Anda di halaman 1dari 5

3.

1 Hakikat Kebudayaan sebagai Bukti Keunggulan Manusia

Sebagai makhluk sosial, keberadaan seseorang senantiasa tergantung kepada


keberadaan orang lain. Pada 2300 SM, seorang filsuf terkenal, Aristoles, menyebutkan
bahwa “man a social animal”, manusia adalah makhluk sosial. Tanpa kehidupan sosial,
tampaknya sulit mengharapkan individu dapat berkembang sepenuhnya, sehingga ada
ungkapan “manusia hanya bisa menjadi manusia bila ia hidup bersama manusia lain”.
Keberadaan seseorang sangat tergantung pada lingkungan sosial, di mana ia berada.
Demikian juga identitas seseorang, ia dikenal melalui keberadaannya dalam lingkup
sosialnya. Di dalam lingkungan sosial itulah dikembangkan suatu kebudayaan, yaitu
keseluruhan kompleks, berupa ilmu pengetahuan, keyakinan, serta kebiasaan yang didapat
manusia sebagai anggota masyarakat (E.B. Tylor, 1871 di dalam Widaghdo, 2001: 19).

3.1.1 Fungsi dan Hakikat Kebudayaan

Widagdho (2001), menjelaskan bahwa manusia, di dalam kelompok


sosialnya, mengembangkan kebudayaan, dalam rangka:

a. Menguasai dan memanfaatkan unsur-unsur yang terdapat di alam semesta untuk


keperluan hidupnya. Salah satunya dengan mengatur perkembangan spesies
lainnya atau bahkan dapat menyebabkan dan dapat berupaya menghindarkannya
dari kepunahan, meskipun hal itu tidak dapat dilakukan untuk diri manusia itu
sendiri. Contohnya manusia dapat melakukan budidaya hewan langka, seperti
penyu, udang, dan lain sebagainya;
b. Mengembangkan kreativitas, dengan menciptakan benda-benda yang diperlukan
dalam bentuk dan model menurut keinginannya;
c. Mengembangkan rasa indah atau keindahan (estetika) dengan menciptakan
benda-benda seni yang dapat memenuhi kenikmatan hidup rohaninya;
d. Mengembangkan komunikasi dengan sesama, melalui bahasa, yang
memungkinkan mereka dapat saling bertukar informasi;
e. Mengatur kehidupan bersama melalui tata aturan sopan santun atau tata susila,
yang memungkinkan terciptanya suasana kehidupan bersama yang tertib dan
saling menghargai;
f. Mengembangkan ilmu pengetahuan yang memungkinkan kehidupan mereka
semakin berkembang dan berkualitas;
g. Manusia memiliki pegangan hidup antarsesama demi kesejahteraan hidupnya;
dan juga aturan “pergaulan” dengan Sang Pencipta, sehingga mendapatkan
ketenangan batin.

3.1.2 Definisi Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddayah, yang merupakan bentuk


jamak dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan
berarti hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Adapun ahli antropologi yang
merumuskan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah
Taylor, yang menulis dalam bukunya: “Primitive Culture”, bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan
lain, serta kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat
(Ranjabar, 2006).

Menurut Koentjaraningrat (2002) mengatakan, bahwa menurut ilmu


antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan millik diri
manusia dengan belajar. Dia membagi kebudayaan atas 7 unsur: sistem religi,
sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian
hidup, sistem teknologi dan peralatan bahasa dan kesenian.
3.1.3 Tiga Wujud Kebudayaan

Koentjaraningrat, menjelaskan tiga wujud kebudayaan yang meliputi: wujud


pertama berupa ide, wujud kedua berupa tindakan, dan wujud ketiga berupa artefak,
sebagai berikut.

a. Wujud pertama, yaitu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan
lain sebagainya. Wujud ini bersifat abstrak, karena berada dalam alam pikiran
manusia (masyarakat).
b. Wujud kedua meliputi kompleks dari aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia. Wujud kedua ini disebut sistem sosial (social system), yang meliputi
seluruh aktivitas manusia dalam berinteraksi.
c. Wujud ketiga, berupa hasil karya manusia yang berwujud benda-benda fisik
atau artefak, baik berupa benda-benda yang berukuran besar.

