Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG NOVEL

Novel sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada
pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan,
mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat
menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat
berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah
perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya.
Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca novel, maka sepertinya orang yang
membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan
permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan
permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh
permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih,
bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya.

Jika kenyataannya seperti itu, maka jelaslah bahwa sastra novel telah berperan sebagai
pemekat, sebagai karikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang
diungkapakan Saini K.M. (1989:49). Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan ajar di kelas
tentunya akan membuat pembelajarannya lebih hidup dan menarik.

Tidak hanya itu, kiranya novel dengan segala permasalahannya yang universal itu
ternyata menarik juga untuk dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya.
Apalagi jika novel itu dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Seperti halnya kami
mencoba mengkaji novel yang dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Novel yang
kami kaji itu adalah sebuah novel yang berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.

Dipilihnya novel karya A.A. Navis tersebut bukan tanpa pertimbangan atau alasan sebab
novel ini memiliki keistimewaan (bagi kami) dibandingkan dengan novel A.A.Navis yang lain
atau novrel yang ditulis pengarang-pengarang yang lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada

1
teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis
menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara
tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Menurut hemat saya hal seperti ini hanya ada dalam
novel Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin dan novel Robohnya Surau Kami karya A.A.
Navis.

Akan tetapi, kedua novel ini tetap berbeda. novelnya Kipanjikusmin muncul dengan
membawa kehebohan yang luar biasa di kalangan umat Islam sehingga harus berhadapan dengan
hukum. Sedangkan novelnya A.A. Navis muncul dengan membawa kejutan karena ceritanya
menyindir pelaksanaan kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerpen Langit
Makin Mendung Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali (meminjam istilah
Bahrum Rangkuti dalam Polemik H.B.Jassin, 1972:177). Sedangkan dalam novel Robohnya
Surau Kami tidak seperti itu. Itulah sebabnya novel A.A. Navis tidak pernah berhadapan dengan
hukum. Selain itu novel A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja
keras sebab kerja keras adalah bagian penting dari ibadah kita (Sapardi Djoko Damono dalam
kata pengantar Novel Kemarau karya A.A.Navis, 1992:vi).

Sementara itu, tujuan umum pengajaran sastra seperti yang tercantum dalam kurikulum
1994 yaitu agar siswa mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk
mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Lalu, di dalam rambu-rambunya pada butir 10
ditegaskan pula bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa
untuk mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalaran, dan daya khayal, serta
kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian peran pelajaran
sastra menjadi sangat penting.

Mengingat perannya yang sedemikian itu, maka terselenggaranya pembe-lajaran sastra


yang menarik dan menyenangkan akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Hal ini
dimungkinkan karena pelajaran seperti ini akan dapat mendidik siswa untuk dapat mengenal dan
menghargai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsanya, juga untuk dapat menghargai hidup,
menikmati pengalaman orang lain, serta dapat menemukan makna hidup dan kehidupan.
Bukankah karya sastra (cerpen) itu merupakan miniatur kehidupan manusia di sekitar pembaca?.

2
Jadi, dengan mempelajari novel (sastra) berarti siswa diajak untuk mempelajari manusia
dan lingkungannya. Biasanya siswa akan sangat antusias jika diajak untuk membicarakan atau
mendiskusikannya juga akan mengeluarkan segala pengalaman dan pengetahuannya.

Sayangnya, kendala pembelajaran itu sering terletak pada guru. Sebab, masih saja guru
yang terlalu mengandalkan LKS (Latihan Kerja Siswa), tidak menyukai sastra, dan tidak bisa
memilih bahan ajar yang tepat dan menarik untuk seusia siswa yang dididiknya. Kenyataan
inilah yang sering dianggap orang sebagai kegagalan. Gagal karena siswa tidak memiliki daya
apresiasi dan kepekaan rasa serta tidak menyukai sastra.

Berangkat dari permasalahan yang sudah diuraikan di atas, saya mencoba mengkaji
keterkaitan novel dalam kegiatan pembelajaran dan berusaha menemukan kemungkinan-
kemungkinannya novel dijadikan bahan ajar di kelas. Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat
memberikan solusi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran apresiasi
sastra (novel).

1.2 TUJUAN MEMBACA NOVEL

- Memiliki stimultan mental


- Mengubah fungsi otak
- Dapat mengurangi situasi kebosanan
- Menambah pengetahuan
- Dapat mengetahui perluasan kosakata
- Menemukan bahasa baru
- Meningkatkan memori otak
- Keterampilan berpikir kuat
- Peningkatan Konsentrasi
- Meningkatkan Kemampuan Mengolah emosi
- Memindahkan pembaca ke dunia khayalan
- Merubah perwatakan si pembaca
- Ketenangan
- Meningkatkan kreativitas
- Memberikan sesuatu kepada orang lain untuk dibicarakan
- Mengaspirasikan seseorang menjadi pemimpin

3
- Semangat hidup lebih tinggi
- Mantap mengenali diri sendiri dan orang lain
- Menambah nilai pendidikan

4
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 PENGERTIAN NOVEL

Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif, biasanya dalam bentuk
cerita. Karangan prosa yang lebih panjang dari cerita pendek dan menceritakan kehidupan
seseorang dengan lebih mandalam, dengan menggunakan bahasa sehari-hari serta banyak
membahas aspak kehidupan manusia. Penulis novel juga dapat disebut sebagai novelis. Kata
novel berasal dari Bahasa Italia Novella yang berarti ‘Sebuah kisah atau sepotong berita.

2.2 UNSUR INTRINSIK NOVEL

2.2.1 TEMA
Tema merupakan suatu gagasan pokok atau ide pikiran tentang suatu hal, salah
satunya dalam membuat suatu tulisan. Di setiap tulisan pastilah mempunyai sebuah tema,
karena dalam sebuah penulisan dianjurkan harus memikirkan tema apa yang akan dibuat.
Dalam menulis cerpen,puisi,novel,karya tulis,dan berbagai macam jenis tulisan haruslah
memiliki sebuah tema.
2.2.2 PENOKOHAN
Penokohan adalah suatu cara pengarang menggambarkan serta juga
mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita tersebut. Untuk dapat
menggambarkan karakter seorang tokoh, pengarang tersebut bisa juga menyebutnya
langsung, misalnya si A tersebut ialah penyabar, dan si B itu sangat murah hati.
Penjelasan dalam karakter tokoh bisa juga dengan melalui gambaran fisik serta
perilakunya, lingkungan kehidupannya, cara dia berbicara, pola berfikir, maupun juga
melalui penggambaran oleh tokoh lain.

2.2.3 ALUR

Alur adalah rangkaian peristiwa yang membentuk jalannya cerita. Alur dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu alur maju (Progresif) yaitu apabila peristiwa bergerak secara
bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur

5
(flashback progresif) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang
berlangsung.

2.2.4 LATAR

Latar (setting) adalah suatu tempat, waktu, serta suasana terjadinya


perbuatan tokoh atau peristiwa yang dialami tokoh. Didalam cerpen, novel,
maupun prosa lainnya, terkadang biasanya tidak disebutkan dengan jelas.

2.2.5 SUDUT PANDANG


Sudut Pandang adalah suatu posisi pengarang atau juga narrator dalam
membawakan cerita tersebut.
- Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama,
mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya
sendiri dengan kata-katanya sendiri.
- Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak
mengamati dari luar daripada terlihat didalam cerita pengarang biasanya
menggunakan kata ganti orang ketiga.
- Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri diluar
cerita, ia serba melihat, serba mendengarkan, dan serba tahu. Ia melihat sampai
kedalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam
dari tokoh.

2.2.6 GAYA BAHASA


Gaya Bahasa adalah alat utama pengarang untuk melukiskan,
menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika. Macam-macam gaya
bahasa :
- Personafikasi : gaya bahasa ini mendeskripsikan benda-benda mati dengan cara
memberikan sifat-sifat seperti manusia.
- Simile (perumpamaan) : gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan
penibaratan.
- Hiperbola : gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan cara berlebihan
dengan maksud memberikan efek berlebihan.

6
2.2.7 AMANAT

Amanat adalah pesan yang disampaikan dalam cerita, yang mengundang sebuah
nilai yang positif. Hal ini berfungsi sebagai panutan ataupun contoh yang diberikan oleh
sang penulis agar pembaca dapat menerapkan hal-hal positif dalam sebuah cerita

7
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 DESKRIPSI BUKU( NOVEL)

Judul : Robohnya Surau Kami


Pengarang : A.A. Navis
Tahun : Cetakan ketujuh belas: November 2010
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Dimensi : 142 halaman
ISBN : 978-979-22-6129-5
Harga Buku : Rp 18.500,00

3.2 SINOPSIS NOVEL

Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara
mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang yang sudah
dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti
mencoba mengkajinya dan agar kajian ini, khususnya bab IV ini mudah dipahami agaknya perlu
juga memaparkan sinopsis cerpen Robohnya Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang
dipaparkan di bawah ini.

Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang
datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga
kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut
sebagai Garin.

Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok
yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari
pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau
rokok.

8
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan,
membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya
sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain,
apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.

Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu,
keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga
surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu
sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.

Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan
hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir
batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau
membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada
Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia
ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai.
Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini
dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih
jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau
cukur.

Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus


mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya.
Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi
bekerja.

3.3. UNSUR INTRINSIK NOVEL

3.3.1 TEMA

Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa
gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang
dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.

9
Tema atau pokok persoalan novel Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada
persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak
pada berikut ini.

“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga
seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya,
bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu
Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku
membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku
pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada
umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug
membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang
setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku
menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku
kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”

Kemudian gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :

“Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau
takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum
mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir
selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”

Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema
novel ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu
akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat
universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini diteima oleh setiap
orang.

3.3.2 ALUR

Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa


yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan
hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga

10
bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur
plot itu dapat diuraikan seperti berikut.

Bagian Awal

Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua
bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang
diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini
berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau
tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan
temui seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah
ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.

Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari
hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang
mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal
sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-
orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-
apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting,
memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong,
memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum .

Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang
didalamnya terdapat keterbukaan.

Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala
permasalahannya. Perhatikan data berikut :

11
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah
surau itu tanpa penjaganya ….

Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan
suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat
berlangsungnya …. 

Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak
dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan,
mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini
memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.

Bagian Tengah

Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita


tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai
dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal.
Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena
dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:

Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya.

Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak
mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek suasananya
sangat tidak diharapkan.

… Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang
tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang
mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus,
kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. (hlm. 8)

Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik

12
Konplik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu
yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu
melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau
itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.

“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.

“ Kenapa ? “

“ Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok


tenggorokannya.”

Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya
dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku. Dia
bercerita karena desakan dari dalam batinnya.

Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa
yang diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini
tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan
batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat
membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.

Bagian Akhir

Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise).
Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan
si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu
biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan
melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya
dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.

“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”

13
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan
Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”

“Kerja.”

“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa

“Ya. Dia pergi kerja.”

Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi
orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh
istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana
salahnya?

Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur
regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu
pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang
bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran
kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi
kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari
kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah
kisahnya . Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku
tak pergi menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.

“Kakek.”

“Kakek?” 

14
3.3.3 PENOKOHAN (WATAK TOKOH)
Tokoh-tokoh penting dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo
Sidi, Kakek, dan Haji Soleh

- Tokoh Aku: berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.

Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar
kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan
pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu
perkara orang lain.

“Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya.
Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang
mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa
ceritanya, kek ?”

“Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak.
Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.

“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan


istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku
berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

- Ajo Sidi: berwatak orang yang suka membual.


Tokoh ini sangat istimewa. Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual.
Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi
disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang
mendengarnya pasti terpikat.
“….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan
aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa
mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini
jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual,
sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya

15
menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok
dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….”

- Kakek: berwatak orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan
mempercayai orang lain dan lemah imannya.
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si
pengarang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan
gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu
mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.

“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya
keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupkusendiri…”

- Haji Soleh: berwatak orang yang terlalu mementingkan diri sendiri.


Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau
menyindir orang lain. Watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu
mementingkan diri sendiri.

3.3.4 LATAR( SETTING)

-Latar Tempat : kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya

“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri
jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah
Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima,
membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui
sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui
empat buah pancuran mandi.”

16
-Latar Waktu : Beberapa tahun yang lalu.

“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa
orang-orang yang sudah berpulang ….”

“Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan
suatu kebencian yang bakal roboh ………”

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek

“Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….”

-Latar Sosial

Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-


kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa.
“Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk
disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
kakek.”

3.3.5 SUDUT PANDANG

Di dalam cerpen ini pengarang memposisikan dirinya dalam cerita ini


sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat
di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita. Selain itu pengarang pun
berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di
depan tokoh aku.

3.3.6 GAYA BAHASA


Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang
biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau

17
Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan
pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-
Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah
Id, juga Sedekah.

Selain ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol
yang terdapat dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau
Kami.Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas
alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang. Di
dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata. Gaya
bahasanya sulit di pahami, gaya bahasanya menarik dan pemilihan katanya pun
dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagaman.

3.3.7 AMANAT

Navis seperti ingin mengingatkan kita yang seringkali berpuas diri dalam ibadah,
tapi sesungguhnya lupa memaknai ibadah itu sendiri. Kita rajin shalat, mengaji dan
kegiatan ritual keagamaan lainnya karena kita takut masuk neraka. Kita
menginginkan pahala dan keselamatan hanya untuk diri kita sendiri. Kita melupakan
kebutuhan orang lain. Karenanya kita tidak merasa berdosa dan bersalah ketika
mengambil hak orang lain, menyakiti perasaan sesama atau bahkan melakukan
ketidakjujuran dan kemaksiatan di muka bumi.

Amanat-amanat yang dimaksud itu di antaranya:


- Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena
ada
perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain.

“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan
ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak
karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah
bertawakkal kepada Tuhan .…”

18
Dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya
mengenai karangan untuk cepat marah.

- Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja
baik
di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok

pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat sana:

“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya


didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi
dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak
kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14
kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula

- Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan
diri pemakainya.
- Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan
dalam novel ini:

“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua,
sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu
mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling
memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka
beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.
Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana
engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…”

- Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan.

19
”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau
takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan
kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga
mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis,
padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
memperdulikan mereka sedikitpun.”

3.4 UNSUR EKSTRINSIK


- Nilai Sosial:

Kita harus saling membantu jika orang lain dalam kesusahan seperti dalam
cerpen tersebut karena pada hakekatnya kita adalah makhluk sosial.

- Nilai Moral :

Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek atau menghina
orang lain tetapi harus saling menghormati.

- Nilai Agama :

Kita harus selau malakukan kehendak Allah dan jangan melakukan hal yang
dilarang oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.

- Nilai Pendidikan :

Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu
berusaha dengan sekuat tenaga dan selalu berdoa.

- Nilai Adat :

Kita harus menjalankan segala perintah Tuhan dan memegang teguh nilai- nilai
dalam masyarakat.

- Hal-hal yang menarik

 Surau tidak difungsikan, anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain


berbagai macam kesukaan, dan perempuan sering mencopoti papan atau lantai di

20
malam hari untuk dijadikan kayu bakar. Bersikap masa bodoh dan tidak
memelihara sebagai mana mestinya,
 Bualan Ajo Sidi tentang kejadian di neraka membuat si kakek akhirnya muram
dan akhirnya bunuh diri.
 Seorang laki-laki menikah dan hanya mengabdikan hidupnya sepanjang hari di
surau tanpa memikirkan hidup duniawi harta ataupun kekayaan, dan melalaikan
tugasnya sebagai seorang suami dan seorang ayah.
 Taat beribadah saja, membiarkan negara kacau balau, melarat, hasil bumi dikuasai
negara lain tanpa memikirkan kehidupan anak cucu, pemalas dan tidak mau
bekerja,
 Melakukan perbuatan sesat dengan cara bunuh diri,
 Ajo Sidi tidak ikut melayat orang yang meninggal akibat bualannya, hanya
berpesan agar dibelikan kain kafan 7 lapis sedangkan dai tetap pergi bekerja.

21
BAB IV

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Novel “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis ini memang sebuah sastra (novel) yang
menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya sebagai
bahan pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, maka novel “Robohnya Surau Kami” juga sangat cocok dan layak
jika dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran karena bahasa yang digunakannya bisa dipahami.
Tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis
yang dimunculkan masih sesuai dengan perkembangan psikologis dan latar budaya yang
ditampilkannya pun masih tampak umum sehingga yang berlatar belakang budaya Islam,
Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya.

5.2 SARAN

Novel ini sangat cocok untuk dibaca, karena memberikan hal-hal yang menarik bagi
kehidupan sang pembaca. Tetapi, sebaiknya harus dibaca cerpennya secara utuh berkali-kali agar
memahami isinya.

22
BIODATA PENULIS

NAMA : HOIRUN NISA

TEMPAT TANGGAL LAHIR : MUARA BULIAN, 29-03-2003

NISN : 0025253698

ASAL SEKOLAH : SMK NEGERI 2 BATANGHARI

ALAMAT : RENGAS CONDONG, RT 07 RW 02

23
24

Anda mungkin juga menyukai