Anda di halaman 1dari 51

PROPOSAL PENELITIAN

IMPELEMENTASI KEBIJAKAN MUSYAWARAH PERENCANAAN


PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) DI KECAMATAN CIBAL
KABUPATEN MANGGARAI

OLEH

NATANAEL LAVISER LUDI

42118105

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRAKUPANG

2021

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, pembangunan yang

berkelanjutan merupakan awal dari bagaimana rencana serta proses yang harus dilalui

dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Perencanaan merupakan proses pemilihan alternatif untuk menentukan tindakan

setelah melihat berbagai opsi dalam mencapai tujuan baik jangka pendek, jangka

menengah ataupun jangka panjang. Ruang lingkupnya dapat bersifat nasional,

regional, sektoral dan dapat pula bersifat makro atau menyeluruh. Hasil dari rencana

akan melahirkan sebuah kebijakan, misalnya kebijakan menyangkut pembangunan

daerah ataupun membangun proyek jalan raya. Maka dari itu diperlukan yang

namanya Musyawarah Perencanaan Pembangunan,  (Zakir, Muhhamad. 2020: 1).

Terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menegaskan bahwa: “Pemerintah Daerah

berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan”. Undang-Undang tersebut merupakan kerangka dasar

otonomi daerah yang salah satunya mengamanatkan pelaksanaan perencanaan

pembangunan dari bawah secara partisipatif. Dalam rangka pelaksanaan otonomi,

perencanaan pembangunan Kecamatan merupakan satu kesatuan dalam sistem

perencanaan pembangunan daerah (Kabupaten/Kota), dan merupakan bagian dari

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undan-Undang Nomor 33 Tahun 2004

Pasal 1 ayat (19) menegaskan, bahwa: “Dana Perimbangan adalah dana yang

bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan

1
angka presentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan

Desentralisasi”.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 1354/M.PPN/03/2004 dan 050/774/SJ

tentang pedoman pelaksanaan forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif

menjelaskan, bahwan: “Musyawarah Perencaan Pembangunan (Musrenbang) dimulai

dari Musrenbang tingkat Desa/Kelurahan, Musrenbang Kecamatan, Musrenbang

Kabupaten/Kota dan Musrenbang Provinsi”. Pada tingkat Kecamatan, Musyawarah

Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) sudah menjadi program tahunan yang wajib

dilaksanakan, untuk mendorong peran dan partisipasi masyarakat agar terlibat untuk

merumuskan serta mengambil keputusan bersama pemerintah dalam penyusunan

perencanaan pembangunan tahunan tingkat Kecamatan. Dalam mengatur berjalannya

Impelementasi Musyawarah Perencanaan Pembangunan pada tingkat Kecamatan,

diterbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang dikeluarkan

Pemerintah, maka pelaksanaan perencanaan pembangunan bersifat Bottom-Up, yang

menekankan partisipasi dari banyak pihak dalam pelaksanaan pembangunan tersebut.

Keterlibatan dari banyak pihak dalam perencanaan pembangunan daerah tersebut,

dapat diwujudkan melalui sebuah Musyawarah Perencanaan Pembangunan

(Musrenbang). Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) itu sendiri,

merupakan forum antar pelaksana dalam rangka menyusun rencana pembangunan

Nasional dan rencana pembangunan Daerah, serta sebagai wadah penyusunan

dokumen rencana pembangunan dan koordinasi antar instansi pemerintah serta

partisipasi seluruh pelaku pembangunan.

2
Pasal 1 ayat (3) terkait Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional menjelaskan bahwa : “ Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional (SPPN) adalah satu kesatuan tata cara perencanaan

pembangunan, untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka

panjang, menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggaraan

Negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah “. Pasal 1 ayat (21) juga

menyatakan bahwa : “ Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya

disingkat Musrenbang adalah forum antarpelaku, dalam rangka menyusun rencana

pembangunan Nasional dan rencana pembangunan Daerah ”. Kemudian dalam pasal

8 menjelaskan empat (4) tahap dalam perencanaan pembangunan, yaitu :

1. Penyusunan Rencana

2. Penetapan Rencana

3. Pengendalian Pelaksanaan Rencana Pembangunan

4. Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara

Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah,

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat Kecamatan

merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Rencana Kerja Pembangunan Daerah

(RKPD), yang kemudian menghasilkan Rencana Pembangunan Kecamatan. Hal ini

dapat dilihat pada Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan bahwa : “ Musrenbang RKPD

Kabupaten/Kota dilaksanakan untuk keterpaduan Rancangan Renja antar-SKPD dan

antar-Rencana Pembangunan Kecamatan “. Pasal 17 ayat (5) juga menyatakan

bahwa: “ Penetapan program prioritas berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar

masyarakat dan pencapaian keadilan yang berkesinambungan dan berkelanjutan “.

Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan Pasal 29

3
ayat (1) menyebutkan: “ Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di Kecamatan,

disusun perencanaan pembangunan sebagai kelanjutan dari hasil Musyawarah

Perencanaan Pembangunan Desa/Kelurahan “. Kriteria normatif ini memberikan

dasar bahwa dalam hal penentuan program dan kegiatan prioritas perlu dipastikan

bahwa program dan kegiatan tersebut berorientasi kepada pemenuhan hak-hak dasar

masyarakat terutama kelompok miskin atau marjinal seperti yang diamanatkan oleh

UUD 1945. Pernyataan diatas hendak memperbaiki kelemahan praktik perencanaan

pembangunan yang terjadi selama ini, yaitu tidak terlepas dari proses penganggaran

saja namum juga pada proses implementasinya. Untuk memastikan kesinambungan

rencana dan waktu, keselarasan perencanaan dan penganggaran maka diterapkan

kerangka pendanaan untuk penyusunan RPJM dan pagu indikatif untuk penyusunan

RKPD. Yang dimaksud dengan pagu indikatif adalah jumlah dana yang tersedia untuk

penyusunan program dan kegiatan tahunan.

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) pada tingkat Kecamatan

menjadi ruang publik untuk menampung aspirasi dan keluhan masyarakat terkait

pembangunan kedepan mulai dari mengenai masalah, kebutuhan, kendala, potensi

yang ada, serta penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat. Musyawarah

Perencanaan Pembangunan pada tingkat Kecamatan dilaksanakan dengan tujuan untuk

membahas dan menyepakati hasil-hasil Musrenbang dari tingkat Desa/Kelurahan yang

akan menjadi kegiatan prioritas pembangunan di wilayah Kecamatan itu sendiri,

membahas dan menetapkan kegiatan prioritas pembangunan di tingkat Kecamatan

yang belum tercakup dalam prioritas kegiatan pembangunan Kecamatan, sesuai

dengan  fungsi-fungsi  Satuan  Kerja  Perangkat  Daerah  Kabupaten/Kota. 

Implementasi Musyawarah Perencanaan Pembangunan  (Musrenbang) dikatakan

4
berhasil, apabila hasil dari Musrenbang itu sendiri dapat diimplementasikan dengan

baik pula.

Hasil dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat

Kecamatan akan menjadi masukan dalam Musrenbang pada tingkat yang lebih tinggi

lagi, yaitu Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) pada tingkat

Kabupaten/Kota (Musrenbangda), Musyawarah Perencanaan Pembangunan pada

tingkat Provinsi (Musrenbang Provinsi) dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan

pada tingkat Nasioanl (Musrenbangnas).

Berdasarkan informasi awal yang telah diperoleh penulis melalui wawancara serta

pengamatan secara langsung, Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)

di Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai telah diimplementasikan sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara

Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah,

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat Kecamatan. Namun

dalam pelaksanaannya, masih terdapat beberapa kendala atau masalah yaitu, masih

begitu banyak usulan-usulan mengenai kegiatan/program dari masyarakat

Desa/Kelurahan dalam Musrenbang Kecamatan Cibal yang belum direalisasikan.

