Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH MATA KULIAH EKONOMI MONETER

SEJARAH & PERKEMBANGAN SISTEM MONETER (KONVENSIONAL &


ISLAM)

Disusun Oleh :

ENDANG KARLINA(2020602074)
WINA MARDIANA(2020602080)
AMIN KHOIRI(2020602083)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH


PALEMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat
serta karunia sehingga kita dapat merasakan manisnya Iman,kesempatan dan
kesehatan. Sholawat serta salam tak lupa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
besar Rasulullah SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga menuju
zaman yang terang benderang, dari zaman Onta hingga zaman Toyota.
Alhamdulillah, sesuai waktu yang ditetapkan saya telah menyelesaikan
makalah Study Islam dan Problematikanya pada Mata Kuliah Ekonomi Moneter.
Dalam makalah ini masih banyak kekeliruan dan kekurangan untuk itu mohon saran
dan bimbingan dari ibu Dosen ataupun yang membacanya.
Demikian makalah yang dapat kami susun, semoga bermanfaat. Atas
bimbingan ibu Dosen diucapakan terimakasih.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDUHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Pembahasan
PEMBAHASAN
Pengertian Study Islam
Problematika Study Islam
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sekitar Moneter Islam Fenomena anjloknya nilai rupiah pada akhir tahun 1997,
ketika jatuhnya rezim Suharto, pada saat itu dolar mencapai Rp. 15 000,- lalu kembali
menguat pada masa Habibi yakni sampai pada kisaran Rp. 7000,- per dolar
menunjukkan fluktuasi nilai rupiah yang amat tidak stabil. Kondisi ini dapat terjadi
hingga hari ini bahkan esok lusa, sampai masa krisis ini terlewati. Krisis moneter ini
tidak dapat dielakkan sehingga berdampak secara global pada perekonomian
Indonesia secara keseluruhan.Sistem keuangan internasional sendiri telah mengalami
beberapa kali krisis selama dua dasawarsa terakhir. Diantaranya tercatat jatuhnya
bursa saham Amerika Serikat pada bulan Oktober 1987 dan ledakan pada bursa
saham dan properti di Jepang, jatuhnya mekanisme nilai tukar Eropa (ERM) pada
tahun 1992 sampai 1993, jatuhnya pasar obligasi pada tahun 1994 dan krisis Meksiko
pada tahun 1995. Ditambah lagi krisis yang menimpa negaranegara Asia Timur pada
tahun 1997 - termasuk Indonesia- , jatuhnya Long Term Capital Mangement di
Amerika Serikat pada tahun 1998 serta krisis nilai tukar mata uang Brazil pada tahun
1999. Tak ada satu wilayah atau negara yang dapat menghindarkan diri dari dampak
krisis ini. Salah satu fenomena yang paling kentara dalam mengindikasi terjadinya
krisis di suatu negara adalah tatkala nilai mata uang negara tersebut mengalami
fluktuasi yang amat signifikan. Dalam hal ini penurunan nilai dan melemahnya daya
beli uang tersebut Anjloknya nilai rupiah sebagaimana digambarkan di atas, bahkan
masih terus terjadi sampai hari ini. Kondisi ini lebih banyak dikaitkan dengan faktor
politik dari pada faktor-faktor ekonomi dan moneter sendiri. Sebetulnya seberapa
besar ketahanan rupiah terhadap dolar dan apa signifikansi faktor-faktor tersebut.
Sebagian masalah tersebut akan menjadi tema dalam pembahasan tesis ini.Ketika
rupiah mengalami penurunan sampai pada tingkat yang amat lemah, seperti biasa
pemerintah dan otoritas moneter mendengungkan lagu lama dengan menuduh kondisi
sosial dan politiklah yang menjadi biang keladinya. Namun hal ini tampaknya tidak
dapat dijadikan sebagai satu-satunya alasan atas kemerosotan nilai rupiah. Theo F
Toemion, menyatakan bahwa melemahnya nilai rupiah justru lebih disebabkan oleh
tingginya demand (permintaan) terhadap dollar Amerika yang tidak diimbangi
dengan supply (pasokan) yang memadai. Diperkirakan arus modal keluar (net capital
outflow) yang terjadi setiap bulan mencapai tiga milyar dollar AS. Net napital out
flow ini terjadi sebagai akibat dari besarnya devisa yang keluar. Baik itu untuk
keperluan pembayaran hutang yang jatuh tempo, pelarian modal keluar tanpa
diimbangi aliran devisa yang masuk dari foreign direct investment (investasi asing
langsung), indirect investment(investasi tak langsung), maupun kucuran dana
pinjaman luar negeri yang tidak memadai.Bahkan ketika nilai dolar Amerika Serikat
secara global mengalami depresiasi akibat kepercayaan konsumen di pusat ekonomi
dunia itu ikut runtuh menyusul ambruknya menara kembar WTC (World Trade
Center) di New York, nilai tukar rupiah tetap melemah. Ini dipersoalkan oleh pelaku
pasar karena tampak adanya kecenderungan berlawanan / paradoks dengan trend
global.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Sistem Moneter

