Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
INDONESIA
NAMA KELOMPOK:
SURAYA (22114022)
GEREJA KRISTEN JAWA TENGAH UTARA
Dalam buku Benih Yang Tumbuh seri 3 yang membahas tentang Gereja Kristen Jawa
Tengah Utara (GKJTU). Dalam buku ini membahas tentang beberapa hal yaitu :
Sejarah GKJTU terhitung pada tahun 1887, dimana wilayah kerjanya pada saat itu berada
di daerah Bojonegoro di bagian Timur dan Pemalang di bagian Barat, dengan Salatiga dikaki
gunung kearah Selatan sebagai pusat, sehingga dikenal dengan nama “Salatiga Zending”.
Penyebaran Injil di GKJTU di mulai oleh tenaga Zendeling dari Waisen Und Missionsanstalt,
Neukirchen, Jerman. Selain tenaga Zendeling dari Jerman, Jemaat NHK Utrecht di Negeri
Belanda juga ikut serta dalam badan Zending Waisen Und Missionsanstalt itu.
GKJTU berdiri pada tahun 1937, pada waktu diadakan sinode pertama di
Purwodadi.Waktu itu sudah ada4 atau 5 jemaat yang dapat dipandang dewasa, sehingga boleh
didirikan sebuah gereja dengan sinodenya, diantaranya jemaat Bojonegoro, Blora, Purwodadi,
Semarang, dan Salatiga. Ukuran dewasa yang dimaksudkan disini menurut pemimpin-pemimpin
tua sekarang yaitu gereja yang mampu membiayai diri sendiri, termaksud guru Injil.Selain dari
ke 5 jemaat tersebut ada kurang lebih 20 jemaat dan kelompok lain.
Gambaran diatas merupakan hasil pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh Badan
Zending selama kurang lebih 50 tahun lamanya yang di mulai sekitar tahun 1890an sampai
berdirinya GKJTU. Adapun usaha-usaha yang dilakukan yaitu: usaha-usaha penginjilan yang
dilakukan oleh pegawai Belanda di pabrik-pabrik gula. Selain itu ada juga usaha-usaha dalam
bidang kesehatan dan pendidikan yang dilaksanakan oleh tenaga dokter, juru rawat dan guru
yang sebagian besar berasal dari Nederland dan dibantu oleh tenaga pribumi.
Ada dua segi dari corak dan cara kerja Badan Zending Neuekirchn yang perlu kita
pahami untuk mengenal GKJTU sekarang dan pengalamanya 30 tahun belakangan ini. Pertama
corak sebagai “alliance”. Corak alliance yaitu corak yang tidak memperdulikan asal senominasi
seseorang untuk menjadi misionaris. Saat itu yang penting misionaris tersebut terpanggil
memberitakan injil di Jawa. Hal ini membuat di GKJTU ada “pelangi” berbagai paham teologi,
sesuai dengan pemberita yang mengajarkannya. Akibatnya corak teologi di GKJTU kabur dan
lemah. Kedua menyangkut cara mengatur keuangan gereja. Dari semula warga jemaat GKJTU
tidak dibina dalam hal memberi korban dan persembahan untuk membiayai gereja kerena mereka
berharap dari gaji mereka sebagai guru sekolah, mantra kesehatan, serta tanah jemaat yang
diberikan untuk menjamin hidup pelayanan, sehingga ketika hubungan dengan Jerman terputus
tahun 1939 sampai 1963 mereka kehilangan sumber-sumber jaminan hidup para pelayan jemaat
dan anggota-anggota jemaat belum mampu menjamin kehidupan pelayannya dari
persembahannya.
Karena pada masa sebelumnya, belum tersusun mengenai perkembangan GKJTU belum
tersusun sehingga, pada masa 1940-1948 GKJTU penuh dengan kekacauan dan perubahan.
