Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH ETIKA PEMERINTAHAN

OLEH :

INDRA ANUGRAH 1921046

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SINJAI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt karena atas berkat, Rahmat, Hidayah,
dan Karunianyalah sehingga pada kesempatan kali ini saya dapat menyelesaikan Makalah
saya Yang berjudul “Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan” Tidak lupa pula salam dan
shalawat saya curahkan kepada junjungan nabi besar kita Rasulullah Saw.
Saya sadar bahwa dalam penyusunan makalah saya terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu,dengan penuh rendah hati saya sangat mengharapkan saran dan kritikan dari para
pembaca, agar kedepannya saya dapat menyusun makalah yang lebih baik lagi.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan para pembaca untuk
meluangkan waktunya demi membaca makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua khususnya bagi saya selaku penulis.

Sinjai, 1 Juni 2021

Penyusun

Indra Anugrah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 4
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………. 4
C. Tujuan…………………………………………………………………… 5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 6
A. Pengertian Kolusi..................................................................................... 6
B. Nepotisme................................................................................................ 10
C. Etika Politik dalam Pemenuhan Hak Asasi Manusia…………………... 13
D. Etika Pemerintahan Hukum dan Norma Sosial………………………… 16
E. Strategi Penguatan Etika Pemerintahan………………………………… 25
BAB III PENUTUP............................................................................................ 28
A. Kesimpulan……...................................................................................... 28
B. Saran…………………………………………………………………….. 29
Daftar Pustaka…………………………………………………………………. 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Berbicara persoalan etika politik pada hakikatnya membahas persoalan hukum dan
kekuasaan. Hukum adalah aturan normatif masyarakat, hukum yang memberitahukan kepada
semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum terdiri dari norma-
norma bagi kelakuan yang betul dan salah dalam masyarakat, akan tetapi hukum hanya
bersifat normatif dan tidak afektif. Artinya, hukum sendiri tidak dapat menjamin agar orang
memang taat kepada norma-normanya. Secara efektif dapat menentukan kelakuan
masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk mamaksakan kehendaknya,
lembaga itu adalah negara.Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Secara
historis etika sebagai usaha filsafat yang lahir dari keambrukan tatanan moral di
lingkungankebudayaan Yunani 2500 tahun lalu.
Fokus etika adalah menggambarkan dan mengevaluasi alasan yang diberikan oleh orang
atau kelompok untuk penilaian yang mereka buat mengenai benar dan salah atau baik dan
buruk, khususnya ketika istilah-istilah itu berhubungan dengan tindakkan, sikap, dan
kepercayaan manusia. Bagi ‘Abduh, intuisi moral mampu menetapkan prinsip pertama
moralitas dan implikasi moralitas bagi kehidupan politik
dan social
Perilaku perusahaan atau individu melakukan kolusi dengan  beberapa alasan.
Namun hal yang paling utama adalah ingin mendapatkan keuntungan maksimal atas usaha
yang dilakukan. Contoh kasus kolusi yang diangkat pada makalah ini menggambarkan
bahwa kolusi terjadi untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan dapat dilakukan secara
bersamaan. Kolusi ini merupakan tindakan negatif yang seharusnya tidak dilakukan, dan
dalam pembuktiannya sulit dilakukan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kebijakan anti kolusi dan anti nepotisme dalam penyelenggaran
pemerintahan?
2. Bagaimana etika politik dalam pemenuhan hak asasi manusia?
3. Bagaimana etika penegakan hukum yang berkeadilan?

4
4. Bagaimana strategi penguatan etika pemerintahan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kebijakan anti kolusi dan anti nepotisme dalam penyelenggaraan
pemerintahan
2. Untuk mengetahui etika politik dalam pemenuhan hak asasi manusia
3. Untuk mengetahui etika penegakan hokum yang berkeadilan
4. Untuk mengetahui strategi penguatan etika pemerintahan

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kolusi

Dalam bidang studi ekonomi sendiri, kolusi ini sering sekali terjadi dalam satu bidang
industri pada saat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka
bersama, kolusi ini paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoly, dimana keputusan
beberapa perusahaan untuk bekerja sama dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara
keseluruhan.
Salah satu kasus dari kolusi yang dilakukan secara berlebihan adalah kartel (istilah untuk
kolusi tersembunyi), pada dasarnya kartel merupakan kelompok produsen independen yang
bertujuan untuk menetapkan harga untuk membatasi suplai dan kompetisi, praktek kartel ini
dilarang hampir diseluruh Negara. Akan tetapi, sebenarnya kartel ini tetap ada, baik
dilingkungan nasional maupun internasional, formal atau informal.
Dalam ruang lingkup yang luas ada beberapa pengertian tentang kolusi, diantaranya
adalah sebagai berikut:
F. Kolusi adalah suatu kerja sama melawan hukum antar penyelenggara Negara atau
antara penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat,
dan atau Negara.
G. Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan
secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan
pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi
lancar.
H. Sedangkan pengertian kolusi berdasarkan UU No. 20 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara-negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme, kolusi adalah pemufakatan kerjasama melawan hukum antar
penyelenggara negara dan pihak lain, masyarakat ataupun negara.
Jadi secara garis besar, Kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk melawan
hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara dengan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat dan Negara.

6
1. Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:
C. Pemberian uang pelicin kepada perusahaan tertentu oleh oknum pejabat atau
pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan
barang dan jasa tertentu.
D. Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal,
seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme G 2 G (pemerintah ke
pemerintah) atau G 2 P (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara
langsung
2. Unsur-unsur Kolusi yaitu:
a) Adanya pemufakatan atau kerjasama
b) Secara melawan hukum
c) Penyelenggaraan Negara

A. PENYEBAB TERJADINYA KOLUSI


Dalam banyak hal, penyebab seseorang melakukan kolusi adalah karena
ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika
dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa
diperoleh melalui cara berkolusi, maka jadilah seseorang akan melakukan kolusi. Jadi, jika
menggunakan cara pandang penyebab kolusi seperti ini, maka salah satu penyebab kolusi adalah
cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan
menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan tersebut dan semakin banyak orang
melakukan kesalahan dalam mengakses kekayaan maka semakin banyak pula orang yang
melakukan kolusi.
Berikut adalah penyebab terjadinya Kolusi dalam berbagai ruang lingkup:
 Dalam masyarakat: Himpitan ekonomi, seperti gaji lebih kecil dari kebutuhan
yang makin meningkat, latar belakang kebudayaan atau kultur kerja atau
lingkungan tempat tinggal.
 Dalam pemerintahan: Monopoli Kekuasaan dengan wewenang pejabat yang
absolut tanpa adanya mekanisme pertanggungjawaban, hubungan personal