Sistem moneter yang berlaku didunia sekarang ini keberadaannya telah ada
setelah melalui beberapa masa evolusi. Sistem moneter yang telah berlakupada masa
Nabi Muhammad SAW adalah bimetallic standard dimana emas danperak (dinar dan
dirham) bersirkulasi secara terus-menerus. Ketika khalifah kedua dari Bani Umayyah
(41-132 H/662-750 M) rasio antara dinar dan dirham adalah1: 12, dan ketika Bani
Abassyiah berkuasa (132-656 H/ 750-1258 M) rasionya mencapai 1:15 atau kurang1.
Berhubungan dengan turunya rasio dinar dan dirhamsecara terus menerus, nilai tukar
antara dinar dan dirham telah berfluktuasi secaralebar pada perbedaan waktu dan
dalam perbedaan bagian-bagian negara Muslim.Rasio itu turun rendah sekali sampai
mencapai 1:35 dan bahkan 1:50. Menurut alMaqrizi (w. 845 H/ 1442 M) dan
muridnya al-Asadi (wafat setelah 854 H/ 1450M),instabilitas ini dimungkinkan
karena adanya pergantian atau keluarnya sirkulasi coin yang buruk dengan coin yang
baik, dimana penomena ini selanjutnya pada 16 abad yang akan datang dikenal
sebagai hukum Grasham (Gresham’s Law). Amerika Serikat telah mengadopsi
bimetallic ini pada tahun 1792. Kemudian pada tahun 1873 Amerika untuk mencabut
perak dari peredaran uangkarena fluktuasi harga antara emas dan perak. Pada tahun
1880 standarinternasional dan mayoritas negar-negara dari bimetallic dan silver
monometallic beralih kepada standar emas dengan menjadikan emas sebagai basis
mata uang mereka. Dibawah standar ini, nilai mata uang sebuah negara secara sah
ditentukan dengan berat yang tetap dari emas, dan otoritas moneter berkewajiban
mengubah permintaan mata uang domestik kedalam emas yang secara legal telah
ditetapkan tingkatnya. Kalau dilihat sejarahnya, gerakan moneterisme yang
menekankan terhadap fungsi moneter berawal dari Milton Friedman dan kemudian
diikuti oleh ekonom dari Federal Reserve Bank of St.Louis, Brunner dan Metzler.
Gerakan ini awalnya merupakan reaksi kelompok ini terhadap kegagalan kebijakan
penstabilan ekonomi makro yang di usung oleh Keynesian pada tahun 1960-an
terhadap krisis yang dialami oleh Amerika dan eropa Barat. Penolakan kelompok
moneterisme terhadap Keynisian ini dipicu oleh pernyataan mereka yang
menyebutkan bahwa kebijakan moneter tidak efktif dalam menetralisir krisis
ekonomi.
Menurut kelompok moneterisme bahwa terdapat hubungan yang erat dan relatifstabil
antara perubahan money supply dengan perubahan dalam nasional. Mereka juga
menolak intervensi pemerintah sehingga meneurut mereka yang perlu dilakukan
adalah mendesak agar kebijakan ekonomi ditumpukkan kepada kebijkaan
moneter.Dalam perjalanan selanjutnya,gerakan dan propaganda kelompok
monetarisme ini semain gencar, baik melalui bank sentral maupun dunia akademis
peluang perdagangan valuta asing dan kegiatan tesebut telah berkembnag secara
spektakuler . Volume yang diperdagangkan di pasar dunia meningkat dari 5 miliar
USD perhari 1973 menjadi melebihi 900 miliar di tahun 1992, kebanyakan transaksi
bersifat spekulatif dan kurang dari 2% yang dipergunakan sebagai pembayaran
perdagangan. Sejak berakhirnya Bretton Woods Sistem, sistem moneter dunia
mengadopsi sistem baru yaitu full fledged managed money standard yang secara
mutlak tak ada hubungannya dengan emas. Sistem ini secara resmi diimplemetasikan
setelah ratifikasi amandemen kedua terhadap artikel persetujuan IMF pada April
1978. Setelah sistem ini diberlakukan, perekonomian dunia menghadapi tingkat
inflasi yang tinggi dan pengaruh instabilitas dalam tingkat pertukaran.

Salah satu penyebab utama tingginya tingkat inflasi adalah ekspansi yang cepat atas
supply uang selama masa 1971-1990-an lebih dari lima kali negara-negara industri
dan hal ini hampir 12 kali di dunia.Sedangkan instabilitas dalam tingkat pertukaran
terjadi karena diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang (floating exchange
rate regime) pada Maret 1973. Bagaimanapun, untuk menstabilkan nilai tukar dalam
sebuah sistem floating exchanges rate diperlukan kedisiplinan untuk kebijakan baik
fiskalmaupun moneter. Tidak ada teks yang spesifik dari al-Qur’an dan as-Sunnah
yang dapat menjelaskan bahwa sistem berdasarkan bimetallic standar yang berlaku
selama masa nabi Muhammad SAW dan sejarah Islam pertama atau bahkan
fullbodied monometallic standard yang berlaku kemudian merupakan kewajiban bagi
umat Islam untuk menggunakannya secara terus-menerus.