3.1.4 Sistem Kebudayaan Universal

Menurut C. Wissler (Koentjaraningrat, 2009:299), terdapat cultural


universals, yaitu unsur-unsur kebudayaan yang sifatnya universal, yang dapat
dijumpai pada setiap masyarakat.

a. Sistem organisasi sosial


b. Sistem mata pencaharian
c. Sistem teknologi
d. Sistem pengetahuan
e. Kesenian
f. Bahasa
g. Religi
3.1.5 Unsur Universal Kebudayaan

Setiap unsur kebudayaan memiliki tiga wujudnya, yaitu ide, tingkah laku,
dan wujud fisik. Jika diamati, unsur bahasa, misalnya bahasa Indonesia, ada ide
untuk melakukan komunikasi antarwarga negara yang terdiri dari berbagai suku
bangsa dengan berbagai ragam bahasa yang mereka gunakan. Berdasarkan ide itu,
anggota masyarakat yang memiliki perhatian untuk mewujudkan ide tersebut
mengadakan pertemuan dan menentukan sebuah bahasa yang dapat dipahami oleh
semua suku bangsa di negara itu. Selanjutnya, ditentukanlah bahasa Melayu Riau
sebagai Bahasa nasional, yang kita kenal sebagai bahasa Indonesia. Dalam hal ini
bahasa Indonesia yang diwujudkan dengan bahasa tulisan pada sehelai kertas atau
daun, dan pada dinding-dinding, menjadi bukti fisik dari terwujudnya ide atau
gagasan dan keseluruhan aktivitas manusia.

Ada unsur kebudayaan yang cepat berubah ada unsur kebudayaan yang
lambat dan sukar berubah. Unsur kebudayaan yang paling cepat berubah adalah
teknologi, sedangkan unsur kebudayaan yang lambat atau sukar berubah adalah
sistem religi. Namun, perubahan suatu unsur kebudayaan sebaiknya terjadi pada
ketiga wujudnya, karena apabila terdapat ketimpangan perubahan dalam ketiga
wujud kebudayaan tersebut sering terjadi culture lag atau keterlambatan
kebudayaan (Poerwanto, 2008:177-179).

Contoh culture lag adalah pemakaian jam tangan dengan sistem penunjukan
waktu dengan angka oleh masyarakat Indonesia. Produk jam tangan merupakan
suatu bentuk fisik (wujud ketiga) dari suatu ide dalam menentukan waktu dengan
angka. Produk jam ini merupakan produk asing bagi masyarakat Indonesia. Dalam
pembentukan budaya menentukan waktu melalui jam ini merupakan suatu alat
untuk mempermudah manusia agar dapat mengetahui waktu (jam) sekarang, masa
yang telah berlalu dan masa mendatang. Dengan menyepakati jam tertentu,
misalnya pukul 14.00 dua orang atau lebih individu dapat saling berjanji untuk
bertemu. Dengan patokan waktu yang telah disepakati tadi dan dengan adanya
penghitungan waktu dari pukul 10.00 sampai dengan pukul 24.00, maka penentuan
waktu pukul 14.00 memberi pemahaman bahwa pertemuan itu akan diadakan pada
pukul 02.00 siang hari, bukan pukul 02.00 dini hari.

Demikianlah, maka penggunaan jam atau penunjuk waktu sebagai suatu


bentuk kebudayaan fisik, harus diikuti dengan bagaimana konsep budaya yang
melatarbelakangi penciptaan jam, terrmasuk perilaku tepat waktu yang diharapkan
dapat ditunjang oleh kesepakatan waktu menurut sistem jam tersebut.

Anda mungkin juga menyukai