Dengan kata lain, kegiatan/program yang belum direalisasikan tersebut diusulkan

secara berulangkali dan terus-terus pada saat Musrenbang Kecamatan berlangsung

setiap tahunnya, dengan harapan usulan-usulan berupa program atau kegiatan tersebut

dapat diterima dan segera direalisasikan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut

ini :

5
Tabel 1.1

Daftar Program Hasil Musrenbang Yang Belum Direalisasikan di Kecamatan


Cibal Tahun 2021

No Kegiatan Lokasi (Desa/Keluarah)


1. Peningkatan Kapasitas Jalan RT10 Kelurahan Pagal
2. Pembangunan Jaringan Irigasi RT004, RT008 Kelurahan Pagal
3. Revilitasi Rumah Adat RT001 Kelurahan Pagal
4. Penyediaan Truck Sampah RT10 Kelurahan Pagal
5. Rumah Tidak Layak Huni Desa Nenu
6. Rehabilitas/Pemeliharaan Rutin Jalan Desa Nenu
7. Pembagunan WC, Jamban PAUD Desa Nenu
8. Penambahan Ruang Kelas SD SD Rado, Desa Rado
9. Rehab Poskesdes/Pustu Desa Welu
10
. Penambahan Guru SD SDI Perak, Desa Perak
11
. Rumah Tidak Layak Huni Desa Golo
12
. Bantuan Meteran Listrik Gratis Desa Golo
13
. Pembangunan Bendungan Desa Langkas
14
. Rehab Ruangan Guru SDI Beanio, Desa Riung
15
. Revilitasi Rumah Adat Desa Kentol
16
. Rumah Tidak Layak Huni Desa Riung
17
. Peningkatan Kapasitas Jalan Dusun Wakal dan Dusun Pau, Desa Kentol
18
. Pembangunan Jembatan Dusun Poka, Desa Golo Ncuang
19
. Pembangunan Pokesdes/Pustu Dusun Terep, Desa Golo Ncuang
20
. Bantuan Benis Sayur-Sayuran Dusun Nontol,Poka,Terep Desa Golo Ncuang
21
. Rehabilitasi dan Pemeliharaan Fasiltas Kesehatan Desa Wudi
22 Bantuan Mesin Pengupas Kemiri Desa Welu

6
.
23
. Bantuan Benis Ikan dan Pakan Ikan Desa Welu
24
. Bantuan Alat Traktor Dusun Barang dan Nundang, Desa Barang
25
. Peningkatan Jalan Persawahan Wonta, Desa Barang
26
. Rehabilitasi Jaringan Irigasi Dusun Cumpe, Desa Golo
27
. Pembangunan Bendungan Dusun Lujang, Desa Welu
28
. Peningkatan Jalan Dusun Pinggang, Desa Pinggang
29
. Pembangunan Jaringan Irigasi Dusun Lenggor, Desa Pinggang
30
. Rumah Tidak Layak Huni Dusun Rii, Weli, Teber, Desa Beamese
31
. Peningkatan Jalan Dusun Ladur, Desa Ladur
32
. Rehabilitasi Rumah Dinas Kepala Sekolah SDI Beanoning, Desa Golo Ncuang
33
. Rehabilitasi Lahan Kritis Dusun Nontol,Poka,Terep Desa Golo Ncuang
34
. Rumah Tidak Layak Huni Desa Kentol
35
. Pengadaan Saran Kesehatan Pustu Riung, Desa Riung
36
. Rehabilitasi/Rekonstruksi Jalan dan Jembatan Dusun Wetok, Desa Langkas
37
. Rehab, Pemeliharaan Jaringan Irigasi Usaha Tani Dusun Wotok, Desa Riung
38
. Rehabilitasi dan Pemeliharaan Jalan Usaha Tani Dusun Kois dan Wotok, Desa Riung
39
. Pembangunan WC, Jamban PAUD Dusun Poa, Lempis, Wetok, Desa Langkas
40
. Normalisasi Sungai RT004 dan RT006, Kelurahan Pagal
Sumber : Rekapitulasi Program Hasil Musrenbang Kecamatan Cibal Yang Belum
Direalisasikan

7
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa masih terdapat 40 program yang merupakan

usulan dari semua peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di

Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai yang belum direalisasikan. Berdasarkan

informasi yang awal yang peneliti dapatkan, bahwan program-program tersebut sudah

diusulkan secara terus-menerus pada saat Musrenbang di Kecamatan Cibal

dilaksanakan setiap tahunnya. Hal tersebut menimbulkan adanya rasa kekecewaan dari

para peserta (masyarakat) yang telah memberikan aspirasi mereka dalam Musrenbang

Kecamatan Cibal, dan hingga saat ini sikap dari pelaksana kebijakan belum

menunjukkan adanya tanda-tanda bahwa program-program diatas akan diwujud

nyatakan.

Selain itu, fasilitas dalam pelaksanaan Muyawarah Perencanaan Pembangunan

(Musrenbang) di Kecamatan Cibal masih belum terlalu memadai. Hal tersebut dapat

diamati peneliti dari beberapa peserta Musrenbang yang tidak mendapatkan tempat

duduk atau kursi serta ruangan yang sempit, sehingga mereka harus mengikuti

pelaksanaan Musrenbang dari awal hingga selesai dalam posisi berdiri.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis merasa tertarik untuk

melakukan sebuah penelitian dengan judul “ IMPELEMENTASI KEBIJAKAN

MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG), DI

KECAMATAN CIBAL KABUPATEN MANGGARAI”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah
sebagai berikut :

8
1. Bagaimana Implementasi Kebijakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan

(Musrenbang) Di Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai ?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Di Kecamatan Cibal,

Kabupaten Manggarai ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dan maksud dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Implementasi Kebijakan Musyawarah Perencanaan

Pembangunan (Musrenbang) Di Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Musyawarah Perencanaa Pembangunan (Musrenbang) Di Kecamatan Cibal,

Kabupaten Manggarai.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Manfaat Teoritis :

1. Diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pemerintah

Kecamatan untuk kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,

khususnya berkaitan dengan Implementasi Kebijakan Perencanaan

Pembangunan (Musrenbang) di Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai.

Manfaat Praktis :

1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi dan bahan

pertimbangan dalam Implementasi Musrenbang, sehingga bisa menjadi bahan

rekomendasi bagi pelaksanaan Musrenbang berikutnya.

9
2. Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti

lainnya, yang akan meneliti tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan

(Musrenbang).

BAB II

LANDASAN KONSEPTUAL

2.1 Kerangka Konseptual

10
2.1.1 Konsep Implementasi

Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik, yang

biasanya dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan tujuan yang jelas.

Implementasi juga dapat diartikan sebagai suatu rangkaian aktivitas dalam rangka

menghantarkan kebijakan kepada masyarakat, sehingga kebijakan tersebut dapat

membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Konsep implementasi semakin marak

dibicarakan seiring dengan banyaknya pakar yang memberikan kontribusi pemikiran

tentang implementasi kebijakan, sebagai salah satu tahapan dari proses kebijakan.

Menurut Jones (1996: 31) implementasi dipandang sebagai suatu proses interaksi

antara penentuan tujuan dengan tindakan yang akan dilakukan, untuk mencapai tujuan

yang telah disepakati bersama. Dengan demikian implementasi menjadi jaringan yang

mampu untuk menguatkan hubungan yang menjadi mata rantai dan memungkinkan

untuk mencapai hasil yang diinginkan. Maka dari itu, komunikasi antara unsur-unsur

yang saling terkait merupakan konsep kepentingan dalam implementasi. Selanjutnya,

Jones (1996 : 31) mengemukakan bahwa implementasi terdiri dari tiga aktivitas utama,

yaitu :

1. Pengorganisasian, yaitu pembentukan atau penataan kembali sumber daya dan

unit-unit yang terkait dalam menjalankan proses.

2. Interpretasi, yaitu sebuah aktifitas yang menafsirkan aturan main program agar

menjadi rencana dan arahan yang tepat, dapat diterima serta dilaksanakan.

3. Aplikasi, yaitu penyediaan perangkat layanan, pembangunan atau rutinitas

lainnya yang berkaitan dengan program.

Dari pandangan Jones diatas, terdapat beberapa aktivitas yang sangat penting dalam

kesuksesan sebuah program. Aktivitas tersebut meliputi pengorganisasian, interpretasi

11
dan aplikasi. Ketiga unsur ini merupakan item-item yang saling berkaitan, dan apabila

ketiga unsur ini dilaksanakan dan saling bersinergi, maka suatu program yang

dilaksanakan akan berjalan sesuai dengan harapan.