Hal ini secara jelas terlukiskan dalam fakta sejarah bahwa Khalifah Umar bin Khatab
pernah berpikiran untuk memperkenalkan kulit unta sebagai mata uang yang
kemudian membawa refleksi bagi tulisan-tulisan para fukaha’ (ahli fikih) melalui
sejarah Muslim. Contoh, Imam Ahmad bin Hambal (w 241H/1328M) telah
mengamati bahwa tidak ada kerusakan dalam pengadopsian mata uang lain yang
secara umum diterima oleh masyarakat. Ibnu Hazm (w 456H/1064M) juga tidak
menemukan beberapa alasan bagi kaum Muslimin membatasi mata uangnya hanya
kepada dinar dan dirham. Ibnu Taimiyyah (w 505H/1328H) merasa bahwa dinar dan
dirham tidak dinginkan untuk demi milik mereka saja karena kemampuannya
membantu menjadi media alat pertukaran. Namun, hal ini bukan berarti bahwa
seseorang dapat mengeluarkan mata uang dalam berapapun jumlahnya. Para fukaha’
secara mayoritas telah menekankan bahwa mata uang harus diterbitkan oleh aturan
otoritas dan harus mempunyai nilai yang stabil, mampu menunjukan efisiensi
fungsinya sebagai measure of value, a medium of exchange,dan a store of purchasing
power. Stabilitas nilai uang merupakan prioritas utamavdalam bidang manajemen
moneter karena stabilitas nilai uang akan dapatmembantu perwujudan tujuan lainnya
seperti pemenuhan kebutuhan, distribusikekayaan dan pendapatan yang sama, tingkat
pertumbuhan ekonomi optimum,full employment dan kestabilan ekonomi.
2.2 Perkembangan Sistem Moneter Konvensional

Sistem moneter konvensional diawali dengan teori ekonomi konvensional,beberapa


teori ekonomi konvensional yang berkembang sejak dulu.Perkembangan pemikiran
ekonomi ini dimulai dari mazhab ekonomi pra-klasik;ekonomi klasik; marxisme; neo-
klasik; historis institutional; Keynes; monetaris supply siders dan aliran rationale
expectation sampai seterusnya mengalami perkembangan hingga saat ini.
Perkembangan mengenai sistem moneter konvensional terutama dalam hal
permintaan uang, sangat terlihat jelas pada masa lahirnya aliran monetaris, yang
didasari kritikan atas pendapat Keynessian mengenai perlunya campur tangan
pemerintah dalam mengarahkan dan membimbing perekonomian yang
diinginkan.Dimana tokoh tokohnya terbagi dalam dua golongan yaitu golongan tua
dan golongan muda. Salah satu tokoh yang paling mendasari perkembangan aliran ini
adalah Milton Friedman16 yang melihat bahwa peran pemerintah memang diperlukan
untuk perekonomian yang lebih efektif. Maka pokok-pokok pikiran aliran monetaris
adalah dimana perkembangan moneter merupakan salah satu unsur penting dalam
perkembangan produksi,kesempatan kerja dan harga. Aliran moneter juga
mengemukakan bahwa pertumbuhan uang beredar merupakan unsur yang dapat
diandalkan dalam perkembangan moneter. Dalam tulisannya Friedman (1970)
mengatakan bahwa perubahan dalam jumlah uang beredar sangat berpengaruh pada
tingkat inflasi pada jangka panjang dan juga perilaku GNP riil. Selain itu aliran
monetaris mengemukakan adanya kekuatan- kekuatan pasar dan pengaruh
sumberdaya yang menyatakan turunnya suku bunga akan mendorong investasi dan
turunnya tingkat harga akan mendorong konsumsi (pigou effect).

Hal lainnya adalah pendapat kaum monetaris mengenai fluktuasi ekonomiyang


terjadi karena terjadinya pelonjakan-pelonjakan dalam jumlah uang beredar yang
disebabkan karena kebijakan yang ekspansif yang diambil oleh pemerintah.Dalam
kerangka kebijakan moneter Indonesia dikenal tiga terminologi umum yang biasa
digunakan. Pertama adalah apa yang dikenal sebagai target dari sebuah kebijakan
moneter. Sasaran akhir atau target akhir (ultimate target). Target adalah variabel-
variabel yang ingin dicapai dari sebuah kebijakan moneter. Target kebijakan moneter
sendiri umumnya juga merupakan target dari kebijakan ekonomi. Kedua adalah apa
yang dikenal sebagai indikator. Indikator ini penting untuk mengatur sejauh mana
target bisa tercapai atau tidak. Dalam beberapa publikasi indikator ini sering juga
disebut sebagai sasaran menengah, sasaran antar, atau target antar. Apapun
terminologinya yang jelas indikator adalah variabel yang menjadi target dari sebuah
target akhir dari kebijakan moneter Ketiga adalah apa yang dikenal dengan
instrumen. Untuk melakukan kontrol terhadap upaya pencapaian sasaran antara
diperlukan variabel-variabel yang disebut sebagai instrument.

1.Target Kebijakan Moneter


Target akhir sebuah kebijakan moneter adalah suatu kondisi ekonomimakro yang
ingin dicapai. Target akhir tersebut tidaklah selalu sama antara satu negara dengan
negara lainnya. Target kebijakan moneter bersifat dinamis dan selalu disesuaikan
dengan kebutuhan perekonomian sutu negara. Akan tetapi, kebanyakan negara
menetapkan empat hal yang menjadi ultimate target dari kebijakan moneter, yakni:
a. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan
b. Kesempatan kerja
c. Kestabilan harga; dan
d. Keseimbangan neraca pembayaran.

