Anda di halaman 1dari 92

0

1
Judul:
Pengantar Ahlussunnah Wal Jama’ah:
Suatu Telaah Historis dan Doktrinal

Penulis:
Ade Opa Mustopa (James)

2
0
Prolog

Nahdlotul Ulama (NU) merupakan organisasi


masyarakat pertama yang mendeklarkan diri sebagai organisasi
yang berlandaskan islam Ahlussunah Wal Jama’ah, begitupun
juga PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) yang
merupakan anak terbaik NU menjadikan Ahlussunah Wal
Jama’ah sebagai landasar berfikir dan bergeraknya. Maka dari
itu penggalian, penghayatan dan pengamalan islam Ahlussunah
Wal Jama’ahdi lingkungan NU dan PMII harus terus dilakukan
karena Ahlussunah Wal Jama’ah merupakan sebuah ideologi
yang menjadi basis/landasan bagi setiap proses berfikir,
berdzikir dan beramal soleh.
Namun sesuaituntutan zaman, makna Ahlussunah Wal
Jama’ah (selanjutnya disebut ASWAJA) terus mengalami
evolusi sehingga dalam setiap masa ada hal-hal baru yang
berbeda yang disesuaikan dengan keadaan masa itu. Tapi dari
perbedaan itu ada hal-hal yang menjadi ciri khas (karakteristik)
bersama orang-orang ASWAJA mulai zaman Nabi sampai
sekarang.
Reinterpretasi ASWAJA serta meng-Up Grade nya
harus terus dilakukan, karena realitas yang harus disikapi oleh
ASWAJA yang dulu dengan yang sekarang itu berbeda.Hal ini
menyebabkan pemahaman terhadap ASWAJA sendiri juga
harus berbeda, namun tidak keluar dari frame (bingkai)ushul
yang dibangun oleh para pendekar ASWAJA dari masa ke-
masa.
Tulisan ini akan mencoba menggali bagaimana
karakteristik orang-orang ASWAJA, yang mana karakter ini
akan menjadi bassic value (Nilai Dasar) bagi pola/metodologi

1
berfikir ASWAJA dalam menyikapi setiap realitas yang ada di
zamannya. Kajian sejarah serta doktrin ASWAJA merupakan
pra-syarat yang harus dipenuhi untuk mengetahui hal di atas.
Ada dua kajian sejarah yang akan ditampilkan dalam
tulisan ini, pertama sejarah Ahlusunnah dalam konteks dunia,
kedua sejarah Ahlusunnah dalam konteks Nusantara. Dalam
rangka membaca sejarah Ahlussunah Wal Jama’ah dunia, saya
menampilkan sekelumit kajian mengenai realitas Arab pra islam
agar nantinya diketahui suatu kontinuitas historis (kelangsungan
sejarah) lahirnya Ahlussunah Wal Jama’ah.
Untuk sejarah islam Ahlussunah Wal Jama’ah konteks
Indonesia, saya mengawali dari waktu proses masuknya islam
ke Indonesia hingga islam zaman Hadhratussyakh Hasyim
Asy’ari.
Kajian kedua mengenai doktrin pokok (ushul) ASWAJA
yang dibangun oleh para Ulama ASWAJA dari setiap zaman.
Mulai dari definisi ASWAJA, pokok pemikiran ASWAJA serta
yang lainnya. Selanjutnya penulis akan menampilkan bangunan
epistemologinya agar bisa kontekstual untuk saat ini. Oleh
karena itu tulisan ini jugaakan menampilkan kajian kritis dari
Ulama ASWAJA masa kini dalam rangka me-refresh
pemahaman ASWAJA, seperti yang dilakukan oleh K.H. Said
Agil Siradj dan K.H. Hamdun Ahmad.
ASWAJA yang saya tampilkan dalam tulisan ini adalah
ASWAJA dalam perspektif, artinya ASWAJA yang diyakini
oleh warga Indonesia terutama Pesantren, NU dan PMII, bukan
ASWAJA nya Ibnu Taimiyyah ataupun kelompok WAHABI.
Dalam tulisan ini sengaja tidak di buatkan footnote,
endnote ataupun yang lainnya, agar pembaca dan pengkaji
sekalian tidak dipusingkan dengan melihat daftar referensi, juga

2
yang paling penting bagi para pemula dalam mengkaji
ASWAJA adalah memiliki keinginan untuk melacak referensi
yang ada dalam tulisan ini, karena pasti dalam tulisan ini banyak
kesalahan. Tapi tenang saja kami akan menyajikan daftar
referensi nanti dibelakang dalam Daftar Pustaka.

3
A. REKONSTRUKSI SEJARAH ASWAJA DUNIA
Sosio-Kultur Bangsa Arab pra-islam dan pengaruhnya
terhadap munculnya firaq (aliran-aliran) dalam islam
Jazirah Arab adalah diantara teritori yang memiliki
keunikan tersendiri namun sayangnya kajian tentang bangsa
Arab sering luput dari perhatian di era kontemporer ini.
Meski luas Semenanjung Arab mencapai kurang lebih
seperempat wilayah Eropa, atau sepertiga wilayah Amerika,
namun yang kita ketahui tentang belahan dunia ini benar-
benar di luar proporsi yang seharusnya.Kita bahkan
mengetahui lebih banyak tentang wilayah Arktik dan
Antartika dari pada wilayah Arab, itulah ungkapan Phillip
K. Hitti dalam bukunya History of The Arabs.
Dalam kesempatan ini akan diuraikan sealakadarnya
mengenai kondisi geografis Jazirah Arab serta hubungan
bangsa Arab dengan orang di luar bangsa Arab yang
nantinya akan mempengaruhi system budaya, social,
keagamaan bangsa Arab.

4
1. Kondisi geografis Jazirah Arab
Semenanjung Arab merupakan semenanjung
Barat daya Asia, sebuah semenanjung terbesar dalam
peta dunia.Wilayahnya dengan luas 1.745.900 km 2. Di
jazirah ini pegunungan berjejer serta gurun tandus yang
membentang luas. Dari sisi kondisi cuaca, semenanjung
Arab merupakan salah satu wilayah terkering dan
terpanas, meskipun diapit oleh lautan di sebelah Barat
dan Timur.Di daerah ini musim kemarau tiga tahun
merupakan hal yang lumrah.Hujan badai yang singkat
dan banjir yang cukup besar kadang-kadang menimpa
Mekah dan Madinah, dan pernah berkali-kali
meruntuhkan Ka‟bah.
Batasan-batasan alam yang membatasi Jazirah
Arab adalah:
 Di bagian Barat: berbatasan dengan Laut Merah.
 Dibagian Timur: berbatasan dengan Teluk Arab.
 Dibagian Utara: berbatasan dengan Gurun Irak dan
Gurun Syam.
 Di bagian Selatan: berbatasan dengan Samudra
Hindia.
Hanya di daerah Yaman dan Asir saja
yang mendapatkan curah hujan yang cukup untuk
bercocok tanam secara teratur. Tanaman yang tumbuh
dua musim dapat dijumpai di lembah subur ini yang
berjarak 340 km.

5
Udara yang kering dan tanah yang bergaram
mengurangi kemungkinan tumbuhnya tanaman-
tanaman hijau.Hijaz banyak ditumbuhi pohon
kurma.Dan kurma ini merupakan tanaman
perimadonadi semenanjung Arab.Diantara tanaman
yang tumbuh di daerah ini adalah; Gandum, pohon
akasia, anggur, dan lain-lain.
Dalam dunia fauna (hewan), ada beberapa hewan
yang bias bertahan hidup di padang pasir yang tandus,
seperti namir (panter), fahd (macan-tutul), hyena,
serigala, rubah dan kadalkadalan (khususnya al-dhabb),
dan singa, yang sering dikutif dalam syair-syair Arab
klasik. Diantara burung-burung pemangsa yang hidup
di daerah ini adalah elang, rajawali, burung hantu dan
lain-lain.Hewan yang paling banyak dipelihara adalah
unta, keledai, anjing penjaga, anjing pemburu (saluqi),
kucing, domba, dan kambing.Menurut cerita, keledai
dibawa dari Mesir setelah masa hijrah Nabi.
Negara-negara modern yang termasuk jazirah
Arab adalah; Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Qatar,
Emirat Arab, Oman, Masqat dan Aden.
2. Hubungan Internasional pertama bangsa Arab
Hubungan antara bangsa Arab dengan yang
lainnya merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi watak dan karakter bangsa Arab baik
kepribadian, kehidupan sosial, budaya maupun
kepercayaan.

6
Interaksi pertama bangsa Arab adalah antara
Arab Utara dan Arab Selatan, orang-orang Arab Utara
merupakan orangorang nomad (berpidah-pindah
tempat) yang tinggal di „rumahrumah bulu‟ di Hijaz
dan Nejed, sedangkan orang-orang Arab Selatan
kebanyakan adalah orang-orang perkotaan, yang
tinggal di Yaman.
Kemudian bangsa Arab melakukan kontak
dengan bangsa Ibrani yang waktu itu beragama yahudi.
Kontak antara bangsa Arab dengan bangsa Ibrani
terlihat dalam cerita-cerita klasik seperti yang
diungkapkan oleh Herodotus (484-425 SM) seorang
sejarawan Yunani, juga sebagaimana yang terungkap
dalam perjanjian lama.
Selanjutnya bangsa Arab berinteraksi dengan
imperium Romawi. Sebagai penguasa dunia sebelah
Barat, orang-orang Romawi tidak berhasil menguasai
Arab. Pengiriman 10.000 pasukan dari Mesir di bawah
pimpinan Aelius Gallus pada 24 SM, yaitu pada masa
pemerintahan Caesar Augustus, disertai dukungan
sekutu mereka dari bangsa Nabasia, ternyata menemui
kegagalan.
Ketertarikan bangsa Romawi ke kawasan ini,
diantaranya; karena Arab dikenal sebagai penghasil
rempahrempah dan wewangian. Herodotus misalnya
mengatakan, “semua daerah di semenanjung Arab
menebarkan aroma yang sangat wangi”.

7
Selain dengan bangsa-bangsa di atas, bangsa
Arab juga berinteraksi dengan penguasa Timur waktu
itu yakni imperium Persia. Namun yang menjadi
keunikan dari bangsa ini adalah walaupun mereka
terkenal jahiliyah tapi mereka menjunjung kebebasan
dan kemurnian tradisi. Jahiliyah bangsa Arab
merupakan jahiliyah murni (artinya Jahiliyah yang
dihasilkan dari gesekan di antara mereka), bukan
jahiliyahnya kristen Romawi, juga bukan jahiliyahnya
Zoroaster Persia serta bukan pula jahiliyahnya filsafat
Yunani.
3. Kondisi sosio-kultur bangsa Arab pra-Islam
Sebagaimana telah jelas di atas bahwa daerah
Arab merupakan daerah padang pasir yang gersang
serta kontak bangsa Arab dengan bangsa lainnya.
Kemudian hal itu memperngaruhiwatak dan
kepribadian mereka. Kyai Said Agil Siradj menyatakan
bahwa karakteristik jazirah Arab yang sebagian besar
daerahnya berupa pasir. Watak alami pasir tidak bisa
disatukan dan selalu labil, selalu berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lainnya. Sifat labil ini secara
antropologis tampak pada istilah “Arab” yang berarti
bergerak, berubah, atau labil. Dengan demikian, kata
“arobah” sering pula diartikan gerobak atau sejenis
kendaraan yang selalu bergerak.

8
Senada dengan ungkapan di atas, Phillip K. Hitti
menyatakan bahwa kesinambungan kehidupan yang
monoton dan kegersangan gurun tercermin dengan baik
dalam karakteristik fisik dan mental orang-orang badui.
Secara anatomis, mereka merupakan kumpulan
jaringan syaraf, tulang dan otot. Kegersangan tanah
mereka tercermin dalam tampilan fisik mereka.
Selain itu, ungkap Kyai Said Agil Siradj, suasana
gersang di padang pasir yang teramat luas juga
membentuk karakter bangsa Arab sebagai bangsa yang
fatalis. Ketika kehabisan air, mereka tidak lantas
berusaha mencarinya, karena di mana pun sama, hanya
ada padang pasir. Satu-satunya upaya yang tersisa
adalah menghadapkan muka ke atas, kemudian berdoa,
“Ya Allah, berikan kami air, turunkanlah hujan.”
Demikian pula halnya ketika mereka kehabisan rumput.
Oleh karena itu, sama sekali mereka tidak punya upaya
untuk berfikir bagaimana menciptakan hidup yang
mapan, atau ekonomi yang berkembang pesat.
Karena kerasnya hidup di padang pasir,sehingga
mereka sangat menghargai perjanjian, memuliakan
tamu dan mereka sangat loyal terhadap suku mereka,
maka mereka akan melindungi suku masing-masing
baik yang berdzolim apalagi yang di dzolim oleh suku
lain, namun jika di antara mereka membunuh anggota
sukunya sendiri maka tidak akan ada yang
melindunginya. Juga yang menjadi salah satu fenomena
penting mengenai relasi antar suku di jazirah Arab
adalah maraknya peristiwa pembegalan atau
perampokan terhadap kafilah yang lewat.

9
Kuatnya semangat dan ikatan kesukuan
memunculkan satu jenis semangat yang dikenal dengan
sebutan ashabiyyah (semangat kesukuan). Ini
mengisyaratkan loyalitas suka rela dan tanpa syarat
kepada anggota klannya dan secara umum mirip dengan
patriotisme yang bersifat fanatik dan cauvinistik.
“Setialah kepada suku kalian!” Ungkap seorang
penyair. Tapi terkadang juga bersikap garang terhadap
suku lain. Dengan demikian, wajarlah jika bangsa Arab
terkenal gampang bermusuhan antara kabilah yang satu
dengan yang lain. Bahkan, hanya karena ada tamu yang
diganggu, perang saudara pun bisa tersulut. Seperti
perang 40 tahun yang terkenal dengan perang Fijar,
yang pada saat itu Rasulullah SAW sendiri sempat ikut.
Sejak remaja, beliau sudah terlibat dalam permusuhan
dengan suku lain dengan membantu pamannya, Abu
Thalib, membawakan anak panah. Itulah sekedar
ilustrasi sosial budaya bangsa Arab.
Kemudian masih menurut Hitti, bahwa watak
antisosial dari individualisme dan ashabiyyah ini masih
tetap menjadi ciri khas bangsa Arab hingga saat mereka
berkembang setelah kelahiran islam, dan merupakan
salah satu faktor penting yang menyebabkan
perpecahan dan kehancuran total berbagai kerajaan
islam.

10
Oleh karena itu, kiai Agil Siradj menyatakan
bahwa pada masa pra islam orang jahiliyah bangga
dengan gelar kesukuanya, namun setelah islam lahir
maka gelar kesukuan itu hilang, sebagai contoh
Sayyidina Abu Bakar tidak pernah memakai nama Abu
Bakar At-Taymitapi As-Siddiqpadahal beliau dari suku
bani Taymiyyah, Sayyidini Umar tidak pernah
memakai nama Umar Al-Adiyy tapi Al-Faruq, padahal
beliau dari suku Adiyy, kemudian Sayyidina Utsman
tidak pernah memakai nama Az-Zuhryy,juga Sayyidina
Ali tidak pernah memakai nama Al-Hasyimitapi Al-
Murtdho.
Semangat kesukuan ini mulai timbul lagi ketika
akan pengangkatan kalifah Utsman oleh enam tim
formatur. Disitu semangat kesukuan mewarnai proses
pengangkatan.
Selanjutnya dalam bidang kepercayaan, bangsa
Arab adalah orang paganis yakni penyembah berhala,
tapi jangan salah bahwa mereka asalnya mengikuti
ajaran Hanif Nabi Ibrahim, kemudian Amr bin Luhayyi
bin Qum seorang nenek moyang bani Khoza’ah,
membawa berhala ke Mekah dari negeri Syam untuk
disembah sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Hisyam
Al-Anshari dalam kitab Sirratunnabawiyyah. Untuk
lebih jelas silahkan baca kitab-kitab Tarikh dan Sirah.

