Anda di halaman 1dari 11

PERAWI HADIS MULAI DARI SAHABAT HINGGA PARA ULAMA

1.Ahli hadis Dikalangan Sahabat


Para sahabat merupakan pengikut Nabi Muhammad SAW yang
terbaik. Mereka berlomba-lomba untuk memahami firman Allah SWT
dan sabda Rasul-Nya. 

Ketika wahyu diturunkan, mereka berlomba untuk menghafal hadits-


hadits Rasulullah SAW.

Akhirnya, para sahabat menjadi perawi hadits, ahli fikih, dan penghafal
Alquran. Tak diragukan lagi, diantara para sahabat tersebut ada yang
menjadi imam hadits. Mereka  kemudian mensyiarkan ajaran Islam
kepada umat Islam dari generasi ke generasi.

Ibn Qayyim Al Jauziyyah menyatakan bahwa ulama yang menyerukan


kepada Allah dan mengabarkan tentang Rasul-Nya terbagi menjadi
dua kategori, yaitu para penghafal hadits dan para ahli fikih atau
hukum Islam.

Kemudian Ibnu Qayyim menjelaskan syarat-syarat yang harus


dikenakan kepada orang yang mengabarkan tentang Allah dan Rasul-
Nya. 

Di antaranya, menurut dia, orang tersebut harus mengetahui apa yang


dia informasikan, jujur, serta harus memiliki cara yang baik,
menyenangkan dalam perilaku, dan selalu tepat dalam berkata-kata
dan bertindak.

Namun, menurut Ibnu Qayyim, orang pertama yang mengabarkan


Allah SWT adalah Rasulullah, dan kemudian beliau mengeluarkan
fatwa. Setelah Rasulullah, para sahabatnya kemudian mengabarkan
etentang Allah dan Rasul-Nya.
Meskipun jumlah sahabat nabi sangat banyak, Ibnu Qayyim
menggolongkan mereka dalam tiga kategori berdasarkan fatwa
mereka. Di dalamnya juga banyak sahabat laki-laki maupun
perempuan.

Kategori pertama, menurut dia, para sahabat yang banyak berfatwa


ada sekitar tujuh orang, yaitu Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Mas'ud, Aisyah Ummul Mukminin, Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas

Kategori kedua, para sahabat yang pertengahan dalam berfatwa, yang


jumlahnya 20 orang. Di antaranya, Abu Bakar, Ummu Salamah, Anas
bin Malik, Abu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah, Utsman bin Affan,
Abdullah bin Amr bin al-Ash, Abdullah bin Zubair, dan lain-lain.

Kategori ketiga, para sahabat yang sedikit berfatwa, hanya satu-dua


masalah. Mereka adalah Abu Darda, Abu al-Yasar, Abu Salamah al-
Makhzumi, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Hasan bin Ali, Husain bin Ali,
Nu'man bin Basyir, Ubay bin Ka'ab, Abu Ayyub, Abu Thalhah, Abu Dzar,
Ummu Athiyyah, Shafiyah Ummul Mukminin, Hafshah, dan Ummu
Habibah.

Adapun para penulis wahyu dari para sahabat di antaranya adalah


empat khalifah, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu 'anhu. Selain itu, ada juga para sahabat di antara mereka,
seperti Aban bin Said bin Al-Aas dari Bani Umayyah. Wahyu itu ditulis
di hadapan Rasulullah.     

Adapun perawi hadits dari kalangan para sahabat adalah imam yang
akan diteladani, dan mereka dimintai fatwa, dan mereka mendengar
hadits dan kemudian membacanya. Hadits para sahabat yang paling
banyak adalah Abu Hurairah, yang meriwayatkan sebanyak 5374
hadits.
Terbanyak kedua adalah Abdullah bin Umar. Dia meriwayatkan 2.630
hadits.  Kemudian, Anas bin Malik meriwayatkan 2.286 hadits.
Sedangkan Ibnu Abbas meriwayatkan 1.600 hadits. Adapun Aisyah,
dia meriwayatkan 2210 hadits. 