7
antara pemimpin dan bawahan yang tidak berdasarkan asas persamaan, tidak ada
sistem kontrol yang baik, korupsi bagian budaya pejabat local.
 Dalam pendidikan: Tradisi memberi disalahgunakan, sistem pendidikan
mempraktekkan sistem gaya bank mengakibatkan pembodohan anak didik,
kurikulum tidak kontekstual, gaji dan apresiasi terhadap pelaku pendidikan
rendah.
B. KEBIJAKAN ANTI KOLUSI
Dengan adanya pemerintahan yang terdiri dari eksekutif dan legislative, maka yang
diharapkan adalah terbentuknya pemerintahan yang kuat yang bisa menjaga eksistensi pancasila
sebagai dasar Negara artinya mempunyai bargaining point terhadap pengambilan berbagai
kebijakan pemberantasan tindak KKN terutama kolusi dan mempunyai kesamaan pandangan
terhadap KKN sebagai musuh bersama, sama dengan apa yang diharapkan oleh rakyat Indonesia
selama ini dengan selalu melakukan pengawasan-pengawasan social terhadap Pemerintahan.
Dalam menentukan langkah kebijakan yang akan dilakukan adalah:
a. Mengerahkan seluruh stakeholder dalam merumuskan visi, misi, tujuan dan
indicator terhadap makna Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
b. Mengerahkan dan mengidentifikasi strategi yang akan mendukung terhadap
pemberantasan KKN sebagai payung hukum menyangkut Stick, Carrot, Perbaikan
Gaji Pegawai, Sanksi Efek Jera, Pemberhentian Jabatan yang diduga secara nyata
melakukan tindak korupsi dsb.
c. Melaksanakan dan menerapkan seluruh kebijakan yang telah dibuat dengan
melaksanakan penegakkan hukum tanpa pilih bulu terhadap setiap pelanggaran
KKN dengan aturan hukum yang telah ditentukan dan tegas.
d. Melaksanakan Evaluasi , Pengendalian dan Pengawasan dengan memberikan atau
membuat mekanisme yang dapat memberikan kesempatan kepada Masyarakat,
dan pengawasan fungsional lebih independent. Sehingga tujuan yang diharapkan
akan tercapai yaitu Pemerintahan yang bersih dan Penyelenggaraan Pemerintahan
yang baik dengan melaksanakan seluruh langkah dengan KOMITMEN DAN
INTEGRITAS terutama dimulai dari Kepemimpinan dalam Pemerintahan
sehingga apabila belum tercapai harus selalu melakukan evaluasi dan melihat

8
kembali proses langkah yang telah ditentukan dimana kelemahan dan kekurangan
yang perlu diperbaiki

C. Peran Etika Dalam Minimalisir Peraktik Kolusi


Sebelum membahas tentag peran meminimalisir praktik kolusi ada beberapa upaya
penaggulangannya yaitu :
1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansipemerintah
maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan
milik perusahaan atau milik negara.
2. mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai
dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling
menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan
kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan
dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan
melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada
masyarakat dan negara.
4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam
memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
5. Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol,
koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung
disalahgunakan.
6. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense
ofbelongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka
merasaperuasahaan tersebut adalah milik sendiri dan selalu berusaha berbuat yang
terbaik.
Adapun berapa hal terkait Peran etika dalam minimalisir pratik kolusi yaitu :
1. tingkatkan pengetahuan masyarakat tentang hukum
2. tegatkan hukum tampah tebang pilih
3. tingkatkan kesejatraan pegawai negara
4. hilangkan budaya menyuap dari masyarakat

9
B. Nepotisme
 Konsep Nepotisme
Nepotisme berasal dari istilah bahasa Inggris “Nepotism” yang secara umum
mengandung pengertian “mendahulukan atau memprioritaskan
keluarganya/kelompok/golongan untuk diangkat dan atau diberikan jalan menjadi
pejabat negara atau sejenisnya. Dengan demikian nepotisme merupakan suatau
perbuatan/tindakan atau pengambilan keputusan secara subyektif dengan terlebih
dahulu mengangkat atau memberikan jalan dalam bentuk apapun bagi
keluarga/kelompok/golongannya untuk suatu kedudukan atau jabatan tertentu (Echol
dan Sadily, 1985 : 21)
Pengertian nepotisme menurut KBBI adalah suatu perilaku yang memperlihatkan
kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat. Arti lain nepotisme adalah
kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri,
terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah;
Nepotisme bisa juga diantikan tindakan memilih kerabat atau sanak saudara
sendiri untuk memegang pemerintahan. Dari pengertian singkat itu, sudah bisa
dibayangkan ya bagaimana merugikannya nepotisme ini. Misalnya di sebuah sekolah
negeri, kepala sekolah memasukkan anak, keponakan, ipar dan lainnya sebagai
pejabat atau pegawai di dalamnya padahal kemampuannya di bawah rata-rata.
Ini jelas merugikan kandidat lain yang seharusnya kompeten mengisi jabatan itu.
Namun nepotisme ini masih lebih sedikit disorot dibandingkan tindak pidana korupsi.
Sehingga nepotisme ini masih sangat menjamur terutama di daerah.
Nah, itu adalah pengertian nepotisme menurut KBBI. Pengertian nepotisme
menurut UU No. 28 Tahun 1999 Pasal I angka 5, tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari KKN, adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara
melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di
atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
a. Contoh Nepotisme

10
1. Nepotisme Ikatan Kekeluargaan. Contohnya, posisi tertentu di jajaran pegawai
negeri banyak yang berasal dari keluarga yang sama. Hal ini bisa diketahui dari
kemiripan wajah dan nama belakang yang sama. Contoh di sebuah instansi
pimpinan memasukkan segerombol saudaranya untuk mengisi jabatan penting. Ini
bisa dilihat dari kesaman nama, marga, dan wajahnya. Itulah mengapa sejumlah
perusahaan memeriksa ketat jika ada pegawai yang bermarga sama dengan salah
seorang pemimpin di perusahaan.
2. Nepotisme College Tribalism, yakni bentuk nepotisme berdasarkan asal
perguruan tinggi atau jurusan yang sama. Contoh: Di sebuah perusahaan
pimpinnnya menempatkan orang-orang yang berasal dari Universitas X atau
Jurusan X saha di posisi penting, karena ia lulusan sana juga.
3. Organizational Tribalism yakni bentuk nepotisme berdasarkan organisasi tertentu,
seperti organisasi profesi, partai politik, dan lainnya. Contohnya dalam mengisi
jabatan di lingkungan kementerian dipilih orang-orang yang satu organisasi
dengan menterinya. Contoh lain misalnya Menteri A berasal dari kader partai X,
maka ia memilih orang-orang yang bekerja menjadi stafnya juga dari Partai X.
4. Institutional Tribalism, yakni bentuk nepotisme dimana para pelaku berasal dari
instansi yang sama di luar instansinya saat ini. Contoh:Seorang pemimpin
perusahaan pindah kerja yang kemudian membawa pegawai lainnya secara
bergerombol ke tempat kerja yang baru.
Contoh lain adalah ketika walikota baru terpilih maka banyak perubahan jabatan
di kalangan kabag, kasubag dan lainnya mengikut gerombolan walikota baru.
5. Ethnical Tribalism, yakni nepotisme dimana pelaku berasal dari suku atau etnis
yang sama. Contohnya dalam suatu perusahaan pimpinannya hanya menempatkan
seseorang yang dari etnis yang sama di posisi penting. Biasanya mereka akan
berbicara dalam bahasa daerah mereka jika bertemu.

A. Kebijakan Anti Nepotisme


Adapun kebijakan yang dapat diterapkan agar terwujudnya anti Nepotisme yaitu:
- Lakukan Observasi

11
Jika Anda memiliki perhatian pada isu nepotisme di perusahaan tempat Anda
bekerja, Anda bisa mulai melakukan observasi pada karyawan-karyawan yang
memiliki anggota keluarga atau kerabat yang bekerja di departemen, divisi, atau
area bisnis yang sama. Selain itu, Anda juga bisa mengamati para karyawan yang
memiliki suami atau istri yang bekerja di perusahaan yang sama.
- Lakukan Evaluasi Kompetensi
Tips yang satu ini wajib Anda lakukan jika Anda berada di posisi hiring manager.
Jika Anda menemui kandidat karyawan yang memiliki hubungan kerabat dengan
karyawan di perusahaanmu, Anda harus serius mengevaluasi kemampuan dan
kualifikasinya untuk menempati posisi yang dilamarnya.
- Diskusikan dengan HRD dan Manajer Lain
Jika Anda menemukan indikasi kejanggalan yang berhubungan dengan
nepotisme, diskusikan dengan orang-orang di departemen human
resources. Anda juga bisa menghubungi orang-orang yang menempati posisi top
management untuk mendiskusikan masalah ini.
- Pertimbangkan Keuntungan Merekrut Kerabat
Sebenarnya ada beberapa keuntungan jika Anda merekrut keluarga dari seorang
karyawan yang sudah bekerja di perusahaanmu. Apabila memang kandidat
karyawan yang akan direkrut tersebut memiliki kualitas yang baik, tentu
perusahaanmu akan melakukan apapun untuk mempertahankannya. Dengan
adanya kerabat yang sudah bekerja terlebih dahulu di perusahaan tersebut, Anda
bisa lebih mudah mempertahankan karyawan tersebut untuk bekerja di
perusahaan.
b. Peran Etika Dalam Minimalisir Praktek Nepotisme
- Mengakhiri siklus impunitas
Pendekatan penegakan hukum yang sukses harus didukung dengan kerangka
hukum yang kuat, cabang penegakan hukum, sistem keadilan yang efektif dan
juga independen. Sementara masyarakat sipil bisa mendukung proses tersebut
dengan cara berinisiatif melakukan kampanye yang dilakukan secara bijak, tepat,
dan memperhatikan hukum negara. Sebab, menghukum pihak yang terlibat

12
praktik korupsi kolusi nepotisme merupakan komponen vital dari segala upaya
anti-korupsi yang efektif.
- Melakukan reformasi administrasi publik dan manajemen keuangan
Segala bentuk reformasi yang fokus pada peningkatan manajemen keuangan
sekaligus memperkuat peran lembaga audit di berbagai negara telah mencapai
dampak yang lebih besar ketimbang hanya melakukannya di sektor publik.
Bahkan, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah pengungkapan informasi
anggaran yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pemborosan dan
penyalahgunaan sumber daya.
- Memanfaatkan jalur komunikasi alternatif
Arti dari pernyataan di atas adalah tentang bagaimana menyatukan proses formal
dan informal, di mana kamu bisa melakukan kerjasama dengan pemerintah serta
kelompok non-pemerintah ataupun organisasi. Hal ini bertujuan untuk mengubah
perilaku sekaligus memantau kemajuan yang mungkin saja terjadi.
- Memanfaatkan Kecanggihan Tekhnologi Terkini
Sudah sepantasnya jika saat ini kita bersyukur, karena teknologi yang
berkembang mampu menunjang segala aktivitas masyarakat, membangun
pertukaran yang dinamis, dan menjalin komunikasi antara pemangku kepentingan
utama.
Mulai dari pemerintah, warga negara, kelompok masyarakat sipil, bisnis, dan lain
sebagainya. Bahkan, berkat kecanggihan teknologi seperti internet
memungkinkan siapa saja bisa melakukan tindakan pencegahan. Baik di tingkat
lokal maupun global yang bisa disesuaikan berdasarkan skala dan ruang
lingkupnya. Oleh sebab itu, masyarakat sangat disarankan untuk memanfaatkan
teknologi dengan sebaik mungkin dan ikut terlibat dengan cara-cara yang tepat
dan bijaksana.

B. Etika Politik dalam Pemenuhan Hak Asasi Manusia

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau


cabang filsafat yang membahasa prinsip-prinsip moralitas politik Etika politik sebagai

13
ilmu dan cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional
mulai ambruk.

Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Ethes” yang berarti kesediaan jiwa akan
kesusilaan, atau dapat diartikan kumpulan peraturan tentang kesusilaan. Dengan kata lain,
etika politik merupakan prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku
dalam berpolitik. Etika politik juga dapat diartikan sebagai tata susila (kesusilaan), tata
sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan politik.

Dalam praktiknya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata
masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Untuk itu, etika
politik berusaha membantu masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang
luhur ke dalam realitas politik yang nyata.Suseno.

a. Konsepsi Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak pokok yang dimiliki manusia sejak manusia itu
dilahirkan yang tidak dapat diganggu gugat sebagai anugera Tuhan Yang Maha Esa. HAM
diatur dalam Undang-undang No, 39 tahun 1999, hak asasi manusia merupakan hak dasar
yang secara kodrat melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng.

HAM adalah hak asasi yang sudah ada sejak lahir, berikut ini adalah sifat-sifat atau ciri-
ciri hak asasi manusia :
• Hakiki artinya hak yang dimiliki oleh semua orang sejak mereka dilahirkan.
• Universal, hal ini berarti HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang status sosial,
agama, suku, ras, dan juga perbedaan lainnya.
• Permanen atau tidak dapat dicabut, artinya HAM tidak dapat dihilangkan atau diserahkan
kepada orang lain.
• Tidak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak yang sudah diatur
dan ditetapkan.

Sedangkan Kewajiban Asasi Manusia adalah Kewajiban adalah segala sesuatu yang
harus dilakukan atau dikerjakan dengan penuh tanggung jawab. Jadi, kewajiban asasi
manusia dapat kita artikan sebagai kewajiban dasar setiap manusia.Dalam konteks HAM,
Hak dan kewajiban asasi manusia merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain

14
yang memiliki hubungan sebab akibat. Seseorang bisa mendapatkan haknya ketika mereka
melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu. Dengan kata lain, hak dan kewajiban asasi
manusia merupakan bentuk pembatasan atas HAM.

Hal ini juga diatur dalam UU RI No.39 tahun 1999 pasal 1 ayat 2, kewajiban asasi
manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Artinya kewajiban asasi manusia
adalah kewajiban yang harus dijalankan setiap manusia yang bertujuan untuk menegakan
HAM.

b. Masalah Pemenuhan Hak Asasi Manusia

Dalam hal ini setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama.
Setiap orang berkewajiban untuk menghargai hak orang lain, karena hak asasi
manusia adalah hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia.
Pada Pasal 28A UUD 1945 menegaskan, bahwa Hak Asasi Manusia adalah setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.Sesuai yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjelaskan dengan tegas bahwa
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (Machstaat). Hal itu berarti
bahwa Negara Republik Indonesia ialah Negara Hukum yang berdasarkan Pasal 1 Angka 1
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin segala
Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hak dan pemerintahan, serta wajib
menjunjung hukum dan pemerintah itu tidak ada kecualinya.
Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjelaskan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab Negara, terutama pemerintah”. Pasal 28 I ayat (4) Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa pemerintah menjamin
terlaksananya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan

15
pemenuhan hak bagi setiap Warga Negara. Sebagai Negara demokrasi, pemegang kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat. Negara memperoleh kekuasaan dari Warga Negara sebagai
pemegang kedaulatan semata-mata untuk memenuhi dan melindungi hak asasi warganya.
Oleh sebab itu Negara berperan penting dalam perwujudan pemenuhan hak asasi manusia
bagi Warga Negara-nya.
Pendidikan merupakan hak asasi setiap Warga Negara Indonesia dan untuk itu setiap
Warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang layak sesuai dengan bakat dan
minat yang dimilikinya tanpa memandang status berdasarkan latar belakang ras, etnik,
agama, warna kulit, jenis kelamin,
pekerjaan, budaya, dan lain-lain. Pendidikan sebagai salah satu hak bagi Warga Negara
sangat berperan penting bagi kelangsungan kehidupan manusia. Untuk mencapai tujuan
Negara Indonesia sesuai dengan yang tertuang di dalam Pembukaan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alenia IV yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Latar belakang timbulnya hak atas pendidikan tidak terlepas dari sejarah
Hak Asasi Manusia (HAM). Di Negara-negara bagian barat HAM berkembang setelah
lahirnya Magna Charta. Piagam Magna Charta merupakan bentuk penjamin hak dasar warga
Inggris (khususnya kaum bangsawan saat itu) dari kesewenangan dan absolutism Raja
Inggris (yang kemudian dilanjutkan dengan lahirnya Bill of Right).
Hak untuk memperoleh pendidikan yang layak juga dijelaskan di dalam UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 C yang berbunyi “setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan
dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

C. Etika Pemerintahan Hukum dan Norma Sosial

Hukum sebagai norma sosial (studi pada UU No 1 tahun 1974 dan KHI). Focus
kajian pada aspek nilai-nilai dasar hukum dan pada aspek penegakan hukum keluarga.
Adapun yang menjadi alasan mengapa dua aspek tersebut perlu dikaji karena adanya
fenomena unik dalam penerapan hukum keluarga yang belum bisa diterima seratus

16
persen oleh masyarakat Indonesia tetapi eksistensinya masih dipertahankan oleh
pemerintah. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode
perpustakaan (library research). Makalah ini menghasilkan dua hal. Pertama, bahwa
nilai-nilai dasar yang ada pada hukum keluarga di Indonesia adalah keadilan dan
kemanfaatan. Kedua nilai tersebut saling menunjang. Namun kedua nilai dasar hukum
tersebut belum menghasilkan ketertiban seratus persen dalam masyarakat. Hal ini
dikarenakan pilihan pemerintah dalam menggunakan metode perumusan hukum
dengan metode analisis normative sehingga tidak bersifat otoriter dan tidak memiliki
sasaran untuk mengharuskan masyarakat untuk tunduk pada hukum keluarga secara
paksa. Namun kekurangan metode ini dapat ditutupi dengan konten hukum yang
berkemampuan untuk merubah masyarakat untuk mentransformasi diri tunduk pada
hukum keluarga ketika sudah mendapatkan pemahaman yang tepat dan apabila
mendapatkan permasalahan hukum. Kedua, Penegakan hukum keluarga Islam telah
ditunjang oleh pranata hukum dan pranata sosial. Sebagian masyarakat telah
mengunakan pranata tersebut dalam mendapatkan keadilan dan kemanfaatan,
sehingga hukum keluarga dapat berfungsi sebagai institusi sosial yang melindungi
masyarakat.

a. Masalah penegakan hukum


Salah satu indikator negara hukum adalah keberhasilan dalam penegakan
hukumnya. Dikatakan berhasil karena hukum yang telah diaturnya, sudah seharusnya
dan sudah waktunya, dijalankan dan ditaati oleh seluruh elemen masyarakat. Ketiadaan
dan kurang maksimalnya penegakan hukum dapat berimplikasi terhadap kredibilitas
para pembentuk aturannya, pelaksana aturan dan masyarakat yang terkena aturan itu
sendiri, sehingga seluruh elemen akan terkena dampaknya. Untuk itulah, maka menjadi
penting untuk diketahui apakah penegakan hukum itu sesungguhnya. Penegakan
hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk dapat tegak atau berfungsinya
norma-norma hukum yang berlaku dan telah diatur sebagai pedoman perilakunya
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan manusia
bermasyarakat dan bernegara. Untuk itulah, maka ketentuan yang telah mengaturnya
tidak akan berhenti dalam arti aturan yang tidak bergerak atau mati, tetapi tetap akan

17
tegak bediri dan berjalan ke depan sebagaimana yang ditentukan oleh lembaga resmi
dan diakui negara untuk mengaturnya. Secara luas, proses dalam penegakan hukum itu
melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa sajakah yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan
mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, maka hal itu berarti telah
menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Sementara, secara sempit dari aspek subjeknya, maka penegakan hukum dapat
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk dapat menjamin
dan memastikan bahwa aturan hukum itu berjalan sebagaimana yang telah diatur
seharusnya oleh aturannya. Hal ini untuk memastikan tegaknya hukum, apabila
diperlukan untuk itu, maka aparatur penegak hukum diperbolehkan akan
menggunakan upayadaya paksa. Di dalam sudut pandang objeknya, yaitu dari aspek
hukumnya penegakan hukum itu adalah pengertiannya juga mencakup makna luas
dan sempit. Dalam arti luas, maka penegakan hukum mencakup pula adanya nilai-
nilai keadilan yang terkandung dalam bunyi aturan formal atau nilai-nilai keadilan
yang hidup di dalam masyarakat. Hal yang berbeda di dalam arti yang sempit, maka
penegakan hukum hanya terbatas kepada menyangkut penegakan peraturan yang
formal dan tertulis saja dan dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang untuk
mengeluarkan aturan tersebut. Namun di lapangan penegakan hukum itu tidak
seindah yang digambarkan oleh teori-teori hukum dan peraturan yang telah
mengaturnya. Terdapat lebih dari satu masalah-masalah penegakan hukum dan untuk
dapat membahas penegakan hukum lebih dalam dan dapat lebih jelas
permasalahannya, maka dengan memperhatikan faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi efektifitas dari penegakan hukum.
Prof. Dr. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa penegakan hukum terdapat
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan mempunyai arti sehingga penegakan
hukum dapat berdampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut.
Terjadinya gangguan terhadap penegakan hukum terjadi apabila ada ketidakserasian
antara nilai, kaidah, dan pola perilaku (“tritunggal”). Dalam hal terjadi
ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan dan menjelma dalam kaidah-
kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang akan dapat

18
mengganggu kedamaian pergaulan hidup, maka penegakan hukum menjadi tidaklah
dapat diwujudkan. Artinya, penegakan hukum akan menjadi tidaklah berjalan
sebagaimana mestinya atau akan terganggu dalamm perjalanan dan penegakan
hukumnya. Masalah pokok penegakan hukum terletak kepada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah pertama, faktor hukumnya, kedua
faktor penegak hukum, ketiga, faktor sarana atau fasilitas, keempat faktor masyarakat
dan kelima faktor kebudayaan.
Pertama, faktor hukumnya itu sendiri. Hukum yang dimaksudkan adalah
Undang-Undang (“UU”) atau peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh
Pemerintah. Faktor hukum yang dimaksud adalah bermula dari undang-undangnya itu
sendiri yang bermasalah. Penegakan hukum yang berasal dari UU itu disebabkan a).
tidak diikutinya azas-azas berlakunya, UU b). belum ada peraturan pelaksanaan yang
sangat dibutuhkan untuk menerapkan UU, c). Ketidak jelasan arti kata-kata dalam
UU yang akan berakibat kesimpang siuran dalam penafsiran serta penerapannya.
Disamping itu adalah ketidakjelasan dalam kata-kata yang dipergunakan dalam
perumusan pasal-pasal tertentu. Hal itu disebabkan, karena penggunaan kata-kata
yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali. Konsekuensi ini peraturan yang
memuat pasal dengan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara luas (multiinterpretasi)
dan menyebabkan kesimpang siuran dalam penafsiran atau penerapannya sehingga
pada akhirnya menimbulkan konflik. Artinya, faktor hukum yaitu peraturan yang
memiliki ketidakjelasan kata-kata dalam perumusan pasal-pasalnya terbukti telah
mempengaruhi penegakan hukum terhadap sengketa di Indonesia. Masalah itu
tumbuh karena meskipun UU telah disahkan dan berlaku, tetapi hingga batas waktu
tertentu belum juga dibuat peraturan pelaksanaannya sebagai perintah Undang-
undang, sehingga akibatnya beberapa pasal dari UU tidak dapat dijalankan. Misalnya,
salah satu kewajiban perusahaan melakukan Corporate Social Responsibility (CSR)
yang diatur Pasal 74 ayat (3) dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UUPT) yang mengatur bahwa : ”Ketentuan lebih lanjut mengenai
tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Namun,
hingga sekarang ini Peraturan Pemerintah tersebut belumlah juga dibuat atau
dikeluarkan oleh Pemerintah. Akibat tiadanya Peraturan Pemerintah akan berdampak

19
pada tidak dapat dilaksanakan perintah dilakukannya Corporate Social Responsibility
(CSR) tersebut. Hal ini juga berarti bahwa tidaklah ada kewajiban bagi perusahaan
untuk melakukannya, karena memang tidak tahu bagaimana CSR seharusnya itu
dilaksanakan dan dijalankan, hingga nanti Peraturan Pemerintah itu dikeluarkan.
Kedua, faktor penegak hukumnya. Yang dimaksudkan dengan penegak
hukum itu adalah pihak-pihak yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam
penegakan hukum mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Penasehat Hukum (Advokat) dan hingga petugas-petugas sipir
pemasyarakatan. Setiap profesi penegak hukum mempunyai wewenang atau
kekuasaan tugas masing-masing. Hakim berada dalam peranan yang sangatlah
menentukan ketika suatu keputusan diharapkan untuk lahir dan pelaksanaan tugas
tersebut, hakim berada di dalam kemandiriannya sendiri, sedangkan tugas dari
penegak hukum yang lainnya adalah meyakinkan dan menjelaskan kepada hakim apa
dan bagaimanakah permasalahan hukumnya, sehingga akan diperoleh suatu
keyakinan hakim untuk dapat memutuskanya secara adil dan juga bijaksana. Namun
permasalahannya tidak sesederhana itu, sebab kenyataannya penegakan hukum tidak
berjalan dalam koridor yang benar, sehingga penegakan hukum mengalami kendala
dalam tingkatan teknis operasional di masing-masing penegak hukum. Penyebabnya
antara lain, pertama rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi dan advokat
Ketiga, faktor sarana dan fasilitas. Tanpa adanya atau dukungan sarana atau
fasilitas yang memadai, maka tidaklah mudah penegakan hukum berlangsung dengan
baik, yang antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan tinggi dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang cukup memadai, keuangan yang cukup,
dan seterusnya. Kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka sulitlah penegakan
hukum dapat mencapai tujuannya. Tenaga manusia yang berpendidikan tinggi disini
diartikan sebagai para penegak hukum yang mumpuni dan berkualitas yaitu mampu
atau dapat melayani dan mengayomi masyarakat sesuai dengan tugas dan bidangnya
masing-masing. Proses penerimaan menjadi penegak hukum sebenarnya sudah
memenuhi syarat menghasilkan, misalnya, aparat kepolisian yang memiliki
kemampuan baik melayani masyarakat. Tetapi di dalam kenyataannya, sering kali
proses penerimaan tersebut dinodai dengan adanya suap atau jumlah orang yang

20
sedikit untuk mau menjadi anggota penegak hukum. Sehingga, kualitas daripada
anggota penegak hukum tersebut perlu dipertanyakan dan banyak yang tidak sesuai
dengan yang telah ditentukan. Akibatnya para penegak hukum cenderung lebih
sedikit daripada jumlah masyarakatnya yang terus bertambah banyak, sehingga aparat
penegak hukum tidak dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal sebagai sarana
penegakan hukum.
Ke-empat, faktor masyarakat. Dari sudut sosial dan budaya, Indonesia
merupakan suatu masyarakat yang majemuk dengan sekian banyaknya golongan
etnik dengan ragam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Seorang penegak hukum
harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dalam suatu
lingkungan beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi
sosial pasti ada dasar-dasarnya. Hal lainnya yang perlu diketahui dan dipahami adalah
perihal lembaga-lembaga sosial yang hidup, serta sangat dihargai oleh bagian terbesar
warga-warga masyarakat yang ada. Dengan mengetahui dan memahami hal-hal
tersebut, maka dapat memudahkan penegak hukum untuk mengidentifikasikan nilai-
nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan tersebut.
Dalam garis besar, masyarakat di Indonesia terbagi dua yaitu masyarakat kalangan
atas (orang kaya) dan kalangan bawah (orang miskin). Penegakan hukum diantara
keduanya pun sangat berbeda penyelesaiannya. Hal ini karena pola pikir dan
pengetahuan yang jelas berbeda. Jika orang kalangan bawah, keinginan atau taatnya
pada suatu hukum oleh seseorang sangat kecil kemungkinannya atau tidak mau
mematuhi hukum yang telah diatur. Hal ini, disebabkan kurang pengetahuan dan
pendidikan yang mereka miliki sangat terbatas, dan tidak dapat mengetahui bahwa
ada sanksi yang akan mengikat jika dilanggar (blue collar crime). Sedangkan, orang-
orang kalangan atas cenderung mengikuti hukum atau aturan-aturan yang ada, karena
mereka lebih memiliki pengetahuan yang banyak tentang hukum dan mengetahui
sanksinya. Hal ini terjadi cenderung lebih bersifat tertib. Pada kalangan atas ini jika
terjadi kejahatan, maka dapat dikatakan white collar crime (untuk kepentingan
semata). Masyarakat di Indonesia semakin lama, jumlah masyarakat miskinnya
semakin banyak. Sehingga jika dilihat dari faktor masyarakat, maka masalah
kejahatan atau penegakan hukum ini ada di lapisan ini. Setiap stratifikasi sosial

21
memiliki dasar-dasarnya tersendiri, sehingga dapat dilakukan dengan berbagai cara
antara lain pemberian pengetahuan hukum kepada masyarakat yang mungkin tidak
begitu mengerti akan hukum sehingga memudahkan mereka untuk
mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di lingkungannya.
Kelima, faktor Kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto,
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu untuk
mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan
menentukan sikapnya ketika berhubungan dengan orang lain. Pada dasarnya,
kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai
mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa saja yang dianggap
baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Sebenarnya, faktor kebudayaan memiliki kemiripan dengan faktor masyarakat. Hanya
saja, di dalam faktor kebudayaan lebih ditekankan mengenai masalah sistem nilai-
nilai yang ada di tengahnya masyarakat. Dalam faktor masyarakat, dikatakan bahwa
tingkat kepatuhan masyarakat terhadap ketataan aturan masyarakat masih rendah. Hal
ini, dikarenakan adanya budaya kompromistis sering terjadi masyarakat Indonesia.
Kenyataannya, akan terdapat kecenderungan budaya masyarakat untuk meloloskan
diri dari aturan yang berlaku menjadi-jadi.
Di dalam penegakan hukum jelaslah bahwa kelima faktor tersebut di atas,
dalam realitas hubungannya, akan saling berkaitan erat antara satu dengan lainnya.
Hal ini, karena di dalam penegakan hukum satu dengan yang lainnya akan dapat
saling mempengaruhi dalam perjalanan penegakannya. Kelemahan yang satu
berdampak kepada kendala yang lainnya, karena keseluruhannya menjadi hal pokok
dalam penegakan hukum, serta dalam rangka mempeoleh tolok ukur dari efektifitas
penegakan hukumnya. Dari lima faktor masalah penegakan hukum tersebut faktor
penegakan hukumnya sendiri itu menjadi titik sentralnya. Hal ini disebabkan baik
karena undang-undangnya disusun penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan
oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga, merupakan panutan oleh
masyarakat luas, sehingga kedudukannya menjadi sangat menentukan di dalam
penegakan hukumnya. Meskipun diakui bahwa Soerjono Soekanto tidak menjelaskan
faktor manakah yang sangat berpengaruh besar dari keseluruhan faktor tersebut,

22
tetapi yang patut dicatat adalah bahwa salah satu faktornya dapat mendukung
membentuk efektifitas hukum dalam penegakan hukumnya. Namun, dengan
memperhatikan sistematikanya dari kelima faktor ini jika difungsikan secara optimal
penegakan hukum, maka setidaknya hukum itu dinilai dapat dikategorisasikan efektif.
Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan sistematika itu dapat membangun
efektifitas penegakan hukum, seharusnya, diawali mempertanyakan bagaimana
hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana
dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimanakah masyarakat merespon serta
kebudayaan yang terbangun. Artinya, tata urutannya dapat dipredisikan dasar
berpikirnya dalam penegakan hukumnya. Oleh karena itu, maka masalah-masalah
yang terjadi dalam penegakan hukumnya begitu kompleks dan rumit apabila
dipelajari lebih dalam dan tidak sesederhana seperti kasat mata melihatnya.
Dibutuhkan sebuah gerakan langkah bersama secara nasional yang teratur, tertata dan
terlaksana untuk menumbuhkan penegakan hukum berkeadilan dan berpihak kepada
kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Di samping sudah waktunya para penegak
hukum juga memperhatikanlah dengan seksama pendapat Soerjono Soekanto itu
sebagai bahan permenungan dan kontemplasi di dalam menjalankan peranannya
sebagai penegak hukum yang hendak mengarahkan kemana penagakan hukum itu
akan bertujuan sesungguhnya

a. Hukum yang berkeadilan

HUKUM YANG BERKEADILAN


Keadilan masyarakat terusik dengan putusan Pengadilan Negeri Situbondo yang
menyatakan bersalah Nenek Asyani, 63, atas dakwaan pencurian kayu.Pengadilan
menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider satu hari
Shukuman percobaan, tetap saja putusan ini mengundang kritik. Kasus ini menambah
daftar putusan yang menguatkan opini masyarakat bahwa penegakan hukum di
Indonesia ”tajam ke atas, tumpul ke bawah” serta telah kehilangan ruh keadilan.

23
Bagi sebagian ahli hukum, apalagi yang berpandangan positivistik, putusan itu
dinilai sebagai produk peradilan yang harus diterima karena dihasilkan oleh institusi
yang memiliki kewenangan. Ketentuan undangundang memang harus ditegakkan
oleh hakim sehingga siapa pun yang memenuhi unsur pidana harus diputus bersalah.
Persoalan keadilan bersifat subjektif sehingga tidak dapat dijadikan ukuran. Apalagi
dalam kasus Nenek Asyani, hakim telah memutus dengan hukuman percobaan yang
menunjukkan rasa keadilan.
Tema hubungan antara hukum dan keadilan sudah sejak lama menjadi
pembahasan mulai dari kajian yang bersifat filosofis hingga praktis. Tema ini pula
yang melahirkan berbagai aliran pemikiran hukum yang berbeda-beda. Sesungguhnya
tidak ada satu aliran pun yang menolak bahwa hukum tak terpisahkan dengan
keadilan. Perbedaannya hanya kapan dan apa ukuran keadilan.
Pandangan positivistik tidak menolak bahwa hukum salah satu instrumen sosial.
Dengan sendirinya diakui bahwa hukum adalah alat atau media untuk mencapai dan
mewujudkan sesuatu. Yang hendak dicapai adalah keadilan sebagai dasar untuk
mewujudkan ketertiban sosial berdasarkan nilainilai tertentu yang hidup dalam
masyarakat itu sendiri.
Keadilan menjadi dasar ketertiban sosial karena di dalam keadilan terdapat
perlindungan terhadap kepentingan individu dan masyarakat sekaligus. Namun, kaum
positivis berpandangan bahwa persoalan hukum dan keadilan sudah selesai ketika
hukum dalam arti peraturan perundang-undangan atau putusan hakim telah selesai
dibuat. Keadilan bukan bagian dari persoalan hukum, melainkan persoalan
pembuatan hukum.

D. Strategi Penguatan Etika Pemerintahan

Proses penyelenggaraan pemerintahan hanya dapat berlangsung dengan


efisien dan efektif bila didukung oleh manusia-manusia pelaksananya yang memiliki

24
kualitas, terutama pada aparat pemerintah sebagai pelaksana utamanya, yang beretika
dan bermoral dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, oleh karena itu
upaya-upaya pengembangan kualitas aparatur pemerintah harus terus dan semakin
digalakkan hingga sekarang ini, pembangunan aparatur pemerintah umumnya Terus
dilakukan dan diarahkan pada peningkatan kualitas, efisiensi dan efektifitas seluruh
tatanan administrasi pemerintahan, termasuk peningkatan kemampuan dan disiplin,
pengabdian, keteladanan, dan kesejahteraan aparat khususnya dalam melayani,
mengayomi serta menumbuhkan

prakarsa dan peran dalam pelaksanaan tugasnya.Dalam ilmu pemerintahan, peraturan

yang menjadi pedoman sikap dan landasan serta berprilaku bagi aparatur

Negara atau apratur pemerintahan disebut dengan etika pemerintahan.Hingga


sekarang

ini telah banyak ditetapkan peraturanperaturan yang mengatur dan menjadi

pedoman sikap dan perilaku aparatur pemerintah, misalnya peraturan mengenai

etika jabatan, peraturan mengenai disiplin dan berbagai peraturan kedinasan lainnya.

Salah satu maksud atau tujuan ditetapkannya etika pemerintahan ialah untuk
menciptakan atau mengembangkan kualitas aparatur Negara atau aparatur
pemerintah, terutama menyangkut sikap dan perilakunya sehingga dapat
melaksanakan tugas dan

pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Namun dalam kenyataannya, apa yang diharapkan

belum dapat terwujud secara maksimal. Dengan kata lain meskipun telah ditetapkan

dan terus disempurnakan etika pemerintahan itu serta dengan berbagai


kebijaksanaannya, kualitas sikap dan perilaku aparat pemerintah yang melanggar
peraturan, baik dalam kedinasan seperti penyalahgunaan wewenang dan berbagai

25
bentuk penyelewengan lainnya, setidak-tidaknya dapat dijadikan alasan untuk
menyatakan masih rendahnya sikap dan perilaku aparat pemerintah yang pada
gilirannya akan berpengaruh pada kualitas penyelenggaraan pemerintahan itu
sendiri.Hasil penelitian, sehubungan dengan sikap dan perilaku aparatur di
Kecamatan Maesaan yang ditinjau dari aspek etika pemerintahan dengan
menggunakan beberapa kajian sebagai tolak ukurnya, yaitu:Equality;perlakuan yang
sama atas pelayanan yang diberikan, Equity; perlakuan yang adil atas pelayanan
yang diberikan, Loyality; kesetiaan pada aturan, hukum dan atasan serta rekan kerja,
Responsibility; tanggung jawab dalam melaksanakan tugas, Kualitas moral
pribadi;mencakup sikap kejujuran, keberanian dan optimisme dalam bekerja

a. Masa depan Etika Pemerintahan

Setiap birokrasi pelayan publik wajib memiliki sikap mental dan perilaku
yang mencerminkan. keunggulan watak, keluharan budi, dan asas etis. Ia wajib
mengembangkan diri sehingga sungguh-sungguh memahami, menghayati, dan
menerapkan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-kebajikan moral
khususnya keadilan dalam tindakan jabatannya. Secara umum nilai-nilai moral
terlihat dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan “six great ideas” yaitu nilai
kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty),
kesamaan (equality), dan keadilan (justice). Dalam kehidupan berma- syarakat,
seseorang sering dinilai dari tutur katanya, sikap dan perilakunya sejalan dengan
nilai-nilai tersebut atau tidak. Begitu pula dalam pemberian pelayanan publik, tutur
kata, sikap dan perilaku para pemberi pelayanan seringkali dijadikan obyek penilaian
dimana nilai-nilai besar tersebut dijadikan ukurannya. Disamping nilai-nilai dasar
tersebut, mungkin ada juga nilai-nilai lain yang dianggap penting untuk
mensukseskan pemberian pelayanan, yang dari waktu ke waktu terus dinilai,
dikembangkan dan dipromosikan.

Nilai-nilai tersebut sering dilihat sebagai “muatan lokal” yang wajib diikuti
seperti keteladanan yang baik, rasa empati yang tinggi, memiliki agama yang jelas,

26
bertaqwa, dan sebagainya. Dalam dunia pelayanan publik, etika diartikan sebagai
filsafat moral atau nilai, dan disebut dengan “profesional standars” (kode etik) atau
“right rules of conduct” (aturan perilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh
pemberi pelayanan publik. Sebuah kode etik merumuskan berbagai tindakan apa,
kelakuan mana, dan sikap bagaimana yang wajib dijalankan atau dihindari oleh para
pemberi pelayanan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Etika politik adalah (filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau
cabang filsafat yang membahasa prinsip-prinsip moralitas politik Etika politik sebagai ilmu
dan cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai
ambruk.

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak pokok yang dimiliki manusia sejak manusia itu
dilahirkan yang tidak dapat diganggu gugat sebagai anugera Tuhan Yang Maha Esa. HAM
diatur dalam Undang-undang No, 39 tahun 1999, hak asasi manusia merupakan hak dasar
yang secara kodrat melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng.
asas hukum merupakan landasan pertimbangan bagi pembentukan norma hukum,
artinya setiap norma hukum yang wujudnya konkret sebagai aturan hukum harus
mencerminkan atau didasari pada asas-asas hukum sebagai landasan pembentuknya. Secara
sifat norma hukum datangnya dari luar seseorang (misalnya oleh negara) yang berfungsi
mengatur dan memiliki sanksi yang memaksa yang dapat langsung diterapkan (oleh aparat

27
negara), sedangkan asas hukum bekerja secara tidak langsung yang berfungsi memberi
pengaruh pada interpretasi terhadap aturan hukum.

B. Saran
Para Mahasiswa sebaiknya memahami dengan seksama tentang materi yang telah
disampaikan supaya dalam proses kegiatan belajar mengajar terjadi dengan baik,dan
mohon maaf apabila dalam penulisan makalah kali ini memiliki banyak kekurangan,dan
saya memohon kritik dan saran apabila ada kekeliruan dalam pembuatan dan penulisan
makalah

28
Daftar Pustaka

Widjaja. H. A. W. Etika Pemerintah. 1997. Jakarta: Bumi Aksara


2Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, PT
Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 31.
3Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 Sampai
Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana, Jakarta, 2009, hal.6.
4Masyur Efendi, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal 130.
https://m.merdeka.com/pendidikan/norma-sosial-dan-norma-hukum-apa-ya-bedanya.html
https://www.gurupendidikan.co.id/norma-hukum-dan-sosial/
http://rizkan.blog.uma.ac.id/wp-content/uploads/sites/399/2019/01/norma-hukum.doc
https://www.kompasiana.com/bramkusuma/transformasi-norma-sosial-menjadi-norma-
hukum_550bc4608133114322b1e24b
https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/download/6054/4551
https://iiijul.wordpress.com/2017/09/22/konstelasi-norma-hukum-dengan-norma-sosial-
lainnya/amp/#aoh=16165765146141&referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s
https://www.unisba.ac.id/kaitan-hukum-dan-masyarakat/
http://mh.uma.ac.id/2020/10/kenali-4-jenis-norma-sosial-dalam-masyarakat/

29
30

Anda mungkin juga menyukai