Anda di halaman 1dari 7

BANTUAN HUKUM

Pada masa yang lalu baik pada zaman penjajahan Belanda dulu, masyarakat tertentu
sudah mengenal perkataan advokasi dan pokrol. Demikian juga pada tahun lima puluhan sampai
sebelum G-30-S PKI, masyarakat mengenal istilah advokasi dan pokrol yang dalam sebutan
sehari-harinya telah berkembang menjadi panggilan “pengacara” atau “pembela”, yakni mereka
yang bergerak di bidang pemberian jasa hukum sebagai profesi dan mata pencarian.pengacara
atau pembela dalam kenyataan dan dalam pengertian masyarakat, sampai pada saat ini adalah
pemberian jasa bantuan hukum bagi orang yang memerlukannya dengan imbalan jasa sebagai
prestasi. Sifatnya lebih mirip bisnis dan komersial. Itu sebabnya bantuan jasa hukum yang
diberikan advokasi, pengacara, atau pembela merupakan komoditi atau barang mewah yang
hanya dapat dijangkau oleh orang kaya yang banyak duit. Bagi yang tidak punya uang, yang
tergolong rakyat jelata miskin, tidak mungkin didampingi pembela atau pengacara di dalam
melindungi dan mempertahankan hak dan martabat kemanusiaannya. Rakyat miskin pada
umumnya, sangat kerdil berhadapan dengan aparat penegak hukum, disebabkan dia sendiri buta
hukum dan tak mengerti makna dan hakikat hak asasi berhadapan seorang diri dengan yang
berwenang, yang mahir akan hukum.

Demikianlah gambaran sekelumit apa yang dijumpai pada masa yang lalu mengenai
bantuan hukum. Masyarakat dan praktisi hukum belum mengenal istilah dan pengertian bantuan
hukum. Yang mereka kenal ialah advokat, pengacara atau pembela yang jam bicaranya harus
dibayar oleh orang yang memerlukan jasa dan bantuannya. Akan tetapi, tanpa mengurangi arti
sejarah perkembangan pemberian jasa bantuan hukum di masa penjajahan, tendensi
perkembangannya mulai bergerak pada masa permulaan kemerdekaan. Pada tahun lima puluhan,
sampai menjelang masa Orde Baru, telah tampil
BANTUAN HUKUM YANG DIATUR DALAM KUHAP

Diatas telah dikatakan masih banyak kalangan yang kurang puas tentang kesempurnaan
aturan yang menggariskan pemberian bantuan hukum yang terdapat pada ketentuan pasal-pasal
KUHAP. Terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 115 yang hanya menberi hak
fakultatif dan hak pasif kepada penasehat hukum dalam mengikuti jalannya pemeriksaan
penyidikan di hadapan instansi penyidik.

Terlepas daripada ketidakpuasan tersebut, marilah kita coba menguraikan aturan


pemberian bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP.

 Ketentuan pasal-pasal bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP merupakan pelaksana
daripada aturan umum yang digariskan dalam UU pokok Kekuasaan Kehakiman yang
terdapat pada Bab VII, pasal 35 sampai dengan pasal 38. Sebagai peraturan pelaksa,
pasal-pasal KUHAP merupakan penjabaran dari ketentuan pokok tersebut. Oleh karena
itu, landasan dan orientasi pasal-pasal KUHAP tentang bantuan hukum bertitik tolak
dari ketentuan pokok yang digariskan pada UU No. 14/1970.
 Tentang pengertian bantuan-bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP.
Seperti halnya pada UU 14/1970, KUHAP tidak begitu jelas memberi definisi bantuan
hukum. Tidak dijumpai penjelasan yang membedakan pengertian bantuan hukum
seperti apa yang dikembangkan pada negara-negara yang sudah maju. Yang dijumpai
hanya pengertian umum saja. Tidak dibedakan antara legal aid, legal assistance, dan
legal service. Secara sepintas lalu pengertian bantuan hukum itu ada disinggung pada
pasal 1 butir 13 yang berbunyi: “Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi
syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan
hukum”. Memperhatikan bunyi ketentuan ini, masih banyak terkandung hal-hal yang
belum jelas serta masih memerlukan aturan-aturan pelaksana lebih lanjut. Mari kita
coba menguraikan ketentuan Pasal 1 butir 13 tersebut; penasihat hukum adalah orang
yang memberi bantuan hukum.
Disini kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan, antara lain:
 Siapa yang dimaksud dengan penasihat hukum yang berhak memberi bantuan hukum
tersebut? Apakah hanya mereka yang tergolong pada kelompok Peradin atau pokrol?
 Kedua, apakah arti penasihat hukum yang dimaksud dalam ketentuan ini sama dengan
pengertian legal assistance atau legal service, ataupun legal aid?

