghabiskan waktunya untuk menyeleksi hadits shahih selama 16 tahun. Shahih
Bukhari adalah salah satu karyanya yang paling fenomenal.
Imam Muslim
Imam Muslim lahir pada 204 H atau 819 M. Ada pula yang berpendapat beliau lahir
pada tahun 202 H atau 206 H. Seorang ahli hadis kontemporer asal India,
Muhammad Mustafa Azami, lebih menyetujui kelahiran Imam Muslim pada 204 H.
Azami dalam Studies In Hadith Methodology and Literature, mengatakan, sejarah
tidak dapat melacak garis keturunan dan keluarga sang imam.
Sejarah hanya mencatat aktivitas Imam Muslim dalam proses pembelajaran dan
periwayatan hadis. Pada masa beliau, rihlah (pengembaraan) untuk mencari hadis
merupakan aktivitas yang sangat penting. Imam Muslim pun tak ketinggalan
mengunjungi hampir seluruh pusat-pusat pengajaran hadis. Adz-Dzahabi dalam
karyanya Tadzkirat al-Hufazh menyebutkan bahwa Imam Muslim mulai mempelajari
hadis pada 218 H. Ia menulis kitab Al-Musnad ash-Shahih atau yang lebih dikenal
dengan Shahih Muslim. Kitab yang satu ini menempati kedudukan istimewa dalam
tradisi periwayatan hadis. Dan, dipercaya sebagai kitab hadis terbaik kedua setelah
kitab Shahih Bukhari karya Imam Bukhari.
Ia bernama lengkap Sulaiman bin al-Asy'ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amru
bin Amir al-Azdi al-Sijistani. Dunia Islam menyebutnya Abu Dawud. Beliau adalah
seorang imam ahli hadis yang sangat teliti dan merupakan tokoh terkemuka para
periwayat hadis. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.
Menurut Syekh Muhammad Said Mursi, dalam Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang
Sejarah, Imam Abu Dawud, dikenal sebagai penghafal hadis yang sangat kuat. Ia
menguasai sekitar 500 ribu hadis. Sejak kecil, Abu Dawud sudah mencintai ilmu
pengetahuan.
Imam At-Tirmizi
Nama lengkapnya Muhammad bin Isa bin Saurah bin Adh-Dhahak As-Salami Al-
Bughi. Ia sering dipanggil Abu Isa. Lahir pada bulan Zulhijjah tahun 209 Hijrah. Yusuf
bin Ahmad al-Baghdadi, menuturkan, Abu Isa mengalami kebutaan pada masa
menjelang akhir usianya.
Ibnu Majah
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al
Quzwaini. Ia dilahirkan pada tahun 207 Hijriah dan meninggal pada hari selasa,
delapan hari sebelum berakhirnya bulan Ramadan tahun 275. Ia menuntut ilmu hadis
dari berbagai negara hingga beliau mendengar hadis dari madzhab Maliki dan Al
Laits. Sebaliknya banyak ulama yang menerima hadits dari beliau. Ibnu Majah
menyusun kitab Sunan Ibnu Majah, salah satu kitab yang masuk dalam Kutub As-
Sittah.
PADA dasaranya ulumul hadits telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadits di dalam
Islam, terutama setelah Rasulullah ﷺwafa. Ketika itu umat Islam merasakan perlunya
menghimpun hadits-hadits Rasulullah ﷺ dikarenakan adanya kekhawatiran hadits-hadits
tersebut akan hilang atau lenyap.
Para Sahabat telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam
menerima hadits, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut. Di dalam
Surat Al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintah orang-orang yang beriman untuk meneliti
dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang yang fasik:
َ ِين آ َم ُنوا ِإن َجاء ُك ْم َفاسِ ٌق ِب َن َبٍأ َف َت َب َّي ُنوا َأن ُتصِ يبُوا َق ْوما ً ِب َج َهالَ ٍة َف ُتصْ ِبحُوا َعلَى َما َف َع ْل ُت ْم َنا ِدم
ِين َ يَأ ُّي َها الَّذ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu.”(QS. Al-Hujurat: 6)
) (رواه الترمذي.َنض ََّر هللاُ إمْ َرءًا َسم َِع م َّنا ش ْيًئ ا َف َبلَّ َغ ُه َك َما َس ِم َع ُه َفرُبَّ ُم َبل ٍِغ ْأوعى مِنْ َسام ٍِع
“Semoga Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadits),
lantas dia menyampaikannya (Hadits tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang
orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang mendengar.” (HR: Al-Tirmidzi).
