Anda di halaman 1dari 29

BAB I

ANATOMI DAN FISIOLOGI LENSA

1. ANATOMI LENSA

Pada manusia, lensa mata


bikonveks, tidak mengandung
pembuluh darah, tembus pandang,
dengan diameter 9 mm, dan tebal
sekitar 5 mm. Lensa terdiri dari
kapsul, epitel lensa, korteks dan
nukleus. Di bagian depan, lensa
berhubungan dengan cairan bilik
mata, ke belakang berhubungan dengan badan kaca. Di belakang iris, lensa
digantung pada prosesus siliaris oleh zonula Zinii (ligamentum suspensorium
lentis), yang melekat pada ekuator lensa, serta menghubungkannya dengan korpus
siliare. Zonula Zinni berasal dari lamina basal epitel tidak berpigmen prosesus
siliare. Zonula Zini melekat pada bagian ekuator kapsul lensa, 1,5 mm pada
bagian anterior dan 1,25 pada bagian posterior.

Permukaan lensa pada bagian posterior lebih cembung daripada


permukaan anterior. Di sebelah anterior lensa terdapat humor akuous dan di
sebelah posteriornya korpus vitreus. Lensa diliputi oleh kapsula lentis, yang
bekerja sebagai membran semipermeabel, yang melalukan air dan elektrolit untuk
makanannya. Di bagian anterior terdapat epitel subkapsuler sampai ekuator.

Di kapsul anterior depan terdapat selapis epitel subkapsular. Epitel ini


berperan dalam proses metabolisme dan menjaga sistem normal dari aktivitas sel,
termasuk biosintesa dari DNA, RNA, protein dan lipid.

Substansi lensa terdiri dari nukleus dan korteks, yang terdiri dari lamel-
lamel panjang yang konsentris. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya.
Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamellar subepitel terus diproduksi,
sehingga lensa lama-kelamaan menjadi lebih besar dan kurang elastik. Nukleus

1
dan korteks terbentuk dari lamellae konsentris yang panjang. Tiap serat
mengandung inti, yang pipih dan terdapat di bagian pinggir lensa dekat ekuator,
yang berhubungan dengan epitel subkapsuler. Serat-serat ini saling berhubungan
di bagian anterior. Garis-garis persambungan yang terbentuk dengan
persambungan lamellae ini ujung-ke-ujung berbentuk {Y} bila dilihat dengan
slitlamp. Bentuk {Y} ini tegak di anterior dan terbalik di posterior (huruf Y yang
terbalik).

Sebanyak 65% bagian dari lensa terdiri dari air, sekitar 35% protein
(kandungan protein tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali
mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Protein lensa terdiri dari water
soluble dan water insoluble. Water soluble merupakan protein intraseluler yang
terdiri dari alfa (α), beta (β) dan delta (δ) kristalin, sedang yang termasuk dalam
water insoluble adalah urea soluble dan urea insoluble. Kandungan kalium lebih
tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Seperti telah disinggung
sebelumnya, tidak ada serat nyeri, pembuluh darah atau saraf di lensa.

2. FUNGSI LENSA

Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Supaya


hal ini dapat dicapai, maka daya refraksinya harus diubah-ubah sesuai dengan
sinar yang datang sejajar atau divergen. Perubahan daya refraksi lensa disebut
akomodasi. Hal ini dapat dicapai dengan mengubah lengkungnya lensa terutama
kurvatura anterior.

Untuk memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris


relaksasi, menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior
lensa sampai ukurannya yang terkecil; dalam posisi ini, daya refraksi lensa
diperkecil sehingga berkas cahaya pararel akan terfokus ke retina. Untuk
memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga
tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa yang elastik kemudian mempengaruhi
lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh daya biasnya. Kerjasama fisiologik antara
korpus siliaris, zonula dan lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina

2
dikenal sebagai akomodasi. Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan
refraksi lensa perlahan-lahan akan berkurang.