2.Ahli Hadis Dikalangan Tabi’in dan Tabi’Tabi’in

1. SA'ID BIN MUSAYYAB


Nama lengkapnya adalah Said bin al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb al-Makhzumi al-Quraisy.
Beliau lahir pada tahun 15 H/636 M dan wafat pada tahun 94 H/715 M pada usia. Beliau lahir
sebelum khalifah Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Ayahnya dan kakeknya adalah
sahabat Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sejak muda beliau telah melakukan perjalanan siang
dan malam untuk mendapatkan hadist Nabi. 
Beliu adalah salah seorang ulama ahli hadits dan ahli fiqih dari Madinah. Beliau termasuk
golongan tabi'in, dan merupakan salah seorang dari Tujuh Fuqaha Madinah. Di antara ketujuh
tokoh Madinah tersebut, beliau sering dianggap sebagai yang paling berpengaruh.  
Beliau adalah orang yang paling hapal atas berbagai hukum dan keputusan yang dikeluarkan oleh
Khalifah Umar bin Khattab, sehingga mendapat julukan Rawiyatul Umar (periwayat Umar).
Hadits mursal yang berasal dari Said bin al-Musayyib dianggap hasan oleh Imam Syafi'i. Walau
demikian, Imam Ahmad juga berkata, "Mursalat (kumpulan hadits mursal) yang diriwayatkannya
adalah shahih kesemuanya."  
Karena beliau lahir pada saat Khalifah Umar bin Khattab memerintah selama dua tahun
menggantikan Abu Bakar As Shiddiq, dan meninggal saat Khalifah Al Walid bin Abdul Malik
memerintah. Oleh karena itu, beliau menyaksikan sendiri bagaimana gaya kepemimpinan tiga
khalifah yaitu Umar, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dari mereka pulalah, beliau
mendapatkan banyak hadis.  
Karena penguasaannya pada hadis begitu luar biasa, dia dianggap sebagai tabi'in paling
berpengaruh di masanya. Dia bahkan mendapat julukan sebagai imam para ulama fikih.  
Selain itu, beliau juga tidak pernah absen dari sholat jamaah di Masjid Nabawi. Bahkan, beliau
selalu menempati shaf terdepan, seperti penjelasan berikut. 
Dari Abdul Mu’in bin Idris dari ayahnya, ia berkata, " Selama 50 tahun Said bin Musayyib
melaksanakan sholat Subuh dengan wudhu sholat Isya’.  
Said bin Al Musayyib berkata, " Aku tidak pernah ketinggalan takbir pertama dalam sholat
selama lima tahun (sholat di awal waktu). Aku juga tidak pernah melihat punggung para jemaah,
karena aku selalu berada di barisan terdepan selama lima tahun itu."

2. URWAH BIN ZUBAIR


Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-’Awwam bin Khuwailid
bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay bin Kilab Al-Qurasyi Al-Asadi Al-Madani, di lahirkan
pada tahun ke-23 Hijriyyah pada masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan di kota Madinah, Putra
dari Az-Zubair bin Al-’Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ibu beliau adalah Asma’ bintu Abi Bakr
Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma.  

Beliau adalah adik kandung ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma. Bibi beliau adalah
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ibunda kaum mukminin. Dari beliaulah, keponakan yang shalih ini
banyak menimba ilmu dan meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sehingga tidaklah mengherankan kalau kemudian ‘Urwah menjadi salah seorang tabi’in yang
paling mengetahui hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Imam Adz-Dzahabi menempatkan beliau pada posisi thabaqah
yang kedua, thabaqahnya para tokoh besar tabi’in.