Kekacauan dan perubahan yang terjadi yaitu: Pada tahun 1940-1942 semua tenaga jerman di
tahan dan GKJTU kehilangan seluruh bantuan dari Jerman. Pada tahun 1942-1945 GKJTU
mendapat pertolongan dari pendeta-pendeta bangsa Belanda akan tetapi, tidak berselang lama
ketika Indonesia di duduki Jepang. Semua orang Belanda ditahan sehingga GKJTU tinggal
sendirian.
Tahun ini disebut masa pendekatan GKJTU dengan GKJTS yang tidak menghasilkan
kesatuan yang bertahan lama seperti di idam-idamkan. Rupanya ada masalah hubungan antara
kedua gereja ini amat majemuk dan pelik sehingga, terdapat perasaan yang mendalam pada
kedua bela pihak yang dimana kedua bela pihak memiliki pandangannya sendiri tentang apa
yang telah terjadi dan arti serta konsekuensinya dikemudian hari. Dalam bukunya Rullman yang
berjudul Zending Gereformeed diJawa Tengah mengatakan bahwa “didalam keadaan sedemikian
itu (yaitu pemisahan GKJTU dari Badan Zendingnya di Jerman) maka gereja Jawa Tengah Utara
mencari hubungan dengan GKJTS. GKJTS berusaha menyakinkan GKJTU bahwa jalan keluar
yang terbaik dari kesulitan yang mereka alami adalah menggabungkan diri dengan GKJTS.
Kemudian GKJTU dan GKJTS mengadakan sidang sinodenya di Salatiga namun dalam
sinode itu pihak GKJTU mengajukan dua syarat yang pertama tidak diadakan kerja sama yang
bersifat mengikat dengan gereja lain dan yang kedua tidak diakui tata gereja GKJTS atau
GKJTU melainkan, disusun bersama suatu tata gereja baru yang akan ditetapkan pada sinode
kesatuan II di Purwokerto tahun 1951. Dan kemudian sinode GKJTU merencanakan sinode
darurat lalu meminta pandangan dari depertemen agama diJakarta bahwa GKJTU berhak hidup
atau berdiri tanpa campur tangan dari sinode lain. Dan pada akhirnya GKJTU telah membuktikan
ia tetap dapat hidup dan berkembang sedikit tanpa bantuan dari sinode apapun.
Selama dubelas tahun GKJTU menghadapi dua masalah adasar tau tugas yaitu
hubungannya dengan gereja-geraja Kristen Jawa (GKJTS) dan hubungannya dengan bekas badan
Zendingnya di Jerman. Dalam kedua hal ini mereka merngalami banyak kesukaran, tetapi pada
waktu itu juga membuktikan kemampuan untuk berdiri atas kakinya sendiri. Adapun inti
persoalannya dengan GKJT yaitu mengenai harta milik yang telah diambil oleh GKJTS. GKJTU
berusaha ingin menyelesaikan persoalan ini secara damai dengan cara membawa persoalan ini
kepengadilan tetapi di tolak karena tidak ada dasar yang kuat.
Pada tahun 1958 seorang bekas pendeta Zending dari Neukirchn datang untuk
berkunjung ke bekas Salatiga Zending. Namun pada saat kedatanganya dihalangi oleh GKJTU
namun Pdt. K.Midellsted terus berusaha untuk melihat keadaan jemaat-jemaat GKJTU sendiri.
Kemudian ia pergi ke GKDW untuk bertemu dengan pimpinan gereja di Jawa Timur dan berjanji
akan memberikan bantuan kepada GKJTU melalui Utrecht tetapi menurut kalangan GKJTU
mereka tidak menerima apa-apa sebelum tahun 1963. Dan dari hal itu GKJTU kemabali
menerima bantuan dan akhirnya GKJTU mampu berdiri sendiri.
e. Masa kehidupan baru: 1966 sampai sekarang
Setelah menghadapi banyak tantangan dan rintangan akhirnya pada tahun 1966 tercipta
suatu keadaan baru bagi gereja-gereja Jawa termaksud GKJTU. Salah satu keadaan baru yang
tercipta pada saat itu yaitu banyaknya orang yang menyatakan diri sebagai orang Kristen dan
hendak masuk gereja dan hal itu terjadi sampai sekarang.