11
4. Selayang pandang Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW lahir di Mekah yang
menurut sebagian sejarahwan tanggal 20 April 570 ada
yang mengatakan 571 dan bertepatan dengan tanggal
12 Rabiul Awwal (bulan Mulud), namun menurut yang
lain tanggal 9, dan masih banyak lagi perbedaan
pendapat mengenai itu.
Yang terpenting bagi kita sebagai umat Nabi
Muhammad SAW adalah mengambil Ibroh
(gambaran/pigur) dari sepak-terjang hidup beliau.
Al-Qur’an menyatakan bahwa Nabi Muhammad
adalah uswatun hasanah (pigur yang baik), maka
dalam hal apapun kita bisa mengambil contoh dari
Nabi, kita sebagai anak, sebagai orang tua, sebagai
panglima, pemimpin Negara, pemimpin agama dan
lain-lain semuanya bisa mencontoh Nabi Muhammad
SAW.
Sepek-terjang hidup beliau terekam dalam
banyak kodifikasi hadits juga dalam karya-karya siroh
(penjalanan hidup) serta tarikh (sejarah) yang ditulis
oleh ulama klasik maupun kontemporer, juga yang
ditulis oleh non muslim (orientalis). Namun disini
hanya akan diuraikan sealakadarnya untuk mengetahui
sejarah hidup Nabi.
Pada tahun 610 Masehi beliau menerima wahyu,
untuk menjadi utusannya Allah.Dari sinilah beliau
berperan sebagaiad-dai ilallah (yang mengajak kepada
jalan Allah) juga sebagai basyir (yang memberi kabar
gembira bagi orang yang berbuat baik) dan nadzir

12
(yang memberi peringatan bagi orang yang berbuat
jahat).
Dakwah beliau pertama dilakukan di Mekah
dengan menggunakan metode dakwah sirriyah (secara
sembunyisembunyi) dan islam-pun disampaikan
kepada orang yang dekat dengan beliau. Orang yang
masuk islam pada masa ini disebut sebagai assabiqunal
awwalun diantaranya Khadijah (istri beliau), Abu
Bakar, Utsman (sahabat beliau), Ali bin Abi Thalib
(keponakan beliau) serta yang lainnya, dakwah seperti
ini dilakukan selama 3 tahun, kemudian dakwah secara
terangterangan (dakwah jahriyyah) dengan
menggunakan lisan tanpa perang, metode ini
berlangsung sampai sebelum Nabi hijrah ke Madinah.
Pada masa ini penyiksaan dan pembaikotan baik secara
ekonomi maupun politik dilakukan oleh kelompok
kafir Quraisy terhadap umat islam, maka dari itu hijrah
sangat dibutuhkan, maka dipilihlah daerah Yatsrib
(Madinah sekarang) sebagai tempat hijrahnya.Ia
dinamakan Yatsrib Karena yang membuka dan
membangun kota tersebut bernama Yatsrib bin Amliq
bin Laudz bin Sam bin Nuh.
Menurut Kyai Said Agil Siradj, Nabi Muhammad
SAW bersosialisasi di Mekah dengan menawarkan
prinsip teologi la ilaha illallah, tiada Tuhan selain
Allah. Di samping secara teologis bermakna penegasan
tidak ada Tuhan yang absolut kecuali Allah.
Pernyataan keimanan ini juga memberikan dampak
sosial politik, yaitu penolakan terhadap berbagai
bentuk perbudakan, penjajahan, dan intimidasi yang

13
melanggar kebebasan dan hak asasi manusia. Soalnya,
dalam pandangan islam, manusia dibangun atas dasar
kebersamaan, kebebasan, dan persamaan derajat.
Setelah tiga belas tahun mengemban misi la
ilaha illallah di Mekah, kemudian beliau hijrah ke
Madinah, maka pola dakwah pun berubah karena
disesuaikan dengan konteks. Di Madinah
penduduknya sangat bhinekadan plural, adamuslim
pendatang (muhajirin) yang terdiri dari dua suku yakni
Bani Hasyim dan Bani Muthalib, ada muslim pribumi
(Anshar) yang terdiri dari dua suku yakni Bani Aus dan
Khajraj, ada pemeluk yahudi yang terdiri dari Bani
Quraidloh, Qoinuqo dan Bani Nadzir, serta para
penyembah berhala dan sebagian kecil Kristen di
daerah Najran,maka dari itu perlu dibuat satu
pemerintahan dan konstitusi. Negara kota (citystate)
Madinah merupakan bentuk Negaranya sedangkan
orangorangnya disebut mutamaddin dengan konstitusi
berupa mitsaqu madinah (perjanjian madinah). Dalam
perjanjian/piagam Madinah tidak ada satupun kata
yang menyebut Negara Islam. Dengan hijrahnya Nabi
Muhammad SAW ke Madinah itu sangat besar sekali
efeknya bagi orang Madinah pada khususnya dan umat
manusia pada umumnya, peperangan yang berlangsung
selama bertahun-tahun antara suku Khajraj dan
Ausbisa didamaikan oleh Nabi dengan perjanjian di
atas, sehingga mereka bahu-membahu bersama
Sahabat Muhajirin untuk membangun kota Madinah.
Dalam piagam madinah tidak ada satu
golonganpun yang disuperiorkan, tapi mereka semua

14
sama dihadapan hukum.Baik orang muslim atau
yahudi atau yang lainnya.
Sebagaimana dalam pasal satu piagam madinah
disebutkan:
Bismillahirahmaanirrahim, Hadza kitabu
Nabiyyi Muhammadin SAW, bainal mu‟minin wal
muslimin min Quraisyin wa Yatsrib, wa man tabiahum,
wajaahada ma‟ahum, innahum ummatun waahidatun
min duuni nas
(Bismillahirrahmanirrahim, ini adalah ketentuan
Nabi Muhammad SAW antara muslim pendatang dan
muslim pribumi, maupun dari kabilah lain yang
bergabung dan berjuang bersama-sama, semuanya itu
adalah satu umat yang meredeka).
Ini baru pasal satu, dalam pasal-pasal selanjutnya
itu diperinci bagaimana seharusnya hak dan kewajiban
antara berbagai suku dalam rangka memajukan Negara
Madinah.Di sini perlu kiranya untuk mengutif
kesimpulan yang dibuat oleh Al-Buthi, beliau
menyimpulkan bahwa isi dari 47 pasal
(Sebagaimana ditulis oleh Ibnu Hisyam dalam
Sirratunnabawiyyah Juz II, halaman 112-115 ) piagam
madinah itu ada 13 poin, yakni:
a. Kaum muslimin, baik yang berasal dari Quraisy,
dari Madinah, maupun dari kabilah lain yang
bergabung dengan berjuang bersama-sama mereka
semua itu adalah satu umat.
b. Semua kaum mukminin, dari kabilah mana saja,
harus membayar diyat (denda) orang yang

15
terbunuh di antara mereka sendiri dengan cara
yang baik dan adil antar sesama kaum mukminin.
c. Kaum mukminin tidak boleh membiarkan siapa
saja di antara mereka yang tidak mampu
membayar utang atau denda; mereka harus
menolongnya dalam membayar utang atau denda
tersebut.
d. Kaum mukminin yang bertakwa bertindak
bertindak terhadap orang dari keluarganya sendiri
yang berbuat kedzaliman, kejahatan, permusuhan
atau perusakan. Terhadap perbuatan semacam itu,
semua kaum mukminin akan akan mengambil
tindakan bersama sekalipun yang berbuat
kejahatan itu anak salah seorang dari mereka
sendiri.
e. Kaum mukminin tidak boleh membunuh mukmin
lainnya lantaran ia membunuh orang kafir.
Seorang mukmin tidak boleh membantu kafir
untuk melawan mukmin lainnya.
f. Jaminan Allah adalah satu, dia melindungi orang-
orang yang lemah atas orang-orang yang kuat.
Orang mukmin saling menolong sesama mereka
dalam menghadapi gangguan orang lain.
g. Setiap mukmin yang telah mengakui berlakunya
perjanjian sebagaimana termaktub di dalam
naskah, jika ia benarbenar beriman kepada Allah
SWT dan hari akhir, niscaya ia tidak akan
memberikan pertolongan dan perlindungan kepada
orang yang berbuat kejahatan. Apabila ia
menolong dan melindungi orang yang berbuat

16
kejahatan, ia terkena laknat dan murka Allah SWT
pada hari kiamat.
h. Di saat menghendaki peperangan, orang-orang
Yahudi turut memikul biaya bersama-sama kaum
Muslimin.
i. Orang-orang Yahudi dari bani Auf dipandang
sebagian dari kaum mukminin. Orang-orang
Yahudi tetap pada agama mereka dan kaum
Muslimin pun tetap pada agamanya sendiri kecuali
orang yang berbuat kedzaliman dan kejahatan
maka sesungguhnya dia telah membinasakan diri
dan keluarganya sendiri.
j. Orang-orang Yahudi harus memikul biayanya
sendiri dan kaum Muslimin pun tetap harus
memkul biayanya sendiri dalam melaksanakan
kewajiban dalam memberikan pertolongan secara
timbal balik dalam melawan pihak lain yang
memerangi salah satu pihak yang terkait dalam
perjanjian itu.
k. Jika di antara orang-orang yang terikat perjanjian
ini terjadi pertentangan atau perselisihan yang
dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan,
perkaranya dikembalikan kepada Allah SWT dan
Muhammad Rasulullah.
l. Setiap orang dijamin keselamatannya untuk
meninggalkan atau tetap tinggal di Madinah
kecuali orang yang berbuat kedzaliman dan
kejahatan.
m. Sesungguhnya Allah SWT yang akan melindungi
pihak yang berbuat kebajikan dan takwa.

17
Dari informasi di atas bisa kita tarik benang
merahnya bahwapada masa Nabi orang itu tidak
merasa bangga ketika mereka berasal dari suku besar
juga mereka tidak merasa hina ketika mereka berasal
dari suku kecil yang tidak terkenal.Bahkan mereka
malu memakai gelar serta simbol kesukuannya, mereka
dengan suka rela melepaskan baju-baju primordialnya.
Tapi yang membuat mereka bangga adalah ketika
mereka bersatu, berjuang, berjihad atas nama
pembebasan (Futuhah), atau atas nama salam
(perdamaian) dan sebagainya. Bahkan islam sangat
mengedepankan kasih sayang antara sesama manusia,
tanpa memandang ras, suku, agama, kepercayaan, dan
lain-lain, hal ini terbukti ketika Nabi Muhammad dan
umat muslimin melakukan Futuh Mekah, yakni
pembebasan kota Mekah, pada waktu itu ada di antara
Sahabat yang mengatakan al-yaum yaumul malhamah
(hari ini adalah adalah hari pembalasan dendam),
ungkapan ini terdengar oleh Nabi Muhammad SAW,
sehingga beliau mengklarifikasinya dengan
mengatakan al-yaum yaumul marhamah (hari ini
adalah hari kasih sayang). Peristiwa bersejarah ini
menunjukan bahwa islam sangat menghargai manusia
dan tidak menyia-nyiakannya.
Negara Madinah pun yang dibangun oleh
Rasulullah adalah salah-satu contoh yang menjadi
representasi suatu pemerintahan/Negara yang agung,
yang menjunjung tinggi persatuan, perdamaian,
persamaan.Nabi menyatakan bahwa musuh kita
bukanlah orang yang berbeda agama dengan kita,

18
bukan pula orang yang berbeda etnis dengan kita tapi
yang menjadi musuh kita adalah Kedzaliman dengan
siapapun pelakukanya.
Setelah dakwah di Mekah selama 13 tahun dan
di Madinah selama 10 tahun, Allah SWT memanggil
kembali kekasihnya Muhammad untuk kembali
keharibaannya dengan cara mewafatkannya, peristiwa
itu terjadi pada tahun 10 Hijriyyah yang bertepatan
dengan tahun632 Masehi.
5. Sebab-sebab perpecahan umat
Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup,
umat islam merupakan umat yang satu dan merdeka
dari dominasi manapun sebagaimana yang tertuang
dalam Piagam Madinah (Medina Charter, Mitsaqu
Madinah, Ahdu Yatsrib). Tapisetelah Nabi Muhammad
SAW wafat, konsentrasi umat terpecah menjadi tiga,
ahlul bayt sibuk mengurusi jenazah Nabi, Abu Bakar
dan Muhajirin yang lain sibuk mengumumkan kepada
umat muslim dipelosok Negeri atas kematian Nabi,
namun ketika mendengar bahwa Nabi wafat,
bangkitlah Sayyidina Umar seraya berkata “barang
siapa yang mengatakan Nabi telah wafat maka aku
penggal kepalanya” bahkan ada sebagian golongan
yang beranggapan bahwa Nabi tidak wafat tetapi akan
diangkat oleh Allah ke langit sebagaimana Nabi Isa bin
Maryam. Maka datanglah Abu Bakar untuk
menyadarkan umat islam bahwa Nabi SAW telah
meninggal dengan mengutif Al-Qur’an surat Az-
Zumar ayat 30 “innaka mayyitun, wainnahum
mayyituuna (kamu akan mati dan orang-orang sebelum

19
kamu pun mati)” seraya menambahkan man kana
ya’budu Muhammadan fainna Muhammadan qod
maata, wa man ya’budu robba Muhammadin fainnahu
hayyun laa yamuutu (barang siapa yang menyembah
Muhammad, maka Muhammad telah meninggal, tapi
barang siapa yang menyembah Tuhan Muhammad,
maka dia senantiasa hidup, tidak akan pernah mati).
Polemik umat tidak sampai disitu saja, ada
sebagian umat islam yang murtad dengan menyatakan
bahwa ketika Nabi meninggal, maka risalahnya
(ajarannya) pun sudah selesai. Tapi polemik ini masih
bisa diatasi dengan kegigihan sahabat senior untuk
meyakinkan mereka.
Masalah selanjutnya mengenai dimanakah Nabi
dimakamkan?.Orang Mekah menginginkan supaya
Nabi di makamkan di Mekah, karena Mekah adalah
tempat lahirnya, diutusnya, kiblatnya serta tempat
keluarganya, dan di Mekah pula kuburan leluhurnya
yakni Nabi Ismail AS berada. Sedangkan orang
Madinah menginginkan agar Nabi di makankan di
Madinah, karena Madinah merupakan tempat
hijrahnya serta tempat para penolongnya. Bahkan
sebagian kelompok yang menginginka Nabi
Muhammad SAW agar di makamkan di Baitul Maqdis
(Palestina), di sebelah kuburan leluhurnya, yakni
Khlilullah Ibrahim AS. Kemudian Abu Bakar melerai
perdebatan di antara mereka dengan dalil hadits Nabi
yang berbunyi “annal anbiya’a yudfanuuna haitsu
yuqbadhun (sesungguhnya para Nabi di makamkan di
tempat meninggalnya)”. Akhirnya Nabi Muhammad

20
SAW di makamkan di tempat meninggalnya, yakni di
kamar Sayyidah Aisyah yang berada di emperan
mesjid Nabawi Madinah.
Nah, sengketa yang paling berpengaruh terhadap
perpecahan umat adalah mengenai siapakah pengganti
Nabi? Ketika itu Abu Bakar dan Muhajirin sedang
mengumumkanmeninggalnya Nabi Muhammad SAW
kepada seluruh pelosok negeri islam. Di pihak lain,
Sahabat Anshar sedang berkumpul di Tsaqifah bani
Saidahuntuk memilih khalifah menggantikan Nabi
Muhammd SAW, dalam kesempatan itu sahabat
Anshor telah memilih Sa‟ad bin Ubadah (beliau
kadang dipanggil Abu Tsabit atau Abu Qoish atau Abul
Hibab bin Ubadah bin Dalim Al-Anshori..beliau
merupakan gegeden suku Khazraj, meninggaldi
daerah Khouran sebuah daerah di Syam tahun 15 H)
untuk menjadi khalifah.
Kemudian proses pengangkatan khalifah di
kalangan Anshor ini sampai ke telinga Abu Bakar,
maka berangkatlah Abu Bakar dan Umar beserta
seorang sahabat Muhajirin ke Tsaqifah bani Saidah
untuk memusyawarahkan siapakah yang berhak
menjadi khalifah. Disitu terjadilah perdebatan sengit
antara pihak Muhajirin dan Anshor tentang siapa yang
harusmenjadi Khalifah. Sahabat Anshor membuat tesis
“minna amirun waminkum amirun” ( kami punya
pemimpin dan kalian punya pemimpin) tapi tesis
tersebut dipatahkan oleh Abu Bakar dengan
argumentasi Hadits Nabi “al-imamah min Quraisyin”
(bahwa Pemimpin harus dari Quraisy). Akhirnya

21
semua sepakat bahwa Khalifah harus dari Muhajirin
(Quraisy) dan pilihan jatuh pada Abu Bakar.
Setelah itu ber-baiat-lah seluruh umat islam
kepada Abu Bakar, maka Abu Bakar mulai melakukan
pembenahan internal umat muslim. Adapun konflik
terbesar pada zaman Abu Bakar adalah memerangi
orang pembangkang membayar zakat dan orang
Murtad.Menurut Farag Fouda, kita harus memilih dan
memilah apakah kebijakan Abu Bakar memerangi
pembangkang membayar zakat itu dikarenakan mereka
benarbenar murtad dari islam atau hanya karena
mereka enggan membaya zakat kepada Abu Bakar atau
Baitul mal.Terlepas dari kontroversi di atas yang
penting hal itu merupakan Ijtihad Politiknya Abu
Bakar untuk menyelamatkan keuangan Negara.Dalam
peperangan itu banyak hufadz (para penghafal Al-
Qur’an) yang meninggal, maka Abu Bakar berinisiatif
untuk mengumpulkan naskah Al-Qur’an yang masih
bersarakan, walaupun rencana ini sempat ditentang
oleh Umar tapi akhirnya Umar pun setuju.Sepeninggal
Abu Bakar tampilahUmar sebagai Khalifah atas dasar
wasiatnya Abu Bakar sebelum beliau meninggal. Umar
meneruskan perjuangan Abu Bakar dalam rangka
pengumpulan naskah Al-Qur’an yang masih
bersarakan, pada masa ini umat islam mulai
melakukan ekspansi keluar dalam rangka pembebasan
dan pengislaman baik dengan cara dahwah maupun
perang. Jasa tergemilang Umar adalah keberhasilannya
menumbangkan imperium yang menjadi penguasa
daerah Timur yakni kekaisaran Persia dengan