Sedangkan Van Metter dan Van Horn (1975) mendefinisikan implementasi

kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta, baik secara

individu maupun berkelompok untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dirumuskan

dalam kebijakan.

Menurut Agustino (2010: 139), implementasi merupakan suatu proses yang

dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktifitas atau kegiatan sehingga

pada akhirnya akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran

kebijakan itu sendiri. Sedangkan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983:

139) menjelaskan makna implementasi adalah, pelaksanaan keputusan kebijakan dasar

biasanya dalam bentuk undang-undang. Namun dapat pula berbentuk perintah-perintah

atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.

Grindle dalam Winarno (1980: 7) memberikan pandangannya tentang

implementasi dengan menyatakan secara umum tugas implementasi adalah

membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa

direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Sedangkan menurut

Widodo (Sutojo, 2015: 4), impelementasi merupakan suatu proses yang melibatkan

sejumlah sumber-sumber daya yang didalamnya termasuk manusia, dana serta

kemampuan operasional oleh pemerintah maupun swasta (individu atau kelompok),

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan.

Teori George C. Edward III (dalam Subarsono, 2011: 90-92) berpandangan bahwa

implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu :

12
1. Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar

implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi

tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran

(target group), sehingga akan mengurangi distori implementasi.

2. Sumber daya, meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan

konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk

melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya

tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi

implementor dan sumber daya finansial.

3. Disposisi, merupakan watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor

seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementor

memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan

kebijakan dengan baik seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika

implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat

kebijakan, maka proses implementasi juga menjadi tidak efektif.

4. Struktur birokrasi, yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek dari struktur

birokrasi adalah Standar Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi. Struktur

birokrasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan

menimbulkan red-tape, yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan tidak kompleks

yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky (Syahida, 2014: 8-9) mengemukakan

implementasi berarti membawa, menyelesaikan, mengisi, menghasilkan dan

melengkapi. Jadi, secara etimologis implementasi merupakan suatu aktivitas yang

13
bertalian atau berhubungan dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan

penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil.

Dari beberapa konsep implementasi yang telah dikemukakan diatas, dapat

ditarik kesimpulan bahwa implementasi merupakan tahap atau wujud utama yang

sangat menentukan dalam proses kebijakan, yang melibatkan segala sumber daya

yang ada didalamnya meliputi manusia, dana serta kemampuan operasional. Tanpa

implementasi yang efektif, keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil

dilaksanakan.

2.1.2 Konsep Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah alat untuk mencapai tujuan publik, bukan tujuan

perorangan atau golongan maupun kelompok. Meskipun sebagai alat (tool),

keberadaan kebijakan publik sangatlah penting dan krusial. Penting karena sangat

menentukan tercapainya sebuah tujuan, meskipun masih ada sejumlah tahapan lainnya

yang harus dipenuhi sebelum sampai pada tujuan yang dikehendaki. Krusial karena

sebuah kebijakan diatas kertas telah dibuat melalui proses yang baik dan isinya

berkualitas, meskipun tidak secara otomatis dapat dilaksanakan kemudian

menghasilkan yang sesuai dan selaras dengan apa yang diinginkan oleh pembuatnya.

Kebijakan publik dapat pula diartikan sebagai kewenangan pemerintah menjalankan

tugas dan fungsinya dalam hubungannya denga masyarakat. Pada dasarnya, kebijakan

pemerintah dalam menata kehidupan masyarakat pada berbagai aspek merupakan

kebijakan yang berorientasi pada kepentingan publik (masyarakat). Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia, kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang

menjadi garis dan dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan serta

cara bertindak. Kebijakan publik merupakan konsep asas sebagai pedoman dan dasar

14
rencana di dalam pelaksanaan suatu kegiatan berdasarkan pada suatu prinsip, yang

menghasilkan suatu keputusan mengenai alternatif mana yang baik untuk dilakukan.

Selain itu kebijakan publik juga berkaitan erat dengan aktivitas pemerintah dalam

memecahkan masalah yang terjadi ditengah masyarakat, baik secara langsung maupun

melalui berbagai lembaga pemerintah. Kebijakan publik akan melahirkan keputusan-

keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran startegis atau bersifat garis

besar, yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat

publik, maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka

yang menerima mandat dari publik atau orang banyak yang pada umumnya melalui

suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak.

Menurut Robert Eyestone (1971: 18), secara luas kebijakan publik merupakan

“hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”. Konsep ini mengandung

pengertian yang sangat luas dan kurang pasti, karena apa yang dimaksud kebijakan

publik dapat mencakup banyak hal. Definisi lain tetang kebijakan publik dikemukakan

oleh Thomas R. Dye dalam ( Irfan Islamy, 2001: 18), bahwa kebijakan publik

merupakan segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak

dikerjakan. Definisi tersebut menjelaskan bahwa pemerintah selaku pemegang control

dalam keberlangsungan suatu negara, memiliki sikap dalam prakteknya. Apabila

pemerintah memilih melakukan untuk sesuatu haruslah mempunyai tujuan yang jelas,

serta harus meliputi semua tindakan pemerintah sehingga tidak semata-mata

merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Disamping

itu, sesuatu yang telah dipilih oleh pemerintah ataupun tidak dipilih untuk dikerjakan

tetaplah disebut sebagai hasil kebijakan pemerintah. Hal tersebut dikarenakan sesuatu

yang tidak dilaksanakan pemerintah mempunyai dampak atau pengaruh yang sama

besarnya dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah.

15
George C. Edward III mempuyai pendapat yang sedikit mirip dengan Thomas R.

Dye tentang kebijakan publik, yaitu kebijakan publik adalah “ apa yang dinyatakan

pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, kebijakan publik

merupakan sasaran atau tujuan program-program pemerintah. Akan tetapi dijelaskan

pula bahwa kebijakan publik juga dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan

perundang-undangan, dalam bentuk pidato para pejabat pemerintah maupun berupa

program-program serta tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah (Irfan Islamy,

2001: 19). Maka dari itu dalam terminologi ini, kebijakan publik yang dilakukan oleh

pemerintah adalah untuk mengatasi persoalan rill yang muncul ditengah-tengah

masyarakat untuk dicarikan jalan keluar terbaik melalui peraturan perundang-

undangan, peraturan pemerintah, keputusan pejabat birokrasi dan keputusan lainnya

yang termasuk dalam peraturan daerah. Dalam mengatasi persoalan riil yang

bermunculan ditengah masyarakat, pemerintah tentunya akan mencari alternatif

terbaik untuk pemecahan persoalan-persoalan tersebut, baik itu melalui peraturan

perundang-undangan, peraturan pemerintah, keputusan pejabat birokrasi yang pada

akhirnya akan melahirkan sebuah kebijakan publik. Kebijakan publik dalam prosesnya

memerlukan tahapan yang kompleks, karena menggunakan banyak sekali variabel

untuk mendukung kebijakan yanag hendak ditentukan.

Willian N. Dunn (1998: 24) menjelaskan beberapa tahapan dalam pembuatan

kebijakan yaitu :

a. Penyusunan agenda (agenda setting), merupakan sebuah fase dan proses yang

sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang

untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan agenda publik

perlu diperhitungkan.

16
b. Formulasi kebijakan (policy formulation), yang dimana masalah yang sudah

masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat

kebijakan. Masalah- masalah tersebut didefinisikan untuk dicari solusi

terbaiknya. Pemecahan masalah-masalah tersebut dapat berasal dari berbagai

alternatif atau pilihan kebijakan yang ada.

c. Adopsi/Legitimasi Kebijakan (policy adption), yang bertujuan untuk

memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Apabila tindakan

legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara

akan mengikuti arahan pemerintah. Namun, warga harus percaya bahwa

tindakan pemerintahan merupakan tindakan yang sah.

d. Implementasi kebijakan (policy implementation), merupakan tindakan dalam

proses pembuktian dari sebuah kebijakan. Berhasil atau tidaknya sebuah

kebijakan, pada akhirnya ditentukan pada tataran implementasinya. Untuk

dapat menganalisis proses implementasi kebijakan dilakukan beberapa

pendekatan salah satunya adalah top-down, yang dimana pendekatan tersebut

bertitik tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan atau kebijakan yang

telah ditetapkan oleh pihak-pihak pembuat kebijakan, harus dilaksanakan oleh

seluruh aparatur, administratur atau birokrat di semua tingkatan terutama pada

tingkat bawah.

e. Penilaian/Evaluasi Kebijakan (policy assesment), merupakan kegiatan yang

menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,

implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu

kegiatan fungsional yang berarti evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada

tahap akhir saja melainkan dilakukan pada seluruh proses kebijakan. Dengan

demikian, penilaian/evaluasi kebijakan dapat meliputi tahap perumusan

17
masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk

menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi maupun tahap dampak

kebijakan.