2). Indikator Kebijakan Moneter


Didalam proses pencapaian sasaran kebijakan moneter sering dihadapkan.memberi
petunjuk) apakah perkembangan moneter tetap terarah pada usaha pencapaian sasaran
akhir yang telah ditetapkan atau tidak.Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas
moneter di Indonesia mengupkan indikator kebijakan moneter ini ada dua hal, yakni
suku bunga dan uang beredar. Dengan demikian kedua variabel moneter tersebut
memepunyai fungsi sebagai sasaran menengah dan indikator. Dalam perumusan
kebijakan moneter kedua variabel tersebut digunakan sebagi sasaran antara karena
merupakan variabel yang akan dicapai terlebih dahulu agar sasaran kebijakan
moneter dapat dicapai. Sedangkan dalam pelaksanaannya kedua variabel tersebut
bertindak sebagai petunjuk tentang arah perkembangan moneter.

a) Tingkat Suku Bunga


Kebijakan moneter yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran antara akan
menetapkan tingkat suku bunga yang ideal untuk mendorong kegiatan investasi.
Apabila suku bunga menunjukkan kenaikan melampaui angka yang ditetapkan, bank
sentral akan melakukan ekspansi moneter agar suku bunga turun sampai pada tingkat
yang ditetapkan tersebut. Mekanisme penggunaan tingkat suku bunga sebagai sasaran
antara dapat dijelaskan sebagai berikut: Misalnya bank sentral meningkatkan tingkat
suku bunga sebesar 10% per tahun adalah tingkat suku bunga ideal yang dapat
mendorong kegiatan investasi yang selanjutnya dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi pada tingkat yang diinginkan. Apabila ternyata suku bunga meningkat
melampaui suku bunga yang ditetapkan bank sentral akan melakukan ekspansi
moneter untuk menurunkan suku bunga sampai pada tingkat yang diinginkan.
Sebaliknya apabila suku bunga menurun bank sentral akan melakukan kontraksi
moneter. Disini terlihat bahwa di suatu pihak bunga dapat diupayakan untuk tetap
stabil, tetapi dipihak lainmonetary agggregat akan bergejolak naik turun untuk
mempertahankan suku bunga yang tetap. Bergejolaknya besaran moneter ini dapat
mengakibatkan terganggunya kestabilan harga.

b) Uang Beredar (Monetary Aggregat)


Kebijakan moneter yang menggunakan monetrey aggregate atau uang beredar sebagai
sasaran menengah memepunyai dampak positif berupa tingkat harga yang stabil.
Apabila terjadi gejolak dalam jumlah besaran moneter yaitu melebihi atau kurang dari
jumlah yang ditetapkan, bank sentral akan melakukan kontraksi atau ekspansi
moneter sedemikian rupa sehingga besaran moneter akan tetap pada suatu jumlah
yang ditetapkan. Namun perlu dicatat bahwa pemilihan monetary aggregat sebagai
sasaran menengah memungkinkan terjadinya gejolak suku bunga yang disebabkan
oleh gejolak permintaan yang tidak dapat diimbangi oleh penawaran uang. Besaran
ini juga lazim disebut dengan jumlah uang yang beredar.Kebijakan moneter yang
menetapkan jumlah uang beredar (uang primer,uang yang beredar dalam artian luas ()
dan dalam artian luas sebagai sasaran antara, mekanismenya dapat dijelaskan sebagi
berikut. Misalkan bank sentral menargetkan penambahan uang beredar adalah 10%
pertahun sebagai angka yang ideal untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi
yang diinginkan dengan tingkat inflasi tertentu, maka apabila terjdi gejolak dalam
jumlah uang yang beredar yang lebih tinggi atau rendah dari jumlah yang ditargetkan,
bank sentral akan melakukan tindakan kontraksi atau ekspansi moneter sehingga
jumlah uang beredar akan tetap pada jumlah yang telah ditetapkan. Dari penjelasan
diatas terlihat bahwa apabila suku bunga dipilih sebagai sasaran antara, uang beredar
akan bergejolak untuk memepertahankan suku bunga yang ditetapkan. Sebaliknya
apabila jumlah uang yang beredar dipilih sebgai sasaran antara, suku bunga dapat
bergejolak sesuai dengan kekuatan pasar.

3). Instrumen Kebijakan Moneter


Di dalam pelaksanaan kebijakan moneter bank sentral biasanya menggunakan
berbagai piranti sebagai instrumen dalam mencapai sasaran.Diantara instrumen itu
adalah, opersi pasar terbuka (open market operation),cadangan wajib (reserve
requiretmen) fasilitas diskonto (discount policy), dan imbauan (moral suasion).

a)Kebijakan Pasar terbuka. (Open Market Operation).


Kebijakan membeli atau menjual surat berharga atau obligasi di pasar terbuka. Jika
bank sentral ingin menambah suplai uang maka bank sentral akan membeli obligasi,
dan sebaliknya bila akan menurunkan jumlah uang beredar maka bank sentral akan
menjual obligasi.

b) Penentuan Cadangan Wajib Minimum. (Reserve Requirement).


Bank sentral umumnya menentukan angka rasio minimum antara uang tunai (reserve)
dengan kewajiban giral bank (demand deposit), yang biasa disebut minimum legal
reserve ratio. Apabila bank sentral menurunkan angka tersebut maka dengan uang
tunai yang sama, bank dapat menciptakan uang dengan jumlah yang lebih banyak
daripada sebelumnya.
c) Penentuan Discount Rate.
Bank sentral merupakan sumber dana bagi bank-bank umum atau komersial dan
sebagai sumber dana yang terakhir (the last lender resort). Bank komersial dapat
meminjam dari bank sentral dengan tingkat suku bunga sedikit di bawah tingkat suku
bunga kredit jangka pendek yang berlaku di pasar bebas. Discount rate yang bank
sentral kenakan terhadap pinjaman ke bank komersial mempengaruhi tingkat
keuntungan bank komersial tersebut dan keinginan meminjam dari bank sentral.
Ketika discount rate relatif rendah terhadap tingkat bunga pinjaman, maka bank
komersial akan mempunyai kecendrungan untuk meminjam dari bank sentral.

d) Moral Suasion atau Kebijakan Bank Sentral yang bersifat persuasif berupa
himbauan/bujukan moral kepada bank.