3. NAFI' AL MADANI
Nama lengkapnya adalah Nafi' bin Abdurrahman bin Abi Nu'aim al-Laitsi al-Kanani atau lebih
dikenal sebagai Nafi' al-Madani. Beliau lahir pada tahun 70 H, wafat di Madinah pada tahun 
169 H, adalah seorang ulama dibidang qira'at al-Qur'an dan merupakan salah satu Imam qira'at
sepuluh.  
Imam Nafi’ dalam pengakuannya—sebagaimana diceritakan oleh Abu Qurrat Musa bin Thariq—
dikatakan bahwa beliau berguru kepada tujuh puluh tabi’in, di antaranya adalah Imam Abu Ja’far
(imam qira’at kedelapan), Syaibah bin Nashah, Muslim bin Jundub, Yazid bin Ruman,
Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj.  
Dari sekian banyak gurunya inilah, Imam Nafi’ melakukan seleksi bacaan, yaitu mengambil
bacaan yang sama di antara guru-gurunya, dan meninggalkan bacaan yang berbeda. Hasil dari
penyeleksian inilah kemudian dijadikan kaidah tersendiri oleh Imam Nafi’, yang kemudian
dikenal luas oleh para generasi berikutnya sebagai qira’at Imam Nafi’.  
Dalam bidang hadits, beliau sangat sedikit sekali meriwayatkan hadits Nabi. Namun hal tersebut
tidak mengurangi kredibilitas dan kapabilitas beliau sebagai ahli qira’at. Karena hal ini justru
menunjukkan konsistensi beliau dalam mengabdikan hidup untuk menyelami lautan ilmu qira’at.
   

4. HASAN AL BASHRI
Beliau merupakan alim ternama pada era tabi'in, sekaligus murid para sahabat Nabi SAW dan
ahlul bait. Kata-kata mutiara dan nasihat yang disampaikan beliau selalu mampu menyentuh hati
kaum Muslimin.  
Ayahnya merupakan pembantu sahabat Rasulullah SAW yang terkenal sebagai penulis Alquran,
Zaid bin Tsabit. Ibunya merupakan Khairoh, maula salah seorang istri nabi, Ummu Salamah.  
Nama al-Hasan merupakan pemberian dari sang ummul mukminin. Hasan al-Bashri lahir di
Madinah pada 642 Masehi, atau sembilan tahun pasca wafatnya Rasulullah SAW. 
Meski lahir dengan status orang tua sebagai mantan budak, Hasan besar di tengah-tengah kasih
dan sayang para keluarga dan sahabat Nabiyullah Muhammad. Ummul mukminin Ummu
Salamah bahkan menjadi ibu susu dari al-Hasan. Al-Hasan kecil pun belajar di rumah-rumah para
istri Rasulullah yang kala itu masih hidup.  
la juga rajin ke masjid Nabawi untuk mendengarkan kajian ilmu dari para sahabat Rasulullah.
Khalifah Umar Bin Khattab pun pernah mendoakannya menjadi orang yang fakih dalam
beragama dan dicintai semua orang.  
Bergaul dengan para sahabat Rasul sejak kecil membuat al-Hasan tumbuh menjadi pemuda yang
saleh. Beliau meriwayatkan banyak hadis dari para sahabat Rasul, seperti Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik,
dan masih banyak lain. Saat usia 14 tahun, beliau pindah ke Kota Bashrah, Irak. Dari sinilah
beliau kemudian mendapat nama al-Bashri karena mengacu pada kota Bashrah.  
Tinggal di Irak tak membuat beliau berhenti belajar. Beliau pun kemudian menjadi murid salah
seorang sahabat Rasul, Abdullah bin Abbas. Dari Ibnu Abbas-lah, Hasan belajar tafsir, hadis, dan
qiraah. Dalam hal sastra, Hasan belajar dari Ali Bin Abi Thalib. la mengangumi sang khalifah
keempat karena lisannya yang penuh nasihat dan hikmah. Hasan juga sempat diasuh istri Rasul,
Ummu Salamah, yang dikenal paling berwawasan luas. Di bidang lain, Hasan bergilir mengikuti
majelis sahabat satu ke yang lain. Alhasil, jadilah beliau sangat fakih dalam ilmu agama.