Pada foetus, bentuk lensa hampir sferis dan lemah. Pada orang dewasa
lensanya lebih padat dan bagian posterior lebih konveks. Proses sklerosis bagian
sentral lensa, dimulai pada masa kanak-kanak dan terus berlangsung secara
perlahan-lahan sampai dewasa dan setelah ini proses bertambah cepat dimana
nukleus menjadi lebih besar dan korteks bertambah tipis. Pada orang tua lensa
menjadi lebih besar, lebih gepeng, warna kekuning-kuningan, kurang jernih dan
tampak sebagai “grey reflex” atau “senile reflex”, yang sering disangka katarak,
padahal salah. Karena proses sklerosis ini, lensa menjadi kurang elastis dan daya
akomodasinya pun berkurang. Keadaan ini disebut presbiopia, pada orang
Indonesia dimulai pada umur 40 tahun.

3
BAB II
KATARAK

1. DEFINISI
Katarak berasal dari kata Yunani Katarraktes, Inggris Cataract, dan Latin
cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana
penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah
setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi akibat kedua-duanya.
Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif ataupun
dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu lama.
Katarak umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut, akan tetapi dapat
juga akibat kelainan kongenital atau punyulit penyakit mata lokal menahun.
Bermacam-macam penyakit mata dapat mengakibatkan katarak, seperti glaukoma,
ablasi, uveitis, dan retinitis pigmentosa. Katarak dapat berhubungan proses
intraokular lainnya.2,3

2. EPIDEMIOLOGI
Penelitian-penelitian di Amerika Serikat mengidentifikasi adanya katarak
pada sekitar 10% orang Amerika Serikat, dan prevalensi ini meningkat sampai
skeitar 50% untuk usia antara 65-74 tahun, dan sampai sekitar 70% pada usia
lebih dari 75 tahun. Sebagiab kasus bersifat bilateral, walaupun kecepatannya
pada masing-masing mata jarang sama.1
National Health and Nutritional Examination Survey (NHANES)
menyatakan bahwa progresivitas terjadinya katarak terkait dengan usia. Katarak
terjadi pada sekitar 12% pasien usia 45-54 tahu, 27% pada usia 55-64 tahun, dan
58% pada usia 65-74 tahun.4
Di Indonesia sekitar 47% dari orang yang mengalami kebutaan disebabkan
oleh katarak. Prevalensi usia orang yang mengalami katarak di Indonesia juga
lebih muda daripada di negara barat, yaitu sekitar usia 40-60 tahun, namun seiring
dengan bertambahnya usia, prevalensinya semakin banyak.3

4
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO4,5
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degenerative atau
bertambahnya usia seseorang. Katarak kebanyak munucl pada usia lanjut akibat
pajanan kumulatif terhadap pengaruh lingkungan dan pengaruh lainnya. Faktor-
faktor risiko yang mendukung terjadinya katarak adalah:
a. Diabetes. Pasien dengan diabetes memiliki risiko tinggi mengalami katarak
dan risiko komplikasi postoperasi lebih tinggi. Peningkatan gula darah secara
cepat dapat menyebabkan pembengkakan lensa akut dan pseudomyopia. Akan
tetapi fenomena ini bersifat reversible. Tipe yang umum pada pasien diabetes
adalah katarak subkapsular posterior, kortikal, dan campuran.

b. Penggunaan alkohol. Berdasarkan laporan, orang yang mengonsumsi lebih


baanyak alkohol memiliki risiko katarak lebih tinggi. Mekanismenya
kemungkinan karena adanya efek katarktogenik yang dimediasi oleh
malnutrisi akibat kekurangan asupan makanan, atau inhibisi langsung dari
penyerapan nutrisi makanan oleh alkohol.

c. Riwayat keluarga.

d. Trauma.

e. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Kemungkinan kortikosteroid


memiliki efek katarktogenik yang dapat menyebabkan katarak tipe
subkapsular posterior.

f. Merokok. Merokok dapat menyebabkan kekeruhan pada inti lensa.


