C.BAHASA
Bahasa Bali adalah sebuah bahasa yang berasal dari rumpun bahasa Austronesia, Malayo-
Polinesia, Melayu-Sumbawa, Bahasa Bali-Sasak-Sumbawa, Bali. Bahasa ini digunakan di
pulau Bali, pulau Lombok bagian barat, dan sedikit di ujung timur pulau Jawa.Bahasa Bali
memiliki tingkatan dalam penggunaannya, yaitu Bali Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Bali
halus dipergunakan dalam lingkup formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat,
atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Bali madya dipergunakan di
tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar
dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan
dengan abdi dalemnya, Di Lombok bahasa Bali terutama dipertuturkan di sekitar kota
Mataram, sedangkan di pulau Jawa bahasa Bali terutama dipertuturkan di beberapa desa di
kabupaten Banyuwangi. Bahasa Bali dipertuturkan oleh kurang lebih 4 juta jiwa.
Aksara Bali
Aksara Bali adalah aksaratradisionalmasyarakat Bali dan berkembang di Bali. Aksara Bali
merupakan suatu abugida yang berpangkal pada huruf Pallawa. Aksara ini mirip dengan
aksara Jawa. Perbedaannya terletak pada lekukan bentuk huruf.Aksara Bali berjumlah 47
karakter, 14 di antaranya merupakan huruf vokal (aksara suara). Huruf konsonan (aksara
wianjana) berjumlah 33 karakter. Aksara wianjana Bali yang biasa digunakan berjumlah 18
karakter. Juga terdapat aksara wianjana Kawi yang digunakan pada kata-kata tertentu,
terutama kata-kata yang dipengaruhi bahasa Kawi dan Sanskerta.Meski ada aksara wianjana
Kawi yang berisi intonasi nada tertentu, pengucapannya sering disetarakan dengan aksara
wianjana Bali. Misalnya, aksaradirgha (pengucapan panjang) yang seharusnya dibaca
panjang, seringkali dibaca seperti aksarahresua (pengucapan pendek).
D.SISTEM KEKERABATAN
- Sistem Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena
pada saat itulah ia dapat dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu
ia memperoleh hak-hak dan kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.
Menurut anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem
kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan diantara warga se-klen, atau
setidak-tidaknya antara orang yang dianggap sederajat dalam kasta.Demikian, perkawinan
adat di Bali itu bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh orang
Bali yang masih kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-
laki.Keadaan ini memang menyimpang dari lain-lain masyarakat yang berklen, yang pada
umumnya bersifat exogam.
Orang-orang se-klen di Bali itu, adalah orang orang yang setingkat kedudukannya dalam adat
dan agama, dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam
batas klennya, terjagalah kemungkinan akan ketegangan-ketegangan dan noda-noda keluarga
yang akan terjadi akibat perkawinan antar kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini
terutama harus dijaga agar anak wanita dari kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan
pria yang lebih rendah derajat kastanya, karena perkawinan itu akan membawa malu kepada
keluarga, serta menjatuhkan gengsi dari seluruh kasta dari anak wanita tersebut. Karena
system garis keturunan di Bali menggunakan system patrilineal (garis keturunan ayah).
Dahulu, apabila ada perkawinan semacam itu, maka wanitannya akan dinyatakan keluar dari
dadianya, dan secara fisik suami-istri akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama,
ketempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun 1951, hukuman sermacam itu tidak
pernah dijalankan lagi, dan pada saat ini hukuman campuran semacam itu relatif lebih banyak
dilaksanakan. Bentuk perkawinan lain yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar
antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri (makedengan ngad), karena
perkawinan yang demikian itu dianggap dapat mendatangkan bencana (panes). Pada
umumnya, seorang pemuda Bali memperoleh seorang istri dengan dua cara, yaitu dengan
meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga gadis, atau dengana cara melarikan seorang
gadis (mrangkat,ngrorod). Kedua cara diatas berdasarkan adat.
Sesudah pernikahan, suami-istri yang baru biasanya menetap secara virilokal dikomplek
perumahan dari orang tua suami, walauntidak sedikit suami istri yang menetap secara
neolokal dengan mencari atau membangun rumah baru.Sebaliknya ada pula suami istri baru
yang menetap secara uxorilokal dikomplek perumahan dari keluarga istri (nyeburin). Kalau
suami istri menetap secara virilokal, maka anak-anak keturunan mereka selanjutnya akan
diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan
mewarisi harta pusaka dari klen tersebut. Sebaliknya, keturunan dari suami istri yang
menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si
istri, dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si istri adalah sebagai
sentana(penerus keturunan).
Suatu rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu keluarga batih yang bersifat
monogami, sering ditambah dengan anak laki-laki yang sudah kawin bersama keluarga batih
mereka masing-masing dan dengan orang lain yang menumpang, baik orang yang masih
kerabat maupun orang yang bukan kerabat. Beberapa waktu kemudian terdapat anak laki-laki
yang sudah maju dalam masyarakat sehingga ia merasa mampu untuk berdiri sendiri,
memisahkan diri dari orang tua dan mendirikajn rumah tangga sendiri yang baru.