2. Struktur GKJTU
Dalam susunan dan organisasi GKJTU terdiri dari anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga GKJTU. Dalam anggaran dasar membahas tentang tujuan gereja yang dirumuskan
sebagai berikut :
Selain tata gereja diuraikan juga tentang rapat-rapat GKJTU yang terdiri dari tiga
tingkatan yaitu :
Pada tahun 1972 diadakan sinode ke-XVIII dan menetapkan beberapa perubahan dalam
organisasi GKJTU yaitu:
Perubahan atau reorganisasi yang kedua ialah menggantikan lima seksi yang ditetapkan
dalam pasal 7 yakni: seksi umum, seksi pembinaan rohani, seksi perbendaharaan, seksi
pertenagaan dan seksi pelayanan masyarakat dengan enam badan yaitu badan pelayanan jemaat
badan pekabaran injil, badan bimbingan wanita gereja, badan pelayanan sosial, badan sekolah
minggu dan badan pembinaan pemuda gereja.
Perubahan ketiga ialah perpanjangan masa jabatan pengurus sinode dari 2 tahun menjadi
4 tahun. Dalam sinode ini juga dibentuk suatu panitia untuk meninjau kembali AD/ART dan tata
gereja GKJTU agar lebih sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan.
Keadaan pelayanan GKJTU sebelum sinode ke-XVIII tahun 1972 GKJTU mempunyai
beberapa kategori pelayan yaitu pendeta, vikaris atau pembantu pendeta, guru injil, pembantu
guru injil dan calon pembantu guru injil. Namun setelah sinode ke-XVIII GKJTU menuju dua
jabatan saja yaitu pendeta dan guru injil.
a. Para pendeta GKJTU adalah pejabat gereja yang telah ditabiskan dan memberi
pelayanan penuh termaksud pelayanan sakramen.
Gambaran para pendeta menurut tahun dinas tidak jauh berbeda dari keadaan menurut
umur. 0-10 tahun berjumlah 7 orang, 6-10 tahun berjumlah 4 orang, 11-15 tahun berjumlah 1
orang, 16-20 tahun tidak ada, 21-25 tahun tidak ada, 26-35 tahun berjumlah 2 orang, 36 tahun
keatas berjumlah 3 orang.
Gambaran pendidikan teologi yang diterima oleh pendeta GKJTU sebagai persiapan
untuk jabatan adalah sebagai berikut:
Yang perlu juga untuk dipahami adalah dari sujud mutu pendidikan teologial formil yang
diterima para pendeta GKJTU tidak mengembirakan. Dua tenaga yang memiliki pendidikan
setingkat dengan sarjana teologia adalah pendeta urtusan dari jerman. Seorang tenaga Indonesia
memiliki ijasa S.Th tetapi dia belum ditabiskan. Yang lain-lain telah tamat dari pendidikan
teologia menengah atau bawah. Dan mengingat bahwa banyak pendeta GKJTU tinggal di kota-
kota di Jawa Tengah dimana pembangunan dan modernisasi semakin meningkat, menjadi soal
apakah mereka dapat melayani sesuai dengan kebutruhan masa depan.
Para pendeta di GKJTU sedikit banyaknya merupakan pembimbing dan pengawas para
guru injil yang lebih banyak jumlahnya dan melayani kebanyakan jemaat dan kelompok dalam
GKJTU. Jadi persolan ini patut mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari pengurus sinode.
b. Para Guru Injil GKJTU, menurut laporan pengurus sinode kepada Departemen
Agama R.I tahun 1973 terdiri dari 23 orang dengan 23 pembantu guru injil dan 8
orang calon pembantu guru injil
Lembaga pembinaan kader pelayan GKJTU yaitu Sabda Mulya. Sabda Mulya adalah
lembaga pembinaan tenaga guru Injil dan pendeta GKJTU. Lembaga ini, dalam bentuk sekolah
penginjil sudah dibuka sebelum perang Dunia ke II di Blora oleh Salatiga Zending, dan tiga
orang pendeta tua sekarang telah tammat dari situ, dua orang 1934, dan seorang tahun 1937.