Mekanisme yang menjelaskan hal tersebut masih belum diketahui.

g. Paparan sinar UV. Pada penelitian dikatakan bahwa pasien yang terpapar
dengan UV-B memiliki risiko lebih tinggi terkena katarak. Dikatakan bahwa
adanya radikal bebas pada retina merupakan penyebab kerusakan lensa.
Radiasi sinar UV ini menyebabkan katarak subkapsular posterior.

h. Nutrisi. Kekurangan nutrisi seperti vitamin C, E, dan karotenoid dikatakan


akan meningkatkan kejadian katarak.

5
4. KLASIFIKASI
Klasifikasi katarak dapat dibagi berdasarkan beberapa hal, yaitu:

a. Berdasarkan waktunya.2
Table 1. Klasifikasi katarak
Katarak congenital (<1% Katarak didapat (>99% kasus)
kasus)
• Katarak herediter: autosom • Katarak senile (>90%)
dominan, resesiv, sporadic, • Katarak akibat penyakit sistemik: DM,
X-linked galaktosemia, insufisiensi ginjal, tetanus, dsb
• Katarak akibat kerusakan • Katarak sekunder dan komplikata:
embrionik (transplacental): ‐ katarak dengan heterokromia
rubella (40-60%), mumps ‐ katarak dengan iridocyditis kronik
(10-22%), Hepatitis (16%), ‐ katarak dengan vaskulitis retnal
toxoplasmosis (5%) ‐ katarak dengan retinitis pigmentosa
• katarak postoperasi: pada pasca vitrektomi
• katarak traumatic: kontusio/perforasi, radiasi
inframerah, aliran listrik, radiasi ion
• katarak toksik: akibat kortikosteroid.
b. Berdasarkan maturitasnya
‐ Stadium insipien
‐ Stadium intumesen
‐ Stadium imatur
‐ Stadium matur
‐ Stadium hipermatur (katarak Morgagni)
c. Berdasarkan morfologinya.4
‐ Katarak Nuklear
‐ Katarak kortikal
‐ Katarak subkapsular posterior

6
BAB III
JENIS-JENIS KATARAK

1. KATARAK PADA ANAK


Katarak pada anak dibagi menjadi dua, yaitu katarak congenital dan
katarak didapat. Sekitar 1/3 katarak penyebabnya adalah keturunan, sementara 2/3
lainnya karena penyakit metabolic, penyakit infeksi, atau terkait dengan sindroma-
sindroma tertentu.1 Insidensi katarak congenital ini di Amerika adalah 1,2-6 kasus/
10.000 penduduk. 6
a. Katarak kongenital
Katarak kongenital adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera
setelah lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun. Katarak kongenital
merupakan penyebab kebutaan pada bayi yang cukup berarti terutama akibat
penanganannya yang kurang tepat.1,3

Pada katarak kongenital, kelainan utama terdapat di nukleus lensa, nukleus


fetal, atau nukleus embrional, bergantung pada waktu stimulus kataraktogenik.
Dapat pula terletak di kutub anterior atau posterior lensa apabila katarak
terjadi di kapsul lensa. Bentuk katarak berwarna putih padat dapat terlihat
sebagai leukokoria (pupil putih), hal ini banyak disadari oleh orang tua.
Katarak unilateral, padat, diameter >2mm, dapat menyebabkan ambliopia
deprivasi permanen jika tidak ditangani dalam 2 bulan pertama kelahiran
dengan operasi. Penyebabnya biasanya sporadic dan terkait dengan
abnormalitas mata, trauma, infeksi intrauterine, infeksi rubella. Katarak
bilateral simetris membutuhkan penatalaksanaan yang tidak terlalu segera,
tetapi jika penanganan ditunda tanpa alasan dapat terjadi ambliopia deprivasi
bilateral. Penyebabnya biasanya akibat penyakit metabolic, infeksi, sistemik,
dan genetic. Penyebab tersering adalah hipoglikemia, trisomy, distrophi
miotonik, premature, dsb.1,6