Secara harfiah lebih condong untuk mengartikan legal assistance. Sebab ketentuan Pasal
1 butir 13 itu sendiri mempergunakan istilah “penasihat hukum”. Tetapi jika dihubungkan
perkataan penasihat hukum dengan perkataan “orang yang memberi bantuan hukum”, tampak
seolah-olah yang dimaksud KUHAP dengan penasihat hukum sekaligus mencakup pengertian
legal aid dan legal assistance. Karena seperti yang dikatakan di atas, Pasal 1 butir 13
mengartikan: penasihat hukum ialah orang yang memberi bantuan hukum. Jadi, di dalamnya
tercakup legal assistance dan legal aid. Sekiranya pengertian ini dipegang, berarti bantuan
hukum yang dimaksud KUHAP meliput pmberian bantuan hukum secara professional dan
formal, dalam bentuk pemberian jasa bantuan hukum bagi setiap orang yang terlibat dalam kasus
tindak pidana:

 Baik secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu dan miskin,
 Maupun memberi bantuan kepada mereka yang mampu oleh para advokat dengan jalan
menerima imbalan jasa.

Kita bertanya, apakah KUHAP sendiri telah mengatur dengan lengkap cara pemberi
bantuan hukum dengan cuma-cuma sesuai dengan pengertian yang terkandung dalam Pasal 1
butir 13 tersebut? Kami rasa, belum! Paling banter baru dijumpai satu pasal dalam KUHAP,
yang kira-kira mendekati ide pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada mereka yang
tidak mampu seperti yang diatur dalam Pasal 56. Dengan demikian, KUHAP sendiri belum
memadai dan belum dekat sekali dengan rakyat yang memerlukan pelayanan bantuan hukum.
Bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP, masih lebih dekat kepada mereka yang orang kaya
dan mampu memberi imbalan jasa kepada penasihat yang berprofesi ebagai advokatatau
pengacara. Supaya bantuan hukum akrab dengan rakyat kecil yang tidak mampu membayar
imbalan jasa, harus terdapat suatu pasal ketentuan yang menegaskan adanya “kewajiban hukum”
yang bersifat imperative untuk memberi bantuan hukum kepada setiap anggota masyarakat tanpa
kecuali. Sedang yang diatur pada Pasal 56 hanya menegaskan hak tersangka atau terdakwa untuk
mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dan pada setiap
tingkat pemeriksaan. Sehingga sifat bantuan hukum yang diatur dalam KUHAP masih bersifat
diskriminatif antara orang yang kaya dan yang miskin.bagi mereka yang kaya, sejak taraf
pemeriksaan pemulaan sudah dapat memanfaatkan bantuan hukum rakyat miskin, masih jauh
dari manfaat bantuan hukum, dan masih menggantungkan harapan untuk mendapatkan bantuan
hukum dari seorang penasihat hukum atau dari lembaga bantuan hukum yang kebetulan kasihan
melihat penderitaannya. Selama tidak ada uluran tangan dari penasihat hukum atau lembaga
bantuan hukum yang berbudi luhur, selama ini rakyat kecil tidak akan pernah mampu
memanfaatkan haknya mendapatkan bantuan hukum.