2.4. Sistem Mata Uang Konvensional

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ascarya, seorang peneliti senior Bank
Indonesia (BI). Dalam penelitian yang dilakukan selama rentang waktu 2002 sampai
medium 2008 diperoleh sebuah kesimpulan bahwa suku bunga memainkan peran
paling dominan terhadap laju inflasi di Indonesia dengan kontribusi sebesar 54,7
persen. Fakta ini cukup mengejutkan, mengingat selama ini interest rate menjadi
instrumen terpenting pengendalian moneter dalam sistem kapitalis. Selain suku
bunga, besarnya kontribusi volatilitas nilai tukar mata uang (exchange rate) juga
menjadi kontributor terbesar kedua terhadap kenaikan inflasi dengan sumbangan
sebesar 23,2 persen. Sejak ditinggalkannya sistem Bretton Woods pada tahun 1971,
kebijakan kurs mengambang bebas dan inflasi menjadi masalah ekonomi makro yang
sulit dipecahkan. Masa keemasan Bretton Woods merupakan masa yang paling stabil
dalam sejarah. Di mana kesejahteraan masyarakat meningkat, investasi meningkat,
serta volume perdagangan antarnegara ikut pula melonjak. Selain itu, upah juga
meningkat 80 persen, sehingga stabilitas ekonomi internasional terjaga.
Sistem Bretton Woods adalah bentuk sistem moneter dengan standar tukar emas yang
pernah digunakan sebagai sistem moneter internasional selama setengah dekade
(1944-1971). Kesepakatan yang ditandatangani oleh utusan 46 negara yang bertemu
dalam pertemuan pembentukan sistem moneter internasional baru pasca perang dunia
II disebuah kota kecil yang bernama Bretton Woods (New Hampshire AS) ini
bertujuan untuk mempertahankan harga emas secara baku, yakni 35 dolar AS per ons
emas.

Sedangkan negara-negara lain diwajibkan membakukan nilai tukar mata uang mereka
terhadap dolar, yang berarti secara implisit mereka juga membakukan nilai tukar mata
uangnya terhadap emas. Ide konferensi ini lahir akibat besarnya dampak Perang
Dunia I yang menghasilkan situasi ekonomi dunia pada era 1920-an dan 1930-an
yang sangat sulit dan bermuara pada depresi ekonomi berat pada 1929 dan
seterusnya. Banyak yang mengalami defisit neraca pembayaran, inflasi, pendapatan
nasional menurun, pengangguran naik, dan perdagangan dunia menurun. Namun
karena mengalami defisit anggaran, membuat AS kehilangan banyak emas dan
menurunkan kemampuannya dalam menjaga konvertibilitas dolar ke emas. Akhirnya
pada Agustus 1971 bank sentral AS melakukan demonetisasi emas yang menandai
berakhirnya sistem Bretton Woods. Sejak itu dunia menganut standar kertas yang
sepenuhnya tidak memiliki keterkaitan dengan emas. Setelah dolar AS tidak di back
up oleh emas, maka saat ini dolar dibebaskan bergerak sesuai dengan mekanisme
pasar, tidak tergantung lagi pada kontrol dan penyediaan cadangan emas.
Keistimewaan dolar AS sebagai mata uang dunia dan penyimpanan cadangan devisa
tetap berlaku sehingga AS mendapat keuntungan dapat mencetak dolar berapa pun
kebutuhannya dan tidak perlu membayar bunga dan tidak mengalami risiko selisih
kurs.