Setiap tahap dalam pengambilan kebijakan harus dilaksanakan dengan memperhatikan

sisi ketergantungan masalah satu dengan lainnya.

Menurut James E. Anderson dalam Agustino (2017: 17), kebijakan publik adalah

serangkaian kegiatan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan

oleh sekelompok aktor yang berhubungan dengan permasalahan atau suatu hal yang

diperhatikan. Sedangkan menurut Carl Fredrich dalam Agustino (2017: 166),

kebijakan publik adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh

seseorang atau sekelompok orang atau pemerintah dalam suatu lingkup tertentu,

dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-

kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan, agar

berguna dalam mengatasinya utuk mencapai tujuan yang dimaksud.

Dari beberapa konsep kebijakan publik yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan

bahwa Kebijakan publik merupakan konsep asas sebagai pedoman dan dasar rencana

di dalam pelaksanaan suatu kegiatan, berdasarkan pada suatu prinsip kebijakan

pemerintah dalam menata kehidupan masyarakat pada berbagai aspek yang

berorientasi pada kepentingan publik (masyarakat). Kebijakan publik akan melahirkan

keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran startegis atau

bersifat garis besar, yang dibuat oleh pemegang otoritas publik.

2.1.3 Model-Model Impelentasi Kebijakan

Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, telah lahir dua model

pendekatan yaitu Top-Down dan Bottom-Up. Menurut Sabatier (1986: 21-48), terdapat

18
dua model yang berpacu dalam tahap implementasi kebijakan yakni model Top-Down

dan Bottom-Up. Kedua model ini terdapat disetiap proses pembuatan kebijakan. Model

elite, model proses dan model inkremental dianggap sebagai gambaran pembuatan

kebijakan berdasarkan Top-Down, sedangkan gambaran model Bottom-Up dapat

dilihat pada model kelompok dan model kelembagaan. Model pendekatan Top-Down

dalam kerangka analisis berangkat pada perspektif kebijaksanaan sebagai suatu

(keputusan kebijaksanaan) yang ditetapkan oleh decisions maker (pengambil

keputusan). Sedangkan fokus analisisnya tertuju pada pencapaian tujuan-tujuan formal

kebijaksanaan yang telah ditetapkan para pengambilan keputusan dari kerangka

analisis yang dipakai, sehingga akan mudah dipahami kalau model Top-Down lebih

menekankan aspek birokrasi sebagai instrumen utama untuk mengukur efektifitas

pelaksanaan kebijakan. Sedangkan model pendekatan Bottom-Up, dimensi politik

kurang mendapat tempat dan memandang politik dan administrasi sebagai dua aktifitas

yang terpisah. Maka dalam pendekatan ini, aspek politik justru memperoleh banyak

perhatian.

Beberapa karakterisktik yang merupakan ciri spesifik pendekatan Bottom-Up seperti

yang dikemukakan Sabatier (1968) meliputi :

1. Dengan metode teknik jaringan akan diperoleh pemahaman yang jelas

mengenai proses interaksi antar aktor yang terlibat dalam tahap implementasi

kebijakan, di dalam satu atau lebih wilayah lokal dan mempertanyakan tujuan-

tujuan serta hubungan-hubungan diantara mereka, sehingga dengan demikian

akan mudah mengidentifikasi aktor-aktor lokal, regional dan rasional yang

terlibat dalam perencanaan, pembiayaan dan pelaksanaan program-program

pemerintah.

19
2. Memfokuskan pada persoalan-persoalan yang muncul dalam implementasi

kebijakan.

3. Memusatkan perhatiannya pada interaksi yang terjadi diantara berbagai faktor

di dalam suatu jaringan kebijakan.

Van Meter dan Varn Horn (1975), merumuskan implementasi kebijakan yang

dikenal dengan A Model of the Policy Implementation. Model ini mengandaikan

bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana

dan kinerja kebijakan publik. Model ini juga menjelaskan, bahwa kinerja kebijakan

dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, yaitu :

1. Standar dan Sasaran Kebijakan/Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Van Meter dan van Horn dalam Sulaeman (1998) mengemukakan, untuk

mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan

sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, serta kinerja

kebijakan yang pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian

standar dan sasaran tersebut.

2. Sumber Daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan

memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya

yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan.

Van Meter dan Van Horn dalam Widodo (1974) menegaskan bahwa, sumber

daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi.

Sumber daya kebijakan ini juga harus tersedia dalam rangka untuk

memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini

terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan

(implementasi) suatu kebijakan. Kurang atau terbatasnya dana atau insentif lain

20
dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap

gagalnya implementasi kebijakan.

3. Karakteristik Organisasi Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi

informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini

sangatlah penting, karena kinerja implementasi kebijakan sangat dipengaruhi

oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal tersebut

berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa

kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan disiplin. Pada konteks

lain, diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selain itu,

cakupan dan luas wilayah juga menjadi pertimbangan penting dalam

menentukan agen pelaksana kebijakan.

4. Komunikasi Antar Organisasi Terkait dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan

Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Widodo (1974), agar kebijakan publik

bisa dilaksanakan dengan efektif yaitu apa yang menjadi standar tujuan harus

dipahami oleh para individu (implementors), yang menjadi penanggung jawab

atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan. Maka dari itu, standar dan tujuan

harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka

penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa yang

menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and

uniformity) dari berbagai sumber informasi. Dalam kejelasan tersebut, para

pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan apa

yang harus dilakukan.

5. Diposisi atau Sikap Para Pelaksana

21
Arah disposisi para pelaksana terhadap standar tujuan kebijakan sangatlah

penting. Karena bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil bisa

jadi jadi gagal ketika para pelaksana tidak sepenuhnya menyadari standar dan

tujuan kebijakan. Para pelaksana bisa gagal dalam melaksanakan kebijakan,

dikarenakan menolak apa yang menjadi tujuan dari sebuah kebijakan.

Sebaliknya, pemahaman dan penerimaan yang mendalam terhadap standar dan

tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab melaksanakan

kebijakan tersebut, merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan

implementasi kebijakan. Ada tiga macam elemen respon yang dapat

mempengaruhi kemampuan dan kemauan seorang impelementor dalam

melaksanakan suatu kebijakan, antara lain :

1. Pengetahuan (cognition), yaitu pemahaman dan pendalaman (comprehension

and understanding) terhadap kebijakan.

2. Arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance,

neutrality and rejection).

3. Intensitas terhadap kebijakan.

6. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Politik

Hal terakhir yang harus diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan

adalah, sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan

publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi

sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Maka dari itu,

upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang

kondusif.

Edward III (1980) melihat implementasi kebijakan sebagai sebagai suatu proses

yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan

22
mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna

mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi. Faktor-

faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dapat

dilihat dari model Edward III, yaitu :

1. Komunikasi

Komunikasi, merupakan proses penyampian informasi dan komunikator kepada

komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti proses penyampian

informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana

kebijakan (policy iplementor).

2. Sumber daya

Sumber daya memiliki peran penting dalam implementasi kebijakan. Edward III

dalam Widodo (2011: 98), mengemukakan bahwa “bagaimanapun jelas dan

konsistennya ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana

kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tidak

mempunyai sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif, maka

implementasi kebijakan tersebut tidak akan berjalan efektif:”. Sumber daya ini

berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung

keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakupi :

a. Sumber daya manusia (staf).

b. Anggaran (budgetary).

c. Informasi dan kewenangan (information and authority).

