Anda di halaman 1dari 17

“ MAKALAH IMUNOLOGI DALAM KEHAMILAN”

Dosen Pengajar :

Oleh :

Rahmina Sari
NIM. Pbd21.180

SEKOLAH TINGGI ILMU KSEHATAN PELITA IBU


PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Imunologi Dalam Kehamilan” ini tepat
pada waktunya. Tidak lupa shalawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada junjungan
kita Rasulullah SAW, yang telah membawa umatnya dari jaman jahiliah ke zaman yang
modern ini.
Dalam penyusunan makalah ini pastilah kami mengalami berbagai hambatan maupun
kendala.Dengan segala upaya, makalah ini dapat terwujud dengan baik berkat bantuan dari
berbagai pihak.Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan lebih lanjut. Kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan khususnya dan bagi
semua pihak pada umumnya. Kami juga berharap makalah ini mampu menjadi salah satu
bahan bacaan untuk acuan pembuatan makalah selanjutnya agar menjadi lebih baik.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Dasar-Dasar Imunologi Pada Kehamilan
B. Penyakit Infeksi Karena Pada Ibu Dan Anak
C. Prinsip-Prinsip Vaksin Dan Hypersensitif

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


1. Pendahuluan
Tubuh dapat diibaratkan sebuah mesin yang luar biasa yang memiliki sebuah sistem
imun. Organ dari sistem imun mencakup sumsum tulang, timus, limpa, dan limfe nodus.
Limfe nodus merupakan bagian dari sistem limfatik tubuh dan mereka berfungsi sebagai
penyaring antigen (benda asing) yang berada dalam cairan limfe sebelum mengembalikannya
ke sirkulasi. Ketika sistem imun berfungsi baik, tubuh tidak mudah sakit. Akan tetapi, jika
sistem imun tidak berfungsi dengan baik, tubuh akan mudah terkena penyakit.
Sistem imun mengacu pada kemampuan tubuh menahan atau mengeliminasi benda
asing atau sel abnormal yang potensial berbahaya. Aktifitas-aktifitas berikut berkaitan dengan
sistem pertahanan imun, yang berperan penting dalam mengenali dan menghancurkan atau
menetralisasi benda-benda di dalam tubuh yang dianggap asing oleh tubuh normal".
a. Pertahanan terhadap patogen penginvasi (mikroorganisme penghasil penyakit
misalnya; virus dan bakteri).
b. Pengeluaran sel-sel yang "aus” (misalnya sel darah merah yang tua) dan debris
jaringan (misalnya jaringan yang rusak oleh trauma atau penyakit). Yang terakhir ini
penting untuk penyembuhan luka dan perbaikan jaringan.
c. Identifikasi dan destruksi sel abnormal atau mutan yang berasal dari tubuh sendiri.
Fungsi ini, yang diberi nama surveilans imun, adalah mekanisme
d. pertahanan internal utama terhadap kanker. Respon imun yang tidak sesuai yang
menimbulkan alergi, yaitu tubuh bereaksi terhadap zat kimia dari lingkungan yang
tidak berbahaya, atau penyakit autoimun, yaitu saat sistem pertahanan secara salah
menghasilkan antibodi terhadap tubuh sendiri, sehingga terjadi kerusakan sel jenis
tertentu dalam tubuh.
e. Penolakan sel-sel jaringan asing, yang menjadi kendala utama dalam transplantasi
organ.
Peranan utama dari sistem imun adalah untuk melindungi tubuh dari invasi organisme
asing dan produk toksin mereka. Hal ini membutuhkan kemampuan untuk
mendiskriminasikan antara self antigen dan nonself antigen, sehingga sistem imun dapat
merusak organisme yang menyerang dan bukan jaringan normal. Dalam kehamilan, janin
yang merupakan antigen asing bertumbuh didalam ibunya selama 9 bulan, tidak terancam
oleh sistem imun ibu. Singkatnya, adaptasi imun harus terjadi pada kehamilan yang sangat
penting untuk kelangsungan hidup janin sambil mempertahankan kemampuan ibu untuk
melawan infeksi.
Lebih dari 50 tahun yang lalu Billingham dan Medawar mencetuskan konsep bagaimana