2.3 Sejarah Perkembangan Sistem Moneter Islam

Sistem moneter modern saat ini sebagaimana tampak di banyak negara-negara di


dunia, terdiri dari tiga level:
1. Pemegang uang (the public); yakni para individu, para pebisnis dan unitunit
pemerintahan. Publik sendiri memegang uang dalam bentuk currency (mata uang
termasuk dalam bentuk coin) dan dalam bentuk rekening bank
2. Bank-bank komersial (baik milik swasta maupun milik pemerintah) yang
meminjam dari masyarakat dan memberikan pinjaman kepada individuindividu,
perusahaan-perusahaan ataupun unit-unit pemerintahan.
3. Bank sentral, yang memonopoli permasalahan uang, melayani para bankir untuk
pemerintahan pusat dan bank-bank komersial. Bank sentral memiliki kekuatan untuk
menentukan jumlah uang beredar.Setidaknya dunia perekonomian, utamanya
ekonomi moneter mengalami beberapa masa dengan mengenal beberapa bentuk
standar moneter yang berlaku.
Ada lima bentuk standar moneter yaitu :
a. Standar kembar (bimetalism)
b. Standar emas
c. Fiat standar
d. Uang giral atau deposit money
e. Uang kuasi
Sejarah perkembangan sistem moneter menunjukkan bahwa pada masa lalu pernah
dikenal dua sistem mata uang (bimatalic standard) yang terdiri dari emas dan perak.
Aplikasi dari sistem tersebut tidak hanya diadopsi oleh Amerika serikat pada tahun
1972, namun juga telah dikenal pada zaman nabi Muhammad SAW yang pada masa
itu menggunakan dua mata uang, dinar (emas) dan dirham (perak).Stabilitas rasio
peredaran dinar dibanding dirham hanya terjadi pada periode tertentu, yakni 1:10
hingga masa khalifah ke-4. Namun setelah periode ini rationya mengalami perubahan
terus menerus hingga mencapai rasio 1:50 diberbagai negara Islam. Ketidakstabilan
tersebut mengindikasikan bahwa orang lebih senang menyimpan dalam mata uang
dinar dan menggunakan dirham sebagai alat transaksi sehingga peredaran dinar
semakin kecil. Fenomena inilah yang pada abad ke–16 dikenal sebagai Gresham’s
law, yaitu : bad money tends to drive good money out of circulation.Sedangkan di
Amerika Serikat sendiri rasio gold-silver pada awalnya hanya 1:15 namun
berfluktuasinya harga kedua jenis metal tersebut menggiring USA men-demonetisasai
silver pada tahun 1873. Dari gambaran diatas dapat disimpulkan bahwa sangat sulit
untuk mengaitkan kedua jenis mata uang tersebut dalam suatu tingkat rasio tertentu
sehingga akhirnya bimetalic standard tidak dapat dipakai lagi secara universal.
Selanjutnya dimulailah masa monometalism dengan emas sebagai standar mata uang
yang berlaku secara universal.

Dalam perkembangannya emas sebagai standar uang beredar mengalami tiga kali
evolusi, yaitu:
1. The gold coin standard; dimana logam emas mulia merupakan uang yang aktif
beredar di masyarakat sebagai alat tukar.
2. The gold bullioter dalam menentukan nilai tukar uang yang beredar dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Mata uang nasional disetarakan dengan emas.
b. Emas disimpan oleh pemerintah dalam bentuk bar atau batangan (bukan koin).
c. Emas tidak beredar dalam perekonomian.
d. Emas tersedia untuk tujuan industri dan transaksi-transaksi internasional dari bank.
3. The gold exchange standard (bretton woods system); dimana otoritas moneter
menentukan nilai tukar mata uang domestik (domestic currency) dengan mata uang
asing (foreign currency) yang mampu diback-up secara penuh oleh cadangan emas
yang dimiliki. Merupakan kesepakatan internasional di bidang moneter di mana mata
uang merupakan fiat money87 yang dapat dikonversikan kedalam emas pada tingkat
harga tertentu. Dengan perkembangan sistem keuangan yang demikian pesat telah
memunculkan uang fiducier 88(credit money), yakni uang yang tidak di back-up oleh
emas dan perak atau bisa dikatakan telah dimulainya fully fledged managed money
standard yang sama sekali tidak terkait dengan nilai emas maupun perak.
Sebagaimana digambarkan pada paragraf terdahulu bahwa dalam sejarah peradaban
Islam sendiri. Pada masa awal kekhalifahan, Rasulullah menetapkan mata uang dinar
dan dirham sebagai standar moneter saat itu. Dimana kedua jenis mata uang tersebut
diadopsi dari Romawi dan Persia. Belum ada usaha untuk mencetak mata uang
sendiri. Karenanya proses penawaran dan permintaan uang emas dan perak terkait
dengan perdagangan dengan kedua kerajaan tersebut.

Pada masa itu bila permintaan uang meningkat maka dinar dan dirham
diimpor.sebaliknya, bila permintaan uang turun maka komoditaslah yang
diimpor.Besarnya volume impor dinar dan dirham juga barang-barang komoditas
bergantung pada volume komoditas yang diekspor ke kedua kerajaan tersebut dan ke
wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan mereka. Hal yang menarik adalah
bahwa tidak ada pembatasan impor uang saat itu karena permintaan internal Hijaz
(sebagai wilayah Daulah Islamiyah saat itu) terhadap dinar dan dirham sangat kecil
sehingga tidak berpengaruh terhadap penawaran (supply) dan permintaan (demand)
dalam perekonomian Romawi dan Persia. sekalipun demikian selama pemerintahan
Rasul uang tidak dipenuhi dari keuangan negara semata melainkan dari hasil
perdagangan luar negeri .Belum dicetaknya mata uang tersendiri dengan ciri khas
Islam oleh Khilafah Islam berlangsung selama masa Rasulullah, Khulafaurrasyidin
serta masamasa awal Khilafah Bani Umayyah. Ketika Abdul Malik Ibn Marwan
menjadi khalifah barulah dicetak dinar dan dirham Islam dengan karakteristik serta
berat tertentu yang bersifat tetap. sebelum itu tidak ada dinar dan dirham Islam,
meskipun dinar dan dirham secara aplikatif telah diberlakukan dan dipakai sebagai
standar moneter.
Dari fenomena tersebut dapat difahami bahwa negara mencetak mata uang khusus
hukumnya adalah boleh (mubah). Namun demikian, jika kondisi mengharuskan untuk
mencetak mata uang demi menjaga perekonomian dan moneter negara dari
kemerosotan serta menghindari dominasi dan kendali negara asing, mencetak mata
uang hukumnya dapat menjadi wajib. Selain itu tidak ada keharusan untuk
menjadikan emas dan perak (dinar dan dirham) sebagai standar moneter (full bodied
bimetalic standard). Selain tidak ditemukan ketentuan ini secara spesifik dalam Al-
Qur’an dan Sunnah, khalifah Umar Ibn Khattab telah mencoba untuk
memperkenalkan jenis uang dari kulit binatang dan beberapa fuqaha terkemuka juga
mendukung keberadaan uang fiducier ini, seperti Ahmad Ibn Hambal, Ibn Hazm dan
Ibn Taimiyah. Merujuk pada pendapat para fuqaha ini tidak diketemukan keharusan
memakai emas dan perak sebagai alat pembayaran meskipun pada masa itu
keberadaan full bodied money merupakan sebuah kelaziman. Namun meskipun
membolehkan uang fiducier, Ibn Taimiyah telah mengingatkan bahwa penggunaan
uang ini akan mengakibatkan hilangnya uang dinar dari peredaran karena adanya
hukum Gresham.92Imam Al-Ghazali memperbolehkan penggunaan uang yang tidak
dikaitkan dengan emas atau perak selama pemerintah mampu menjaga nilainya
menjaga nilainya.Secara umum para fuqaha telah menyepakati bahwa hanya otoritas
yang berkuasa saja yang berhak untuk mengeluarkan uang tersebut. dalam hal ini
alGhazali mensyaratkan pemerintah untuk menyatakan uang fiducier yang dicetak
sebagai alat pembayaran yang resmi, wajib menjaga nilainya dengan mengatur
jumlah uang beredar sesuai dengan kebutuhan dan memastikan tidak adanya
perdagangan uang94. penekanan al-Qur’an mengenai uang adalah jaminan adanya
keadilan dalam fungsinya sebagai alat tukar, alat ukur dan alat penyimpan daya beli.
(Q.S. 6:152, 11:85, 17: 35 dan 26:181).