3. Disposisi

Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari perilaku kebijakan berperan

penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan

atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan

23
misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan

implementor untuk tetap berada dalam asas program yang telah digariskan,

sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan akan membuat

mereka selalu antusias dengan peraturan yang telah ditetapkan.

4. Struktur birokrasi

Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi

kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme

dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme; dalam

implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat Standar Operation Procedure

(SOP). Standar Operation Procedure (SOP) ini menjadi pedoman bagi semua

implementor, agar dalam semua pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari

tujuan dan sasaran kebijakan.

Aspek kedua adalah struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi,

akan cendrung melemahkan pengawasan dan menyebabkan aktivitas organisasi

tidak menjadi fleksibel. Untuk mengimplentasikan berbagai jenis program

memerlukan pengendalian yang berbeda, tetapi pada dasarnya semua memiliki

sasaran untuk mengetahui berhasil tidaknya implementasi, bahkan memadai atau

tidaknya implementasi program. Menurut Luther Gulick dalam (Darpin

2014:131-132), unsur-unsur pokok manajemen dalam proses implementasi

meliputi:

1. Pengorganisasian (organizing), diartikan sebagai kegiatan pembagian tugas-

tugas pada orang yang terlibat dalam kerja sama di suatu institusi.

2. Penganggaran (budgeting), fungsi ini berkenaan dengan pengendalian

organisasi melalui perencanaan fiscal dan akuntansi.

24
Adapun konsep utama dalam pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak

dijadikan obyek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subyek dari

upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian maka Ginnanjar

Kartasasmita (1995), menyatakan bahwa pernyataan masyarakat harus mengikuti

pendekatan sebagai berikut :

1. Upaya itu harus terarah (targeted), hal ini yang biasa disebut pemihakan. Ia

ditujukan langsung kepada yang memerlukan dengan program yang dirancang

untuk mengatasi masalah dan sesuai kebutuhannya.

2. Program ini harus mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarkat

yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu

mempunyai beberapa tujuan yakni, agar bantuan tersebut efektif karena sesuai

dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan mereka.

2.1.4 Konsep Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan
(Musrenbang)

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) pada tingkat Kecamatan,

merupakan forum musyawarah tahunan antar pemangku kepentingan untuk membahas

dan menyepakati langkah-langkah penanganan program atau kegiatan prioritas yang

tercantum dalam daftar usulan rencana kegiatan pembangunan Kelurahan/Desa, yang

diintegrasikan dengan prioritas pembangunan daerah/kota pada wilayah Kecamatan

yang dikoordinasikan oleh Bappeda kota dan dilaksanakan oleh Camat. Pelaksanaan

Musrenbang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004, tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional yang bersifat Bottom-Up, yang menekankan

partisipasi dari banyak pihak dalam pelaksanaan pembangunan tersebut. Pasal 1 ayat

(3) menjelaskan bahwa : “ Sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN) adalah

satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-

25
rencana pembangunan dalam jangka panjang, menengah dan tahunan yang

dilaksanakan oleh unsur penyelenggaraan Negara dan masyarakat di tingkat pusat

dan daerah “. Pasal 1 ayat (21) juga menyatakan bahwa : “ Musyawarah Perencanaan

Pembangunan yang selanjutnya disingkat Musrenbang adalah forum antarpelaku,

dalam rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan

Daerah ”. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara

Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah,

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat Kecamatan

merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Rencana Kerja Pembangunan Daerah

(RKPD), yang kemudian menghasilkan Rencana Pembangunan Kecamatan. Hal ini

dapat dilihat pada Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan bahwa : “ Musrenbang RKPD

Kabupaten/Kota dilaksanakan untuk keterpaduan Rancangan Renja antar-SKPD dan

antar-Rencana Pembangunan Kecamatan “. Pasal 17 ayat (5) juga menyatakan

bahwa: “ Penetapan program prioritas berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar

masyarakat dan pencapaian keadilan yang berkesinambungan dan berkelanjutan “.

Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan Pasal 29

ayat (1) menyebutkan: “ Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di Kecamatan,

disusun perencanaan pembangunan sebagai kelanjutan dari hasil Musyawarah

Perencanaan Pembangunan Desa/Kelurahan “.

Lembaga penyelenggara Musrenbang Kecamatan adalah pihak Kecamatan dan

Bappeda. Kecamatan bertugas dalam menyiapkan teknis penyelenggaraan

Musrenbang, serta mempersiapkan dokumen rancangan rencana pembangunan

Kecamatan. Sedangkan Bappeda bertugas untuk mengorganisasikan penjadwalan

seluruh Musrenbang Kecamatan, mempersiapkan tim pemandu serta dokumen-

dokumen yang relevan untuk penyelenggaraan Musrenbang Kecamatan. Adapun

26
tujuan dari Musrenbang Kecamatan adalah sebagai berikut, (Peraturan Bupati Sopeng

Nomor: 7. 2019. Pasal 8: Pedoman Pelaksanaan Musrenbang Kecamatan) :

1. Membahas dan menyepakati usulan-usulan hasil Musrenbang

Desa/Kelurahan, yang akan menjadi prioritas kegiatan pembangunan di

wilayah Kecamatan yang bersangkutan.

2. Membahas dan menetapkan prioritas kegiatan pembangunan di tingkat

Kecamatan yang belum tercakup dalam prioritas kegiatan pembangunan

Desa/Kelurahan.

3. Menyepakati pengelompokkan kegiatan prioritas pembangunan di wilayah

Kecamatan, berdasarkan tugas dan fungsi OPD Kabupaten/Kota.

Prinsip dalam Musrenbang berlaku baik untuk fasilitator, peserta, narasumber

dan semua komponen yang terlibat dalam pelaksanaan Musrenbang dan hendaknya hal

ini menjadi kesepakatan bersama sehingga, Musrenbang benar-benar menjadi sebuah

wadah/forum dalam mengambil keputusan bersama dalam rangka menyusun program

kegiatan pembangunan tahun berikutnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah berikut,

(Djohani, Rianingsih. 2008. Panduan Penyelenggaraan Musrenbang Desa. Hal.15) :

1. Prinsip kesetaraan, dimana peserta musyawarah merupakan kelompok

masyarakat dengan hak yang setara untuk menyampaikan pendapat, berbicara

dan dihargai meskipun terjadi perbedaan pendapat serta menjunjung tinggi

hasil keputusan bersama.

2. Prinsip musyawarah dialogis, dimana peserta Musrenbang memiliki

keberangaman tingkat pendidikan, latar belakang, kelompok usia, jenis

kelamin, status sosial-ekonomi dan sebagainya. Perbedaan dari berbagai

27
sudut pandang tersebut diharapkan menghasilkan keputusan terbaik bagi

kepentingan masyarakat banyak, diatas kepentingan individu atau golongan.

3. Prinsip keberpihakan, dalam proses musyawarah dilakukan upaya untuk

mendorong individu dan kelompok yang paling terlupakan untuk

menyampaikan aspirasi dan pendapatnya, terutama kelompok miskin,

perempuan dan generasi muda.

4. Prinsip antidominasi dalam musyawarah, yaitu tidak boleh ada

individu/kelompok yang mendominasi sehingga, keputusan-keputusan yang

dibuat melalui proses musyawarah semua komponen masyarakat secara

seimbang.

5. Prinsip pembangunan secara holistik, yaitu Musrenbang dimaksudkan untuk

menyusun rencana pembangunan bukan rencana kegiatan kelompok atau

sektor tertentu saja. Musrenbang dilakukan sebagai upaya untuk mendorong

dan meningkatkan kesejahteraan secara utuh dan menyeluruh, sehingga tidak

boleh muncul egosektor dan egowilayah dalam menentukan prioritas kegiatan

pembangunan.

Keluaran yang dihasilkan melalui pelaksanaan Musrenbang tingkat Kecamatan,

(Djohani, Rianingsih. 2008. Panduan Penyelenggaraan Musrenbang Desa. Hal.15)

adalah sebagai berikut:

1. Adanya rumusan Rencana Kerja Pembangunan Kecamatan (RKP

Kecamatan).