janin di dalam kandungan ibu dapat hidup hingga usia kehamilan cukup bulan tanpa
mengalami reaksi penolakan dari sistem imun maternal. Konsep ini dilahirkan untuk
menjawab pertanyaan bagaimana janin dapat bertahan hidup di dalam kandungan ibunya
tanpa memicu suatu reaksi penolakan sama sekali dari tubuh ibunya, meskipun janin tersebut
memiliki antigen yang berasal dari ayahnya. Konsep bahwa janin memiliki genom yang
berasal sebagian dari ayah dan sebagian dari ibu sehingga janin akan mempresentasikan
antigen yang terdapat pada ayah dan ibu (semi-alogenik) telah diketahui sebelumnya.
Ekspresi antigen patemal janin di dalam tubuh ibu tentu dapat memicu reaksi penolakan
sistem imun maternal berdasarkan hukum transplantasi. Keberhasilan transplantasi organ
padat akan sangat ditentukan oleh reaksi penolakan sistem imun resipien terhadap aloantigen
yang diekspresikan oleh jaringan donor. Namun, dengan perkembangan teknologi di dalam
bidang kedokteran reaksi penolakan sistem imun resipien terhadap aloantigen jaringan donor
saat ini dapat dicegah dengan pemberian obat-obatan imunosupresi..
Janin adalah suatu jaringan yang bersifat alogenik dan berada di dalam tubuh seorang ibu
yang memiliki imuno kompeten untuk menimbulkan suatu reaksi penolakan. Billingham dan
Medawar membuat beberapa hipotesis yang mencoba untuk menjelaskan mengapa sistem
imun maternal tidak bereaksi terhadap janin yang bersifat semi-alogenik, sebagai berikut; (1).
Hipotesis mengenai pemisahan secara anatomis antara maternal dan janin; (2). Hipotesis
mengenai imunogenisitas dari janin yang rendah karena masih bersifat imatur; (3).Hipotesis
mengenai kelambanan atau kemalasan sistem imun maternal untuk bereaksi terhadap antigen-
antigen dari janin. Berdasarkan hasil-hasil penelitian selanjutnya, ternyata dapat disimpulkan
bahwa sistem imun maternal menunjukkan toleransi terhadap antigen-antigen yang terdapat
pada jaringan janin. Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah jaringan janin yang bersifat
semialogenik tersebut langsung mengadakan kontak dengan sistem imun maternal karena
pada kenyataannya sirkulasi keduanya tetap terpisah selama masa kehamilan.Pada
kenyataannya bahwa hanya jaringan plasenta dan membran janin sajalah yang langsung
mengadakan kontak dengan sirkulasi maternal. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa terdapat
karakteristik-karakteristik tertentu yang bersifat spesifik dari jaringan plasenta dan membran
janin yang dapat memicu toleransi sistem imun matemal pada jaringan janin. Selain pada sisi
janin, diduga pula bahwa terjadi perubahan pada sistem imun maternal selama kehamilan
sehingga akan memicu reaksi toleransi terhadap jaringan janin.

2. Klasifikasi Sistem Imun


2.1. Imunitas bawaan (Imunitas non-spesifik)
Epitel permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap infeksi. Pertahanan
epitel mekanis terhadap infeksi mencakup pergerakan siliar pada mucus dan ikatan sel epitel
yang ketat yang mencegah mikroorganisme untuk masuk ke dalam ruang interseluler dengan
mudah. Mekanisme pertahanan secara kimiawi mencakup enzim (misal, lisosim dalam saliva,
pepsin), pH yang rendah didalam usus, dan peptide antibakterial yang membunuh bakteri.
Mekanisme mikrobiologi juga ada untuk mencegah infeksi bakteri. Misalnya, flora normal
pada intestinal dan vagina bersaing untuk zat gizi dan perlekatan epitel dengan bakteri yang
lain dan dapat menghasilkan senyawa antibakteri. Setelah memasuki jaringan, banyak bakteri
patogen yang dikenali, dicerna, dan dibunuh oleh fagosit, sebuah proses yang di mediasi oleh
makrofag dan neutrofil.