22
peperangan yang terkenal dengan nama perang
Al-Qadisiyya, bahkan Kaisar terakhir Persia waktu itu
benama Yizdarzir II meninggal.
Pada masa pemerintahan Umar,tidak adakonflik
yang berarti dalam tubuh umat islam, karena para
sahabat dilarang untuk keluar Madinah sehingga
kebersamaan di antara para sahabat masih terjaga.Para
Sahabat dilarang meninggalkannya kecuali atas
persetujuannya. Ia menjelaskan dasar kebijakannya itu
dengan santun: ia ingin selalu berada di dekat mereka
dan senantiasa meminta pertimbangan mereka. Padahal
alasan sebenarnya adalah kekhawatiran Umat akan
dilihatnya para sahabat dengan penuh kedengkian oleh
orang lain dan potensi mereka utuk cemburu melihat
kekayaan orang lain. Bagaimana mungkin para sahabat
itu akan iri melihat orang orang kebanyakan? Sebab
mereka digaji Umar dengan jumlah tertentu, tetapi
terbatas. Umar menuntut mereeka untuk mencukupkan
diri dari yang sedikit itu, karena ia sendiri juga
mencukupkan diri dengan pola hidup yang sederhana,
itulah kisah yang diungkapkan oleh Farag Fouda.
Kemudian setelah Umar dibunuh oleh Abu Lu‟luah
maka beliau digantikan oleh
Utsman bin Affan, dengan pengangkatan yang
diprakarsai oleh Tim Formatus yang enam orang (Ahlul
Hal wal Aqd), pada masa inilah petaka besar umat
islam dimulai dengan pro-kontra terhadap Khalifah
karena kebijakannya yang bersifat Nepotis, sehingga
Utsman dibunuh oleh para Demonstran, setelah
Utsman terbunuh maka terjadilah kontroversi tentang

23
siapakah yang membunuh Khalifah? Juga kontroversi
tentang apakah harus diangkat Khalifah sebelum
mengusut pembunuh Utsman?Ataukah diusut terlebih
dahulu siapa pembunuh Utsman baru setelah itu
diangkat Khalifah?
Pendapat yang harus mengangkat Khalifah
terlebih dahulu dipelopori oleh Sayyidina Ali bin Abi
Tholib dengan argumentasi “bahwa pembunuhan
terhadap Utsman itu terorganisasi maka harus diusut
secara sistematis dan terorganisasi pula oleh Khalifah”.
Sedangkan pendapat yang harus mengusut terlebih
dahulu dipelopori oleh Muawiyah bin Abi Supyan
(Gubernur Syam) yang masih keluarga Utsman dari
Bani Umayah dengan Argumentasi “karena
pembunuhan terhadap Utsman bersifat Terorganisasi,
maka tidak boleh buang-buang waktu dalam
mengusutnya karena nanti musuh akan mempersiapkan
strategi lain”. Pertentangan yang berlarutlarut antara
Ali dan Muawiyah bahkan Siti Aisyah (istri rosul)
beserta sahabat lainnya terutama Jubair bin Awwam
dan Tolhah bin Ubaidillah juga menuntut Ali untuk
menindak pembunuh Utsman maka terjadilah “Perang
Jamal”, dalam perang jamal kemenangan ada di pihak
Ali. Adapun puncak dari konflik pada masa ini adalah
peperangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
bin Abu Sufyanyang dikenal dengan nama Perang
Siffin. Dalam perang ini pasukan Ali hampir menang,
tapi dengan taktik muslihat Amru bin Ash (gubernur
Mesir waktu itu dan sebagai pendukung kelompok
Muawiyyah) yang mengintruksikan seluruh pasukan

24
Muawiyyah untuk mengangkat mushaf Al-Qur’an
yang ditusuk dengan tombak mereka, perlakuan ini
sebagai tanda bahwa kelompok Muawiyyah
menginginkan berhenti berperang. Melihat keadaan
pasukan Muawiyyah yang ingin berdamai, maka
pasukan Ali berbeda pendapat, ada yang berpendapat
“kita harus meneruskan peperangan karena selangkah
lagi kita memenagkan peperangan”, namun di pihak
lain pengikut Ali ada yang mengatakan “kita harus
terima tawaran damai mereka, karena bagaimana pun,
berdamai lebih baik dari pada peperangan”. Pada
akhirnyapertentangan pada kelompok Sayyidina Ali di
atas bisa diatasi, bahwa mereka sepakat berdamai
dengan kelompok Muawiyyahmaka dari itu terjadilah
proses tahkim (Arbitrase/gencatan senjata).
Efek dari Tahkim adalah umat terpecah menjadi
tiga golongan yaitu satu Jumhur (yang mengakui hasil
Tahkim dan mengakui Muawiyah sebagai Khalifah),
dua syiah (yaitu pengikut setia Ali bin Abu Thalib) dan
ketiga Khawarij (orang yang keluar dari kelompok Ali
kemudian mengkufurkan kelompok Ali dan
Muawiyah). Dengan adanya tiga kelompok ini maka
pemerintahan Muawiyah menjadi tidak stabil karena
kekuasaannya dirongrong oleh kaum Khawarij dan
kaum syiah maka dalam rangka stabilisasi keadaan
Muawiyah melontarkan tesis tentang Qodar yang
berbunyi Lau lam yaroni rabbi anni ahlun li hadza
amri ma tarokani wa iyyah, wa lau karihallah ma
nahnu fihi laghayyarah (“seandainya Tuhanku tidak
melihat diriku mampu untuk memegang tampuk

25
pemerintahan ini, tentu ia tidak akan membiarkanku
memegang tampuk kekuasaan ini. Seandainya ia tidak
menyukainya, tentu ia akan mengubahnya”), dengan
pernyataan politik diatas pergolakan sedikit demi
sedikit bisa diredam. Kata Kyai Said dengan
pernyataan di atas mungkin Muawiyah berfikiran
seperti ini: kalau Allah tidak ridha kepadaku, tidak
mungkin aku akan menjadi khalifah. Kalau Allah benci
kepadaku sebagai khalifah, niscaya Allah akan
menggantiku dengan orang lain. Nyatanya saya
berkuasa dan Ali kalah. Ini semua sudah merupakan
ridha Allah. Dengan kata lain, karena hingga sekarang
ini Muawiyyah masih berkuasa, berarti Tuhan masih
merestui dan meridhai dirinya untuk tetap berkuasa!
Tentu saja, doktrin seperti ini sangat efektif untuk
meredam suasana tegang di kalangan umat islam.
Mereka yakin bahwa semuanya sudah menjadi takdir
dan ketentuan Allah SWT.
kemudian paham ini dikembangkan pertama kali
oleh Al-Ja’d ibnu Dirham dan dipopulerka oleh Jahm
bin Sofwan dari khurasan dengan nama Jabariyah.
Selanjutnya, faham jabariyyah di atas di counter
oleh Muhammad bin Ali Al-Hanafiyah (beliau adalah
putra sayidina Ali dari istri kedua yaitu Haulah binti
Ja’far al-Hanafiyah) sebagai anti tesisnya,dengan
pernyataan terkenalnya la qodowala qodar af’alul ibad
minal ibad (tidak ada Qodo dan tidak ada Qodar
perbuatan manusia dari manusia), kemudian faham ini
diteruskan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailam
adDimasyqi dengan pernyataanya la qodo wala qodar

26
af’alul ibad minal ibad wal amru unuf (tidak ada Qodo
dan tidak ada Qodar perbuatan manusia dari manusia
bahkan Allah tidak tahu manusia akan berbuat apa,
Allah baru tahu setelah dilakukan oleh manusia ) lalu
Ma’bad dan Ghailam ini dikenal sebagai pendiri
Qodariyah, pernyataan Ma’bad dan Ghailam diatas di
modernisir oleh Washil bin Atho (pendiri Muktazilah)
dengan pernyataannya la qodowala qodar af’alul ibad
minal ibad bal wawlohu ya’lam (tidak ada Qodo dan
tidak ada Qodar perbuatan manusia dari manusia tapi
Allah tahu).
Kaum Khawarij sebagaimana diatas mereka
mengkufurkan Ali dan Muawiyah beserta orang yang
melakukan dosa besar, kata mereka orang yang
melakukan dosa besar akan masuk neraka karena
mereka melakukan tahkim, dan tahkim ini
menghukumi sesuatu dengan hukum manusia.
Kemudian faham Khowarij ini dibantah oleh suatu
gologan yang menamakan diri Murjiah. Kemudian
dalam masing-masing golongan (sekte/aliran) di atas
terjadi pertentangan dan silang pendapat di internal
mereka hingga akhirnya mereka mengkafirkan satu
sama lainnya, maka jadilah kurang-lebih 72 golongan.
Setelah kita mengetahui aliran dalam islam maka
pertanyaan sekarang dimana Ahlusunnah wal
Jama’ah berada?
Di tengah situasi kacau-balau dan situasi politik
yang tidak menentu, ketika orang sulit menemukan
kebenaran, ternyata ada beberapa orang dari generasi
Tabiin (generasi penerus sahabat) yang bisa berfikir

27
jernih dan tidak berpihak menyikapi situasi politik saat
itu. Kelompok ini dipelopori oleh Imam Hasan Bashri
(w. 110 H), Abu Sufyan Ats-Tsauri, Fudlail ibn Iyadl,
serta Abu Hanifah. Mereka menyikapi situasi saat itu
dengan memilih tindakan yang menyejukan, yakni
dengan memancangkan suatu doktrin bahwa satu-
satunya cara untuk bisa tetap berada di jalan yang lurus
adalah dengan ruju‟ ilal Qur‟an (kembali kepada Al-
Qur’an). Mereka memilih jarak dari segenap krisis
politik saat itu.
Komunitas Hasan Bashri inilah yang sebenarnya
merupakan fondasi awal faham Ahlussunah Wal
Jama’ah. Baru kemudian pemikirannya diteruskan
oleh Abdullah ibn Kullab (w. 255 H), Harits ibn Asad
Al-Muhasibi (w. 243 H) dan Abu Bakar Al-Qolanisi,
yang pada abad berikutnya dilanjutkan oleh Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Ma’turidi. Dari kajian
sejarah di atas bisa disimpulkan bahwa
Islam ASWAJA adalah islam yang mengikuti
ajaran Nabi dan Sahabatnya (ma ana alaihi waashabii).
Maka dari itukemunculan ASWAJA sebagai sebuah
ajaran (doktrin) berbarengan dengan munculnya islam
itu sendiri yang diajarkan oleh Nabi dan dipraktekan
oleh Sahabat kemudian di ikuti oleh Tabiin dan
dilanjutkan oleh Tabiit-tabiin, tapi pada waktu itu
belum terdengar nama atau istilah Ahlusunnah wal
Jamaah secara eksplisit,karena seandainya sudah ada
istilah Ahlussunah Wal Jama’ah secara eksplisit
niscaya Abu Hanifah (yang mengarang kitab alfiqhul

28
Akbar yang berisi tauhid Ahlusunah waljamaah) dan
Syakh Hasan Bashri memakainya.
Selanjutnya ASWAJA sebagai sebuah nama dan
madzhab itu dipopulerkan oleh Abu Hasan Al-
Asy’ari (260-330 H) pada zaman Al-Mutawakil
Alawloh (khalifah Abasiyah ke-10) yang diposisikan
sebagai anti tesis dari dominasi Rasionalisme
Muktazilah, karena pada zaman Dinasti Abasiyah
khusunya masa pemerintahan Harun, al-Ma’mun,
mu‟tasim sampai watsik, muktazilah menjadi
madzhab Negara dan mereka memaksakan
pemikirannya kepada khalayah yang puncaknya
ditandai dengan tragedy mihnah , tapi pada zaman
al-Mutawakil keadaan berbalik dan Aswaja yang
mendapat sokongan dari pemerintah, oleh karena
ituAliran yang paling berkembang didunia adalah
Ahlusunnah Wal Jamaah (dengan berbagai versinya).
Pada mulanya Abu Hasan Al-Asy’ari adalah
seorang kader Muktazilah selama 40 tahun, karena
bapak tiri beliau yang bernama Abu Hasyim Al-Juba’I
seorang aktivis Muktazilah, kemudian beliau pindah
dari Muktazilah ke Ahlusunnah dengan pertimbangan
bahwa Muktazilah telah keluar dari koridor mengikuti
Nabi dan Sahabatnya.
Maka jika kita renungkan sejarah ASWAJA,
ternyata karakter yang dimiliki oleh tokoh-tokoh
ASWAJA adalah tawassuth (moderat) dan tasamuh
(toleran).Sebagai contoh, pemikiran Al-Asy’ari
memoderasi aliran-aliran yang berkembang di
jamannnya sebagaimana penjelasa di atas, namun

29
beliau selalu toleran, hal itu terbukti terbukti dengan
statement beliau laa ukaffiru ahlal qiblat (aku tidak
mengkafirkan orang masih bertauhid), pandangan ini
berbeda dengan aliran lain yang gampang
mengkafirkan orang/golongan yang berbeda dengan
mereka (terutama khawarij). Atau kita bisa melihat
ungkapan Asy-Syafi’i yang terkenal kullu ro’yi
sowabun wayahtamilul khoto’ wakullu ro’yi goiri
khoto’ wayahtamilus sowab (setiap pemikiranku benar
tapi terkadang salah dan setiap pemikiran orang
selainku adalah salah tapi terkadang benar), dari
pernyataan ini bisa kita simpulkan bahwa Asy-Syafi’i
yakin akan kebenaran pemikirannya tetapi tidak
menutup ada kebenaran selain yang diyakininya.
Selanjutnya Abu Hamid bin Muhammad
bin Muhammad bin Muhammad Al-Gozali pada Abad
ke 4-5 H/ (450-505 H), beliau seorang pengikut Asy’ari
tulen, yang ditangan beliaulah ASWAJA mengalami
kemapanan. AlGozali selalu mengarahkan setiap
karyanya untuk memoderasi empat aliran ekstrimis
dizamannya;
a. Mutakallimin, adalah orang-orang yang
menganggap dirinya sebagai ahli berfikir, mereka
adalah orang muktazilah
b. Filosof, adalah orang-orang yang menganggap
dirinya sebagai ahli berdebat dan berdalil
c. Batiniyyah, adalah orang-orang yang mengklaim
dirinya sebagai ahli ta‟lim yang menjadi titisan
para imam ma‟sum (terpelihara dari dosa), mereka
adalah orang syiah.

30
d. Sufi, adalah orang yang menganggap dirinya ahli
musyahadah dan mukasyafah.
Pertama-tama Al-Ghozali menekuni ilmu kalam,
dari hasil kajian beliau terhadap ilmu kalam sehingga
beliau menyimpulkan bahwa faidah mempelajari ilmu
kalam adalah untuk menjaga aqidah ahlusunnah dari
aqidahnya ahli bid’ah. Dan di antara kritik Al-Qhozali
kepada para ahli kalam di jamannya adalah para ahli
kalam terlalu disibukan dengan mempelajari istilah-
istilah substansi (jauhar), eksistensi (wujud), aksidensi
(sifat), sehingga tidak sampai kepada tujuan ilmu
kalam itu sendiri yakni bertauhid kepada Allah SWT.
Pada mulanya Al-Ghazali adala ahli fiqih
madzhab Syafi’I, bahkan beliau menjadi mujtahid
ashabul wujuh bersama Imam Al-Haromain, setelah itu
Al-Ghozali mempelajari kalam, kemudian beliau
mempelajari filsafat selama dua tahun sehingga beliau
memahami filsafat, pemahaman beliau tentang filsafat
tertuang dalam karyanya Maqosidul falasifah, namun
Al-Ghozali tidak hanya mempelajari filsafat tapi juga
mengkritik filsafat, sebagaimana yang tertuang dalam
karyanya yang lain Tahafutul falasifah, dalam kitab
tersebut beliau mengkritisi para filosof dengan
mengatakan ada 20 kesalahan filosof serta 3 hal yang
menyebabkan para filosof keluar dari frame
Ahlusunnah wal Jama’ah yakni tentang kekalnya alam,
Allah tidak tahu Juz’iyyat (partikular jagat raya) dan
manusia hanya dibangkitkan ruhnya saja.
Ketika jaman Al-Ghozali hidup, bukan hanya
aliran kalam dan filsafat saja yang berkembang tapi

31
juga syiah dan mereka menamakan diri sereka sebagai
Ta’limiyyin, mereka berpendapat bahwa mereka bisa
memiliki pengetahuan tentang segala hal tanpa perlu
kasab, tapi pengetahuan mereka dihasilkan dari para
imam yang ma’sum (terjaga dari salah).
Terakhir Al-Ghozali menyelami tasawuf, beliau
sangat mengapresiasi ilmu tasawuf, bahkan tasawuf ini
merupakan pelabuhan terakhir Al-Ghozali dalam
pencarian kebenarannya. Namun kritik dan komentar
Al-Ghozali tetap dilancarkan terhadap ajaran tasawuf
yang menyimpang dari Ahlussunah Wal Jama’ah
sepertiajaran Hulul, Ittihad, Wihdatil Wujud dan lain-
lain.
Dari pemaparan di atas membuktikan ternyata,
NU/PMII yang menyatakan bahwa karakter berfikir
dan bertindak orang-orang ASWAJA adalah 4 T
(tawasuth, tasamuh, ta’addul, tawazun) bukan klaim
belaka, tapi hasil perenungan dari sejarah dan sepak-
terjang para pendahulunya.