5. MUHAMMAD IBNU SIRIN


Abu bakar Muhammad bin Sirin al-Bashri atau disingkat Ibnu Sirin, adalah salah seorang tokoh
ulama ahli fiqih dan perawi hadis dari golongan tabi'in yang menetap di Bashrah. Ibnu Sirin juga
terkenal kemampuannya dalam menakwilkan mimpi, serta atas kesalehannya. Beliau lahir pada
tanggal 653 M di Basra, Irak. Beliau meninggal pada tanggal 12 Januari 729 M, Basra, Irak.  
Ayahnya bernama Sirin Al-Ansari dan ibunya bernama Shafiyah maula Abubakar.  
Ibnu Sirin mempelajari ilmu agama serta meriwayatkan hadis antara lain dari Abu Hurairah,
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Imran bin Hushain, dan Anas bin Malik. Beliau
merupakan guru bagi Qatadah bin Di'amah, Khalid al-Hadda, Ayyub al-Sakhtiyani, dan lain-lain.
Ibnu Sirin dilahirkan dua tahun sebelum pemerintahan Utsman bin Affan berakhir. Anas bin
Malik pada saat berada di Persia menjadikan Ibnu Sirin sebagai sekretarisnya.

6. MUHAMMAD IBNU SYIHAB AZ ZUHRI


Beliau adalah ulama dengan andil besar dalam pembukuan hadis. Bahkan disebutkan dalam
biografinya sebagai ulama yang pertama kali membukukan hadis atas perintah Umar bin Abdul
Aziz rahimahullah.  
Bukan saja kapasitas keilmuannya yang diakui ulama yang sezaman dengannya. Namun keuletan
dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu agama sangat mengagumkan.  
Nama beliau sebenarnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidullah bin
'Abdullah bin Syihab bin 'Abdullah bin al-Harith bin Zuhrah. Lebih populer dengan nama Ibnu
Syihab Az Zuhri.  
Satu pendapat menyebutkan bahwa Az Zuhri lahir pada tahun 51 H. Sejak awal beliau tumbuh
dan berkembang di lingkungan yang agamis. Ayah beliau yang bernama Muslim bin Abdillah
adalah seorang perawi hadis yang tsiqah (terpercaya).  
Adapun ibundanya adalah Ummu Ahban bintu Laqith bin Urwah bin Ya’mur. Az Zuhri memiliki
seorang saudara laki yang lebih muda usianya bernama Abdullah bin Muslim. Dia sempat
bertemu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan meriwayatkan darinya, namun meninggal sebelum Az
Zuhri.  
Meskipun berstatus sebagai shighar tabiin (tabiin junior) namun beliau adalah ulama besar di
masanya. Az Zuhri banyak menimba ilmu dari sebagian shahabat dan para pembesar ulama
tabiin. Semisal Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah, Said bin Al Musayyib,
Al  
Hasan Al Bashri, Urwah bin Zubair, Atha bin Abi Rabah, dan masih banyak yang lainnya.
Terutama dari Said bin Al Musayyib rahimahullah, beliau adalah salah satu gurunya yang sangat
istimewa. Dalam kurun waktu itu, beliau tinggal dan menimba ilmu dari Said bin Al Musayyib.  
Potensi besarnya sebagai ulama telah diketahui oleh Khalifah Bani Umayah saat itu, berawal dari
pertemuannya dengan Abdul Malik bin Marwan untuk yang pertama kalinya.  
Lantas Abdul Malik bertanya kepadanya, “Apakah engkau hafal Al Quran?” “Ya,” jawab Az
Zuhri.  
Kemudian Abdul Malik pun melanjutkan pertanyaannya seputar faraidh dan sunnah. Dijawablah
semua itu dengan baik olehnya sehingga Abdul Malik terkesan dan kagum terhadapnya. 
Hingga Abdul Malik memberikan hadiah kepada Az Zuhri dan melunasi hutangnya. Tidak hanya
itu, ia juga membelikan rumah dan pelayan untuk Az Zuhri seraya mengatakan kepadanya,  
“Carilah ilmu agama, sungguh aku melihat potensi hafalan yang kuat pada dirimu dan kecerdasan
dalam kalbumu. Datangilah orang-orang Anshar di rumah-rumah mereka.”  
Sejak saat itu, Zuhri mengambil ilmu dari para shahabat Anshar Madinah dan di sana beliau
menjumpai ilmu yang sangat berlimpah.  
Di antara faktor pendukung keberhasilannya menuntut ilmu adalah kesungguhannya dalam
belajar. Bahkan Az Zuhri sangat tekun untuk selalu menulis setiap ilmu yang ia dengar.
Keseriusannya dalam menimba ilmu dipersaksikan oleh ulama di masanya.  
Menuntut ilmu agama memang membutuhkan perjuangan ekstra untuk bisa mendapatkan hasil
yang maksimal. Dengan segenap kemampuan yang dimiliki sekali pun tidak mungkin bisa
menjangkau seluruh ilmu yang ada. Apalagi ketika seseorang hanya mengerahkan sebagian
kemampuannya saja. Tentu hasil yang diperoleh tidak akan maksimal dan jauh dari harapan.  
Perihal kesungguhan Az Zuhri dalam menuntut ilmu juga diakui oleh Shalih bin Kaisan