Pertahanan-pertahanan non spesifik yang beraksi tanpa memandang apakah agen


pencetus pernah atau belum pernah dijumpai adalah:

Peradangan, suatu respon non-spesifik terhadap cedera jaringan, pada keadaan ini

spesialis-spesialis fagositik - neutrofil dan makrofag - berperan penting disertai

bantuan dari sel-sel imun jenis lain.

Interferon, sekelompok protein yang secara nonspesifik mempertahankan tubuh terhadap


infeksi virus.

Sel natural killer, sel jenis khusus mirip limfosit yang secara spontan dan

relatif nonspesifik melisiskan (menyebabkan ruptur) dan menghancurkan sel

pejamu yang terinfeksi virus dan sel kanker. Sistem komplemen, sekelompok protein
plasma inaktif yang apabila diaktifkan
secara sekuensial, menghancurkan sel asing dengan menyerang membrane plasma.
Sistem komplemen dapat secara nonspesifik diaktifkan oleh adanya benda asing. Sistem ini
juga dapat diaktifkan oleh antibodi yang dihasilkan sebagai bagian dari respon imun spesifik
terhadap mikroorganisme tertentu.?

2.2. Imunitas adaptif (imunitas spesifik)

Selain kekebalan bawaan, tubuh manusia juga mempunyai kemampuan membentuk


kekebalan spesifik yang sangat kuat terhadap setiap agen penginvasi seperti bakteri yang
mematikan, virus, toksin, dan jaringan asing dari binatang lain. Kekebalan ini dinamakan
kekebalan dapatan atau kekebalan adaptif. Fungsi dari sistem imun adaptif atau didapat
adalah untuk mengeliminasi infeksi sebagai lini kedua dari sistem imunitas dan
meningkatkan perlindungan terhadap re-infeksi melalui memori imunologi. Terdapat 2 jenis
imunitas dapatan yaitu imunitas yang diperantarai oleh antibodi atau imunitas humoral yang
melibatkan pembentukan antibodi oleh turunan limfosit B yang dikenal sebagai sel plasma
dan imunitas yang diperantarai oleh sel atau imunitas seluler yang melibatkan pembentukan
limfosit T aktif yang secara langsung menyerang sel-sel yang tidak diinginkan.26

Limfosit B dan T memiliki riwayat hidup yang berbeda dan sifat serta fungsi yang
berbeda. Limfosit mampu mengenali secara spesifik dan berespon secara selektif terhadap
berbagai agen asing yang jenisnya hampir tidak terbatas serta terhadap sel kanker. Proses
pengenalan dan respon pada sel B dan T berbeda. Mikroorganisme beserta produk-produknya
yang berada di ekstraselular akan dikenali oleh reseptor-reseptor yang ada pada sel limfosit
B, dalam hal ini adalah antibodi. Sementara untuk mikroorganisme yang berada di intrasel,
produkproduknya akan dikenali oleh reseptor-reseptor dari limfosit T (T cell receptor= TCR).
TCR akan mengenali fragmen-fragmen peptida yang berasal dari mikroorganisme intrasel
dan dipresentasikan oleh HLA pada permukaan sel atau selsel khusus yang disebut sebagai
Antigen Presenting Cells (APC).
Seperti telah disebutkan sebelumnya HLA memegang peranan penting dalam hal aktivasi
respons imun baik yang bersifat innatemaupun adaptif. Kalau sistem imun innate cara
mengenali antigennya lebih kepada pengenalan struktur karbohidrat ataupun lipid yang asing,
yang tidak ditemukan di dalam tubuh (non-self), maka respons imun adaptif lebih melakukan
pengenalan kepada struktur peptida yang berasal dari protein asing (non-self). Pengenalan
terhadap struktur peptida ini akan lebih menguntungkan karena diversitas struktur peptida
tem yata lebih banyak jika dibandingkan dengan karbohidrat ataupun lipid. Oleh karena itu,
diharapkan sistem imun adaptif dapat lebih mengenali secara spesifik suatu imunogen
sehingga dapat memicu suatu respons imun yang lebih spesifik.