32
B. REKONTRUKSI SEJARAH ASWAJA NUSANTARA
1. Teori tentang masuknya islam ke Nusantara
Kali ini penulis akan memaparkan sedikit tentang
proses masuknya islam ke Nusantara yang dirangkum
dari bukunya Prof. Dr. Azyumardi Azra, “Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII”, buku ini merupakan intisari dari
Disertasi beliau ketika menempuh S3 di Colombia
University Amerika Serikat (1992) dengan judul
“The Transmission of islamic Reformism to Indonesia:
Nerwork of Middle Eastern and Malay Indonesia,
Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”
(Camberra; Allen Unwin & AAAS; Honolulu;
University of Hawaii Press; Leiden; KITLV; 2004).
Menurut Azra bahwa proses masuknya islam ke
Nusantara menyisakan berbagai perdebatan panjang di
antara para ahli. Perdebatan tersebut berkisar mengenai
tiga masalah pokok: tempat asal kedatangan islam, para
pembawanya dan waktu kedatangannya.
Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda,
memegang teori, bahwa asal-muasal Islam di Nusantara
adalah dari Anak Benua India, bukannya Persia atau
Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini
adalah Pijnapel. Dia mengaitkan asal-muasal islam di
Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar.
Menurut dia, adalah orang-orang Arab bermadzhab
Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di Indiatersebut
yang kemudian membawa islam ke Nusantara.
Teori ini kemudian dikembangkan Snouck
Hurgronje dengan argumentasi, begitu islam berpijak

33
kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India
dan selanjutnya menjadi penyebar islam pertama ke
Nusantara. Baru kemudian disusul orang-orang Arab.
Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya,
mengemukakan bahwa tempat asal islam di Nusantara
adalah Gujarat. Ia mendasarkan kesimpulan ini setelah
mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan
Sumatra Utara, khususnya yang bertanggal 17 Dzul
Hijjah 831 H / 24 September 1428 M.
Ada sarjana Nusantara yang memegang teori ini,
di antaranya Dr. R.M. Soejipto Wirjosoeparto, beliau
mengatakan bahwa bukti islam ini datang dari daerah
Gujarat adalah salah satu makam Raja islam di Samudra
Pasai (di Aceh Utara), yang dibuat dari marmer. Ketika
marmer ini retak, didalamnya kelihatan bahwa marmer
ini pernah dipergunakan sebagai tembok kuil Hindu
yang ada di Gujarat. dengan bukti ini, sehingga beliau
berkesimpulan bahwa Raja Samudra Pasai ini memesan
makamnya dari Gujarat berupa marmer atau mungkin
setelah Raja Samudra Pasai itu meninggal, kemudian
familinya memesankan untuk makamnya itu marmer
dari Gujarat.
Kesimpulan-kesimpulan Moquette di atas
kemudian ditentang keras oleh Fatimi. Fatimi
berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan ini justru mirip
dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu,
seluruh batu nisan itu pastilah didatangkan dari dari
daerah ini. Ini menjadi alasan utamanya untuk
menyimpulkan, bahwa asal islam yang datang ke
Nusantara adalah wilayah Bengal. Dalam kaitannya

34
dengan teori “batu nisan” ini, Fatimi mengkritik para
ahli yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti
Fatimah (bertahun 475 H / 1082 M) yang ditemukan di
Lehan, Jawa Timur.
Namun teori Fatimi juga bermasalah,
dikarenakan kaum muslimin Nusantara memegang
madzhab Syafi’i sedangkan di Bengal menganut
madzhan Hanafi.
Ada pendapat yang menarik untuk diungkapkan
di sini, pendapat ini diungkapkan oleh Prof. Dr. P. A.
Hoesien Djajadiningrat, beliau berpendapat bahwa
pertama kali masuknya islam ke Indonesia itu adalah
dari Iran (Persia), sebagai buktinya ialah ejaan Arab.
Baris di atas, di bawah dan baris di depan disebut jabar
(zabar); dan pees (pjes), ini adalah bahasa Iran.
Sedangkan kalau menurut bahasa Arab ejaannya ialah;
fathah, kasroh dan dhommah. Begitu juga huruf sin
yang tidak bergerigi. Ini salah satu bukti terang. Seperti
diketahui bulan Muharram itu adalah bulan wafatnya
Husain di Karbala. Pada perayaan itu diadakan upacara
mengarak peti mati yang disebut tabut. Perayaan peti
mati itu ada di Aceh dan di Minangkabau. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan
Tabut, yang mana istilah tabut adalah bahasa Persia
yang berarti peti mati, sedangkan di Aceh bulan itu
disebut bulan Apui (bulan api). Di Aceh bulan itu
disebut juga bulan Asan Usen (Hasan-Husain).
Pendapat tersebut diperkuat oleh Oemar Amin
Hoesin. Beliau melihat di Persa itu ada satu suku
namanya “Leren” suku inilah yang mungkin dahulu

35
datang ke tanah Jawa, sebab di Giri ada sebuah
kampung Leren namanya. Begitu pula ada suatu suku
namanya suku Jawi di Persia. Suku ini yang
mengajarkan huruf Arab yang terkenal di Jawa dengan
huruf pegon.
Selanjutnya ada teori yang mengatakan bahwa
penyebaran islam di Nusantara itu dilakukan langsung
oleh orang Timur Tengah (Arab) tepatnya Hadhramaut
(suatu kota di Yaman), diantara tokoh-tokoh yang
memegang teori ini, di antaranya Crawfurd. Namun
Naquib Al-Attas lah yang paling lantang mendukung
teori bahwa masuknya islam ke Nusantara itu dari Arab
dengan beberapa argumenatasi. Al-Attas memandang
bahwa bukti paling penting yang perlu dikaji ketika
membahas kedatangan islam ke Nusantara adalah
karakteristik internal islam di dunia Melayu-Indonesia
itu sendiri. Ia mengajukan apa yang disebutnya “teori
umum tentang islamisasi Nusantara”, yang harus
didasarkan terutama pada sejarah literatur islam
Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan-dunia
Melayu seperti terlihat dalam perubahan konsep-
konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur
MelayuIndonesia pada abad ke 10-11/16-17.
Demikianlah, setelah mempertimbangkan
perubahan-perubahan utama dalam pandangan dunia
rakyat di Nusantara yang disebabkan kedatangan islam,
Al-Attas menyimpukan, sebelum abad ke-17 seluruh
literatur keagamaan islam yang relevan tidak mencatat
satu pengarang muslim India, atau karya yang berasal
dari India. Pengarang-pengarang yang dipandang

36
kebanyakan berasal dari Arab atau Persia, dan bahkan
apa yang disebut sebagai berasal dari Persia pada
akhirnya berasal dari Arab, baik secara etnis maupun
kultur. Nama-nama dan gelar-gelar para pembawa
pertama islam ke Nusantara menunjukan bahwa mereka
adalah orang-orang Arab atau Arab-Persia.
Tokoh ilmuan Nusantara yang gigih menyatakan
bahwa islam dibawa lagsung dari Arab adalah Haji
Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal
dengan Buya Hamka beliau menyatakan bahwa islam
masuk ke Indonesia bukanlah dari Persia atapun Guarat,
melainkan dari Mesir dan Mekah. Adapun alasan-
alasan Hamka ialah:
a. Ibnu Batutah dalam buku perjalanannya telah
menyaksikan bahwa Raja Samudra Pasai (yang
terkenal dengan Jawa di tanah Arab) itu
bermadzhab Syafi’i. madzhabSyafi’i yang terbesar
waktu itu ialah di Mesir. Dan Raja itu selalu
mengikuti musyawarah ulama Syafi’i yang ada
dalam kerajaannya.
b. Gelar yang dipakai oleh Raja-raja Samudra Pasai
ialah gelar raja-raja Mesir belaka, ialah al-Malik.
Semua gelar ini dipakai oleh raja-raja Pasai.
Tiruan gelar demikian ini tidak terdapat di Iran,
ataupu di India. Gelar “Syah” baru dipakai raja-
raja Malaka pada permulaan abad ke XV. Artinya
pengaruh Persia-India datang kemudian dari
pengaruh Arab, yaitu Mesir dan Mekah.

37
c. Ibnu Batutah menerangkan juga, bahwa madzhab
yang menduduki tingkat pertama di negeri Mekah
ialah madzhab Syafi’i juga.
d. Tidak dipungkiri bahwa orang Indonesia sudah
ada yang berlayar ketika itu menuju pantai
Koromandel atau orang Koromandel melawat ke
Aceh atau Indonesia, tetapi dalam hal agama
orang Indonesia langsung mengambilnya dari
Mekah dan Mesir. Karena kalau pengaruh Indialah
yang besar, niscaya madzhab Hanafiah yang
kelihatan lebih berpengaruh di sini, padahal
sampai sekarang tidak ada pengaruhnya, juga tidak
ada pengaruh madzhab Syi’ah yang mengalir dari
India atau Iran meskipun ada tetapi sedikit sekali.
e. Sebelum Ibnu Batutah melawat ke Kerajaan
Samudra Pasai sudah ada seorang ulama Indonesia
yang besar yang mengajarkan ilmu Tasawuf di
Aden, Arab, namanya Syekh Abu Mas’ud
Abdullah bin Mas’ud al-Jawi. Ini menjadi bukti
hubungan mencari ilmu pengetahuan islam
langsung dari tanah Arab, bukan Malabar atau
India maupun Persia (Iran).
f. Orang mengemukakkan alasan, bahwa pengaruh
India dapat dibuktikan pada batu-batu nisan
kuburan-kuburan tua di Gresik dan Pasai. Jika
orang islam di Indonesia membeli batu nisan di
Gujarat karena bagus bikinannya, bukanlah berarti
karena mereka mempelajari islam di sana.
g. Orang mengemukakan, bahwa mistik (tasawuf)
India dan Persia sangat besar pengaruhnya di

38
Indonesia, oleh karena itu islam di sini lain dari
pada yang di tanah Arab. Menurut Hamka, jika
dipelajari riwayat perkembangan tasawuf
seluruhnya tidak bisa dikatakan, bahwa islam
Indonesia saja yang lain coraknya dari pada islam
di termpat lain, melaikan corak berfikir seluruh
dunia islam pada waktu itu, baik di Asia Tenggara
atau tanah Arab, Syam, Baghdad, Mesir, India,
Persia dan Indonesia semuanya adalah corak
tasawuf yang sebagian besar telah terlepas atau
menyeleweng dari ajaran Nabi Muhammad. Oleh
karena itu, tidak tepat dikaranekan jika islam
Indonesia jadi lain dari aslinya karena pengaruh
India dan Persia.
Inilah pernyataan panjang Hamka, namun jika
kita baca dengan seksama, ukuran masuknyaislamke
Indonesia dalam pandangan Hamka adalah lahirnya
kerajaan-kerajaan islam di Indonesia.
Padahal jika kita baca pernyataan K.H.
Siradjuddin Abbas dalam bukunya Sejarah dan
keagungan Madzhab Syafi’I, menyatakan bahwa
masuknya islam ke Indonesia itu sejak awal islam.
Siradjuddin Abbas melanjutkan bahwa yang harus
diketahui pertama adalah jauh-jauh hari sebelum islam
lahir, orang-orang Persia dan India sudah banyak
berada di Indonesia, khususnya di daerah-daerah pantai
route perjalanan dagang antara Persia dan India dengan
Tiongkok (Cina).
Route itu adalah Persia-Gujarat Malabar (pantai
India sebelah Barat), Ceylon-Koromandel (pantai India

39
sebelah Timur), Samudera Pasai (Aceh Utara) Perlak
(Sumatera Timur), Malaka (Semenanjung Malaya)
Kamboja (Indo Cina) dan Kanton (Tiongkok).
Mereka orang-orang Persia itu tinggal di
pelabuhanpelabuhan menyambut persinggahan orang-
orangnya yang datang berniaga (berdagang) melalui
daerah itu menuju Tiongkok.
Masih menurut Abbas, kalau kita lihat peta bumi
dewasa ini ternyatalah bahwa daerah-daerah yang kita
sebutkan itu adalah daerah-daerah pantai yang mesti
dilalui kapal-kapal layar menuju Tiongkok.
Ketika Nabi Muhammad masih hidup, daerah
Cina sudah maju dan terkenal sampai ke daerah Arab,
sehingga Nabi pernah mengatakan uthlub al-ilma wa
lau bi sin (carilah ilmu walaupun sampai kenegeri
Cina/Tiongkok).
Pada tahun 17 Hijriyah, kaum muslimin di bawah
pimpinan Khalifah Nabi yang ke dua yakni Sayyidina
Umar bin Khatab menguasai Persia, sesudah
mengadakan pertempuran di Qadisiyyah dan Madain.
Orang-orang Persia sesudah itu berbondong-bondong
masuk islam. Hal ini berpengaruh terhadap orang-orang
Persia yang tinggal di pantai Pasai dan Perlak, sehingga
mereka menyesuaikan diri mereka dengan situasi yang
terjadi di negeri mereka dan berbondong-bondong pula
masuk islam.
Mengenai siapa awal pembawa islam ke
Nusantara, kalau kita melihat historiografi lokal
ternyata islam dibawa ke Nusantara kebanyakan oleh
para penguasa dengan maksud ingin menyebarkan

40
islam, hal ini bisa kita baca dalam Hikayat Raja-Raja
Pasai (ditulis setelah 1350), seorang Syaikh Ismail
datang dengan kapal dari Mekah via Malabar ke Pasai
di sini ia membuat Merah Silau, penguasa setempat,
masuk islam.
Hingga akhirnya Merah Silau memakai gelar
Malikussolih yang wafat pada 698/1297. Seabad
kemudian, sekitar 817/1414, menurut Sejarah Melayu
(ditulis setelah 1500), penguasa Malaka juga
diislamkan oleh Sayyid Abdul Aziz seorang Arab dari
Jeddah. Begitu masuk islam penguasa itu,
Parameswara, mengambil nama dan gelar Sultan
Muhammad Syah. Historiografi Melayu lainnya,
Hikayat Merong Mahawangsa (ditulis setelah 1630),
juga dalam historiografi dari Aceh memberikan
informasi bahwa nenek moyang sultan Aceh adalah
seorang Arab bermana Syaikh Jamalul ‘Ala, yang
dikirim sultan Utsmani untuk mengislamkan penduduk
Aceh. Sebuah riwayat Aceh lainnya mengatakan,
bahwa islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh
seorang Arab bernama Syaikh Abdullah Arif sekitar
506/1111.
Dari uraian di atas bisa kita simpulkan pertama,
teori yang paling kuat Islam dibawa langsung dari
Arabia; kedua, islam dibawa oleh para profesional yang
khusus menyebarkan islam; ketiga, yang mla-mula
masuk islam adalah penguasa; keempat, kebanyakan
para penyebar islam masuk ke Nusantara pada abad ke-
12 dan ke-13. Mempertimbangkan tema yang terakhir
itu, seperti dibahas di depan, mungkin benar bahwa

41
islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara
pada abadabad pertama Hijriyyah, sebagaimana
dipegang oleh Arnold dan dipegang oleh sarjana
Indonesia-Malaysia diantaranya adalah KH.
Siradjuddin Abbas, tetapi hanyalah setelah abad ke-12
pengaruh islam kelihatan lebih nyata. Karena itu, proses
islamisasi tampaknya mengalami akselerasi antara abad
ke-12 dan ke-16. Itulah pernyataan Azra dalam
bukunya.
Selanjutnya, mengenai penyebaran islam di
daerah Jawa menurut Azra mayoritas sarjana
bersepakat bahwa penyebar pertama islam di Jawa
adalah Maulana Malik Ibrahim, ia dilaporkan
mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir utara Jawa,
dan bahkan beberapa kali mencoba membujuk raja
Hindu-Budha Majapahit, Vikramavarddhana (berkuasa
783/1386-1429) agar masuk islam. Tetapi kelihatannya,
hanya setelah kedatangan Raden Rahmat, putra seorang
da’i Arab di Campa, islam memperoleh momentum di
istana Majapahit. Ia digambarkan mempunyai peran
menetukan pemimpin Wali Songo dengan gelar Sunan
Ampel. Adalah di Ampel ia mendirikan sebuah pusat
keilmuan islam. Pada saat keruntuhan Majapahit,
terdapat seorang Arab lain, Syaikh Nuruddin Ibrahim
bin Maulana Izrail yang kemudian dikenal dengan
julukan Sunan Gunung Djati, namun dalam informasi
yang lain yang lebih masyhur nama asli dari Sunan
Gunung Jati adalah Syaikh Syarif Hidayatullah yang
menurut sebagian sejarawan beliau adalah keturunan
Arab, lalu leluhurnya mendirikan kerajaan Aceh

42
selanjutnya beliau menjadi menantu dari Sultan
Trenggono penguasa kesultanan Demak. Ia belakangan
menampakan diri di kesultanan Cirebon. Seorang
sayyid terkenal laindi Jawa adalah Maulana Ishaq yang
dikirim Sultan Pasai untuk mencoba mengajak
penduduk Blambangan, Jawa Timur, masuk islam.
2. Penyebaran awal Ahlussunah wal Jama’ah di
Indonesia
Sebelum mengurai sejarah awal ASWAJA perlu
kiranya kita menampilkan analisis Gusdur dalam
bukunya Menggerakan Tradisi; esai-esai Pesantren
yang diterbitkan oleh LKiS. Gusdur menyatakan bahwa
tradisi keilmuan di Pesantren khususnya dan Indonesia
pada umumnya itu bersumber pada dua gelombang.
Satu, gelombang ketika islam masuk ke Indonesia
dengan nuansa fikih-sufistik, masa ini sebelum abad ke
18/19. Kedua, gelombang setelah abad ke 18/19, maka
terjadi perubahan secara berangsur-angsur. Akibat
dibukanya perkebunan-perkebunan tebu, kopi,
tembakau yang luas di beberapa daerah. Pada masa ini
terjadilah pengiriman anak-anak muda dari kawasan
Nusantara untuk belajar di Timur Tengah dan akhirnya
mereka menghasilkan korp ulama yang tangguh yang
mendalami ilmu-ilmu agama di Semenanjung Arabia,
terutama di Mekah. Lahirlah ulama-ulama besar seperti
Kyai Nawawi Banten, Kyai Mahfudz Termas, Kyai
Abdul Ghani Bima, Kyai Arsyad Banjar, Kyai Abdus
Shomad Palembang, Kyai Kholil Bangkalan, Kyai
Hasyim Asy’ari, dan deretan ulama lain yang tidak
terputus-putus sampai hari ini. Gusdur menambahkan,