Salah satu anak laki-laki biasanya tetap tinggal di komplek perumahan orang tua (ngerob),
untuk nanti dapat membantu orang tua mereka kalau sudah tidak berdaya lagi dan untuk
selanjutnya menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua.
Tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas, dalam sebuah desa di Bali harus memelihara
hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih luas yaitu klen (tunggal dadia).Strutur
tunggal dadia ini berbeda-beda di berbagai tempat di Bali.Di desa-desa pegunungan, orang-
orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak usah lagi
mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya.didesa-desa
tanah datar, orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan
mendirikan tempat pemujaan di masing-nasing kediamannya, yang disebut kemulan taksu.
Disamping itu, keluarga batih yang hidup neolokal masih mempunyai kewajiban-kewajiban
terhadap kuil asal (dadia atau sanggah) di rumah orang tua mereka.Suatu pura ditingkat dadia
merayakan upacara-upacara sekitar lingkaran hidup dari semua warganya, dan dengan
demikian pura/kuil tersebut mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritet anggota-
anggota dari suatu klen kecil.
Di samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang melengkapi beberapa
kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja kuil leluhur yang samadisebut kuil (pura)
paibon atau panti. Dalam prakteknya, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya
mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya
saja.Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal-usul yang ditulis dalam
bentuk babad dan yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu dari keluarga-keluarga yang
merasa dirinya senior, ialah keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dalam klen.
- Sistem Kemasyarakatan Orang Bali
1. Banjar
Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan
sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat.
Didaerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di
wilayah banjar tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat keanggotaannya tidak tertutup dan
terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di
wilayah lain dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan dipersilakan untuk menjadi
anggota(krama banjar) kalau yang bersangkutan menghendaki.Pusat dari bale banjar adalah
bale banjar, dimana warga banjar bertemu pada hari-hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh
seorang kepala yang disebut kelian banjar.Ia dipilih dengan masa jabatab tertentu oleh warga
banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial
dari banjar sebagai suatu komuniti, tapi juga lapangan kehidupan keagamaan. Kecuali itu ia
juga harus memecahkan masalah yang menyangkut adat. Kadang kelian banjar juga
mengurus hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
2. Subak
Subak di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan mempunyai kepala sendiri. Orang yang
menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi anggota banjar.
Warga subak adalah pemilik atau para penggarap sawah yang yang menerima air irigasinya
dari dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua warga
subak tadi hidup dalam suatu banjar. Sebaliknya ada seorang warga banjar yang mempunyai
banyak sawah yang terpencar dan mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh
beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri dengan
semua subak dimana ia mempunya sebidang sawah.
3. Sekaha
Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada organisasi-organisasi yang
bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. organisasi ini bersifat turun-
temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah
menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya
sekaha baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya
permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan
berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan
menanam), sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan
lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari
organisasi banjar maupun desa.
4. Gotong – Royong
Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali dikenal sistem gotong royong
(nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitet di sawah (seperti menenem, menyiangi,
panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah,
menggali sumur dan sebagainaya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang
diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian.nguopin antara
individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib
dibalas dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong antara
sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik).Misalnya suatu
perkumpulan gamelan ditarik untuk ikut serta dalam menyelenggarakan suatu tarian dalam
rangka suatu upacara odalan.bentuk yang terakhir adalah kerja bhakti (ngayah) untuk
keprluan agama,masyarakat maupun pemerintah.
Kesatuan-kesatuan sosial di atas, biasanya mempunyai pemimpin dan mempunyai kitab-kitab
peraturan tertulis yang disebut awig-awig atau sima.Pemimpin biasanya dipilih oleh
warganya.Klen-klen juga mempunyai tokoh penghubung yang bertugas memelihara
hubungan antara warga-warga klen, menjadi penasehat bagi para warga mengenai seluk beluk
adat dan peristiwa-peristiwa yang bersangkaut paut dengan klen.Tokoh klen serupa itu di
sebut moncol. Klen tersebut tidak mempunyai peraturan tertulis, akan tetapi mempunya
silsilah/babad. Ditingkat desa ada kesatuan-kesatuan administratif yang disebut perbekelan.
Suatu perbekelan yang sebenarnya merupakan warisan dari pemerintah Belanda, diletakkan
diatas kesatuan-kesatuan adat yang asli di Bali, seperti desa adat dan banjar.Maka terdapatlah
gabungan-gabungan dari banjar dan desa ke dalam suatu perbekelan yang dipimpin oleh
perbekel atau bendesa yang secara administratif bertanggung jawab terhadap atasannya yaitu
camat, dan seterusnya camat bertanggung jawab kepada bupati.