HLA adalah suatu molekul yang akan mempresentasikan fragmen peptida pada
permukaan sel. Fragmen peptida yang dipresentasikan oleh HLA berasal dari protein eksogen
ataupun endogen yang diproses baik melalui jalur endositik (HLA kelas II) maupun jalur
skosolik (HLA kelas 1). Fragmen peptida yang dipresentasikan juga berasal dari protein self
dan non-self. Oleh karena proses tadi berjalan secara terus menerus, maka permukaan sel
akan dipenuhi oleh HLA-HLA dengan fragmen peptidanya masing-masing. Sel-sel yang
tidak terinfeksi tentu saja hanya akan mempresentasikan fragmen-fragmen peptida self. Oleh
karena itu, HLA juga bersifat sebagai pertanda imunogenik di mana memiliki fungsi untuk
membedakan antara selsel yang berasal dari diri sendiri (self) dengan sel-sel yang berasal dari
orang lain (non-self) atau disebut sebagai histokompatibilitas. Oleh karena itu, HLA sering
disebut pula Major Histocompatibility Complex (MHC) yang ada pada manusia. Dasar-dasar
pengetahuan mengenai HLA saat ini telah jauh berkembang seiring dengan semakin majunya
ilmu kedokteran transplantasi. Hal ini jugalah yang mendasari pemikiran-pemikiran
mengenai keilmuan imunologi reproduksi.

HLA berdasarkan struktur dan fungsinya terdiri atas 2 kelas, yaitu kelas I dan kelas II.
HLA akan dikoding oleh gen yang terletak pada kromosom no 6 tepatnya padaregio 6p21.31
(lengan pendek). Paling tidak telah dikenali 20 gen dari HLA kelas I yang hanya mengoding
untuk rantai a saja, di mana tiga di antaranya termasuk ke dalam kelompok HLA klasik/kelas
la di antaranya adalah HLA-A, HLA-B, dan HLAC. HLA kelas I yang klasik memiliki fungsi
untuk mempresentasikan fragmen peptida (antigen) kepada sel limfosit T sitotoksik (CD8+)
dan biasanya dimiliki oleh seluruh sel somatik meski ekspresinya akan sangat bervariasi
bergantung pada jenis jaringannya. Selain HLA kelas 1 klasik, juga terdapat kelompok
nonklasik/kelas lb yang terdiri atas HLA-G, HLA-E, dan HLA-F. HLA non-klasik seperti
HLA-G banyak dibicarakan perannya dalam menentukan keberhasilan kehamilan. Sementara
gen yang akan mengoding HLA kelas II akan mengoding rantai a dan B dan penamaannya
akan menggunakan 3 huruf:
a. D untuk menyatakan kelas II b. M, O, P, Q, atau R untuk menunjukkan family c. A
atau B untuk menunjukkan rantai a atau B

HLA yang sering dikenal adalah HLA-DP, HLA-DQ, dan HLA-DR. HLA kelas II
berfungsi untuk mempresentasikan fragmen peptida (antigen) kepada sel limfosit T helper
(CD4+) dan biasanya di ekspresikan oleh subkelompok dari sel-sel imun seperti sel dendritik
makrofag, limfosit B, limfosit T yang teraktivasi, dan epitelial timus.

