Anda di halaman 1dari 7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi D. Melanogaster


Menurut Strickberger (1985) sistematika dari Drosophila melanogaster adalah
sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Anak Filum : Mandibulata
Induk Filum : Hexapoda
Kelas : Insecta
Anak Kelas : Pterygota
Bangsa : Diptera
Anak Bangsa : Cyclorihapda
Induk suku : Ephydroideae
Suku : Drosophilidae
Anak Marga : Saphophora
Marga : Drosophila
Jenis : Drosophila melanogaster

2.2 Siklus hidup D. melanogaster


Lalat buah mempunyai empat stadium metamorfosis, yaitu telur, larva, pupa dan
imago (serangga dewasa) .

Gambar 2.2 Siklus hidup Drosophila melanogaster


Sumber : (Rothwell, 1983)
1. Telur
Menurut percobaan M. Bownes dan K. Sander pada tahun 1976,
tentang perkembangan embrio Drosophila melanogaster setelah diberi sinar
UV menunjukkan bahwa perkembangan embrio setelah diberi sinar UV
mengalami ketidaknormalan.

Gambar 2.2 .1 Proses Mutasi pada telur D. melanogaster


Sumber : (Sander, 1976)

Telur Drosophila dilapisi oleh dua lapisan, yaitu satu selaput vitellin
tipis yang mengelilingi sitoplasma dan suatu selaput tipis tapi kuat (Khorion)
di bagian luar dan di anteriornya terdapat dua tangkai tipis( Borror, 1992 ).
Pada ujung anterior terdapat mikrophil, tempat spermatozoa masuk ke
dalam telur. Walaupun banyak sperma yang masuk ke dalam mikrophil tapi
hanya satu yang dapat berfertilisasi dengan pronukleus betina dan yang
lainnya segera berabsorpsi dalam perkembangan jaringan embrio(Borror,
1992).

2. Larva
Setelah 2 hari telur menetas menjadi larva yang berwarna putih keruh,
berbentuk bulat panjang dengan salah satu ujungnya runcing. Larva berwarna
putih keruh atau putih kekuningan, berbentuk bulat panjang dengan salah satu
ujungnya runcing. Larva lalat buah terdiri atas 3 bagian; yaitu kepala, toraks (3
ruas), dan abdomen (8 ruas).  Kepala berbentuk runcing dengan dua buah
bintik hitam yang jelas dan mempunyai alat kait mulut. Ada 3 jenis larva
yaitu :1) Larva 1 yaitu berbentuk lonjong pipih, berwarna putih bening,
berukuran ± 1 mm, bersegmen, berbentuk dan bergerak seperti cacing, belum
memiliki spirakel anterior,2) Berbentuk lonjong pipih, berwarna putih,
berukuran ± 2 mm, bersegmen, berbentuk dan bergerak seperti cacing,
memiliki mulut dan gigi berwarna hitam untuk makan, memiliki spirakel
anterior dan 3) berbentuk lonjong pipih, berwarna putih, berukuran ± 3-4 mm,
bersegmen, berbentuk dan bergerak seperti cacing, memiliki mulut dan gigi
berwarna hitam lebih besar dan jelas terlihat dibanding larva instar 2, memiliki
spirakel anterior dan terdapat beberapa tonjolan pada spirakel anteriornya
(Borror, 1992).
3. Prepupa
Terbentuk setelah larva instar 3 merayap pada dinding botol, tidak
aktif, melekatkan diri; berwarna putih; kutikula keras dan memendek; tanpa
kepala dan sayap.