Masalah lain dari pengertian bantuan hukum dalam rumusan KUHAP ialah: penasihat
hukum yang memberi bantuan hukum ialah seseorang yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan oleh undang-undang. Menanggapi permasalahan ini, kita bertanya, apakah sudah ada
undang-undang yang mengatur syarat-syarat bagi seorang penasihat hukum? Menurut
pengetahuan kita sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur syarat-syarat seorang
penasihat hukum. Sekiranya pun dicoba mencarinya, perundang-undangan yang mengatur
bantuan hukum dalam perkara pidana ialah undang-undang peninggalan zaman Belanda, seperti
yang diatur dalam St. 29-422 jo. St. 932-4801: Reglement van orde en discipline voord de
advocaten en procureurs, yakni peratuan dan disiplin bagi para advokat dan pengacara. Selain
daripada Reglement yang disebutkan di atas, sampai pada saat ini belum ada suatu undang-
undang yang dikeluarkan dalam alam kemerdekaan, yang mengatur persyaratan, pengawasan,
dan disiplin serta etika penasihat hukum. Yang agak mendekati maksud pengaturan syarat-syarat
bagi para penasihat hukum yang pernah lahir, ialah Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun
1965, yakni pakrol yang diuji oleh Pengadilan Tinggi setempat menjalankan profesi sebagai
“pengacara praktek”. Akibat lanjut dari kekosongan undang-undang yang mengatur syarat
pemberian izin melakukan praktek bantuan hukum, dijumpai beraneka ragam golongan yang
memberi jasa di bidang pelayanan hukum, antara lain:

a. Advokat atau Procureer, yang Lazim Disebut “Pengacara”