43
mereka ini membawakan orientasi baru pada
manifestasi keilmuan di lingkungan pesantren yaitu
orientasi pendalaman ilmu fikih secara tuntas.
Perdebatan mengenai hukum agama dilakukan dengan
serius, tidak hanya melakukan kajian terhadap kitab
fikih yang besar-besar, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab
yang tuntas, ilmu-ilmu tafsir, ilmu-ilmu hadits, dan
tidak lupa juga tentunya ilmu-ilmu akhlaq.
Selanjutnya marilah kita simak sejarah awal
ASWAJA abad ke-17. Diawali dari masuknya islam ke
Indonesia yang di bawa oleh para da’i Timur Tengah
sekitar abad ke-12, kemudian dakwah islamiyyah
diteruskan oleh ulama-ulama bumi putra. Mereka
mempelajari islam dari para da’i Timur Tengah yang
datang ke Indonesia dan sekitar abad ke-17 mereka
langsung mempelajari islam di pusat islam yakni
haramayn (Mekah, Madinah). Menurut Azra, di antara
ulama Indonesia yang belajar di Haramayn pada masa
ini adalah Nuruddin ar-Raniri (w. 1068 H / 1658 M),
Abdul Rauf As-Sinkili (1024-1105 H / 1615-1693 M)
dan Muhammad Yusuf Al-Maqossari (1037-1111 H /
1627-1699 M). Mereka membangun jaringan ulama
Indonesia-Timur Tengah, sehingga banyak guru-guru
dan murid-murid mereka berasal dari berbagai pelosok
dunia, bahkan dari Afrika. Ajaran yang paling inti dari
mereka adalah kembali kepada ortodoksi Sunni
terutama menyangkut keselarasan antara syariat dan
tasawwuf.
Kemudian pada abad ke-18 islam Indonesia
disegarkan kembali oleh Al-Falimbani beserta ulama

44
Palembang lainnya. Nama lengkap Al-Falimbani
adalah Abdussomad Al-Falimbani lahir tahun 1116 H /
1704 M dan menurut Al-Baythar AlFalimbani
meninggal tahun 1200 H / 1789 M, namun menurut
menurut Azra bahwa kemungkinan Al-Falimbani
meninggal itu sekitar tahun 1203 H / 1789 M. Selain Al-
Falimbani juga ada Muhammad Arsyad bin Abdullah
Al-Banjari (1122-1227 H / 1710-1812 M), seorang
ulama yang paling terkenal dari Kalimantan.
Muhammad Arsyad mengambil langkah penting untuk
menguatkan islamisasi di wilayahnya dengan jalan
memperbaharui administrasi keadilan di kesultanan
Banjar.
Selanjutnya pada abad ke-19, islam Ahlussunah
Wal Jama’ah Indonesia menemui momentumnya. Di
antara ulama yang menjadi pengawal Islam Ahlussunah
Wal Jama’ah pada masa ini adalah Syaikh Ahmad
Khatib Sambas (1803-1875 M), seorang ulama
terkemuka yang lahir di Sambas, Kalimantan Barat,
sejak masa mudanya sudah menunjukan semangat
menggebu-gebu untuk mendalami ilmu-ilmu
keislaman, sehingga beliau berketetapan hati untuk
bermukim lebih lama di Makkah al-Mukarromah.
Pasalnya iklim politik di Nusantara waktu itu tidak
kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Syaikh Ahmad Khatib Sambas muncul sebagai tokoh
sufi dan perintis kombinasi autentik dua tarekat besar,
“Qodiriyah wa Naqsabandiyyah”. Tarekat Qodariyyah
digagas oleh Syaikh Muhyiddin Abu Muhammad
Abdul Qodir bin Abi Shaleh Zangi Dost Al-Jailani

45
(w. 1166 M) yang mengacu pada tradisi madzhab Iraqi
yang dibangun oleh Imam Al-Junaidi. Sementara
Tarekat Naqsabandiyyah dibangun oleh Syaikh
Muhammad bin Bahauddin Al-Uwaisyi Al-Bukhori
An-Naqsabandi (w. 1389 M) yang didasarkan pada
tradisi Khurasani yang dipelopori oleh Al-Bushtomi.
Kedua jenis tarekat inilah yang dengan brilian diramu
dan diracik oleh Syaikh Khatib Sambas dalam satu
kesatuan yang bulat seperti dikenal di kalangan umat
islam sekarang ini. Kitabnya Fathul Arifin, menunjukan
integritas keilmuan Syaikh Ahmad Khatib Sambas di
lingkungan masyarakat islam. Tarekat Khatib Sambas
diamalkan oleh masyarakat islam di belahan dunia,
terutama di negara-negara yang bermadzhab Syafi’i dan
bertasawuf ala Al-Bustami dan Al-Junaidi.
Pelanjut tradisi ASWAJA kemudian adalah
ulama besar Syaikh Nawawi Banten (1813-1897 M).
Dilahirkan di daerah Tanara, Banten. An-Nawawi
menetap di Mekah untuk selamanya, pada tahun 1855
ia menjadi seorang Jawi yang terkenal, bahkan menurut
Kyai Said beliau mencapai derajat “Mujtahid
Madzhab”. Ia belajar kepada guru-guru di Haramain, di
antara guru-gurnya adalah Syaikh Ahmad An-Nahrowi,
Syaikh Sayyid Ahmad Al-Dimyati, Syaikh Sayyid
Ahmad Dahlan dan Syaikh Muhammad Khatib
Al-Hanbali. Beliau telah menulis sejumlah kitab
keagamaan yang hingga kini masih digunakan di
lingkungan pesantren di Nusantara dan negeri islam
lainnya. Syaikh Nawawi merupakan wujud dari geliat
dan pergumulan islam lokal yang lahir di tengah

46
keterbatasan Nusantara. Karya beliau lebih dari seratus
judul dalam berbagai bidang baik berupa matan
maupun syarah atau pun hasyiah. Ada banyak murid
beliau di berbagai penjuru dunia terutama yang dari
Indonesia.
Penerus ASWAJA berikutnya adalah Syaikh
Mahfudz Termas (w. 1919 M). Ahli hadits ini
merupakan penerus tradisi pemikiran Syaikh Ahmad
Khatib Sambas dan Syaikh Nawawi Banten. Kitab
Manhaju dzawi nadzri, sebuah kitab metodologi
autentisitas hadits (ulumul hadits) yang hingga kini
diajarkan di Universitas Al-Azhar, Mesir. Buku ini
merupakan komentar atas karya Imam Abdurrahman
As-Suyuthi (w. 911 H) Mandzumat ilmil Atsar. Selain
Mahfudz Termas, ulama tersohor lainnya yang
meneruskan tradisi ASWAJA adalah Kyai Kholil
Bangkalan (1819-1925 M). Beliau adalah ahli
gramatika Arab dan guru dari K. H. Hasyim Asy’ari.
Meskipun dari sisi pemikiran tidak cukup dikenal, Kyai
Kholil Bangkalan berhasil mencapai puncak
popularitas dan karisma sehingga menjadi rujukan
ulama Jawa pada masanya. Ulama periode berikutnya
adalah Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan orang Jampes
(1901-1952 M), ulama asal Kediri ini yang intens
mendalami tasawuf. Dia mengarang kitab
Sirajut Thalibin, sebuah komentar cukup luas atas kitab
Minhajul Abidin karya Al-Ghozali, walaupun kitab ini
adalah syarah dari karya Al-Ghozali tapi Kyai Ihsan
tidak kehilangan kehilangan karakteristik individunya
sebagai seorang ulama. Kitab ini menjadi penting di

47
beberapa negara yang berpenduduk Muslim, tidak
terkecuali di komunitas Al-Azhar Mesir dan beberapa
negara di Afrika Barat.
3. Ahlussunah wal Jama’ah (ASWAJA) abad ke-20
dan 21
Dalam pembacaan Hadlrotussyaikh Hasyim
Asy’ari terhadap realitas keagamaan di Jawa waktu itu,
bahwa umat islam di daerah Jawa sejak zaman dulu
telah sepakat dan menyatu dalam pandangan
keagamaan. Di bidang fikih mereka berpegang kepada
madzhab Imam Syafi’i, di bidang ushuluddin
berpegang kepada madzhab Abul Hasan Al-Asy’ari dan
di bidang tasawwuf berpegang kepada madzhab Abu
Hamid Al-Ghozali dan Abul Hasan Asy-Syadili.
Kemudian pada tahun 1330 H timbul berbagai pendapat
yang saling bertentangan, isu yang bertebaran dan
pertikaian di kalangan para pemimpin. Di antara
mereka ada yang berafiliasi pada kelompok Salafiyyin
yang memegang teguh tradisi para tokoh terdahulu.
Mereka bermadzhab kepada satu madzhab tertentu dan
berpegang teguh kepada kitab-kitab mu’tabar, dan di
antara mereka juga ada yang berafiliasi kepada ahli
bid’ah. Di antara ahli bid’ah yang muncul pada tahun
1330 H adalah;
a. Pengikut Muhammad Rasyid Ridha dan
Muhammad Abduh, beliau adalah para pembaharu
Mesir yang terpengaruh oleh pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi dan
Ibnu Taimiyyah serta dua murid Ibnu Taimiyyah
yakni Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.

48
b. Kelompok Ibahiyyun, yakni golongan yang
memperkenankan untuk melakukan apa saja yang
disukai, mereka berkata: “Sesungguhnya seorang
hamba, ketika ia telah sampai kepada puncak rasa
cintanya, dan hatinya telah suci dan terbersihkan
dari sifat lupa, dan dia telah memilih iman dari
pada kufur dan kekufuran, maka gugur dan
terbebaskanlah ia dari tuntutan perintah dan
larangan.
c. Aliran Syiah, mereka adalah golongan yang
mencela bahkan mengkafirkan para Sahabat Nabi,
sehingga faham seperti itu harus dijauhi oleh
segenap umat muslim, khususnya di Jawa.
d. Aliran Tanasukhil Arwah, kelompok ini mengaku
sebagai titisan ruh-ruh yang selalu berpindah-
pindah selama-lamanya dari satu jasad seseorang
ke jasad seseorang yang lain baik sejenis maupun
berlainan jenis.
e. Hulul dan ittihad, menurut Syaikh Hasyim Asy’ari
mereka adalah orang yang menjalankan
tasawufnya dengan kebodohan, mereka
berkeyakinan bahwa Allah SWT adalah wujud
yang mutlak. Dan manusia tidak berwujud sama
sekali. Hampir sepaham dengan konsep di atas
ialah faham Wihdatul Wujud.
f. Serta golongan-golongan yang lain yang beredar
waktu itu di Tanah Jawa.
Dari uraian di atas bisa kita ketahui bahwa karya
Syaikh Hasyim Asy’ari yang 19 kitab (sebagaimana di
edit oleh cucu beliau yakni Gus Ishom/K.H.

49
Ishomuddin Hadiq) itu merupakan jawaban serta respon
dari golongan-golongan yang dianggap menyimpang
dari ajaran islam Ahlussunah wal Jama’ah di
zamannya. Namun Syaikh Hasyim Asy’ari dalam
mempertahankan ajaran Ahlussunah Wal Jama’ah tidak
hanya secara kultural saja seperti membangun
pesantren dan membuat karya tulis, tetapi perjuangan
beliau juga lewat jalan struktur, yakni dengan
mendirikan suatu komunitas ulama yang belakangan
disebut dengan nama Nahdlotul Ulama (NU), hal ini
terbukti ketika NU didirikan oleh Syaikh Hasyim
Asy’ari bersama ulama lainnya pada 16 Rajab 1344 H,
bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M
merupakan respon dari penguasa Hijaz waktu itu yang
mengadakan Muktamar
Khilafah, yang di antara tujuan Muktamar itu
adalah penguasa baru Hijaz (yakni Ibnu Saud yang
merebut daerah Hijaz dari Syarif Husain) berambisi
untuk menggantikan kedudukan daulan Utsmaniyyah
sebagai pusat kekuasaan islam dengan Saudi Arabia dan
penguasa Saudi sebagai khalifahnya. Tapi ulama NU
waktu itu melihat lebih jauh, ternyata tujuan Muktamar
Khilafah bukan hanya untuk pengangkatan Khalifah
saja, tapi ada proyek terselubung di dalamnya yaitu
agenda Wahabisme Internasional yang intinya supaya
menghentikan bermadzhab, zarah kubur, tahlil dan
lain-lain. Dan Alhamdulillah usaha ulama kampung itu
(maksudnya utusan komite Hijaz yang diwakili oleh
K.H. Wahab Hasbullah, Syaikh Ghanaim,
K.H.M. Dahlan) berhasil mengagalkan proyek

50
internasional yang diselenggarakan oleh penguasa
Saudi. Sekarang kita bisa menikmati berbagai literatur
perintis madzhab juga kita bisa leluasa membaca
solawat dengan keras,
baca barjanjian tiap malam jum’at, itu semua
berkat jasa para pendahulu kita yang dengan gigih
berdebat diforum Internasional. Andaikan proyek
Muktamar Khilafah sukses niscaya umat islam
Indonesia bahkan umat islam dunia akan dipaksa untuk
memegang satu ajaran, yakni ajarannya wahabi.
Selanjutnya di abad dua satu atau abad ke lima
belasini kita menghadapi tantangan yang lebih besar
dan lebih berat dari sebelumnya. Kalau abad ke-2/3
Hijriyah ASWAJA menghadapi kelompok-kelompok
seperti Muktazilah, Jabariyah, Qodariyah, Jahamiyyah,
dan lain-lain, atau Abad ke 4/5 Hijriyyah AlGhozali
menghadapi Falasifah, Mutasowwufah, Bathiniyyah
dan Ta’limiyyah, kemudian Syaikh Hasyim Asy’ari
pada abad ke 13/14 menghadapi Wahabi, Ibahiyyun,
Hulul, Ittihad dan Wahdatul Wujud, namun yang harus
dihadapi oleh ASWAJA sekarang adalah masalah yang
lebih berat dan lebih besar, karena scope (medan)
garapannya pun adalah dunia. Maka dari itu, saat ini
ASWAJA diarahkan untuk bagaimana menyikapi
liberalisme politik dan kapitalisme ekonomi dari
kelompok Barat serta bagaimana menghadapi
sosialisme dan komunisme Timur, ditambah lagi
menyikapi kelompok islam garis keras yang makin
marak di dunia pada umunnya dan di Indonesia pada
khususnya, selain itu juga dakwah wahabisme

51
internasional semakin gencar dan gerakan-gerakan
syi’isme. Belum lagi masalah kemiskinan, globalisasi,
dekadensi, krisis ekologis, modernisme dan lain-
lain.Yang mana semua itu harus segera dicarikan
solusinya dengan tepat.
Di sinilah perlunya kita mengembangkan
ASWAJA secara paradigmatic dan metodologis, agar
ASWAJA jangan hanya kumpulan prodak sejarah
belaka, tapi juga ASWAJA saat ini mampu
menciptakan sejarahnya sendiri yang rahmatan lil
‘alamin.
C. DEFINISI ASWAJA
Pertama-tama kita perlu mengetahui definisi
Ahlussunah Wal Jama’ah secara bahasa (etimologis), di
mana kalimat tersebut teerdiri dari tiga suku kata:
1. Ahlu, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW, maksudnya, semua yang datang dari
Nabi baik berupa perkataan, perbuatan dan pengakuan
Nabi.
3. Al-Jama’ah, yakni apa yang telah disepakati oleh para
sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaurrasyidun
(Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Kata Al-Jama’ah
ini di ambil dari sabda Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh At-Tiridzi, Al-Hakim yang disetujui
kesahihannya oleh Adz-Dzahabi. (man Aroda
buhbuhatal jannati falyalzam al-Jama’ah) Barang
siapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai
di surga, maka hendaklah ia mengikuti Al-Jama’ah
(kelompok yang menjaga kebersamaan).