2. Daftar prioritas kegiatan pembangunan pada wilayah Kecamatan menurut

fungsi/OPD/gabungan OPD yang siap dibahas pada forum Organisasi

28
Perangkat Daerah dan Musrenbang Kabupaten, yang akan didanai melalui

APBD Kabupaten dan sumber pendanaan lainnya. Selanjutnya daftar tersebut

disampaikan kepada masyarakat pada masing-masing Kelurahan/Desa oleh

para delegasi yang mengikuti Musrenbang Kecamatan.

3. Adanya Daftar Usulan Rencana Kerja Pembangunan Kecamatan (DURKP

Kecamatan) yang diajukan dalam Musrenbang Kabupaten.

4. Terpilihnya delegasi Kecamatan untuk mengikuti Forum Organisasi

Perangkat Daerah dan Musrenbang Kabupaten.

5. Berita acara Musrenbang tahunan Kecamatan.

Tahapan Musyawarah Perencanaan Pembangunan tingkat Kecamatan (Musrenbang)

Pra Musrenbang Kecamatan dengan kegaiatan sebagai berikut :

1. Camat menetapkan tim penyelenggara Musrenbang Kecamatan yang terdiri

dari unsur kecamatan dan unsur masyarakat (akademisi, tokoh masyarakat,

LSM dan keterwakilan perempuan), dengan mempertimbangkan kemampuan

dan komitmen untuk terlibat secara aktif dalam seluruh tahapan

penyelenggaraan Musrenbang Kecamatan.

2. Rekrutmen tim pemandu Musrenbang oleh Bappeda yang berasal dari tim

aparat Kecamatan sendiri, atau dapat pula dari masyarakat yang dinilai

kompeten. Tim pemandu beranggotakan 2-3 orang sesuai dengan fungsi yang

diemban sebagai pemandu saat pelaksanaan. Tim pemandu Musrenbang

Kecamatan yang terplilih akan diberikan pembekalan secara langsung oleh

Bappeda.

3. Tim penyelenggara melakukan hal-hal sebagai berikut :

29
a. Memilah dan mengkompilasi prioritas kegiatan pembangunan yang

menjadi tanggung jawab OPD dari masing-masing Kelurahan/Desa

berdasarkan masing-masing fungsi/OPD.

b. Menyusun jadwal dan agenda Musrenbang Kecamatan, penyiapan data,

informasi dan bahan-bahan yang diperlukan untuk dibahas dalam

Musrenbang Kecamatan (daftar kegiatan prioritas Kecamatan dan

kompilasi hasil Musrenbang Desa).

c. Menginformasikan jadwal dan tempat pelaksanaan Musrenbang

Kecamatan kepada Bappeda Kabupaten. Dalam hal ini Camat

menyampaikan surat pemberitahuan kepada Bappeda dilampiri bahan

pembahasan Musrenbang yaitu jadwal dan agenda Musrenbang.

d. Mengumumkan secara terbuka mengenai jadwal, agenda dan tempat

pelaksanaan Musrenbang Kecamatan minimal 7 hari sebelum kegiatan

dilakukan, agar peserta bisa menyiapkan diri dan segera melakukan

pendaftaran dan atau diundang.

e. Membuka pendaftaran atau mengundang calon peserta Musrenbang

Kecamatan, baik wakil dari Kelurahan/Desa maupun kelompok-

kelompok masyarakat.

f. Menyiapkan peralatan dan bahan/materi serta notulen untuk Musrenbang

Kecamatan.

g. Informasi pagu indikatif (anggaran yang diberikan kepada OPD untuk

mendanai program kegiatan prioritas Kecamatan).

h. Membuat draf rancangan awal rencana pembangunan Kecamatan.

Tahapan pelaksanaan Musrenbang dengan agenda sebagai berikut :

1. Pendaftaran peserta Musrenbang Kecamatan.

30
2. Pembukaan acara dipandu oleh pembawa acara meliputi :

 Doa bersama.

 Kata pembukaan dan penyampaian agenda Musrenbang Kecamatan.

 Laporan dari ketua panitia Musrenbang Kecamatan.

 Sambutan dari Camat sekaligus membuka acara Musrenbang Kecamatan

secara resmi.

3. Pemaparan Camat mengenai prioritas masalah Kecamatan seperti kemiskinan,

pendidikan, kesehatan dan pengangguran.

4. Pemaparan mengenai rancangan rencana kerja OPD pada tingkat Kecamatan

yang bersangkutan, beserta strategi besaran plafon dana oleh kepala-kepala

cabang OPD dari Kabupaten.

5. Pemaparan masalah dan prioritas kegiatan dari masing-masing

Kelurahan/Desa menurut fungsi/OPD oleh tim penyelenggara Musrenbang

Kecamatan.

6. Verifikasi oleh delegasi Kelurahan/Desa untuk memastikan semua prioritas

kegiatan yang telah diusulkan sudah tercantum menurut masing-masing OPD.

7. Pembagian peserta Musrenbang ke dalam kelompok pembahasan,berdasarkan

jumlah fungsi/OPD atau gabungan OPD yang tercantum.

8. Kesepakatan prioritas kegiatan pembangunan Kecamatan yang dianggap

perlu oleh peserta Musrenbang, namun belum diusulkan oleh Kelurahan/Desa

(kegiatan lintas Kelurahan/Desa yang belum diusulkan).

9. Kesepakatan kriteria untuk menentukan prioritas kegiatan pembangunan

Kecamatan berdasarkan masing-masing fungsi/OPD atau gabungan OPD.

10. Kesepakatan prioritas kegiatan pembangunan Kecamatan berdasarkan

masing-masing fungsi/OPD.

31
11. Pemaparan prioritas pembangunan Kecamatan dari tiap-tiap kelompok

fungsi/OPD, atau gabungan OPD dihadapan seluruh peserta Musrenbang

Kecamatan.

12. Penetapan daftar nama delegasi Kecamatan 3-5 orang (masyarakat), untuk

mengikuti forum OPD dan Musrenbang Kabupaten. Dalam komposisi

delegasi tersebut terdapat perwakilan perempuan.

13. Notulensi Musrenbang Kecamatan sebagai bahan untuk memperbaiki draf

rancangan awal rencana pembangunan Kecamatan.

2.2 Kerangka Bepikir

Implementasi kebijakan merupakan aktivitas yang terlihat, setelah dikeluarkan

pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk

menghasilkan output bagi masyarakat. Menurut George C. Edward III (dalam

Subarsono, 2011: 90-92) implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel,

yaitu : 1). Komunikasi (Communication), merupakan proses penyampaian informasi

dari komunikator kepada komunikan, agar proses implementasi kebijakan dapat

berjalan dengan efektif, sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri; 2). Sumber daya

(Resources), sangat berperan penting dalam implementasi kebijakan. Apabila para

pelaksana kebijakan tidak memiliki sumber daya yang baik dalam

mengimplementasikan kebijakan, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan

berjalan dengan efektif ; 3). Disposisi (Disposition), merupakan watak dan

karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran dan sifat

demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementasi

kebijakan tersebut dapat dijalankan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh

pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda

dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi juga menjadi tidak efektif; 4).

32
Struktur birokrasi (Bereucratic Struture), dimana pihak yang bertugas

mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

implementasi kebijakan. Aspek dari struktur birokrasi adalah Standar Operating

Procedure (SOP) dan fragmentasi. Struktur birokrasi yang terlalu panjang akan

cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yaitu prosedur

birokrasi yang rumit dan tidak kompleks yang menjadikan aktifitas organisasi tidak

fleksibel.

Jones (1996 : 31) mengemukakan bahwa implementasi terdiri dari tiga aktivitas

utama, meliputi :

1. Pengorganisasian, yaitu pembentukan atau penataan kembali sumber daya dan

unit-unit yang terkait dalam menjalankan proses.

2. Interprestasi, yaitu sebuah aktivitas yang menafsirkan aturan main program

agar menjadi rencana dan arahan yang tepat, dapat diterima serta dilaksanakan.

3. Aplikasi, yaitu penyediaan perangkat layanan, pembangunan atau rutinitas

lainnya yang berkaitan dengan program.

Sedangkan Van Meter dan Varn Horn (1975), merumuskan implementasi kebijakan

yang dikenal dengan A Model of the Policy Implementation. Model ini menjelaskan,

bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan,

yaitu :

1. Standar dan Sasaran Kebijakan/Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Van Meter dan van Horn dalam Sulaeman (1998) mengemukakan, untuk

mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan

sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, serta kinerja

33
kebijakan yang pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian

standar dan sasaran tersebut.