Tiap HLA memiliki kemampuan untuk mengikat fragmen peptida pada peptide binding
site-nya. Masing-masing HLA memilikipeptide binding site yang bentuknya berbeda,
sehingga fragmen peptida yang akan terikat juga akan berbeda. Hal ini sangat ditentukan oleh
protein HLA yang dikoding oleh kromosom 6. Seorang manusia akan menerima gen yang
berasal dari kedua orang tuanya. Satu gen yang berasal dari ayah dan satu gen yang berasal
dari ibu. Oleh karena itu, apabila HLA kelas I terdapat 3 lokus gen dan HLA kelas II
memiliki 3 lokus gen, maka setiap individu akan memiliki 6 jenis HLA kelas I dan 6 jenis
HLA kelas II. Saat ini diketahui tiap lokus gen HLA memiliki beberapa alel, contohnya
HLA-A dapat memiliki 115 alel, sementara HLA-B dapat memiliki 301 alel. Oleh karena itu,
gen HLA dikenal sebagai sistem gen yang bersifat paling polimorfik Bagian yang polimorfik
ini justru umumnya terdapat pada peptide binding site. Oleh karena itu, tiap jenis HLA dari
alel yang berbeda dapat mengikatf ragmen peptida yang berbeda pula. Selain bersifat
polimorfik, HLA akan diekspresikan secara kodominan, yang berarti apabila seseorang
memiliki 6 jenis HLA kelas I, maka keenam-enamnya akan diekspresikan pada setiap
permukaan sel somatik.
TABEL
3. Respon Imun Dalam Kehamilan

Kehamilan ditandai oleh toleransi matemal dari paternal major histocompatibility antigens
sambil mempertahankan kompetensi imunitas terhadap infeksi. Hal ini dapat tercapai dengan
beberapa mekanisme, yang mencakup: fetal trophoblastic evasion of maternal immune
detection (minimal dengan kegagalan untuk mengeluarkan molekul antigen
histocompatibilitas mayor kelas I atau II); pengeluaran ligand Fas trofoblast; pengeluaran
complement regulatory protein CD46, CD55, dan CD59 (yang memiliki efek perlindungan);
sel sitotrofoblas ekstravilli yang mengeluarkan gen histokompatibilitas mayor non-klasik
yang mengkodekan HLA-G (menurunkan fungsi selnatural killer); dan produksi sitokin
desidua. Perubahan ini berefek pada timus dan sel B, yang berperan terhadap penekanan
respon autoimun serta perubahan pada sel T yang bersirkulasi dan lokal?

Biasanya, kehamilan dari sudut pandang imunologi, telah dilihat sebagai sebuah konflik
antara janin semiallogenik dan ibu dimana kelangsungan hidup janin bergantung pada
penekanan respon imun maternal. Akan tetapi, telah jelas bahwa sementara fungsi limfosit
mengalami perubahan pada saat kehamilan, tidak terdapat penekanan respon imun maternal
yang meluas. Konsep kontemporer dalam imunologi reproduktif sekarang menekankan pada
sifat kooperatif dari interaksi antara sel individual dan molekul sistem imun dan janin dalam
mengatur hasil luaran kehamilan. Saat ini perhatian berpusat pada keterkaitan antara sel
natural killer dan kegagalan reproduktif.

Sel natural killer merupakan limfosit yang menjadi bagian dari sistem imun bawaan. Sel NK
dapat dibagi menjadi sel yang ditemukan pada darah perifer dan yang terdapat pada desidua
uterus. Terdapat perbedaan fenotip dan fungsional yang penting pada kedua tempat ini. Tidak
seperti sel NK darah perifer, sel NK uterus memiliki kemampuan membunuh yang kecil.
Analisis micro-assayyang dikombinasikan dengan flow cytometric dan penelitian RT-PCR
telah memperlihatkan bahwa fenotip sel NK uterus berbeda dari sel NK dalam darah perifer.

Respon sitokin pada hubungan maternal-fetal saat ini juga menjadi subjek penelitian. Respon
ini secara umum dapat dibagi menjadi respon tipe Th-1 (yang ditandai oleh produksi
interleukin-2, interferon-y dan TNF-B) atau respon tipe Th-2 (yang ditandai oleh produksi
antibody pemblok padamask fetal trophoblast antigen yang berasal dari perkenalan
imunologis oleh respon sitotoksik yang dimediasi oleh Sebaliknya, wanita yang mengalami
aborsi cenderung lebih dominan menghasilkan respon sel tipe Th-1 pada periode implantasi
embrionik dan selama kehamilan. Imuno-modulasi dari respon sitokin pada saat awal
kehamilan mencerminkan adanya kemungkinan besar untuk melakukan percobaan terapi di
masa yang akan datang."