Keberadaan uang dalam perekonomian memberikan arti penting, Ketidakadilan dari


alat ukur ini yang disebabkan oleh instabilitasnya dapat mengakibatkan
perekonomian tidak berjalan pada titik keseimbangan. Stabilitas harga berarti
terjaminnya keadilan uang dalam fungsinya, sehingga perekonomian akan relatif
berada dalam kondisi yang memungkinkan teralokasinya sumber daya secara merata,
terdistribusinya pendapatan, pertumbuhan optimum dan ketenagakerjaan yang penuh
serta stabilitas perekonomian. Dapat dikatakanbahwa dibutuhkannya sebuah
mekanisme yang memungkinkan untuk mencapai kestabilan nilai tukar fiduciery
money dengan menghilangkan penggunaan suku bunga dan instrumen lain96 yang
dilarang syari’ah merupakan suatu keniscayaan.
Belum lama berselang, larangan Islam terhadap bunga (riba) secara umum dipandang
sebagai suatu preposisi yang nyaris mustahil, dikalangan mayoritas intelektual
muslim sekalipun. Situasi ini mulai berubah dalam beberapa dekade terakhir.
Hegemoni institusional dan intelektual bunga telah ditantang oleh pakar ekonomi
muslim. Kini, makin banyak literatur yang membahas persoalan ini dan
perdebatanpun tidak lagi terbatas pada argumentasi teoritis. Mulai terjadi tradisi
eksperimentasi dan pendirian institusi yang terus meluas. Ilmu moneter Islam tengah
memulai babak baru.belum sampai pada kondisi saat ini setidaknya ada tiga fase
berbeda dalam pembentukan dan pengembangan disiplin ini.

1. Pertama, pada pertengahan dasawarsa 1930-an, segolongan ulama yang tidak


memiliki pendidikan formal di bidang ilmu ekonomi, tetapi memiliki pemahaman
yang tegas terhadap persoalan-persoalan sosioekonomi masa itu dan
pendekatanpendekatan Islam terhadapnya mencoba memecahkan persoalan bunga.
Mereka membawa pendekatan baru terhadap subjek itu dan berbeda dari kaum
modernis dan apologis yang menghindari penjelasan tentang anjuran Islam mengenai
bunga. Mereka tidak mengubah ajaran Islam agar sesuai dengan praktik zaman
sekarang. Para ulama ini dengan tegas menekankan posisi Islam tanpa berkompromi
sedikitpun dan mengundang para ekonom dan bankir muslim untuk berjuang
merubah lembaga-lembaga ekonomi agar seirama dengan prinsip dan norma Islam.
Sebagian dari mereka menyambut seruan ini tetapi upaya mereka masih bersifat
elementer dan berdampak sangat terbatas walau demikian babak baru telah dimulai.

2. Fase kedua, didorong oleh hal-hal tersebut di atas yang berlangsung 20 tahun yang
lalu. Dimana para ekonom muslim mulai membangun aspek-aspek tertentu dari
sistem moneter Islam. Suatu analisa ekonomi tentang pelarangan terhadap riba
dipaparkan dan pilar-pilar utama sistem alternatif perbankan dan keuangan yang
bebas riba dimunculkan. Kontribusi-kontribusi berharga dalam bidang ini dilakukan
pada Konferensi Internasional I tentang ilmu ekonomi Islam di Mekah tahun 1976,
Konferensi Internasional tentang Islam dan tata ekonomi di London 1977, dua
seminar tentang fiskal dan moneter Islam di Mekah (1982) dan Islam abad (1982),
konferensi tentang perbankan Islam dan strategi untuk kerjasama ekonomi di Baden-
baden Jerman Barat (1982) dan konferensi Internasional II tentang Ilmu ekonomi
Islam di Islamabad (1983). Belasan buku dan monografi telah diproduksi yang berisi
makalah-makalah dan diskusi-diskusi hasil seminar dan konferensi. Barangkali
kontribusi intelektual yang –cum- operasional yang paling signifikan adalah dibuat
oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan yang didasarkan pada laporan dari panel ekonom
dan bankirnya yang telah menjadi cetak biru yang sistematis dan komprehensif.
Pertama untuk penghapusan riba dari perekonomian modern, hal ini dipandang
mewakili kontribusi kaum muslim kontemporer terhadap pengembangan suatu model
perekonomian bebas bunga. Upaya ini dilanjutkan dengan karya orisinal yang
dilakukan oleh para ekonomi muslim pada periode ini.