rahimahullah. Perjuangan dan kesungguhannya menuntut ilmu agama terkadang membuat sang
istri cemburu. Amr bin Dinar berkisah,  
“Di antara aktivitas Az Zuhri di rumah adalah duduk dengan ditemani kitab-kitab di
sekelilingnya. Jika sudah demikian, ia pun sibuk menelaah dan mempelajarinya hingga urusan
dunianya terlupakan. Maka sang istri berkata kepadanya, “Demi Allah kitab-kitab ini lebih
membuatku cemburu daripada tiga madu.”  
Di antara sekian kelebihan Az Zuhri adalah kekuatan hafalan yang kokoh dan sangat kuat. Beliau
adalah penghafal pilih tanding dengan memori hafalan yang sangat banyak. Pantas jika Az Zuhri
sendiri pernah menyatakan, “Tidak pernah kalbuku menghafal sesuatu kemudian lupa.”  
Beliau mampu menghafal Al Quran hanya dalam jangka waktu 80 malam! Kekuatan hafalan ini
berbanding lurus dengan pemahamannya yang sangat tajam dan jernih.  
Beliau langsung bisa memahami pembicaraan lawan bicaranya tanpa perlu diulang lagi. Bahkan
ulama sekaliber Imam Malik rahimahullah pernah dibuatnya kagum dengan kekokohan
hafalannya.  
Az Zuhri semakin disegani dengan dukungan wawasan ilmunya yang luas dan koleksi hadis yang
banyak. Ali Al Madini rahimahullah berkata, “Az Zuhri mempunyai 2000 hadis.”  
Al Laits bin Sa’ad berkata, “Aku belum pernah melihat seorang ulama yang ilmunya lebih
lengkap daripada Az Zuhri. Seandainya engkau mendengarnya berbicara tentang motivasi dan
semangat, niscaya engkau akan mengatakan, “Tidaklah dia ahli kecuali dalam bidang ini.”  
Namun jika beliau berbicara tentang kisah para nabi dan orang-orang ahli kitab, pasti engkau
akan mengatakan hal yang sama. Apabila beliau berbicara tentang ilmu nasab, engkau pasti juga
akan mengatakan hal yang sama.” 
Beliau adalah figur ulama yang menguasai dengan baik berbagai cabang ilmu. Tatkala
menjelaskan suatu cabang ilmu agama, orang menilai bahwa beliau sangat ahli dalam bidang
tersebut. Sedangkan cabang ilmu yang lain tidak menguasainya dengan baik. Namun di luar
dugaan, ternyata semuanya dikuasai dengan baik.  
Satu lagi keistimewaan beliau adalah jiwa sosial dan kedermawanan yang luar biasa. Hingga Al
Laits bin Sa’ad Al Mishri rahimahullah menyatakan bahwa Az Zuhri termasuk manusia yang
paling dermawan. Beliau tidak pernah menolak permintaan setiap orang yang datang dan
meminta kepadanya.  
Kebiasaan beliau adalah memberi makan tsarid dan madu kepada manusia. Bukan rahasia lagi
kalau Az Zuhri sangat menyukai madu. “Karena madu bisa menguatkan hafalan,” kata Az
Zuhri.  
Jiwa sosialnya yang tinggi mendorongnya gemar berinfak kepada orang-orang yang
membutuhkan bantuan. Ziyad bin As’ad mengatakan kepada Az Zuhri, “Sesungguhnya hadis-
hadismu membuatku kagum. Namun aku tidak mempunyai bekal untuk mengikuti majelismu.”  
Sontak Az Zuhri mengatakan kepadanya, “Jangan khawatir, ikuti aku dan biayamu aku yang akan
menanggungnya.”  
Limpahan uang dinar tidak membuat Az Zuhri silau dan tergoda. Ia meletakkan dinar di
tangannya dan tidak memberikan ruang di hatinya. Wajar jika ia sangat ringan tangan membagi-
bagikan dinar kepada orang-orang yang membutuhkannya.  
Az Zuhri menempati kedudukan ilmiyah yang sangat agung di mata para ulama sezamannya.
Untaian pujian ulama-ulama besar tercurah kepadanya. Tidak jarang pula ia disejajarkan bahkan
diunggulkan atas ulama tenar yang sezaman dengannya. Asy-Syafii mengatakan, “Kalau bukan
karena Az Zuhri niscaya akan hilang sunnah-sunnah di Madinah.”  
Selain berbagai kelebihan di atas, Az Zuhri juga sangat menonjol dalam ilmu sejarah. Berkenaan
dengan berita-berita para nabi yang diriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdillah, Urwah bin Zubair,
Asy Sya’bi dan selainnya. Terutama perhatian besarnya terhadap sejarah kehidupan dan berbagai
peperangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  
Dengan demikian beliau tidak hanya fokus meriwayatkan hadis dan mempelajari fikih. Namun
beliau juga melakukan penelitian ilmiyah dan pembukuan terhadap ilmu sejarah.  
Setelah sekian lama menjalani kehidupan yang penuh ilmu dan dakwah, beliau pun wafat pada
tanggal 17 Ramadhan tahun 124 H menurut pendapat sebagian ulama. Semoga Allah subhanahu
wa ta’ala memberikan balasan terbaik dan melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau. Allahu
A’lam.  