Lebih dari lima puluh tahun lalu pemenang nobel Peter B Medawar mengajukan sesuatu yang
dikenal sebagai "paradox imunologis dalam kehamilan." Medawar berargumen janin itu
seperti transplant setengah asing, karena setengah gennya berasal dari sang ayah. Oleh karena
itu, dia menyimpulkan, sistem imun ibu dan janin akan mengalami masalah. Penelitian
selanjutnya menunjukkan bahwa sistem imun aktif pada tempat dimana embrio yang
berkembang melekat pada uterus pada permulaan kehamilan. Sehingga sistem imun maternal
yang agresif akan menyerang embrio, sehingga embrio mengambil tindakan defensive.0

Yang terbaru, ahli imunologi telah menyatakan apakah paparan terhadap protein dalam cairan
semen dapat membantu agar sistem imun wanita dapat bersiap untuk konsepsi dan
kehamilan. Tremellen dan rekannya telah meneliti sebuah protein yang disebut TGF, yang
ditemukan dalam kadar yang cukup tinggi dalam semen. Mereka menyuntikkan TGF
kedalam uterus tikus yang disertai dengan beberapa protein asing, dan menemukan bahwa
injeksi protein yang sama di bawah kulit tidak mengurangi kekuatan reaksi imun. Tremellen
percaya bahwa 'imunisasi' dengan TGF melalui hubungan seksual membantu sistem imun
maternal belajar untuk mentolerir antigen dalam semen dengan merubah produksi molekul
peradangan yang disebut sitokin. Dia telah menunjukan bahwa fertilisasi in vitro jauh lebih
berhasil jika pasangan telah melakukan hubungan seksual sebelum dilakukannya IVF!
Terdapat paradox dalam sebuah kehamilan bahwa, walaupun kemampuan ibu untuk
menghasilkan antibody tampak normal, kemampuan mereka untuk menyusun respon imun
yang dimediasi sel menjadi lemah. Konsep ini didukung oleh pengamatan klinis bahwa
wanita hamil, walaupun tidak mengalami penurunan sistem imun yang terlalu parah, lebih
rentan mengalami penyakit yang normalnya berkaitan dengan respon imun yang dimediasi
oleh sel. Infeksi virus tertentu, seperti hepatitis, herpes simplek, dan Epstein-barr, lebih sering
terjadi pada kehamilan. Penyakit yang disebabkan oleh pathogen intraseluler (misal lepra,
tuberculosis, malaria, toksoplasmosis, dan coccidioidomycosis) tampaknya dapat menjadi
lebih parah pada kehamilan. Lebih lanjut lagi, sekitar 70% wanita dengan rheumatoid arthritis
(yang disebabkan oleh sel T sitotoksik pada daerah persendian) mengalami penyembuhan
sementara pada gejalanya pada saat gestasi, sedangkan SLE (yang disebabkan oleh
autoantibody) cenderung menjadi buruk pada saat kehamilan.. 12

Dapat disimpulkan bahwa sistem imun secara signifikan berubah pada saat kehamilan dan
perubahan-perubahan ini penting untuk mendukung plasentasi yang normal dan agar
kehamilan dapat berjalan normal dan sehat. Gangguan pada sistem imun maternal dapat
mengganggu keseimbangan yang baru saja terbentuk antara toleransi dan imunitas pada saat
kehamilan dan dapat mempengaruhi plasenta. Hasil luaran dan/atau perjalanan kehamilan."

4. Mekanisme Toleransi Fetal


Plasenta bukanlah pembatas antara sel maternal dan janin, dan sel-sel ini mengalami kontak
langsung pada beberapa lokasi, yang mencerminkan hubungan maternal-fetal.
Syncytiotrofoblast, lapisan paling luar dari vili chorionic, melakukan kontak langsung dengan
darah ibu dalam ruang intervilli. Trofoblas ekstravilli dalam desidua melakukan kontak
dengan berbagai macam sel maternal, yang mencakup makrofag, sel NK uterus, dan sel T.
trofoblas endovascular menggantikan sel endothelial pada arteri spiral maternal dan
berkontak langsung dengan darah matemal. Akhirnya, makrofag janin dan matemal
berkontak dengan lapisan chorion pada membrane janin.

Mekanisme toleransi imunologi janin harus bekerja pada penghubung janinibu untuk
mencegah penolakan pada janin. Sekitar 30% wanita primipara atau multipara membentuk
antibody terhadap HLA janin paternal yang diwariskan. Persistensi dari antibody-antibodi ini
tidak tampak membahayakan janin. Sel fetal yang persisten dalam ibu dapat memainkan
peranan dalam persistensi antibodiantibodi ini, karena pada beberapa wanita antibodinya
menetap, sedangkan pada ibu yang lain antibody ini tidak tampak. Pembentukan antibody
IgG terhadap antigen HLA paternal yang diwariskan berkaitan dengan adanya limfosit T
sitotoksik yang spesifik untuk antigen HLA ini. Limfosit T maternal yang spesifik untuk
antigen janin juga muncul pada saat hamil, tetapi kurang responsive

4.1 Toleransi melalui antigen leukosit manusia (HLA)


Trofoblas janin dan sel dalam membrane plasenta berkontak langsung dengan sel dan darah
maternal, dan seharusnya beresiko mengalami penolakan imunologis. Pengeluaran molekul
MHC oleh sel-sel fetal ini pada awalnya sepertinya tidak menguntungkan yang dapat memicu
respon imun yang menolak perlekatan janin pada uterus. Dari berbagai macam bentuk
trofoblas plasenta, hanya sel trofoblas ekstravilli yang mengeluarkan molekul MHC kelas I
(HLA-C, E, dan - G). Berdasarkan ekspresi HLA-nya, populasi sel-sel trofoblas dapat dibagi
menjadi 3 populasi, yaitu (a) sel-sel trofoblas yang melapisi ruang intravili. Sel-sel trofoblas
di sini akan langsung mengadakan kontak dengan sel-sel imun maternal dari sirkulasi
maternal, maka sel-sel trofoblasnya tidak akan mengekspresikan HLA kelas I sama sekali; (b)
sel-sel trofoblas endovaskular, yaitu sel-sel trofoblas yang menginvasi pembuluh darah arteri
spiralis. Sel-sel trofoblas di sini akan berkontak dengan sel-sel imun matemal pada sirkulasi
maternal. Namun,bedanya sel-sel trofoblas tersebut mengekspresikan HLA kelas I, seperti
HLA-G, HLA-E, dan HLA-C; dan (c) sel-sel trofoblas yang akan menginvasi lapisan
desidua. Sel-sel ini juga berpotensi untuk berkontak dengan sel-sel imun maternal yang
terdapat pada lapisan desidua. Maka, sel-sel trofoblas pada lapisan ini juga hanya akan
mengekspresikan HLA-G, HLA-E, dan HLA-C.12

Karena distribusinya yang unik pada jaringan trofoblastik janin, HLA-G diperkirakan
menjadi komponen yang penting dalam toleransi janin. Meskipun fungsi pasti dari HLA-G
masih belum diketahui, bukti menunjukkan bahwa HLA-G melindungi sitotrofoblast invasif
agar tidak dibunuh oleh sel NK-uterus. HLA-G, yang berinteraksi dengan sel NK-U,
kemungkinan berperan pada pemeliharaan toleransi imun pada penghubung maternal-fetal
dan kehamilan yang normal.

TABEL

4.2. Toleransi melalui pengaturan sel T maternal


Sel T maternal berada dalam keadaan toleransi transien untuk alloantigen paternal tertentu.
Hal ini telah diperlihatkan pada tikus betina yang disensitisasi untuk mengenali antigen
paternal sebelum hamil. Tikus betina menjadi toleran terhadap antigen paternal yang sama
yang dikeluarkan oleh janin yang sebelumnya telah dikenali dan dihancurkan. Oleh karena itu
harus terdapat beberapa mekanisme untuk menekan respon sel T maternal.

Sebuah populasi special dari sel T, yang disebut sel T pengatur, menekan respon imun
terhadap antigen tertentu dan meningkat dalam sirkulasi maternal pada wanita dan tikus
betina pada saat hamil. Sel T pengatur (CD4 CD25+) terutama berperan untuk mencegah
respon autoimun yang terjadi jika sel T self-reactive keluar dari timus pada saat
perkembangan sel yang normal. Mekanisme penekanan sel T pengatur pada respon sel T
masih belum diketahui tetapi mungkin melibatkan kontak sel secara langsung atau
menghasilkan sitokin anti-peradangan."

Cara lain untuk menekan sel T maternal pada penghubung maternal-fetal melibatkan deplesi
triptofan oleh indoleamine 2.3 dioxygenase (IDO), sebuah enzim yang mengkatabolisasikan
triptofan. IDO dalam keadaan normal berfungsi sebagai mekanisme pertahanan antimikroba
bawaan dengan cara memungkinkan sel untuk menghapus triptofan dari kelompok
intraseluler atau lingkungan mikro lokal. IDO dipertimbangkan berperan untuk membuat sel
T menjadi kurang responsive pada saat hamil, karena triptofan adalah sebuah asam amino
essensial untuk fungsi sel T.
B. Rumusan Masalah
1. Dasar-Dasar Imunologi Pada Kehamilan?
2. Penyakit Infeksi Pada Ibu Dan Anak?
3. Prinsip-Prinsip Vaksin Dan Hypersensitif?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa saja dasar-dasar imunologi pada kehamilan
2. Untuk mengetahui apa saja infeksi pada ibu dan anak
3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip vaksin dan hypersensitif

BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar – Dasar Imunologi Pada Kehamilan


B. Penyakit Infeksi Pada Ibu Dan Anak
C. Prinsip – Prinsip Vaksin Dan Hypersensitif
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
1. Anantyo Binarso M.Kristan to H.Imonologi dalam kehamilan.Dalam:Ilmu Kedokteran
Fetomatemal. Surabaya:Himpunan Kedok taran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri
Ginekologi Indonesia;2004;127-136

2. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem ed 2. EGC: Jakarta. 2001.

3. Reece Albert E, et al. Clinical Obstetric the Fetus and Mother, 3rd edition. Massachusets,
Blackwel publishing; 2007.

4. Wiknjosastro H. Kontrasepsi. Ilmu Kandungan. Edisi kedua. 2010. Yayasan bina pustaka
sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Hal. 534-535.

5. Gabbe, S et al. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. Ed 5. Philadelphia: Churcill


Livingstone. 2007.

6. Guyton C Arthur. Guyton Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC: Jakarta.
2002.

7. Martin L. Pernoll, M.D. Handbook of Obstetriks and Gynecology 10" edition. New York,
McGraw-Hill Companies. 2001.

8. Edmonds D. Keith. Dewhurst's Textbook of Obstetrics & Gynaecology, 7th edition.


London, Blackwell. 2007.

9. Mor G. Pregnancy reconceived: what keeps a mother's immune sistem from treating her
baby as foreign tissue? A new theory resolves the paradox. Available from
www.findarticle.com. Accessed on march 5, 2012.

10. Cardenas I. The Immune Sistem in Pregnancy: A Unique Complexity. Available from
www.ncbi.nlm.nih.gov. Accessed on march 5, 2012.

11. Pearson H. Maternal Immune Response to Pregnancy Available from www.nature.com.


Accessed on march 5, 2012.

12. Anonymous. Adjuvanted Vaccines in Pregnancy: What is known About Their Safety?:
Pregnancy & the Immune Sistem. Available from www.emedicine.com. Accessed on march
5, 2012.

Anda mungkin juga menyukai