3.Fase ketiga,perkembangan paralel selama dekade lalu mewakili tahap ketiga, dan
terdiri dari usaha-usaha untuk mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga
finansial atau investasi yang beroperasi berdasarkan bebas bunga di tiga benua; Asia,
Afrika dan Eropa (sekarang jumlah itu telah menjadi lebih dari 200), dua institusi
tersebut diantaranya : Bank Pembangunan Islam (Islami Development Bank) di
Jeddah dan Dar al-Mal al-Islam di Bahamas dan Jenewa, beroperasi secara
multinasional.Seharusnya setelah melawati ketiga tahap tersebut kita telah sampai
pada tahap dimana kita dapat menyampaikan hasil pengkajian dan penemuan selama
ini bahwa system bunga adalah tidak rasional, tidak adil dan semua ini telah
dilakukan melalui kajian-kajian akademik diberbagai negara.Ilmu ekonomi moneter
Islam memasuki tahap selanjutnya dengan menggunakan pendekatan yang lebih kritis
dan integratif terhadap keseluruhan teori dan praktik keuangan dan perbankan dalam
Islam.

Tugas-tugas berat yang dihadapi para ekonom untuk meninjau ulang seluruh situasi,
setidaknya ada tiga persoalan :

a. Bersama-sama menyatukan pandangan yang menyeluruh terhadap sistem moneter


Islam dan tidak berkonsentrasi pada elemen khusus dari persoalan keuangan dan
perbankan yang kadang-kadang bahkan tidak saling berhubungan.
b. Meninjau ulang secara kritis berbagai model perbankan Islam yang telah
dipresentasikan sepanjang tahun dalam konteks praktik perbankan Islam, dengan
suatu peningkatan dan perbaikan secara teori dan praktik lapangan

c. Perlu meletakkan keseluruhan teori dan praktik perbankan Islam dalam pesrpektif
ekonomi dan moral Islam serta tata social. Karena keseluruhan sistem harus berjalan
bersama-sama. Betapapun pentingnya suatu unsur iatidak akan menghasilkan apapun
jika berjalan sendiri-sendiri. Penghapusan riba hanyalah salah satu aspek program
ekonomi Islam. Hal ni harus dibarengi dengan dan diperkuat melalui perubahan-
perubahan struktural dan motivasional lainnya. Perbankan Islam hanyalah satu bagian
dari proses bukan keseluruhan dari proses.
Sistem Uang Dalam Moneter Islam
Kebijakan moneter yang diambil bank sentral bertujuan untuk mengatasi inflasi,
mengontrol nilai tukar mata uang, dan memacu pertumbuhan ekonomi. Langkah yang
diambil otoritas moneter dapat berupa menetapkan tingkat suku bunga, baik secara
langsung atau tidak melalui operasi pasar, atau melakukan aktivitas di pasar valuta
asing. Jelas bahwa kebijakan moneter seperti ini bertentangan dengan prinsip syariah
yang mengidentikkan bunga dengan riba. Mungkinkah kebijakan moneter dapat
berjalan tanpa instrumen suku bunga? Inilah pertanyaan yang selalu disampaikan
dalam beberapa forum diskusi ekonomi Islam.
Persamaan fungsi uang antara sistem moneter Islam dan konvensional yaitu terletak
pada pemanfaatan uang sebagai alat tukar dan pengukur nilai aset. Perbedaannya
terletak pada motif untuk kebutuhan spekulasi, yang mengubah fungsi
uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Sistem moneter konvensional yang
selama ini berjalan tidak menciptakan stabilitas ekonomi karena tidak adanya
kesamaan nilai tukar, dan terjadinya fluktuasi nilai tukar
setiap saat. Setiap negara menggunakan berbagai jenis mata uang agar bisa
melakukan
perdagangan internasionalnya, satu mata uang untuk ekspor, satu untuk impor, dan
satu lagi sebagai mata uang domestiknya.Reformasi terhadap sistem moneter dunia
yang lebih adil sulit dilakukan karena permasalahan moneter berkaitan dengan unsur
politik dan kekuatan ekonomi. Dalam sistem moneter saat ini, AS sebagai negara
adidaya bisa memperoleh keuntungan yang besar dengan hanya mencetak dan
mengedarkan mata uang dolarnya di pasar internasional.
Dengan kondisi sistem moneter dan perdagangan internasional yang tidak
menguntungkan tersebut, sudah seharusnya merumuskan kembali sebuah sistem
moneter dan perekonomian yang ditopang oleh sebuah mata uang yang stabil dan
lebih adil. Salah satu rekomendasi yang paling signifikan adalah penggunaan mata
uang dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang internasional.

Anda mungkin juga menyukai