Pengacara atau advokat ini diangkat secara resmi berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehakiman. Akan tetapi, pada hakikatnya masih banyak diantara pengacara yang memiliki
SK. Menteri Kehakiman yang tidak murni berprofesi sebagai pemberi bantuan hukum.
Banyak diantara mereka yang menjadikan fungsi pengacara tersebut sebagai tugas rangkap
dan kerja sambilan. Di antaranya, ada yang merangkap sebagai pegawai negeri, sebagai
dosen, anggota DPR, dan sebagainya. Akibat tugas rangkap dan kerja sambilan ini, sering
dijumpai pengacara yang lebih mementingkan tugas pokoknya. Hal-hal seperti inilah yang
sering menghambat kelancaran persidangan, karena kadang-kadang pada hari sidang yang
ditentukan pengacara yang tugas rangkap, diperintahkan atasannya melaksanakan tugas yang
tak dapat diabaikannya. Dan menurut pengalaman, pengacara yang tugas rangkap jarang
yang benar-benar mempersiapkan bantuan hukum yang diembannya secara sempurna. Hal ini
dapat dimengerti, sebab sebelah kaki dan pikirannya bertumpu pada tugas pokok,hanya
segelintir kecil saja waktunya yang terluang untuk mengemban kepercayaan yang diberikan
pencari keadilan kepadanya.
b. Pokrol yang Diuji Pengadilan Tinggi Setempat yang Lazim Disebut “Pengacara Praktek”,
berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1965
Pada umumnya pengacara praktek terdiri dari yang telah berprofesi memberi bantuan
hukum yang sebagaian besar bukan sarjana hukum sebagian terdiri dari sarjana hukum dari
perguruan tinggi swasta. Upaya untuk lebih menjamin kemampuan mereka, diadakan ujian
penyaringan oleh Pengadilan Tinggi setempat sesuai dengan ketentuan Peratuan Menteri
Kehakiman No. 1 Tahun 1965. Bagi mereka yang lulus, oleh Pengadilan Tinggi diberi izin
untuk bertindak sebagai pengacara praktek. Barangkali ada benarnya, kemampuan mereka
baik mengenai teknik peradilan maupun hukum materiil, masih jauh daripada yang
diharapkan. Akan tetapi, menurut pengalaman dan pengamatan, sedikit banyak mereka telah
dapat mengisi kekosongan penasihat hukum di daerah-daerah. Dan nyatanya pengacara
praktek lebih dekat dengan rakyat kecil yang miskin. Sebab tarif imbalan jasanya jauh lebih
rendah disbanding dengan mereka yang tergolong advokat.
c. Pembela Insidentil
Mereka ini pada umumnya bukan bergerak di bidang bantuan hukum. Mereka baru
tampil apabila terpanggil untuk memberi bantuan kepada sanak keluarga. Umumnya terdiri
dari para sarjana hukum yang tlah bekerja di berbagai lapangan baik sebagai pegawai negeri,
pegawai swasta, atau ABRI atau yang paling sering tampil pembela insidentil ialah mereka
yang berfungsi sebagai Humas atau bagian hukum pada suatu jawaban instansi, yang
sekaligus berkedudukan dan bertindak membela dan mewakili perusahaan atau jabatan
tempat mereka bertugas.
d. Lembaga Bantuan Hukum atau LBH
LBH terdiri dari dua kelompok:
1) LBH swasta
Inilah yang telah muncul dan berkembang belakangan ini. Anggotanya pada umumnya
terdiri dari kelompok yang bergerak dalam profesi hukum sebagai pengacara. Konsep dan
programnya jauh lebih luas dari sekedar memberi bantuan hukum secara formil di depan
sidang pengadilan terhadap rakyat kecil yang miskin dan buta hukum. Konsep dan
programnya akan dikatakan meliputi dan ditujukan:
 Menitikberatkan bantuan dan nasihat hukum terhadap lapisan masyarakat kecil yang
tidak berpunya;
 Memberi nasihat hukum di luar pengadilan terhadap buruh, tani, nelayan, dan
pegawai negeri yang merasa haknya diperkosa;
 Mendampingi atau memberi bantuan hukum secara langsung di sidang pengadilan
baik yang meliputi perkara perdata dan pidana,
 Bantuan dan nasihat hukumyang mreka berikan dilakukan dengan cuma-cuma.
2) LBH yang bernaung pada perguruan tinggi
LBH yang bernaung pada perguruan tinggi inipun hamper sama konsep dan programnya
dengan LBH swasta. Tetapi menurut pengamatan, pada umumnya LBH yang bernaung
pada perguruan tinggi, kurang populer. Sebab pada kenyataannya yang tampil ke depan
memberi bantuan hukum terdiri daripada mereka yang masih berstatus mahasiswa,
sehingga menimbulkan anggapan kurang mampu melaksanakan bantuan hukum.

Dari apa yang diuraikan di atas, perundang-undangan yang utuh mengatur syarat-syarat
dan pengawasan serta penyebaran penasihat hukum di negara kita, boleh dikatakan sangat
minim. Itu sebabnya dalam kehidupan praktek hukum di Indonesia, kita mengenal berbagai
macam corak dan bentuk lembaga bantuan hukum seperti yang telah diuraikan di atas. Akibatnya
sangat sulit melakukan pengawasan terhadap para penasihat hukum dalam melaksanakan
bantuan terhadap kepentingan para pencari keadilan. Seperti yang dikatakan, salah satu manfaat
yang harus dipetik dari para penasihat hukum, ikut serta memperlancar jalannya proses
penegakan hukum. Bukan sebaliknya, seperti yang sering dialami selama ini, disebabkan faktor-
faktor tugas rangkap dan kekurangmampuan menguasai teknik peradilan bagi sementara mereka.
Karena itu seyogyanya pembuat undang-undang secepat mungkin mengeluarkan undang-undang
yang mengatur persyaratan, pengawasan, penyebaran, dan lain-lain. Dengan undang-undang
tersebut daoat memberi penggarisan agar mereka yang melakukan kegiatan bantuan hukum
sebagai penasihat hukum:

Anda mungkin juga menyukai