2. Sumber Daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan

memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya

yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan.

Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar

pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana

atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan

besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.

3. Karakteristik Organisasi Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi

informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini

sangatlah penting, karena kinerja implementasi kebijakan sangat dipengaruhi

oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal tersebut

berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa

kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan disiplin. Pada konteks

diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selain itu, cakupan

dan luas wilayah juga menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen

pelaksana kebijakan.

4. Komunikasi Antar Organisasi Terkait dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan

Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif maka yang menjadi

standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors), yang menjadi

penanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan. Oleh karena

itu, standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana.

34
Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana

kebijakan tentang apa yang menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan

seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi, agar para

pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan apa

yang harus dilakukan.

5. Diposisi atau Sikap Para Pelaksana

Arah disposisi para pelaksana terhadap standar tujuan kebijakan sangatlah

penitng. Karena bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil bisa

jadi jadi gagal ketika para pelaksana tidak sepenuhnya menyadari standar dan

tujuan kebijakan. Para pelaksana bisa gagal dalam melaksanakan kebijakan,

dikarenakan menolak apa yang menjadi tujuan dari sebuah kebijakan.

Sebaliknya, pemahaman dan penerimaan yang mendalam terhadap standar dan

tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab melaksanakan

kebijakan tersebut, merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan

implementasi kebijakan. Ada tiga macam elemen respon yang dapat

mempengaruhi kemampuan dan kemauan seorang impelementor dalam

melaksanakan suatu kebijakan, antara lain :

1) Pengetahuan (cognition) yaitu pemahaman, dan pendalaman

(comprehension and understanding) terhadap kebijakan.

2) Arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance,

neutrality and rejection).

3) Intensitas terhadap kebijakan.

6. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Politik

Hal terakhir yang harus diperhatikan guna menilai kinerja implementasi

kebijakan adalah, sejauh mana lingkungan eskternal turut mendorong

35
keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang

tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja

implementasi kebijakan. Maka dari itu, upaya implementasi kebijakan

mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

Musywarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat Kecamatan

merupakan forum musyawarah tahunan para pemangku kepentingan, untuk membahas

serta menyepakati langkah-langkah penanganan program kegiatan yang tercantum

dalam daftar usulan rencana kegiatan pembangunan Desa/Kelurahan, yang

diintegrasikan dengan prioritas pembangunan daerah di wilayah Kecamatan. Adapun

tujuan dari Musrenbang Kecamatan adalah sebagai berikut :

1) Membahas dan menyepakati usulan-usulan hasil Musrenbang Desa/Kelurahan,

yang akan menjadi prioritas kegiatan pembangunan di Wilayah Kecamatan yang

bersangkutan.

2) Membahas dan menetapkan prioritas kegiatan pembangunan di tingkat

Kecamatan yang belum tercakup dalam prioritas kegiatan pembangunan

Desa/Kelurahan.

3) Menyepakati pengelompokkan kegiatan prioritas pembangunan di wilayah

Kecamatan, berdasarkan tugas dan fungsi OPD Kabupaten/Kota.

Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut :

36
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir

Implementasi Kebijakan
(Edward III 1980: 1)
Komunikasi
Sumber Daya
Disposisi
Struktur Birokrasi

Implementasi Kebijakan Musrenbang Kecamatan


37
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan
Membahas dan menyepakati usulan-usulan hasil Musrenbang Desa/Kelurahan,
yang akan menjadi prioritas kegiatan pembangunan di wilayah Kecamatan yang
bersangkutan.
Membahas dan menetapkan prioritas kegiatan pembangunan di tingkat Kecamatan
yang belum tercakup dalam prioritas kegiatan pembangunan Desa/Kelurahan.
Menyepakati pengelompokkan kegiatan prioritas pembangunan di wilayah
Kecamatan, berdasarkan tugas dan fungsi OPD Kabupaten/Kota.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Strategi Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran

pengetahuan yang bersifat ilmiah, sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

Penelitian haruslah dilakukan dengan cermat dan teliti, agar hasil yang diperoleh

dalam kegiatan penelitian dapat dilakukan dengan saksama dalam menentukan jenis

data, sumber data, informan, teknik pengambilan data dan teknik analisis data. Jenis

38
penelitian ini menggunakan penelitian deksritif kualitatif, yaitu penelitian yang tidak

menggunakan model-model matematik dan statistik (tidak menggunakan angka) dalam

mengumpulkan data dan dalam memberikan penafsiran terhadap hasilnya. Proses

penelitian dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir yang akan

digunakan dalam penelitian

Bogdan dan Taylor yang dikutip Moleong (2013: 4) mengemukakan bahwa,

penelitian deskriptif kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan, dari orang-orang atau perilaku yang

dicermati. Deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, menganalisis serta

memecahkan masalah dengan cara menentukan dan menafsirkan data yang ada. Jenis

penelitian ini menampilkan hasil data apa adanya, tanpa proses manipulasi sedikitpun.

Maka dari itu, pelaksanaan jenis penelitian ini tidak terbatas pada pengumpulan data

dan penyusunannya saja, tetapi juga meliputi analisis dan interpretasi data tersebut.

3.2 Operasional Variabel


3.2.1 Definisi Operasional

Yang dimaksud dengan Implementasi Kebijakan Musyawarah Perencanaan

Pembangunan Kecamatan (Musrenbangcam) adalah suatu proses yang dinamis,

dimana para pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas maupun kegiatan,

sehingga pada akhirnya akan mencapai suatu hasil yang sesuai dengan tujuan dan

sasaran dari kebijakan itu sendiri. Menurut peneliti, agar implementasi kebijakan

musyawarah perencanaan pembangunan kecamatan (Musrenbangcam) dapat berjalan

39
dengan serta dapat mencapa tujuan dan sasaran, maka haruslah memenuhi hal penting

meliputi standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, karakteristik organisasi

pelaksana, disposisi atau sikap para pelaksana musyawarah perencanaan pembangunan

kecamatan.

3.2.2 Indikator-Indikator

Beberapa indikator yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Komunikasi

Aspek yang diukur adalah :

a. Adanya komunikasi yang baik antar implementor dalam pelaksanaan

Musrenbang Kecamatan.

b. Adanya komunikasi dari pihak pelaksana Musrenbang terhadap

masyarakat/peserta terkait pelaksanaan Musrenbang Kecamatan.

c. Adanya transparansi dari pihak pelaksana Musrenbang dalam

memberikan informasi terhadap masyarakat/peserta Musrenbang terkait

tindak lanjut dari program-program yang diusulkan dalam pelaksanaan

Musrenbang Kecamatan.

2. Sumber Daya

Aspek yang diukur adalah :

a. Para pelaksana dan peserta memahami tujuan dan sasaran kebijakan

Musrenbang Kecamatan.

b. Para pelaksana memahami mekanisme pelaksanaan Musrenbang

Kecamatan.

40
c. Para pelaksana memahami tugas dan tanggung jawab yang diberikan

dalam pelaksanaan Musrenbang Kecamatan.

d. Pemenuhan fasilitas-fasilitas penunjang dalam pelaksanaan Musrenbang

Kecamatan.

3. Disposisi

Aspek yang diukur adalah :

a. Kepatuhan terhadap pemanfaatan dana untuk pelaksanaan Musyawarah

Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan.

b. Kepatuhan terhadap pengelolaan dana untuk menjalankan program-

program hasil usulan dalam pelaksanaan Musyawarah Perencanaan

Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan.

4. Struktur Birokasi

Aspek yang diukur adalah :

a. Adanya pembagian tugas secara jelas sesuai dengan tupoksi dalam

melaksanakan Musrenbang Kecamatan.

b. Adanya koordinasi dalam pelaksanaan Musrenbang Kecamatan.

c. Adanya pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan Musrenbang

Kecamatan.