52
Definisi di atas diambil dari pernyataan Syaikh
Abdul Qodir Al-Jailani (471-561 H/1077-1166 M)
menjelaskan definisi Ahlussunah Wal Jama’ah dalam
kitabnya Al-Gunyah lithalibi thariqil haq Juz 1 hlm 80.
(Fasunnatu ma sannahu Rasulullah SAW, Wal
Jama‟atu ma ttafaqo alaihi Ashaburasulillah SAW fi
khilafatil aimmatil arba’ah al-khulafa’i ar-rosyidiina
almuhtadiina).
Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh
Rasulllah SAW, sedangkan Al-Jama‟ah adalah segala
sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat
Nabi pada masa khulafaurrasyidun.
Kemudian Hadlrotusyaikh Hasyim Asy’ari
(1287-1336 H/1871-1947 M) memberikan definisi
yang lebih operasional dalam kitabnya Risalah
Ahlussunah Wal Jama’ah, dan beliau mengutif dari
kitab Ziyadatu Ta’liqot:
Adapun Ahlussunah Wal Jama’ah adalah
kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih.
Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh
dengan Sunnah Nabi SAW dan sunnah
Khulafaurrasyidin sesudahnya. Mereka adalah
kelompok yang selamat (al-firqoh annajiyah). Mereka
mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini
terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu madzhab
Hanafi, Syafi’I, Maliki dan Hanbali.
Untuk lebih gamblang mengenai definisi
ASWAJA kami akan menampilkan definisi umum dan
khusus yang tertuang dalam kitab Dr. Sayyid

53
Muhammad Aqil Al-Mahdali Ahlussunah Wal Jama’ah
Madkhal wa Dirasah.
Beliau berujar setelah mengkaji beberapa
referensi yang ada mengenai makna istilah Ahlussunah
Wal Jama’ah, maka jelaslah bahwa definisi ahlusunnah
waljamaah terbagi dua. (1) Definisi Umum, (2) Definisi
Khusus.
Definisi umum (general/global) Ahlussunah wal
Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti jejak
langkah Rasulullah SAW dan Sahabatnya RA, dalam
ke-Islaman, keImanan, ke-Ihsanan, atau dengan kata
lain dalam Aqidah, Syariah dan Hakikat (Tasawuf dan
Akhlaq).
Definisi umum di atas berdasarkan sebuah hadits
(sabda) Nabi SAW yang mulia: dari Abdullah Ibn Umar
beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Akan terjadi kepada umatku sebagaimana yang
terjadi kepada Bani Israil bagaikan sepasang sepatu
(maksudnya saking samanya) sampai-sampai di Bani
Israil ada yang menggauli Ibunya secara
terangterangan dan umatkupun nanti akan ada yang
berbuat demikian.
Bahwa Bani Israil berpecah menjadi 72 sekte
(millah) dan umatku akan berpecah menjadi 73 sekte
(millah), semuanya masuk neraka kecuali satu sekte
saja. Ibn Umar bertanya “Siapa itu Wahai Rasulullah?”
Kemudian Rasul menjawab “Orang-orang yang
mengikuti ku dan sahabatku”. HR. Al-Turmudzi.

54
Pernyataan Rasulullah Ma ana alahi wa ashabi
(orang-orang yang mengikutiku dan sahabatku)
mengandung pengertian Aqidah, Syariah dan Hakikat,
yang mana ketiganya ini maksud dari kata al-din dalam
sebuah hadits syarif:
Umar Ibn Khatab Berkata, “ketika kami duduk-
duduk bersama Rasulullah SAW, suatu ketika datang
kepada kami seorang lelaki dengan pakaian sangat
putih dan rambutnya hitam sekali, tidak terlihat bekas
perjalanan, tidak ada seorangpun dari kami yang
mengenalnya sehingga dia duduk dengan Rasulullah,
kemudian menyandarkan lututnya kepada lutut Rasul
lalu menyimpan kedua tangannya di atas paha Rasul,
kemudian dia berkata “Wahai Muhammad apa itu
Islam?”, Rasul menjawab “Islam adalah bersaksi tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah,
mengerjakan solaht, membayar zakat puasa di bulan
Ramadhan, dan naik haji baigi orang yang mampu di
perjalanannya”, lalu dia berujar “kamu benar”, Umar
berkata “aku kaget dia yang bertanya dia juga yang
membenarkanya”, lalu dia berkata lagi “apa itu
iman?” dan Rasul menjawab “beriman kepada Allah,
Malaikatnya, Kitabnya, Rasulnya, hari Akhir dan
ketentuanya (al-qodr) yang baik maupun yang buruk”
dia berujar lagi “kamu benar” kemudian dia bertanya
lagi “apa itu ihsan?” Rasul menjawab “beribadah
kepada Allah seolah-olah kau melihatnya, apabila kau
tidak bisa melihatnya maka Allah selalu melihatmu”
dia bertanya lagi “apa itu Qiyamat?” Rasul menjawab
“yang bertanya lebih tahu dari pada yang ditanya?”

55
lalu dia berujar “sebautkan ciri-cirinya” lalu Rasul
menjawab “Hamba sahayamelahirkan tuannya, dan
kau melihat orang tak beralas kaki, pakaiannya
compangcamping, miskin dan penggembala kambing,
mereka berlomba-lomba meninggikan bangunan”.
Kemudian orang tersebut beranjak pergi sedangkan
aku diam cukup lama, kemudian Nabi berkata
kepadaku “wahai Umar, tahukan kamu siapa dia?” aku
menjawab “Allah dan Rasulnya lebih mengetahui”
Nabi SAW bersabda “Dia adalah Jibril, datang
kepada-mu untuk mengajarkan tentang agama-mu”.
Prof. Rohil Said Hawa (semoga Allah
mengampuninya) berkata bahwa maksud kata Al-
Jama‟ah dalam istilah syara‟ adalah sesuatu yang
dibawa oleh Rasulullah SAW dan Sahabatnya, maka
dari sinilah diketemukan suatu istilah (maksudnya
istilah Ahlusunnah wal Jamaah). Maka menurut Al-
Mahdali, pernyataan ini menguatkan pendapatku
tentang definisi umum di atas.
Definisi umum di atas juga berdasar kepada
sebuah hadits Rasulullah SAW, dalam sabdanya:
Auf Ibn Malik berkata, Rasul SAW Bersabda
“Telah berpecah-belah umat Yahudi menjadi 71
golongan, satu golongan masuk surga sedangkan 70
golongan masuk neraka, kemudian umta Nasroni
terpecah-belah menjadi 72 golongan 71 masuk neraka
sedangkan yang satu golongan masuk surga. Dan demi
dzat yang nasf Muhammad berada dalam
genggamannya yakin akan terpecah belah umatku
menjadi 73 golongan, satu golongan masuk surga dan

56
72 lagi masuk neraka, dikatakan “siapa mereka wahai
Rasulullah?” Rasul menjawab Al-Jama’ah.
Banyak Ulama yang besungguh-sungguh
menjelaskan dan menulis kitab tentang Ahlussunah Wal
Jama’ah diantaranya, (Pemikir besar islam dalam
bidang ushul) yang sangat mumpuni dalam bidang ini
dia adalah Abdul Qohir Ibn Tohir Ibn Muhammad Al-
Bagdadi Al-Isfiraini Al-Tamimi yang meninggal tahun
429 H, telah mensfesifikan sebuah kajian tentang
Ahlusunnah waljamaah dalam kitabnya yang terkenal
“Al-Farqu baina al-Firoq” kitab ini merupakan kitab
referensi yang paling otoritatif dalam kajian Al-Firaq
Al-Islamiyyah (sekte-sekte dalam islam).
Al-Bagdadi (semoga Allah merahmatinya) dalam
Al-Faqu bainal Firaq berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan Ahlussunah Wal Jama’ah adalah
mereka yang berpegang terhadap apa-apa yang dibawa
oleh Rasulullah SAW dan semua Sahabatnya RA baik
dalam Aqidah, Syariah dan Akhlaq Tasawwuf.
Sebagaimana ungkapannya;
Hari ini aku tidak menemukan dari golongan
umat islam orang-orang yang sesuai dengan Sahabat
RA selain Ahlussunah Wal Jama’ah, baik dari kalangan
Fuqohanya, ahli kalamnya yang murni, yang berlainan
dengan ajaranRafidloh, Qodariyah, Khowarij,
Jahmiyyah, Nijariyyah, Musyabihah, Al-Gullah dan
Hululiyyah.
Kemudian dalam kitab tersebut Al-Bagdadi
menjelaskan kelompok-kelompok orang yang termasuk
Ulama Ahlussunah wal Jama’ah baik dari kalangan

57
Ulama Aqidah, dan Imamimam Ahli Fiqih, serta Ulama
Hadits, tafsir dan ahli zuhud sufiyyah, juga Ulama ahli
bahasa (ahli lugot) serta orangorang yang mengikuti
aqidah ahlusunnah wal jamaah.
Adapun definisi khusus (spesifik) Ahlussunah
wal Jama’ah: adalah orang-orang yang berkeyakinan
sebagaimana keyakinannya Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi serta para
penerusnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Jalal
Muhammad Abdul Hamid Musa bahwa istilah
Ahlussunah Wal Jama’ah merupakan istilah yang ada
dalam ilmu kalam, yang memiliki makna khusus yakni
Para pengikut Al-Asy’ari (Asya’iroh). Oleh karena itu
aku menemukan sebagian pendapat peneliti dalam
bidang Sekte-sekte dalam Islam (al-firaq
al-islamiyyah) yang menyatakan bahwa istilah
Ahlussunah wal Jama’ah sepadan dengan istilah
Al-Asya’iroh. Berdasarkan pemikiran khusus di atas
maka jelaslah dalam sejarah Ahlussunah wal Jama’ah
di atas pada awalnya diperuntukan bagi kelompok
orang yang mengikuti Al-Asy’ari. Pendapat di atas di
inspirasi oleh pernyataan Sayyid Murtadho Al-Zabidi
dalam kitab Ittihafu sadatin muttaqin Juz 2, halaman 6
yang berbunyi Idza Utliqo Ahlussunah Wal Jama’ah
falmurodu bihi al-Asyairoh wal ma’turidiyyah (Jika
disebut Ahlusunnha wal Jama’ah yang yang dimaksud
adalah para pengikur Asy’ari dan Ma’turidi).
Definisi khusus ini pada hakikatnya tidak lain
merupakan bagian dari definisi umum Ahlisunnah wal
Jama’ah, karena Al-Asya’iroh (pengikut Al-Asy’ari)

58
atau Ahlussunah Wal Jama’ah (dalam arti khusus)
menjalankan ajaran-ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah SAW dan Sahabatnya RA dalam Aqidah.
Adapun penamaan Al-Asya’iroh dengan nama
Ahlussunah Wal Jama’ah merupakan menamai
sebagian dengan nama keseluruhan (min bab tasmiyyat
al-juz bi al-ismi al-kull) (hal ini merupakan kajian ilmu
bayan tentang majaz mursal), begitu juga penamaan
Ahli Hadits dengan nama Ahlussunah Wal Jama’ah.
Ada sebagian orang yang
mempersempitcakupan Ahlussunah Wal Jama’ah
hanya kepada Ahli Hadits saja, alasannya karena
mereka (ahli hadits) merupakan orang yang paling
mengetahui perkataan-perkataan dan perbuatan-
perbuatan Rasulullah SAW, dan mereka juga orang
yang paling mumpuni dalam membedakan hadits yang
sohih dengan yang hadits tidak sohih, serta para imam
mereka sangat faham terhadap hadits Rasul, juga sangat
faham terhadap maknamaknanya. Selain itu mereka
juga mengikuti serta membenarkan, mengamalkan dan
mencintai hadits Rasulullah, mereka akan selalu loyal
kepada pemegang hadits dan memusuhi pengingkarnya.
Orang yang berpendapat seperti di atas
(Ahlussunah Wal Jama’ah hanya ahli hadits saja),
berusaha untuk mempersempit sesuatu yang
sebenarnya luas (memperkecil sesuatu sebenarnya
besar.), sebab istilah Ahlussunah Wal Jama’ah meliputi
Ulama-ulama islam baik dalam aqidah, syariah maupun
hakikat serta Ulama tafsir, dintaranya Imam Al-Razi,
Imam AlTobari, Al-Alusi, Al-Qurtubi dan lain-lain.

59
Dari penjelasan ini, jelaslah bahwa metode paling
baik dalam memahami makna istilah Ahlussunah Wal
Jama’ah adalah metodenya Al-Bagdadi dalam kitabnya
Al-Farq baina Al-Firaq. Al-Bagdadi telah memasukan
delapan golongan manusia dalam deretan Ahl Sunnah
wa Al-Jama‟ah, mereka adalah ulama aqidah, ahli fiqih,
ahli hadits, ahli tafsir, ahli tasawuf, ulama ahli bahasa,
sastrawan (budayawan), dan tentara-tentara yang
berada di perbatasan wilayah muslimin untuk
menghadapi orang kafir serta penduduk negeri yang
disana terdapat syiar Ahlussunah Wal Jama’ah.
Terakhir penulis ingin mengajak pembaca
sekalian untuk mendiskusikan beberapa hadits tentang
perpecahan umat dengan redaksi yang berbeda-beda,
perbedaan redaksi ini akan berimplikasi kepada
perbedaan pemaknaan apalagi jika sudah bercampur
aduk dengan kepentingan. Banyak sekali hadits Nabi
yang menyebutkan umat ini akan berpecah menjadi 73
golongan namun yang selamat hanya satu, tetapi ketika
Nabi ditanya siapa yang satu itu, maka banyak sekali
redaksi hadits yang berbeda-beda, seperti hadits di
bawah ini.
Kesimpulan
Ahlussunah Wal Jama’ah adalah setiap orang yang berpegang
terhadap ajaran yang dibawa oleh Rasul SAW serta sahabatnya
RA, baik dalam Aqidah, Syariah serta Tasawwuf, kemudian
mereka diklasifikasikan menjadi dua kelompok, (1) Kelompok
Ulama, (2). Kelompok Awam.
Kelompok ulama Ahlussunah Wal Jama’ah adalah ulama-ulama
yang telah disebutkan oleh Al-Bagdadi, sedangkan kelompok

60
awam adalah mereka yang beri‟tiqad sebagaimana i’tiqadnya
Ahlusunnah wal Jama‟ah dan beribadah sebagaimana
ibadahnya Ahlussunah Wal Jama’ah serta berakhlaq
sebagaimana akhlaqnya Ahlussunah Wal Jama’ah, dan
bertasawwuf sebagaimana tasawufnya Ahlussunah Wal
Jama’ah.
D. AJARAN ASWAJA
1. ASWAJA sebagai Madzhab
Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam
kitabnya Risalah Ahlussunah Wal Jama’ah menyatakan
bahwa ASWAJA adalah attoriqotul mardiyah al
maslukah salakaha rosulullah saw waman tabiahu
(aliran yang diridoi yang dijalankan oleh rosul dan
pengikutnya), kemudian dalam Qonun Asasi NU, beliau
menyatakan bahwa Aswaja dalam beraqidah mengikuri
Al-Asy’ari dan Al-Ma’turidi, dalam ber-fiqih mengikuti
madzahibul arba’ah yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali, dalam ber-tasawuf mengikuti Junaedi
Al-Bagdadi dan Al-Gozali. Pernyataan mbah Hasim
diatas sejalan dengan pernyataan ulama-ulama
Mutaakhirin (yakni ulama yang hidup sesudah tahun
lima ratus Hijriyyah).
Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa pilihan
jatuh kepada madzhab-madzhab di atas, dalam arti apa
alasan ulama Aswaja menetapkan pilihan pada rentetan
ulama di atas (tauhid, fiqih, tasawuf). dalam tulisan ini
penulis akan mencoba menyajikan alasan-alasan yang
dibuat oleh para ulama Aswaja mengenai pilihan mereka
tentang bermadzhab.

61
Pilihan Aswaja dalam menentukan siapa yang
menjadi rujukan dalam bertauhid, dan ternyata pilihan
jatuh kepada Imam Abu Hasan Ali Al-Asy’ari dan Abu
Mansur AlMa‟turidi, kenapa harus mereka berdua?
Karena dalam sejarahnya treck recort mereka sesuai
dengan nilai-nilai Ahlussunah Wal Jama’ah. Adapun
yang menjadi rujukan ulama Nusantara khususnya NU
dalam memilih Al-Asy’ari dan Al-Maturidi itu karena
tercantum dalam kitab Ittihafu Saadatil Muttaqin
Bisyarhi Asrori Ihya’ Ulumuddin yang dikarang oleh
Sayyid Muhammad Murtadha Al-Zabidi, dalam kitab itu
disebutkan idza utliqo Ahlussunah Wal Jama’ah
falmurodu alasyairoh wal maturidiyyah (jika disebutkan
Ahlussunah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah
pengikut Asy’ari dan Maturidi).
Selanjutnya mengenai pilihan berfiqih kepada
madzhab yang empat (madzahibul arba’ah), padahal
dalam sejarah pernah lahir sekitar 11 ulama pembangun
madzhab fiqih menurut Habib Alawi bin Ahmad
As-Segaf pengarang kitab Fawaidul Makiyyah,
sedangkan menurut Mun‟im Sirri dalam bukunya
Sejarah Fiqih islam; Sebuah pengantar itu ada 12 ulama
mujtahid mutlaq dalam bidang fiqih.
Habib Alawi bin Ahmad As-Segaf menerangkan
bahwa yang menjadi alasan kita harus berpegang kepada
madzhab yang empat itu karena madzhab-madzhab
selain yang empat tidak terjaga dari penyelewengan-
penyelewengan, berbeda dengan madzhab yang empat.
Selanjutnya Habib Alawi memberikan contoh mengenai
madzhab Zaidiyyah yang dibangun oleh Imam Zaid bin

62
Ali, beliau adalah seorang Imam yang hebat dan ilmunya
dapat dipercaya namun para pengikutnya tidak
mengerahkan kemampuan untuk menjaga madzhab itu
sehingga hadzhab Zaidiyyah terindikasi penyimpangan-
penyimpangan. Selain itu juga banyak pendapat para
pembangun madzhab tidak terbukukan oleh
muridmuridnya dan alasan yang lain karena tidak ada
pengikut.
Namun K.H. Hamdun Ahmad memiliki
pandangan lain tentang ini, beliau berpendapat bahwa
yang menyebabkan hanyya empat saja yang diakui itu
karena yang empat dipakai oleh pemerintah, sebagai
contoh madzhab Maliki dipakai oleh penguasa Hijaz,
madzhab Hanafi dipakai oleh dinasti Abaasiyyah pada
masa Harun Rasyid, bahkan dua murid Abu Hnifah
yakni Abu Yusuf dan Muhammad As-Syaibani menjadi
Qodhil Qudhat (Hakim Agung) pada masa Harun
Rasyid, madzhab Hanbali juga dipakai oleh penguasa
dinasti Bani Abassiyah pada waktu khalifah Al-
Mutawakkil Allawloh berkuasa, sedangkan madzhab
Syafi’i dipakai oleh penguasa mesir pasca Syiah yakni
dinasti Ayubiyyah dengan sultannya Solahuddin Al-
Ayubi.Jadi, taqlid kepada yang empat itu dimulai oleh
pemerintah.
Kemudian dalam bertasawuf, Ahlussunah Wal
Jama’ah merujuk kepada dua ulama besar, yakni Abu
Al-Qosim Junaid Al-Bagdadi dan Abu Hamid bin
Mumammad bin Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali.