Ø Catur Warna
Pada masa kerajaan khususnya pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali, ada yang
namanya Catur Warna. Yaitu empat penggolongan profesi dan pengabdian dalam kehidupan
pada masa itu. Dari pembagian ini timbul gelar-gelar yang ditambahkan pada nama orang
Bali. Dan pemberian nama itu diwariskan turun temurun hingga sekarang.Nama depan seperti
Ida Bagus [untuk pria] dan Ida Ayu [untuk wanita] itu muncul dari golongan Brahmana yang
pada masa ‘tempo doeloe’ menitikberatkan pengabdiannya di bidang kerohanian,
kependetaan dan keagamaan.Sedangkan nama depan seperti Anak Agung, Cokorda, I Dewa
Putu, Dewa Ayu, Desak, Gusti Putu, Gusti Ayu, atau Sayu, itu berasal dari golongan Ksatrya,
yang pada jaman kerajaan ‘doeloe’ menitikberatkan pekerjaan dan pengabdiannya di bidang
kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
Ø Pola perkampungan
Pertama, pola perkampungan mengelompok padat, pola ini terutama terdapat pada desa-desa
di Bali bagian pegunungan. Pola perkampungan di desa-desa ini bersifat memusat dengan
kedudukan desa adat amat penting dan sentral dalam berbagai segi kehidupan warga desa
tersebut
Ø Sistem Penamaan
Sebelumnya akandijelaskan tentang tambahan kata “i” atau “Ni” yang biasanya terdapat
pada awal nama orang Bali. “I” dipake untuk anak laki-laki, dan “Ni” digunakan untuk anak
perempuan.Kedua kata ini mengandung arti “Si” dalam Bahasa Indonesia. Misalnya; si A, si
B, si C, dst. Penambahan kata ini sebenarnya opsional, artinya ada yang memakainya ada
juga yang tidak.Tapi mayoritas orang Bali memakainya.Yang mengabaikan penambahan “I”
atau “Ni” ini biasanya rekan kita yang berasal dari Kabupaten Buleleng (Singaraja).
Nama Depan = Urutan Kelahiran
Di dalam adat istiadat dan budaya Bali, sistem pemberian nama depan umumnya didasarkan
pada urutan kelahiran si anak.
Anak pertama (sulung) umumnya akan diberi nama depan seperti; Putu, Gede, atau Wayan.
Contohnya ; I Putu Budiastawa, Gede Prama, dst.
Anak kedua umumnya diberi nama depan; Made, Kadek atau Nengah. Contohnya; I Made
Ardana, Ni Made Wiratnati, Nengah Gunadi, dst.
Anak ketiga biasanya diberi nama depan; Komang atau Nyoman. Misalnya; I Komang
Tirtayasa, Ni Nyoman Dwi Arianti, Komang Budiasa, dst.
Anak keempat umumnya diberikan nama depan; Ketut. Misalnya; I Ketut Pancasaka, Ni
Ketut Widiadari, Ketut Astawara, dsb.
Untuk anak kelima, keenam, dan seterusnya ada dua alternatif. Pertama, ada yang
menerapkan dengan kembali lagi ke putaran awal, misalnya kembali ke Putu, kemudian
Made, dst. Kedua, ada juga yang menerapkan dengan terus-menerus memberikan nama depan
Ketut untuk anak kelima, keenam dan seterusnya.
E. SISTEM KEPERCAYA
Masyarakat Bali sebagian besar menganut agama Hindu- Bali. Mereka percaya adanya satu
Tuhan dengan konsep Trimurti yang terdiri atas tiga wujud, yaitu:
Brahmana : menciptakan;
Wisnu : yang memelihara;
Siwa : yang merusak.
Selain itu hal-hal yang mereka anggap penting adalah sebagai berikut.
Atman : roh yang abadi.
Karmapala : buah dari setiap perbuatan.
Purnabawa : kelahiran kembali jiwa.
Pedoman dalam ajaran Agama Hindu - Bali yakni:
- Tatwa (Filsafat Agama)
- Etika (Susila)
- Upacara (Yadnya)
Tempat ibadah agama Hindu disebut pura. Pura memiliki sifat berbeda, sebagai
berikut:
• Pura Besakih: sifatnya umum untuk semua golongan.
• Pura Desa (kayangan tiga): khusus untuk kelompok sosial setempat.
• Sanggah: khusus untuk leluhur.
SISTEM KASTA
Akibat kuat agama Hindu, di Bali berlaku sistem kasta dibedakan menjadi 4 Kasta,
yaitu:
1. Kasta Brahmana
2. Kasta Ksatria
3. Kasta Waisya
Petani Kelas Atas
Petani Kaya Sedang
Petani Kaya Bawah
4. Kasta Sudra
UPACARA
Di bali ada lima macam upacara (Panca Yadnya) yaitu:
- Manusia yadnya
- Pitra yadnya
- Dewa yadnya
- Resi yadnya
- Butha yadnya