3.Penulis kitab – kitab terkenal

Imam Bukhari

Ia terlahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H bertepatan dengan 21 Juli 810 M. Beliau
adalah ahli hadis termasyhur. Imam Bukhari dijuluki amirul mukminin fil hadits atau
pemimpin kaum mukmin dalam hal ilmu hadis. Nama lengkapnya Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari.

Tak lama setelah lahir, Imam Bukhari kehilangan penglihatannya. Bersama gurunya
Syekh Ishaq, ia menghimpun hadits-hadis shahih dalam satu kitab, dari satu juta
hadis yang diriwayatkan 80 ribu perawi disaringnya menjadi 7.275 hadis. Ia
menghabiskan waktunya untuk menyeleksi hadits shahih selama 16 tahun. Shahih
Bukhari adalah salah satu karyanya yang paling fenomenal.

Imam Muslim

Imam Muslim lahir pada 204 H atau 819 M. Ada pula yang berpendapat beliau lahir
pada tahun 202 H atau 206 H. Seorang ahli hadis kontemporer asal India,
Muhammad Mustafa Azami, lebih menyetujui kelahiran Imam Muslim pada 204 H.
Azami dalam  Studies In Hadith Methodology and Literature, mengatakan, sejarah
tidak dapat melacak garis keturunan dan keluarga sang imam. 

Sejarah hanya mencatat aktivitas Imam Muslim dalam proses pembelajaran dan
periwayatan hadis. Pada masa beliau, rihlah (pengembaraan) untuk mencari hadis
merupakan aktivitas yang sangat penting. Imam Muslim pun tak ketinggalan
mengunjungi hampir seluruh pusat-pusat pengajaran hadis. Adz-Dzahabi dalam
karyanya  Tadzkirat al-Hufazh menyebutkan bahwa Imam Muslim mulai mempelajari
hadis pada 218 H.  Ia menulis kitab Al-Musnad ash-Shahih atau  yang lebih dikenal
dengan  Shahih Muslim. Kitab yang satu ini menempati kedudukan istimewa dalam
tradisi periwayatan hadis. Dan, dipercaya sebagai kitab hadis terbaik kedua setelah
kitab Shahih Bukhari karya Imam Bukhari.