Berdasarkan pada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi di atas, maka para Sahabat mulai meneliti
dan bersikap hati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits-hadits Nabi ﷺ, terutama
apabila mereka meragukan si pembawa atau penyampai riwayat hadits tersebut. Dengan
demikian, mulailah lahir pembicaraan mengenai isnad dan nilainya dalam menerima dan
menolak suatu riwayat hadits.
Diantara Sahabat ada yang saling menegur temannya ketika terjadi kesalahpahaman terhadap
suatu teks. Seperti yang dilakukan Aisyah Radhiallahu anha terhadap kesalahan Anas ibn
Malik dalam hal mayat akan disiksa lantaran ditangisi oleh keluarganya.
Demikian pula teguran Abu Bakar kepada Umar ibn Khattab yang teks tulisan haditsnya
masih belum tuntas dan perlu dilengkapi sehingga melahirkan perbedaan dalam
mempersepsikan hadits . Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa orang yang mula-mula
meletakkan dasar-dasar ilmu hadits ini adalah Imam Ibnu Syihab al-Zuhri (51-124).
Setelah terjadi kasus pemalsuan terhadap hadits-hadits Nabi, barulah ada gerakan yang
signifikan dalam proses penerimaan dan periwayatan hadits. Sejak itulah perhatian ulama
tertuju kepada kredibilitas perawi dan peletakan kaedah-kaedah yang dapat dijadikan acuan
dalam penerimaan hadits dan penolakannya.
Setelah terjadi fitnah di dalam kehidupan umat Islam, para Sahabat mulai meminta
keterangan tentang orang-orang yang menyampaikan hadits atau khabarkepada mereka.
Mereka menerima atau mengambil hadits dari orang-orang yang tetap berpegang kepada
Sunnah Rasul ﷺ, dan sebaliknya mereka tidak mengambil hadits dari mereka para ahli
bid’ah.
Pada awalnya teori-teori proses penerimaan dan periwayatan hadits serta kredibilitas perawi
(ilmudirayah) masih tersisip dalam buku-buku yang belum spesifik, berbaur dengan berbagai
makalah seperti yang dilakukan Imam Al-Syafi’i dan lainnya dalam karya-karya mereka.
Tidak ditemukan kepastian tahun berapa ilmu hadits lahir, tetapi yang jelas bahwa ilmu ini
lahir ketika Hadits sudah terkodifikasi pada abad ke-2 H. Dengan demikian, rintisan ilmu
Hadits terjadi pada abad ke-3 H. Memang seperti pengetahuan tentang kredibilitas perawi
sudah ada sejak zaman Rasulullah ﷺ, tetapi pada saat itu belum menjadi disiplin ilmu yang
berdiri sendiri.
Ketika Imam Syafi’i (w.204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu Hadits telah
mengalami perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-
kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah usul fiqih. Demikian
pula dalam kitab al-Umm.Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara
menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih.
Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah
dengan ilmu lain.
Sesudah generasi Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali
bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w.276 H) menyusun
kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Sahih-nya, At-
Turmudzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Tabaqat al-
Kubra.Demikian pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-
Du’afa’. Dengan banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu
Hadits pada abad III H, maka dapat dipahami mengapa abad ketiga disebut sebagai awal
kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu Hadits secara
lengkap dan sempurna.
Pada abad keempat dan kelima Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang
membahas tentang ilmu Hadits yang bersifat komprehensif. Penulisan ilmu Hadits secara
lebih lengkap dimulai ketika al-Qadi Abu Muhamad al-Hasan bin Abd. Rahman al-
Ramahurmuzi (w. 360 H/abad IV H) menulis buku al-Muhaddis al-Fasil Bayn al-Rawi wa
al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al-Naysaburi (w. 405 H) menulis Ma’rifah ‘Ulum al-
Hadis, al-Khatib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-
Sami’. Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.
Pada abad-abad berikutnya, bermunculan karya-karya di bidang Ilmu hadits, yang sampai
sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan Ilmu Hadits, diantaranya
adalah : ‘Ulum al-Hadits oleh Abu Utsman ibn Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan
Ibn al-Shalah (w. 643 H/1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi oleh Jalal al-
Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi