Dampak lainnya yaitu, pernikahan dini memiliki kaitan yang erat dengan
adanya tindak kekerasan oleh pasangan intim (intimate partner violence) di
beberapa negara, seperti di India (Pearson & Speizer, 2011) dan Vietnam
(Fisher dkk, 2014). Pernikahan dini berisiko tertular infeksi, kanker serviks,
kehamilan yang tidak diinginkan, keguguran, kematian ketika melahirkan,
dan malnutrisi pada anak (Strat, Dubertret, & Foll, 2017).
B. Mendidik dan menggerakkan orangtua dan anggota komunitas
Keterlibatan orangtua dan komunitas adalah strategi kedua yang paling
banyak digunakan dalam penelitian. Tujuan utama dari strategi ini ialah
untuk menciptakan suatu lingkungan yang baik, disebabkan karena ditangan
keluarga dan anggota masyarakat yang tua-lah keputusan pernikahan anak
dilakukan atau tidak.
C. Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan formal bagi anak
Penelitian banyak yang menemukan bahwa pendidikan bagi anak perempuan
sangat berkorelasi dengan penundaan usia menikah. Di sekolah, anak dapat
mengembangkan ketrampilan sosial sehingga memungkinkan adanya
perubahan norma mengenai pernikahan dini.
D. Menawarkan dukungan ekonomi dan pemberian insentif pada anak
dan keluarganya
a. Peer support
Membentuk peer support atau kelompok dukungan pada keluarga-keluarga
yang rentan untuk mengikuti budaya nikah paksa. Kelompok dukungan ini
dibentuk sebagai wadah agar anggota komunitas bisa saling membagikan dan
belajar dari pengatahuan dan pengalaman terkait dampak pernikahan dini.
Selain itu, program ini juga sebagai fungsi konseling kelompok yang
beranggotakan individu (anak) dengan orangtua penganut budaya setempat,
pasangan yang sudah telanjur melakukan pernikahan dini, serta orang-orang
yang sudah menikah namun tidak termasuk ke dalam pernikahan dini. Hal ini
dilakukan agar tercipta aktivitas berbagi pengalaman antarsesama anggota.
Sehingga diharapkan individu dan orangtua mendapatkan pandangan terkait
kehidupan seseorang yang menikah pada usia dini, dan yang menikah di usia
yang tepat.
Maka ke depannya individu tersebut dapat membuat keputusan yang baik
untuk hidupnya sendiri dan mempertimbangkan dampak jangka panjang
terhadap keputusan yang akan diambil tersebut, dalam hal ini terkait dengan
pernikahan. Serta bagi orangtua yang berperan sebagai pihak yang memaksa
anaknya untuk segera menikah di usia dini, mendapatkan pertimbangan yang
matang dengan memperhatikan dampak jangka panjang pernikahan dini jika
dilakukan pada anak mereka.
b. Psikoedukasi
Psikedukasi dilakukan dengan melibatkan para konselor yang berkapasitas
memberikan pemahaman seputar pernikahan dini pada masyarakat sekitar.
Walaupun psikoedukasi bukan merupakan program yang baru, namun
metode ini tetap perlu dilakukan secara berkala dengan tujuan untuk
mengubah persepsi masyarakat terhadap pernikahan dini, sehingga
harapannya terdapat perubahan sikap dari yang tadinya setuju terhadap
pernikahan dini ke sikap yang menolak pernikahan dini dengan alasan yang
logis dan rasional.
c. Bekerja sama dengan lembaga formal setempat untuk memodifikasi
kebijakan
Program yang bisa dilakukan selanjutnya adalah memodifikasi kurikulum
sekolah dengan cara menambahkan materi tentang dampak negatif
pernikahan dini. Materi pelajaran diberikan secara berjenjang sejak SD, SMP,
dan SMA, dengan konten materi yang disesuaikan dengan adat dan kebiasaan
serta usia anak. Semakin dini anak dipaparkan terhadap isu-isu pernikahan
dini, maka harapannya aspek kognitif anak terkait dengan persepsi
pernikahan dini juga berubah
d. Follow-up dengan metode kampanye
Program kampanye dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media seperti
poster, leaflet, tayangan video, dsb, yang di dalamnya dimuat konten terkait
dengan dampak pernikahan anak baik secara fisik dan psikis, penekanan
pentingnya sekolah, hak-hak anak, kesehatan reproduksi, dan topik lain yang
terkait. Kampanye melalui media masa terbukti efektif dalam dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat bila dilakukan dalam waktu yang lama
(Maccoby & Altaman, 1988; dalam Bloom, 1996).
REFERENSI
Fisher, K. J., Li, F., Michael, Y., & Cleveland, M. (2004). Neighborhood-
Level Influences on Physical Activity Among Older Adults: A Multilevel
Analysis. J Aging Phys Act, 12(1), 45–
63. https://doi.org/10.1123/japa.12.1.45
Malhotra, A., Warner, A., McGonagle, A., (2011). Solutions to end child
marriage: what the evidence shows. Washington, DC: ICRW; 2011.
Pearson, E., Speizer, I.S. (2011). Associaton between early marriage and
intimate partner vilolence in India: a focus on youth from Bihar and
Rajasthan. Journal Interpers Violence. 26(10).
Strat, Y. Le, Dubertret, C., & Foll, B. Le. (2017). Child Marriage in the
United States and Its Association With Mental Health in Women, 524–
530. https://doi.org/10.1542/peds.2011-0961
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.