Imam Abu Dawud 

Ia bernama lengkap Sulaiman bin al-Asy'ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amru
bin Amir al-Azdi al-Sijistani. Dunia Islam menyebutnya Abu Dawud. Beliau adalah
seorang imam ahli hadis yang sangat teliti dan merupakan tokoh terkemuka para
periwayat hadis. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.

Menurut Syekh Muhammad Said Mursi, dalam Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang
Sejarah, Imam Abu Dawud, dikenal sebagai penghafal hadis yang sangat kuat. Ia
menguasai sekitar 500 ribu hadis. Sejak kecil, Abu Dawud sudah mencintai ilmu
pengetahuan. 

Imam At-Tirmizi

Imam At-Tirmidzi adalah orang pertama yang mengelompokkan hadis dalam


kategori hasan, di antara sahih dan dhaif. Imam At-Tirmidzi adalah satu dari enam
ulama hadis terkemuka. Nama besarnya mengacu kepada tempat kelahirannya,
yaitu Turmudz, sebuah kota kecil di bagian utara Iran.

Nama lengkapnya Muhammad bin Isa bin Saurah bin Adh-Dhahak As-Salami Al-
Bughi. Ia sering dipanggil Abu Isa. Lahir pada bulan Zulhijjah tahun 209 Hijrah.  Yusuf
bin Ahmad al-Baghdadi, menuturkan, Abu Isa mengalami kebutaan pada masa
menjelang akhir usianya. 

Semenjak kecil, At-Tirmidzi sudah gemar mempelajari berbagai disiplin ilmu


keislaman, termasuk ilmu hadis. Ia mulai mempelajari ilmu hadis ketika berumur 20
tahun di sejumlah kota-kota besar di wilayah kekuasaan Islam saat itu, di antaranya
adalah Kota Khurasan, Bashrah, Kufah, Wasith, Baghdad, Makkah, Madinah, Ray,
Mesir, dan Syam. 

Ibnu Majah

Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al
Quzwaini. Ia dilahirkan pada tahun 207 Hijriah dan meninggal pada hari selasa,
delapan hari sebelum berakhirnya bulan Ramadan tahun 275. Ia menuntut ilmu hadis
dari berbagai negara hingga beliau mendengar hadis dari madzhab Maliki dan Al
Laits. Sebaliknya banyak ulama yang menerima hadits dari beliau.  Ibnu Majah
menyusun kitab Sunan Ibnu Majah, salah satu kitab yang masuk dalam Kutub As-
Sittah. 

4.Pengembang Ilmu Hadis

PADA dasaranya ulumul hadits telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadits di dalam
Islam, terutama setelah Rasulullah ‫ ﷺ‬wafa. Ketika itu umat Islam merasakan perlunya
menghimpun hadits-hadits Rasulullah‫ ﷺ‬ dikarenakan adanya kekhawatiran hadits-hadits
tersebut akan hilang atau lenyap.

Para Sahabat telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam
menerima hadits, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut. Di dalam
Surat Al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintah orang-orang yang beriman untuk meneliti
dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang yang fasik:

َ ‫ِين آ َم ُنوا ِإن َجاء ُك ْم َفاسِ ٌق ِب َن َبٍأ َف َت َب َّي ُنوا َأن ُتصِ يبُوا َق ْوما ً ِب َج َهالَ ٍة َف ُتصْ ِبحُوا َعلَى َما َف َع ْل ُت ْم َنا ِدم‬
‫ِين‬ َ ‫يَأ ُّي َها الَّذ‬

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu.”(QS. Al-Hujurat: 6)

Di dalam sebuah hadits Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda :

)‫ (رواه الترمذي‬.‫َنض ََّر هللاُ إمْ َرءًا َسم َِع م َّنا ش ْيًئ ا َف َبلَّ َغ ُه َك َما َس ِم َع ُه َفرُبَّ ُم َبل ٍِغ ْأوعى مِنْ َسام ٍِع‬

“Semoga Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadits),
lantas dia menyampaikannya (Hadits tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang
orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang mendengar.”  (HR: Al-Tirmidzi).

Berdasarkan pada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi di atas, maka para Sahabat mulai meneliti
dan bersikap hati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits-hadits Nabi‫ ﷺ‬, terutama
apabila mereka meragukan si pembawa atau penyampai riwayat hadits tersebut. Dengan
demikian, mulailah lahir pembicaraan mengenai isnad dan nilainya dalam menerima dan
menolak suatu riwayat hadits.

Diantara Sahabat ada yang saling menegur temannya ketika terjadi kesalahpahaman terhadap
suatu teks. Seperti yang dilakukan Aisyah Radhiallahu anha terhadap kesalahan Anas ibn
Malik dalam hal mayat akan disiksa lantaran ditangisi oleh keluarganya.

Demikian pula teguran Abu Bakar kepada Umar ibn Khattab yang teks tulisan haditsnya
masih belum tuntas dan perlu dilengkapi sehingga melahirkan perbedaan dalam
mempersepsikan hadits . Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa orang yang mula-mula
meletakkan dasar-dasar ilmu hadits ini adalah Imam Ibnu Syihab al-Zuhri (51-124).
Setelah terjadi kasus pemalsuan terhadap hadits-hadits Nabi, barulah ada gerakan yang
signifikan dalam proses penerimaan dan periwayatan hadits. Sejak itulah perhatian ulama
tertuju kepada kredibilitas perawi dan peletakan kaedah-kaedah yang dapat dijadikan acuan
dalam penerimaan hadits dan penolakannya.

Setelah terjadi fitnah di dalam kehidupan umat Islam, para Sahabat mulai meminta
keterangan tentang orang-orang yang menyampaikan hadits atau khabarkepada mereka.
Mereka menerima atau mengambil hadits dari orang-orang yang tetap berpegang kepada
Sunnah Rasul‫ ﷺ‬, dan sebaliknya mereka tidak mengambil hadits dari mereka para ahli
bid’ah.

Pada awalnya teori-teori proses penerimaan dan periwayatan hadits serta kredibilitas perawi
(ilmudirayah) masih tersisip dalam buku-buku yang belum spesifik, berbaur dengan berbagai
makalah seperti yang dilakukan Imam Al-Syafi’i dan lainnya dalam karya-karya mereka.
Tidak ditemukan kepastian tahun berapa ilmu hadits lahir, tetapi yang jelas bahwa ilmu ini
lahir ketika Hadits sudah terkodifikasi pada abad ke-2 H. Dengan demikian, rintisan ilmu
Hadits terjadi pada abad ke-3 H. Memang seperti pengetahuan tentang kredibilitas perawi
sudah ada sejak zaman Rasulullah‫ ﷺ‬, tetapi pada saat itu belum menjadi disiplin ilmu yang
berdiri sendiri.

Ketika Imam Syafi’i (w.204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu Hadits telah
mengalami perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-
kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah usul fiqih. Demikian
pula dalam kitab al-Umm.Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara
menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih.
Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah
dengan ilmu lain.

Sesudah generasi Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali
bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w.276 H) menyusun
kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Sahih-nya, At-
Turmudzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Tabaqat al-
Kubra.Demikian pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-
Du’afa’. Dengan banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu
Hadits pada abad III H, maka dapat dipahami mengapa abad ketiga disebut sebagai awal
kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu Hadits secara
lengkap dan sempurna.

Pada abad keempat dan kelima Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang
membahas tentang ilmu Hadits yang bersifat komprehensif. Penulisan ilmu Hadits secara
lebih lengkap dimulai ketika al-Qadi Abu Muhamad al-Hasan bin Abd. Rahman al-
Ramahurmuzi (w. 360 H/abad IV H) menulis buku al-Muhaddis al-Fasil Bayn al-Rawi wa
al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al-Naysaburi (w. 405 H) menulis Ma’rifah ‘Ulum al-
Hadis, al-Khatib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-
Sami’. Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.

Pada abad-abad berikutnya, bermunculan karya-karya di bidang Ilmu hadits, yang sampai
sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan Ilmu Hadits, diantaranya
adalah : ‘Ulum al-Hadits oleh Abu Utsman ibn Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan
Ibn al-Shalah (w. 643 H/1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi oleh Jalal al-
Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi 

Anda mungkin juga menyukai