3.3 Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data dalam bentuk kualitatif yaitu

data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat dan gambar bukan berupa angka-

angka, yang berisikan gambaran umum objek penelitian. Informan dalam penelitian ini

yaitu :

1. Camat : 1 orang

2. Sekretaris Camat : 1 orang

41
3. Bendahara : 1 orang

4. Kepala Bappeda : 1 orang

5. Kepala Desa : 1 orang

6. Tokoh Masyarakat

a. Ketua Adat : 1 orang

b. Bidang Kesehatan : 1 orang

c. Bidang Pendidikan : 1 orang

d. Bidang Pertanian : 1 orang

Jumlah : 9 orang

Sumber data pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan melalui

wawancara. Informan merupakan orang atau pelaku yang benar-benar tahu dan

menguasai masalah, serta terlibat secara langsung dengan masalah penelitian.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari pengumpulan data yang menunjang

data primer dalam bentuk dokumen. Data dan dokumen ini tentunya bersumber

dari dokumen resmi dan tertulis dari instansi terkait penelitian ini.

Untuk memperoleh data yang lengkap, maka penulis menggunakan beberapa teknik

dalam pengumpulan data yaitu sebagai berikut :

1. Wawancara (Interview)

Wawancara (interview), merupakan sebuah teknik yang digunakan untuk

mengumpulkan data agar memperoleh keterangan dalam penelitian yang

dilakukan. Secara sederhana dapat pula dikatakan bahwa wawancara (interview)

adalah suatu proses interaksi antara pewawancara (interviewer) dan

42
narasumber/informan (interviewee) melalui komunikasi secara langsung dengan

menggunakan pedoman wawancara.

2. Observasi (Pengamatan)

Selain wawancara, observasi juga merupakan salah satu teknik dalam

pengumpulan data. Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang

dilakukan peneliti, dengan melakukan pengamatan secara langsung dilapangan.

3. Dokumentasi

Selain melalui wawancara dan observasi, dokumentasi juga merupakan salah satu

teknik pengumpulan data. Metode dokumentasi merupakan tata cara pengumpulan

data dengan mencatat data-data yang sudah ada dan tersimpan berupa surat,

catatan harian, arsip foto, jurnal dan hasil rapat.

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

1. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah,

dengan menggunakan teknik editing. Teknik ini dilakukan dengan mengedit hasil

wawancara dari informasi.

2. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif atau

kualitatif murni. Teknik ini digunakan untuk menjelaskan dan menganalisa hasil

wawancara yang dikumpulkan dari sumber data. Untuk dapat menjawab tujuan

penelitian tentang Implementasi Musrenbang Kecamatan serta faktor-faktor yang

mempengaruhinya, maka analisis terhadap masalah yang akan diteliti

menggunakan konsep dari Edward III. Oleh karena itu, temuan-temuan penelitian

serta penarikan kesimpulan akan dilakukan peneliti setelah dideskripsi dan

diinterpretasi.

43
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Abidin, Said, Zainal. 2002/2004. Kebijakan Publik. Jakarta: Yayasan Panca Siwa.

Abdul Wahab, Solichin. 2002. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke


Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Sinar Grafika.

Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.

Dunn, Willian, N. Juli 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi


Kedua.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Dunn, William, N. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Djohani, Rianingsih. 2008. Panduan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan


Pembangunan Desa. Jakarta: Perpusatakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan.

44
Islamy, M. Irfan. 2001. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Pemerintah. Jakarta:
PT. Bumi Aksara.

Motte, Joseph. 2005. Partisipasi Masyarakat Dalam Musrenbang di Kecamatan

Moleong, Lexy. J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Mulyana, Dedy. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Narbuko, Cholid. Abu. 2015. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Parson, Wayne. 2011. Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta:
Kencana.

Rusli, Budiman. 2013. Kebijakan Publik, Membangun Pelayanan Publik Yang


Responsif. Bandung: Hatim Publishing.

Sukardi, Ph.D. 2015. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Setyanto, Widya.P.FFPM 2008. Panduan Penyelenggaraan Musyawarah


PerencanaanPembangunan Kecamatan. Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta, cv.

Peraturan Perundang-Undangan

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 050-187/Kep/Bangda/2007: Pedoman


Penilaian Dan Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang).

UU RI Nomor 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintahan Daerah.

UU RI Nomor 25 Tahun 2004. Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan


Nasional.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008. Tentang


Kecamatan.

45
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008. Tentang Tahapan, Tata Cara
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Daerah.

Peraturan Bupati Sopeng Nomor: 7. 2019. Pasal 8: Pedoman Pelaksanaan


Musrenbang Kecamatan.

Sumber Lain

Motte, Joseph. 2005. Partisipasi Masyarakat Dalam Musrenbang di Kecamatan


Gajahmungkur, Kota Semarang. Tesis Program Magister Teknik Pembangunan
Wilayah dan Kota. Semarang: Universitas Diponegoro.

Manar, D. Ghulam. 2014. “Evaluasi Pelaksanaan Pelaksanaan Musrenbang Di Jawa


Tengah”. Jurnal Ilmu Sosial. Volume 13 Nomor 1.

Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 Nomor 1. Tahun 2010.

Zakir, Muhhamad. 2020. Implementasi Program Musrenbang Di Kecamatan


Bontonompo Kabupaten Gowa. Tesis Program Magister Ilmu Administrasi Publik.
Universitas Mohammadiyah Makassar.

PEDOMAN WAWANCARA

I. PENJELASAN UMUM

1. Penelitian ini semata-mata bertujuan ilmiah berkaitan dengan tugas akhir.

2. Semua jawaban responden menyangkut masalah dalam penelitian ini

dijamin kerahasiaannya dan tidak dipublikasikan kepada khalayak atau

pihak manapun.

3. Mohon kesediaan bapak/ibu/saudara/i untuk menjawan pertanyaan yang

diajukan secara jujur dan benar.

4. Atas kesediaan dari bapak/ibu/saudara/i yang telah meluangkan waktu,

tenaga dan pikirannya peneliti mengucapkan limpah terimakasih.

II. IDENTITAS RESPONDEN

46
Nama :

Jenis Kelamin :

Umur :

Pendidikan :

Pekerjaan :

Jabatan :

Alamat :

III. DAFTAR PERTANYAAN

A. Komunikasi

1. Bagaimana komunikasi yang terjalin antar pelaksana dalam implementasi

Musrenbang Kecamatan ?

2. Apakah ada komunikasi dari pihak pelaksana Musrenbang terhadap

masyarakat/peserta terkait pelaksanaan Musrenbang Kecamatan ?

3. Apakah pihak pelaksana Musrenbang sudah transparansi dalam memberikan

informasi terhadap masyarakat/peserta Musrenbang terkait tindak lanjut dari

program-program yang telah diusulkan dalam pelaksanaan Musrenbang

Kecamatan ?

B. Sumber Daya

1. Apakah para pelaksana dan peserta sudah memahami tujuan dan sasaran

kebijakan Musrenbang Kecamatan ?

2. Apakah para pelaksana sudah memahami mekanisme pelaksanaan

Musrenbang Kecamatan ?

47
3. Apakah para pelaksana sudah memahami tugas dan tanggung jawab yang

diberikan dalam pelaksanaan Musrenbang Kecamatan ?

4. Apakah fasilitas-fasilitas penunjang dalam pelaksanaan Musrenbang

Kecamatan sudah tersedia dengan baik ?

C. Disposisi

1. Apakah dana yang diperuntukkan bagi pelaksanaan Musrenbang Kecamatan

telah dimanfaatkan sebagaimana mestinya ?

2. Apakah pengelolaan dana untuk menjalankan atau merealisasikan program

hasil usulan Musrenbang Kecamatan dapat mencakupi semua program yang

ada ?

3. Apakah program-program hasil Musrenbang Kecamatan dapat membantu

masyarakat ?

4. Apakah pelaksanaan Musrenbang Kecamatan mulai tahap pra Musrenbang,

hingga tahap pelaksanaannya sudah berjalan dengan baik dan sesuai dengan

aturan yang berlaku ?

D. Struktur Birokrasi

1. Apakah pembagian tugas dalam pelaksanaan Musrenbang Kecamatan sudah

sesuai dengan tupoksinya masing-masing ?

2. Bagaimanakah bentuk koordinasi yang dilakukan para pelaksana

Musrenbang Kecamatan?

3. Apakah ada sistem pengawasan yang dilakukan berkaitan dengan

Musrenbang Kecamatan?

48
49
50

Anda mungkin juga menyukai