Keadaan pelayan oikumenes GKJTU yaitu GKJTU menerima dua keluarga pelayan
oikumenis (missionaris) dari Waisen Und Missionsanstalt Neukirchen di jerman Barat. Dua
keluarga tersebut adalah
1. Pdt. H. I. Garthe dan nyonya telah datang tahun 1966 dan diberi tugas utama pusat
pendidikan penginjilan sabda mulya, semula di Blora , kemudian di Salatiga, tempat
kediamannya kini
2. Pdt. Klaus Seidlitz sekeluarga tekah datang dari Badan Zending dan Negri yang sama
tahun 1969. Mereka ditugaskan sebagai tenaga tetap di sabda mulya dan menetap di
Salatiga.
c. Keadaan pembiayaan GKJTU
Keadaan pembiayaan di GKJTU dari awal mereka hanya berharap pada Zending yang
mewarisi warisan yang sangat sempit dan lemah, ditambah lagi kerugian karena peperangan dan
persengketaan dengan GKJ selama 20 tahun. Tetapi keadaan itu mulai berubah sedikit demi
sedikit setelah perkunjungan wakil Neukirchn Mission tahun 1963 dimana bantuan material
diberikan secara terbatas sesuai kebutuhan. Perkembangan ini ditambah dengan suasana baru
setelah tahun 1965 termaksud pertumbuhan gereja secara pesat dan keremajaan kepemimpinan
GKJTU tahun 1970 yang mendorong anggota-anggota GKJTU untuk mulai menanggung
pembiayaan gereja. Pada tahun 1971 setiap keluarga GKJTU meminta persembahan Rp. 5
sebulan untuk kas pusat GKJTU.
Pertumbuhan dan perkembangan Injil Gereja Kristen Jawa Tengah Utara. Bagian ini
dimulai dengan memaparkan keadaan pertumbuhan Gereja Kristen Jawa Tengah Utara,
khususnya setelah ia berdiri sendiri, karena pada umumnya dianggap pertumbuhan gereja adalah
akibat dari usaha-usaha pemberitaan injil, dan lebih baik bila dimulai dengan kenyataan, dengan
apa yang yang telah terjadi.
Perkembagan pertumbuhan dan pekabaran injil GKJTU yang pertama ialah tahun 1916-
1938 (masa pembinaan oleh Zending) yang ditandai oleh pertumbuhan yang meningkat. Yang
kedua ialah tahun 1939 dan 1949 ( masa perang, pendudukan dan revolusi) yang ditandai oleh
kemunduran dalam segala segi. Fase yang ketiga tahun 1953-1970 ditandai oleh pertumbuhan
yang meningkat terus, khususnya antara tahun 1965-1970. Dan fase yang keempat tahun 1971-
sekarang, mencatat suatu kemunduran. Perlu ditekankan bahwa demikian gambaran yang nyata
dalam angka-angka yang ada. Apakah gambaran tersebut benar-benar mencerminkan keadaan
yang sebenarnya, tergantung pada berapa jauhkah angka-angka yang ada ini benar.
Persoalan-persoalan bagi gereja dan orang Kristen dengan adat-isitadat Jawa pada
umumnya timbul dalam keluarga-keluarga yang belum lama masuk Kristen, sehingga praktek-
praktek kejawen masih kuat dan dekat. Misalnya GKJTU sering menghadapi soal sunat yang
menurut adat jawa anak laki-laki disunatkan waktu sebelum masuk belasan tahun yang upacara
tersebut dihubungkan dengan agama Islam, tentu pandangan umum tersebut membuat tidak
mungkin keluarga Kristen mengchatankan anak-anaknya yang laki-laki. Gereja menghadapi soal
ini tidak dengan larangan melainkan dengan penerangan.