4. Pupa
Pupa (kepompong) berbentuk oval, warna kecoklatan, dan panjangnya
5 mm.  Masa pupa adalah 4—10 hari dan setelah itu keluarlah serangga
dewasa (imago) lalat buah(Borror, 1992).
5. Imago
Lalat dewasa yang baru keluar dari pupa sayapnya belum
mengembang, tubuhnya berwarna bening.Keadaan ini akan berubah dalam
beberapa jam. Lalat betina mencapai umur matang kelamin dalam waktu 12
hingga 18 jam dan dapat bertahan hidup selama lebih kurang 26 hari. Ukuran
tubuhnya lebih panjang daripada lalat jantan.Pada permukaan dorsal, abdomen
lalat betina berwarna lebih gelap daripada lalat jantan. Sementara itu, pada
bagian kaki lalat jantan terdapat struktur yang dinamakan sisir kelamin atau
sex comb(Borror, 1992).
2.3 Radiasi sinar Ultra Violet
Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat fisik adalah radiasi
dan suhu. Radiasi sebagai penyebab mutasi dibedakan menjadi radiasi pengion
dan bukan pengion (Gardner dkk, 1991 dalam Corebima, 2000).Radiasi
pengion berenergi tinggi sedangkan radiasi bukan pengion berenergi rendah.
Radiasi sinar ultra violet (UV) merupakan contoh radiasi bukan pengion
(Corebima, 2000:8).
Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang berbeda-
beda.Panjang gelombang yang paling efektif untuk membuat mutasi adalah
2600 A0 . Panjang gelombang ini sama dengan penyerapan maksimum oleh
DNA (Crawder, 1990).
Setelah ditemukan efek mutagenik pada sinar X, Altenburg
menunjukkan bahwa ultraviolet juga menyebabkan mutasi pada Drosophila.
Dia meradiasi Drosophila dewasa, karena berbeda dengan sinar X, kekuatan
penetrasi sinar UV pada lalat dewasa sangat rendah.Sinar UV ini hanya
mampu diabsorbsi pada jaringan kulit (integumen) dan gagal mencapai gonad
dan sel kelamin. Hal tersebut membuat Drosophila melanogaster dewasa tidak
sesuai sebagai bahan eksperimental dan penelitian tentang ultraviolet
mutagenesis lebih sesuai pada objek yang sangat kecil seperti mikroorganisme
atau sel-sel yang tumbuh dan aktif membelah seperti sel telur.
(Sinnot,1958:237-238)
Berdasarkan penelitian seorang ahli genetika H.J. Muller 1982, ia telah
meningkatkan laju mutasi sebanyak 15 kali pada D. melanogaster dengan
menyinarinya dengan sinar-X. Sejak itu, sinar radiasi gelombang pendek;
sebagai contoh sinar gamma, ditemukan dapat menyebabkan mutasi. Bahkan
sinar ultraviolet jika sampai pada kromosom dapat menyebabkan mutasi.
(Kimball, 1983: 269)
Sinar ultraviolet berperan dalam perbaikan struktur DNA. Sinar
ultraviolet dapat menyebabkan patahnya pita DNA, dan juga menyebabkan
ikatan kovalen T-T dan C-T, baik berdekatan pada suatu pita atau melewati
“tangga”. Perbaikan kerusakan ini dapat menyebabkan pergeseran basa,
misalnya CG-TA, dan dengan demikian menyebabkan perubahan dalam sandi
genetik. (Kimball, 1983: 269-270 )
DNA akan menyerap sinar UV secara maksimum pada λ = 254 nm,
sehingga mutagenitas maksimum juga terjadi pada panjang gelombang
tersebut. Sinar UV tidak mampu menimbulkan pengionan dan hanya sedikit
menembus jaringan (umumnya hanya pada sel-sel lapisan permukaan
organisme multiseluler) dikarenakan memiliki energi yang rendah. Walaupun
demikian sinar UV merupakan mutagen yang potensial untuk organism
uniseluler (Gardner,dkk, 1991).
Ultraviolet sangat tidak mampu mempenetrasi sel kelamin hewan
tingkat tinggi dan manusia dan tidak dapat menyebabkan mutasi pada
organisme tersebut. Radiasi uv mempunyai panjang gelombang yang lebih
panjang daripada sinar X dan membawa energi sangat
rendah( Sinnot,1958:237-238).
Panjang gelombang dari penyinaran sinar UV tidak memberikan
pengaruh yang begitu tinggi pada termutasinya gamet, karena memiliki daya
penetrasi yang rendah. Pengaruh dari penyinaran UV ini nampak pada
perubahan materi genetik. Mikroorganisme yang diberi perlakuan sinar UV
menunjukkan aktivitas adanya peristiwa mutasi. Peristiwa ini dipengaruhi oleh
daya absorpsi materi genetik yang dilakukan mikroorganisme terhadap sinar
UV (Rothwell,1983).
Ketidaknormalan setelah dilakukan penyinaran UV disebabkan karena
nuklei bermigrasi ke dalam semua bagian periplasma. Blastoderm tidak
terbentuk pada bagian anterior dan yolk mengalami kerusakan. Sel-sel
blastoderm berpindah untuk membuaat lapisan yang lengkap, memotong
sebagian kecil yolk dalam prosesnya. Hal ini menyebabkan pembentukan
kepala embrio yang abnormal dan bagian mulut tidak terbentuk.