63
Al-Bagdadi meninggal pada tahun 297 H/910 M
di Iraq. Menurut Imam AlQusyairi dalam kitabnya
Risalatul Qusyairiyyah beliau adalah pemimpin serta
imamnya ahli tasawwuf, maka pantaslah Imam Ibrahim
Al-Laqoni dalam Jauhar Tauhid menyebut beliau
sebagai kadza Abul Qosim Hudatul ummah, dalam
berfiqih beliau mengikuti madzhabnya Abu Tsur
temannya Imam Syafi’i. Al-Junaidi Al-Bagdadi ini
sejaman dengan Harits AlMuhasibi dan Muhammad bin
Ali Al-Qosob. Yang kedua adalah Imam Ghozali,
kenapa memilih Al-Ghazali? Saya rasa jawabannya
sudah maklum karena beliau adalah Hujjatul Islamdan
karya-karya beliau juga banyak dibaca dan dipelajari di
dunia islam khususnya Indonesia, mulai dari yang paling
tipis sampai yang tebal-tebal yang berjilid-jilid.Maka
menurut penulis suatu pilihan tepat para leluhur kita
menjadikan AlBagdadi dan Al-Ghazali sebagai rujukan
dalam bertasawuf.
Adapun menurut Mutaqodimin rumusannya agak
berbeda bisa dilihat dalam alfarqu bainal firoq yang
dikarang oleh Abdul Qohir bin Tohir al-Bagdadi beliau
hidup di paruh abad ke empat
Bisa kita saksikan bahwa Al-Bagdadi dalam
alfarqu bainal firoq menjelaskan ada 15 hal yang
disepakati oleh ASWAJA dan sesatlah orang yang
menyalahinya.
a. Dalam masalah Ushuludin menetapkan substansi
ilmu ada yang khusus dan ada yang umum.
b. Mengetahui pencipta alam dan sifat-sifat dzatnya.
c. Mengetahui kebaruan alam.

64
d. Mengetahui sifat azaliayah.
e. Mengetahui asma dan sifat Allah
f. Mengetahui adilnya Allah serta Hukumahnya.
g. Mengetahui Rosul-Rosul dan Nabi-Nabinya.
h. Mengetahui Mukjizat Nabi dan Karomah Wali.
i. Mengetahui hal yang disepakati dalam syariat islam.
j. Menetahui Hukum amar,nahyi dan taklif.
k. Mengetahui kepanaan selain Allah dan
pertanggungjawaban manusia di hari akhir.
l. Khilafah, imamah dan syarat pemerintahannya.
m. mengetahui hukum-hukum islam secara global.
n. mengetahui hukum-hukum wali dan stratifikasi
imamimam yang disucikan Allah.
o. mengetahui hukum-hukum memerang orang kufur
dan ahli ahwa.
Selanjutnya kalau yang lima belas ini kita
kelompokan, maka akan terbagi menjadi empat
kelompok.
a. Tentang Uluhiyyah (ketuhanan)
Tujuan kita belajar tentang tauhid uluhiyyah
(tauhid ketuhanan) agar kita meyakini Allah SWT
tidak ada pesaing serta segala hal bergantung
kepada Allah SWT.
b. Tentang Nubuwwah (kenabian)
Adapun yang menjadi tujuan mengapa kita
harus meyakini tauhid nubuwwah adalah agar kita
sebagai Ahlussunah Wal Jama’ah punya keyakinan
bahwa para Nabi dan Rasul adalah manusia yang
terpilih yang diperintahkan untuk menyampaikan
perintah Allah SWT kepada kaumnya, namun yang

65
penting harus diyakini adalah Nabi Muhammad
SAW merupakan Nabi terakhir dan tidak ada lagi
Nabi setelahnya.
c. Tentang Sam’iyyah
Sam’iyyah adalah sesuatu yang didengar
dalam AlQur‟an, seperti hari akhir, surga, neraka dll
yang harus diyakini secara iman total tanpa harus
merasionalisasikannya.
d. Tentang Ma’lumun minaddini biddoruroh
Ma’lumun minaddini biddoruroh adalah
aturan agama yang telah jelas seperti wajibnya solat,
puasa, haramnya zina, khomr, dan lain-lain.
Maka barang siapa yang membangkang
(mengingkari) terhadap 4 hal di atas, dia telah dihukumi
keluar dari islam dan pastinya telah keluar dari
Ahlussunah Wal Jama’ah.
Walhasil, dari pemaparan di atas bisa kita tarik
benang merahnya yakni secara garis besar ajaran
Ahlussunah Wal Jama’ah itu ada dua. Pertama bersifat
ushul, kedua. Bersifat furu’. Ajaran yang bersifat ushul
adalah ajaran mengenai uluhiyyat, nubuwwat, sam‟iyyat
dan ma‟lumun minaddini bidhoruroh, sedangkan yang
furu’ adalah ajaran yang dikembangkan dan di ijtihadi
dalam bidang Aqidah oleh AlAsy’ari dan Al-Ma’turidi
serta para pengikutnya, dalam bidang Fiqh oleh
madzahib al-Arba’ah serta para pengikutnya, dan dalam
bidang Tasawwuf oleh Abul Qosim Junaid Al-Bagdadi
dan Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad Al-Gazali serta orang-orang yang satu
gerbong pemikiran dengan mereka.

66
2. Golongan Ahlusunnah Wal Jama’ah
Dalam kesempatan ini, perlu kiranya kita
mengetahui siapa saja yang termasuk golongan
ASWAJA menurut para ahli, di sini kami akan mengutif
bukunya Dr. Sayyid Muhammad Aqil Al-Mahdali.
Al-Bagdadi telah berusaha mengerahkan
segenap kemampuannya dalam mengkaji golongan
(kelompok orang) yang termasuk Ahlussunah Wal
Jama’ah, kajian ini merupakan kajian tiada duanya
(tiada bandingnya) pada masanya. Sebagaimana telah
jelas bahwa mayoritas pemikir kontemporer mengikuti
metodenya Al-Bagdadi, diantarnya Prof. Muhammad
Hamzah seorang dosen di Fakultas Dakwah Islamiyyah
dalam kitabnya Al-Ta’lif baina Al-Firaq Al-Islamiyyah
diterbitkan pertama kali di Damsyiq oleh Dar
al-Qutaibah tahun 1405 H bertepatan dengan tahun
1985 M, dan Prof. Rahil Said Hawa dalam kitannya Al-
Asas fi Al-Sunnah wa Fiqhiha Al-Aqoid AlIslamiyyah
diterbitkan oleh Dar Al-Salam Al-Qohiroh tahun 1409 H
bertepatan dengan tahun 1989 serta ulama yang lainnya.
Golongan-golongan yang disebutkan oleh
Al-Bagdadi, ialah:
a. Golongan ulama ahli tauhid, kenabian (nubuwwat),
hukum-hukum janji Allah (wa’d), ancaman (wa’id),
pahala, siksa, serta syarat-syarat ijtihad,
kepemimpinan (imamah) dan pemerintahan. Dalam
membahas tauhid mereka menyusuri jalan para ahli
kalam yang masih murni, yang tidak tercemar oleh
golongan Tasybih, Ta‟til, juga tidak tercemar oleh
bid’ahnya Rafidoh, Khawarij, Jahmiyah, dan

67
kelompokkelompok sesat lainnya. yang dimaksud
golongan ulama aqidah disini adalah ulama
Asya’iroh dan Ma‟turidiyyah, diantara ulama besar
Asya’iroh adalah:
 Abu Al-Hasan Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyr
Ishaq Ibn Salim Ibn Ismail Ibn Abdillah Ibn
Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Amir Ibn Musa
Al-Asy’ari, beliau dilahirkan di kota Basrah
pada tahun 260 menurut sebagian ulama namun
menurut yang lain belau dilahirkan tahun 270
H, dan beliau meninggal tahun 330 H namun
ada yang mengatakan tahun 324 H. beliau
merupakan pembangun madzhab Al-Asy’ariy.
 Abu Bakar Muhamad Ibn Al-Tayib
Muhammad AlQodi yang dikenal dengan nama
Al-Baqilani atau Ibn Al-Baqilani beliau
merupakan ahli kalam ternama dikalangan Al-
Asya‟iroh. Beliau terkenal dengan
kemampuannya berdebat dan mengalahkan
lawan debatnya dari Syiah, Muktazilah...di
jamannya AlBaqilani merupakan orang yang
paling faham mengenai masalah perikhtilafan
secara umum dan Aqidah Umat Kristen secara
khusus.
 Abu Mansur Abd Al-Qohir Ibn Tohir Ibn
Muhammad Al-Tamimi beliau merupakan ahli
dalam bidang ilmu fiqih, sastra (budaya), syair,
nahwu, kalam dan ushul fiqh. Imam Abu
Mansur mengerahkan segenap kemampuannya
untuk membela dan memperkuat aqidah

68
Ahlussunah Wal Jama’ah. Bahwa Aqidah ini
merupakan aqidahnya aliran yang selamat.
 Abu Al-Ma‟ali Abd Al-Malik Ibn Abd Allah
Ibn Yusuf
 Ibn Muhammad Al-Juwaini Al-Naisaburi
(Imam AlHaromain) – (419-178 H). Dalam
dirinya terpatri sebuah hubungan antara
Asy’ariyyah sebagai madzhab kalam dan
Syafi’iyyah sebagia madzhab fiqh, beliau
sangat alim dalam ilmu fiqh, ushul fiqh dan
kamal, beliau juga merupakan gurunya Imam
Al-Gozali semoga Allah merahmati mereka
berdua.
 Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad
Al-Gozali yang dikenal dengan sebutan Hujat
Al-Islam (450-505 H) beliau ini seorang faqih,
ushuliy, mutasowif (sufi), akhlaqiy, mutakallim,
filosof. Al-Gozali merupakan rujukan keilmuan
pada masanya.
b. Golongan kedua mereka adalah Para Imam ahli
fiqih dari kalangn ahlu Ro’yi maupun ahlu Hadits,
yang dalam ushuluddin mereka merupakan ulama
yang berpegang teguh terhadap madzhab murni
(sofatiyyah), pandangan mereka tentang Allah dan
sifatnya yang azali, sama sekali berbeda dengan
Qodariyah, Muktazilah, mereka juga meyakini bisa
melihat Allah dengan mata dengan menghindari
tasybih dan ta’til. mereka juga meyakini akan
kebangkitan kubur, pertanyaan kubur, serta
meyakini adanya Haudh(sebuah telaga di akherat),

69
Sirot (jembatan untuk menyebrang ke surga),
Syafa’at, dan diampuninya dosa selain dosa syirik.
Mereka meyakini kekalnya nikmat surga kepada
penghuninya dan kekalnya siksa neraka kepada
orang kafir, mereka juga meyakini atas keimamanya
Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali..Mereka
membaguskan pujian kepada para Salaf Al-Solih
nya umat. Para Ahli fikih juga berpandangan akan
kewajiban mengistinbath hukum dari Al-Qur’an,
Al-Sunah dan Ijma’nya Sohabat, serta bolehnya
mengusap kedua sepatu (ketika wudu) dan jatuhnya
talak tiga dan haramnya nikah mut‟ah. Dalam
bernegara bernegara mereka berpendapat wajibnya
mena‟ati pemerintah selagi bukan dalam hal
maksiat. Yang termasuk kedalam golongan ini,
diantaranya Ashab Malik, Syafi’i, Al-Auza’i,
Tsauri, Abu Hanifah, Ibn Abi Laila dan Ashabnya
Abi Tsur, Ashab Ahmad Ibn Hanbal, Ahlu Dzohir
serta para ahli fikih yang memiliki Aqidah murni
dalam masalah Aqliyyah dan tidak memcampur-
adukan fikihnya dengan bid’ahnya ahli ahwa yang
sesat.
c. Golongan ketiga adalah ulama yang menguasai
kaidah-kaidah kritik khobar dan sunah (hadits)
yang datang dari Nabi SAW serta membedakan
antara hadits sohih dan tidak sohih (doif, maudu).
Mereka juga mengetahui sebab-sebab Jarh wa
Ta’dil (sebab cacatnya hadits dan mengunggulkan
hadits. pen). Mereka tidak mencampurkan ilmunya

70
dengan sesuatu yang datang dari ahlul ahwa yang
sesat.
d. Golongan keempat adalah ulama yang menguasai
babbab dalam ilmu Sastra, Nahwu dan Sharaf,
Mereka memiliki corak pemikiran ahli tata bahasa
seperti Al-Kholil, Ibn Umar, Ibn Ala’, Sibawaih,
Al-Faro’, Al-Ahfas, Al-Asmu’i, Al-Mazani, Abu
Ubaid, dan imam-imam Nahwu yang lain baik dari
kufiyyin maupun bashariyyin, Mereka tidak
mencampurkan ilmunya dengan sesuatu yang
datang dari bid’ahnya Qodariyah atau Rafidoh dan
Khowarij Barangsiapa yang memiliki
kecenderungan ahwa yang sesat maka dia bukanlah
bagian dari Ahlussunah Wal Jama’ah dan
ungkapannya bukan merupakan hujjah dalam
tatabahasa dan nahwu.
e. Golongan kelima adalah ulama yang menguasai
ilmu Qira’at Al-Qur’an, ilmu tafsir dan ta‟wil ayat
Al-Qur’an sebagaimana ta’wil mainstream
madzhab Ahlussunah Wal Jama’ah, berbeda dengan
ta‟wilnya ahli ahwa yang sesat.
f. Golongan keenam adalah ulama Zuhad Al-Sufiyah
mereka adalah orang-orang yang berkonsentrasi
(absoruu), terfokus (aqsiruu), kontemplasi
(ikhtabaruu,) merenungkan (i’tabaruu) dan rido
terhadap sesuatu yang telah digariskan (maqdur)
serta rela terhadap yang diperoleh. Mereka juga
meyakini bahwa pendengan, penglihatan dan hati
(fuad), kebaikan dan keburukannya akan
dipertanyakan, dan diperhitungkan walaupun

71
sekecil tepung dan mereka juga mempersiapkan diri
dengan sebaik-baiknya persiapan untuk hari kiamat.
Dan ucapan-ucapan mereka dalam mengeluarkan
suatu Ibarot dan Isyarot menapaki jalan ahli hadist
bukan jalannya orang-orang yang memperjual-
belikan hadits.Mereka tidak beramal kebaikan
karena riya dan tidak meninggalkan amal karena
malu, agamanya adalah tauhid serta tidak
menyekutukan, madzhabnya adalah berserah diri,
tawakal dan rela atas ketentuan Allah SWT.Mereka
selalu Qona’at terhadap rizki yang diberikan.
Sebagaimana Al-Qur’an menyatakan dalam Surat
Al-Hadid Ayat 21:
Dzalika fadluwlohi yu’tihii man yasya’ wallahu dzu
fadlil adzim
Artinya: “Demikianlah karunia Allah, diberikan-
Nya kepada siapa yang dikehendakiNya; dan Allah
mempunyai karunia yang besar”.
g. Golongan ketujuh adalah orang-orang yang berada
di perbatasan wilayah muslimin untuk menolak
orang kafir dan berjihad untuk melindungi umat
muslim serta mempertahankan kehormatan dan
tanah air umat muslim, kemudian di tanah
perbatasan mereka menampakan (yudzhiruuna)
madzhab Ahlussunah Wal Jama’ah, mereka
merupakan orang-orang Allah SWT menurunkan
ayat tentangnya, dalam Surat Al-Ankabut Ayat 6 :
Walladzina Jahadu Fiina Lanahdiyyannahun
subulana, Innallaha lama’al muhsiniina

72
Artinya: “dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan
Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-
orang yang berbuat baik.”
Semoga dengan keutamaan dan karunianya, Allah
menambah taufik kepada mereka.
h. Golongan kedelapan, diantaranya mereka adalah
penduduk suatu daerah yang sampai kepadanya
syiar Ahlussunah Wal Jama’ah, berlainan dengan
penduduk kampung yang disana terlihat syiar orang-
orang sesat. Al-Bagdadi berkata, yang aku maksud
dengan kelompok awam adalah orang-orang yang
meyakini kebenaran ulama Ahlussunah Wal
Jama’ah dalam masalah keadilan Allah (aladl),
tauhid, janji dan ancaman Allah.Mereka menjadikan
ulama Ahlussunah Wal Jama’ah sebagai rujukan
agamanya dan mereka bertaqlid kelada ulama
Ahlussunah Wal Jama’ah dalam masalah halal dan
haram sekaligus mereka tidak meyakini sesuatu
yang datangnya dari bid’ahnya ahl al-ahwa yang
sesat, mereka adalah orang-orang yang dalam istilah
tasawuf disebut “penghuni surga (Hasyw Al-
Jannah)”.
Golongan Ahlussunah Wal Jama’ah, keseluruhnya
merupakan pengikut agama yang benar dan
pengikut jalan yang lurus. Semoga Allah SWT
mengokohkan mereka dengan qoul al-tsabith dalam
kehidupannya di dunia maupun di akhirat,

73
sesungguhnya Allah maha pantas dan kuasa untuk
mengijabah doa:
Golongan yang delapan terbagi menjadi dua
kelompok besar, Kelompok pertama adalah
ulamanya, mereka ada enam golongan: (1) ulama
aqidah, (2) ulama fiqih atau fuqoha, (3) ulama
hadits, (4) ulama tafsir, (5) ulama tasawuf, (6) ulama
sastra, nahwu dan sharaf.
Kelompok kedua adalah awamnya, mereka ada dua
golongan: (1) para tentara muslim dari Ahlussunah
Wal Jama’ah (2) orang-orang yang hidup di suatu
daerah yang disana tersyiar Ahlussunah Wal
Jama’ah.
Sejalan dengan itu, terdapat Ahlussunah Wal
Jama’ah yang hidup di suatu daerah yang disana
mayoritas penduduknya non-Alusunnah wal
Jama‟ah.Bahkan saat inimuslim Ahlussunah Wal
Jama’ahhidup di Negara yang dipimpin oleh non-
muslim seperti di Amerika, Eropa, Cina, Thailand,
Singapura dan lain-lain.
3. Ahlussunah Wal Jama’ah sebagai Manhajul Fikri
Dalam perkembangannya ASWAJA sebagai
madzhab mengalami kejumudan dan dirasa sulit
menjawab kompleksitas problematika masa kini, maka
para pemikir kontemporer sepertiProf. Dr. KH. Said
Agil Siradj, MA melakukan rekontruksi terhadan
rumusan ASWAJA yang asalnya hanya dipahami
sebagai madzhab (diantaranya rumusan bah Hasyim)
menjadi ASWAJA sebagai Manhajul Fikri (metodologi
berfikir) dengan salah satu Argumentasinya “tidak

74
mungkin ada madzhab diatas madzhab” (maksudnya
tidak mungkin ada madzhab ASWAJA diatas madzhab
fiqh, tauhid dan tasawuf) bahkan dalam salah satu
makalahnya, beliau menyatakan bahwa rumusan definisi
Aswajanya Mbah Hasyim itu memalukan karena
mengatakan “ASWAJA adalah berfiqih madzhab yang
empat, beraqidah Asy’ari-Ma‟turidi, tasawuf Ghozali-
Al-Bagdadi” secara mantiqi itu bukan definisi, karena
syarat ta‟rif (definisi) itu harus jami’-mani’ (jelas
cakupannya dan jelas batasannya). Kendati demikian
definisi di atas itu kondusif untuk zaman mbah Hasyim,
namun untuk saat ini perlu dicari formula definisi yang
pas dan ilmiah, maka beliau merumuskan definisi
ASWAJA sendiri Ahlussunah Wal Jama’ah hiya
manhajul fikriddini asyamil ala syu‟unil hayati
wamuqtadoyatiha alqoim alal asas tawasuth, tawajun,
tasamuh wal I‟tidah (ASWAJA ialah Metodologi
Berfikir keagamaan yang meliputi seluruh Aspek
kehudupan yang berdiri diatas dasar Moderat,
berimbang, Toleran dan Proporsional).
Pemikiran diatas didasari oleh kenyataan sejarah,
bahwa yang membedakan pola fikir Aswaja dengan
yang lainnya adalah sikapnya yang toleran (seperti tidak
mengkafirkan orang yang masih melaksanakan solat)
dan moderat (seperti menengahi konsepsi qodo qodar
antara pemikiran Qodariyah dan Jabariyah)
Moderat, seimbang, Proporsional dan Toleran itu
digunakan dalam segala aspek baik dalam Aspek:

75
a. Tauhid; dalam tauhid Aswaja memproporsikan
mana yang harus menggunakan dalil Aqli dan
mana yang harus menggunakan dalil Naqli.
b. Fiqih; dalam fiqih Aswaja sangat Moderat dalam
menengahi dominasi Nash dan Ro‟yu, contohnya
Imam Syafi’i dalam mengistinbath hukum
pertama melihat sumber hukum berupa Nash baik
Al-Qur’an maupun Al-Hadits, kalau tidak ada
maka memakai Qiyas.
c. Tasawuf; dalam tasawuf Aswaja
memposisikannya secara berimbang antara
memakai hasil Mukasyafahdan hasil Bayan (Al-
Qur’an wal Hadist). Tidak seperti pengikut
tasawuf falsafi ataupun tasawufnya orang Syiah.
d. Politik; dalam berpolitik Aswaja tidak Ekstreme
tidak seperti Syiah yang Guluw yang
mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Juga
dalam berpolitik Aswajatidak Otoriter, tidak
seperti konsep imamahnya Syiah, Aswaja
menegedepankan Musyawarah dan memegang
suara mayoritas (al-Sawad al-A’dzom).
e. Sosial Kemasyarakatan; dalam kehidupan
bermasyarakat orang-orang Aswajaakan
senantiasa toleran dan legowo terhadap perbedaan
serta tidak ekstrim dalam berfikir dan berbuat.
f. Dan lain-lain
Walhasil, menurut K.H. Said Agil Siradj,
siapapun yang berfikir Moderat, berimbang,
Proporsional dan Toleran maka dia adalah ASWAJA”

76
E. MANHAJUL FIKRI LI AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH
Rumusan ASWAJA-nya K. H.Said Agil Siradj dinilai
sangat naïf oleh K.H. Hamdun Ahmad, karena masih global
dan tidak aplikatif bahkan menempatkan watak (karakter)
berfikir ASWAJA sebagai Manhaj berfikir, selain itu juga
terjadi liberalisasi ASWAJA sehingga ASWAJA tidak akan
punya identitas dan akan melebur dengan golongan lain,
soalnya Kyai Said mengungkapkan dalam buku “Tasawuf
Sebagai Kritik Sosial” bahwa Syiah dan Muktazilah itu
masih termasuk islam dan termasuk ASWAJA, dengan
Argumentasi bahwa Syiah, Muktazilah dan Ahlussunah
sama secara konsepsional dalam masalah Uluhiyah
(ketuhanan), Nubuwah (kenabian) dan sam’iyat (yang
didengar/hal diluar logika seperti adanya surga, neraka, dan
lain-lain).
Oleh karena itu, K.H. Hamdun Ahmad mencoba
membuat elaborasi baru tentang ASWAJA dengan nama
manhajul fikri li ahlissunnah wal jama’ah supaya
tercapainya “almuhafadlotu ‘ala qodimisholih wal akhdu
biljadidil ashlah” dengan cara mempertahankan identitas
ASWAJA sebagai Madzhab, yang mana itu warisan
intelektual masa lalu yang masih baik, mulai dari masalah
Tauhid, Fikih ataupun Tasawuf, karena disadari atau tidak
memang berbeda dengan konsepnya non-ASWAJA, tapi
selain itu juga Kyai Hamdun mencoba mendinamisasi
ASWAJA dengan cara mengembangkan Manhajul Fikri-
nya dengan tidak melepaskan watak berfikir ASWAJA yaitu
tasamuh, ta’adul, tawazun dan tawasuth.
Adapun konsep manhajul harokah K. H. Hamdun
Ahmad adalah sillaturrahmi, sillatul fikri dan sillatul amal.

77
Ini merupakan konsep sederhana yang padat arti, di mana
silaturahmi merupakan proses analisis terhadap suatu objek,
baik objek tersebut berupa realitas sosial ataupun realitas
individual, dari hasil analisis itu kemudian diolah (nah,
pengolahan ini termasuk sillatul fikri) agar bisa diaplikasikan
dalam rangka menyelesaikan suatu masalah, yang mana
pengertian dari masalah (problem) adalah kesenjangan antara
yang seharusnya (das sollen) dengan kenyataannya (das sein).
1. Rumusan Manhajul Fikri Lil Ahlissunah Wal Jama’ah
Manhajul fikr li ahlissunah wal jama’ah adalah
pola/metode berfikirnya orang ASWAJA. Sebagaimana
dijelaskan di atas dari hasil kajian sejarah ternyata ada
kesamaan pola yang dimiliki oleh orang-orang yang
dinyatakan sebagai ASWAJA.
Maka dalam tulisan ini kami akan mencoba untuk
memaparkan sedikit tentang pola fikir ASWAJA.
K. H. Hamdun Ahmad menyatakan dalam islam itu
ada dua pola fikir, satu pola fikir hukum, dua pola fikir
ilmu. Pola fikir hukum itu sebagaimana yang tercantum
dalam kitab Ar-Risalah atau kitab Fawaidul Makiyyah,
yang intinya suatu hukum bisa dikatakan benar jika sesuai
dengan Al-Qur’an, Al-Hadits dan Akal. Kemudian pola
fikir ilmu, jika kita merasa seorang muslim yang menganut
ASWAJA maka setiap pencarian dan penerapan ilmu kita
harus memiliki basis worldview (pandangan dunia) Tauhid,
dengan rumusan sebagai berikut; minallah (segala ilmu dari
Allah), billah (melaksanakan ilmu tersebut dengan
Allah/ada campur tangan atau taqdiri Allah) dan yang
terakhir harus lillah (semua ilmu akan dikembalikan kepada
Allah).

78
Berawal dari basis tauhid di atas, kemudian Allah
SWT memberikan dua tanda (ayat) kepada umat manusia,
satu ayat qouliyyah, dua ayat kauniyyah. Ayat qouliyyah
adalah bahan ilmu yang berupa teks (Al-Qur’an dan
Al-Hadits), sedangkan ayat kauniyyah adalah bahan ilmu
berupa realitas, selanjutnya realitas ini termaterialisasikan
dalam alam semesta dan manusia. Tapi yang menjadi
masalah teks dan realitas tidak bisa ngomong sendiri, maka
tugas manusia-lah untuk menerjemahkan makna-makna
yang terkandung dalam teks dan realitas tersebut.
Maka dari itu, manusia membutuhkan seperangkat
metode untuk membongkar teks dan realitas. Teks
dibongkar dan dicari makna yang terkandung di dalamnya
dengan menggunakan metode yang disebut dengan ushul
fiqh, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, dan lain-lain.
Sedangkan realitas itu dibongkar oleh filsafat serta anak-
anaknya, berupa ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan
alam manupun ilmu pengetahuan sosial. Tidak sampai
berhenti disitu, sejarah pun membutuhkan penafsiran yang
cerdas agar pengetahuan kita tentang realitas masa lalu bisa
aplikatif untuk masa kini, maka dibutuhkanlah penguasaan
ilmu historiografi. Tapi jangan lupa bahwa islam
mempunyai metode pencarian kebenaran yang tidak
dimiliki oleh Barat modern, metode itu adalah intuisi, di
mana umat islam meyakini bahwa do’a dan kontemplasi
(riyadhoh) serta imajinasi bisa menjadi jalan untuk
mencapai kebenaran.
Walhasil, dari basis ontologis dan epistemologis di
atas, maka secara metodologis ASWAJA diproyeksikan
untuk membangun peradaban ilmu dengan berdasar kepada

79
metode Burhani (Rasional, Aqli), Bayani (tekstual, Naqli)
serta Irfani (Intuisi, Isyari’) agar menghasilkan Al-Fiqhu
Syamil (pengetahuan yang komprehensif) tapi tidak keluar
dari karakter Tawasuth, Tasamuh, Tawazun dan I‟tidal.
Sebagaimana kita ketahui para ulama ASWAJA
dalam bidang tauhid selalu memakai dalil Aqli dan Naqli,
dalam fikih juga sama namun dengan istilah yang berbeda
Syar’i dan Akal (Rasionalitas), dalam tasawuf juga begitu
memakai dalil Naqli dan Isyari’ (hasil intuisi). Setiap
komponen di atas diposisikan secara berimbang dan
moderat. Maka untuk ilmu-ilmu sosial humaniora, ilmu-
ilmu science juga harus memakai metode di atas secara
berimbang dan moderat serta toleran atas metode yang lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip universal
Ahlussunah Wal Jama’ah.
Untuk lebih jelas memahami uraian di atas perlu kiranya
penulis menampilkan skema pencarian kebenaran yang sering
disampaikan oleh K.H. Hamdun Ahmad sebagai berikut:

Ayat
Qouliyah
Penglihat
an (Al- Hati
Allah Ilmu
Abshor) (Fua
Pendenga d)
Ayat ran
Kauniyah

Input Proses Output

Dari bagan di atas penulis menawarkan metode yang


lebih rinci, sebagai berikut*:

80
Allah

Ayat Kauniyah Realitas Sejarah Ayat Qouliyah

Filsafat, Sain Historiografi Usul Fiqih


Uluumul Qur’an
Uluumul Hadist

Teori/ fiqih Teori / fiqih Teori / fiqih

Teori yang Kontekstual

*Bagan ini hasil modefikasi dari rumusan LPES (Lembaga Pengembangan Ekonomi Syariah)
UIN Jogjakarta dalam buku Ekonomi Islam

81
Epilog
Alhamdulillah! Atas berkat pertolongan Allah SWT
tulisan ini dapat dirampungkan. Dan mudah-mudahan tulisan
sederhana ini walaupun hanya alakadarnya bisa menjadi
pengantar bagi para pemula dalam memahami Ahlussunah wal
Jama’ah.
Penulis sadar bahwa dalam tulisan ini banyak sekali
kekurangan, maka kritik dan saran demi perbaikan dan
penyempurnaan tulisan ini menjadi harapan.
Jika ditinjau dari persfektif akademik, tulisan ini
sangatlah tidak akademik-ilmiah, namun itu sengaja dilakukan
karena kriteria ilmiah yang ada sekarang ini merupakan kriteria
ilmiah versi orientalis. Kemudian dunia ilmiah digiring pada
satupintu kriteria ilmiah yakni versi orientalis itu.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan perlawanan
terhadap dominasi objektivisme ilmiah, sebagai mana yang
telah dikakukan oleh K.H. Ahmad Baso dalam bukunya “Agama
NU untuk NKRI”.
Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh guru, senior,
sahabat yang bersedia untuk ihtikaf dan munaqasah serta
berdialektika dengan penulis mudah-mudahan ini bisa menjadi
amal baik. Amiin.

82
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madhab Syafi’I,
Jakarta: Pustaka Tarbiyah (cet ke-XIV 2006)
Abdussomad, Muhyidin, Aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah;
Terjemah dan Syarah Aqidah al-Awam, Surabaya:
Khalista (Cet II 2009)
Al- Anshari, Ibn Hisyam, Siratunnabawiyyah, Kairo: Darul fajri
li Turats (cet ke-III, 1431 H/ 2010 M)
Al-Asy’ari, Muhammad Hasyim, Risalah Ahlussunah Wal
Jama’ah, dalam Ishomuddin Hadiq, Irsyadusyari fi jam‟i
musonnafati Hasyim Asy’ari, Jombang: Ihya‟ut Turats (tt)
Al-Bagdadi, Abu Al-Qohir Bin Tohir, Al-Farqu bainal firaq,
Bairut: Darul kotob islamiyyah (2009)
Al-Buthi, Siad Ramdhan, Siratunnabawiyyah, Lebanon: Darul
Fikr (1397 H/1977 M)
Al-Mahdaliy, Sayyid Muhammad Aqil Ibn Ali, Ahlussunah
Wal Jama’ah; madkhal wa dirasah, Kairo: Darul Hadits
(tt)
Al-Laqoni, Ibrahim, Jauhr Tauhid, Singapura: Al-Haromain (tt)
An-Naisaburi, Abu A-Qosim Abdul Karim bin Hawazin Al-
Qusyairi, Risalatul Qusyairiyyah fi ilmi tasawwuf,
AlHaromain (tt)

83
Armstrong, Karen, Islam; A Short History, New York: Modern
Library (2000)
As-Segaf, Sayyid Alawi bin Muhammad, majmuatu Sab‟ati
kutubin Mufidah, Surabaya: Bankul Indah (tt)
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar
Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana (2005)
Bathonah, Badawi, Muqodimah Al-Ghozali wa ihya‟
ulumiddin, dalam Ihya Ulumuddin Juz I, Semarang: Toha
Putra (tt)
Fouda, Farag, Al-Haqiqat al-Gaibah, Alexandria, Mesir: Darul
matabi‟ al-Mustaqbal (Cet II, 2003)
Harits, Busyairi, Islam NU, pengawal tradisi suni Indonesia,
Surabaya: Khalista (2010)
Hitti, Philip. K, History of the Arabs; From the Earlies Times to
the Present, New York: Palgrave Macmillan (edisi revisi
ke-10, 2002)
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,
Bandung: Rosda Karya (2000)
Salam, Solichin, sekitar Wali Sanga, Kudus: Menara Kudus (tt)
Siradj, Said Agil, Tasawuf sebagai kritik sosial, Bandung:
Mizan (2006)

84
Wahid, Abdurrahman, Menggerakan Tradisi: Esai-Esai
Pesantren, Jogjakarta: LkiS (2001)
Lain-lain
Ceramah-cermah dan kuliah yang disampaikan oleh KH.
Hamdun Ahmad
Pidato-pidato Said Agil Siradj

85
86
87
88

Anda mungkin juga menyukai