Dari hasil pembahasan dan keputusan sinode GKJTU sunat tidak boleh didasarkan atas
iman tetapi boleh dilakukan berdasarkan prinsip kesehatan dan kalau dilakukan berdasarkan
prinsip kesehatan dan dilakukan oleh Dokter. Yang kedua soal perkawinan ganda atau poligami
sering timbul khususnya berhubungan dengan orang Kristen baru yaitu gereja tidak
membenarkan perkawinan ganda oleh orang yang sudah Kristen. Peristiwa-peristiwa tersebut
menunjukkan bahwa GKJTU bergumul dengan pengaruh-pengaruh kebudayaan daerah dalam
bentuk adat kebiasaan dengan kepercayaan Jawa yang bertentangan dengan kepercayaan Kristen
tetapi, orang-orang Kristen mengikuti adat-adat ini yang tidak bertentangan dengan iman
Kristen.
Kebudayaan Jawa belum secara personal masuk kedalam GKJTU dan dalam sidang-
sidang sinode dilaporkan bahwa ibadah diselenggarakan dalam bahasa Indonesia, tetapi bisa
campur dalam bahasa Jawa.
Dalam khas kejawen dalam bidang agama di jawa ialah aliran-aliran kepercayaan yang
disebut “kebatinan”. Jutaan orang-orang jawa di jateng mengikuti golongan-golongan kebatinan.
Kepercayaan Jawa yang masih hidup didalam adat dan aliran-aliran agama lain tidak
mempengaruhi secara berarti hidup dan pekerjaan GKJTU.
Yang dimaksud dengan “pemerintah daerah” di sini ialah pemerintahan pada tingkat yang
bersangkutan atau pemerintah setempat di mana gereja berada.Jawaban dari pimpinan gereja
terhadap pertanyaan bagaimana hubungan GKJTU dengan pemerintah pada umumnya “baik”.
Ada tiga macam persoalan khusus yang menyebabkan GKJTU berhubungan dengan pemerintah
setempat:
a. Menyangkut hal penyelesaian soal hak milik GKJTU atas tanah dan gedung-gedung
yang dihibahkan tahun 1960 oleh salatiga Zending dan Neukirchener Mission kepada
GKJTU, Dalam memecahkan dan menjernihkan masalah-masalah harta milik,
GKJTU harus berurusan dengan kantor agraria tingkat kabupaten dan kotamadya dan
juga sana-sini dengan Pengadilan Negeri.
b. Yang kedua ialah soal izin membangun gedung gereja dan rumah pendeta. Sejak
tahun 1969 soal ini menjadi lebih rumit sebab keputusan bersama Menteri dalam
negeri dan menteri Agama.
c. Persoalan kuburan bagi umat Kristen,masalah kesulitan mendapat tempat untuk
memakamkan orang kristen yang meninggal dalam wilayah yang sebagian besar
penduduknya adalah kaum muslimin yang fanatik, semakin sering terjadi dan
memerlukan kerjasama antara gereja dan pemerintah setempat untuk
menyelesaikannya. Setelah tahun 1971 soal-soal ini semakin jarang terjadi.
KESIMPULAN
Gereja Kristen Jawa Tengah Utara didirkan pada tahun 1937 oleh Badan Zending ,
Waisen Und Missionsanstalt. Banyak persoalan persoalan yang dihadapi oleh GKJTU mulai dari
berdirinya hingga saat ini. Dimana persoalan GKJTU terletak pada dirinya sendiri, bukan pada
pihak-pihak luar. GKJTU tidak berbuat banyak dalam pekabaran injil, pelayanan dan hubungan
serta kerjasama oikumenis ( walaupun ada apa-apanya yang dibuatnya dalam masing-masing
bidang ini), bukan karena tidak ada kesempatan atau kebutuhan, bukan pula karena dihalangi
atau dihambatkan oleh pihak-pihak luar, melainkan karena kelemahan-kelemahan dalam dirinya
sendiri.