Gambar 2.2.2 Pengaruh Radiasi UV Terhadap Perkembangan Embrio


Sumber : (Sander, 1976)
Melalui gambar skematis di atas, dapat diketahui pengaruh radiasi UV
terhadap perkembangan embrio. Pada gambar (a) menunjukkan bahwa
nukleus tidak bisa bermigrasi ke area yang terpapar radiasi UV, sehingga
menyebabkan blastoderm hanya terbentuk pada daerah posterior telur saja.
Pada gambar (b) proses pembentukan blastoderm pada daerah anterior
terhambat karena adanya radiasi sinar UV tadi. Pada gambar (c), inti sel
bermigrasi menuju daerah yang mengalami radiasi UV namun blastoderm
tetap tidak terbentuk di daerah tersebut. Nantinya, blastoderm ini akan
bergerak untuk membentuk lapisan blastoderm. Pada gambar (d) Inti sel
bermigrasi menuju daerah yang terpapar radiasi UV, tetapi di sana tetap tidak
terbentuk blastoderm. Yolk di daerah anterior rusak.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sinar UV berpengaruh pada
perkembangan embrio, khususnya pada saat terjadi pembentukan blastoderm.
Embrio yang memiliki viabilitas rendah dan sensibilitas tinggi terhadap sinar
UV akan mengalami kerusakan yolk, yang akhirnya akan membuat embrio
tersebut cacat.

2.4 Strain bwa dan W

Beradasarkan hasil penelitian King (dalam Fowler,1983) menyatakan


strain bwa dan W memiliki respon yang sama terhadap sinar UV dikarenakan
sama-sama merupakan strain mutan. Pada strain W memiliki warna mata
putih dan strain bwa yang memiliki warna mata oranye ternyata keduanya
mempunyai suatu cacat didalam tubuh mereka yaitu gen putih yang
membedakan hanyalah pada strain W terjadi mutasi gen putih secara total
sedangkan untuk strain bwa mengalami mutasi gen putih secara parsial
sehingga dalam hal ini strain bwa masih bisa memproduksi gen warna merah
tapi dalam jumlah yang sedikit sehingga warna matanya oranye.
Adanya perubahan karena mutasi tersebut akan menyebabkan
terjadinya perubahan pada genotip kromosom sehingga akan mempengaruhi
jumlah telur yang dihasilkan karena kromosom pada Drosophila melanogaster
berpengaruh terhadap masalah perkelaminan karena ekspresi kelamin pada
Drosophila melanogaster tergantung pada perimbangan antara kromosom x
dan autosom. Hal ini diduga dapat menyebabkan jumlah penetasan yang
dihasilkan karena jumlah turunan sangat terkait dengan ekspresi kelamin
Adanya kesamaan ini menyebabkan kedua strain memiliki sensitivitas
yang sama (tinggi) dan viabilitas rendah jika terkena radaiasi sinar ultraviolet
sehingga menghasilkan persentase penetasan yang hampir sama.

Anda mungkin juga menyukai