7
Untuk mengetahui penyebab katarak congenital, diperlukan pemeriksaan
riwayat prenatal infeksi ibu dan pemakaian obat selama kehamilan.
Penanganan tergantung pada unilateral dan bilateral, adanya kelainan mata
lain, dan saat terjadinya katarak. Katarak congenital umumnya prognosis
kurang memuaskan dan dapat menimbulkan komplikasi lain berupa nistagmus
dan strabismus. Terdapat beberapa bentuk katarak congenital, yaitu:3

‐ Katarak piramidalis atau Polaris anterior


‐ Katarak piramidalis atau Polaris posterior
‐ Katarak zonularis atau lamelaris
‐ Katarak pungtata dan lain-lain.

b. Katarak didapat
Katarak didapat adalah katarak yang yang mulai terjadi setelah lahir dan
biasanya disebabkan oleh keadaan-keadaan spesifik. Katarak tipe ini tidak
membutuhkan tatalaksana yang cepat seperti pada katarak congenital, karena
biasanya system visual dari anak-anak telah matur.1
Penilaian bedah didasarkan pada lokasi, ukuran, dan kepadatan katarak,
tetapi periode pengamatan dan uji ketajaman penglihatan subyektif dapat
menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Karena katarak unilateral
pada anak tidak akan menimbulkan gejala atau tanda yang selalu diketahui
oleh orang tuanya, program-program pemeriksaan skrining penting untuk
menemukan kasus tersebut.

2. KATARAK SENILIS

Katarak senilis adalah jenis yang paling sering dijumpai. Jumlahnya


mencapai sampai dengan 90% dari seluruh katarak. Katarak ini terjadi pada usia
lanjut, biasanya lebih dari 40 tahun. Kedua mata dapat terlihat dengan derajat
kekeruhan yang sama atau berbeda.3,8

a. Patogenesis. Multifaktorial, meliputi interaksi yang kompleks antara


bermacam-macam proses fisiologis. 3

8
b. Patofisiologi

‐ Peningkatan Protein-protein yang Tidak Larut Air Seiring Usia


Protein lensa yang sebelumnya larut air menjadi tidak larut air dan
beragregasi untuk membentuk partikel-partikel yang sangat besar yang
dapat memecahkan cahaya sehingga mengakibatkan kekeruhan lensa.9
‐ Teori Kebocoran Pompa
Lensa bersifat dehidrasi dan memiliki kadar ion kalium (K+) dan
asam amino yang lebih tinggi dari aqueous dan vitreus di sekelilingnya.
Sebaliknya, lensa mengandung kadar ion natrium (Na+), ion klorida (Cl-)
dan air yang lebih sedikit dari lingkungan sekitarnya. Keseimbangan
kation antara di dalam dan di luar lensa adalah hasil dari kemampuan
permeabilitas membran sel-sel lensa dan aktifitas dari pompa (Na+, K+-
ATPase) yang terdapat pada membran sel dari epitelium lensa dan setiap
serat lensa. Fungsi pompa natrium bekerja dengan cara memompa ion
natrium keluar dari dan menarik ion kalium ke dalam lensa. Mekanisme
ini tergantung dari pemecahan ATP dan diatur oleh enzim Na +, K+-
ATPase. Keseimbangan ini mudah sekali terganggu oleh inhibitor spesifik
ATPase. Inhibisi dari Na+, K+-ATPase akan menyebabkan hilangnya
keseimbangan kation dan meningkatnya kadar air dalam lensa.9
Keseimbangan kalsium juga penting untuk lensa. Besarnya gradien
transmembran kalsium dipertahankan secara primer oleh pompa kalsium
(Ca2+-ATPase). Membran sel lensa juga secara relatif tidak permeabel
terhadap kalsium. Hilangnya homeostasis kalsium akan sangat
mengganggu metabolisme lensa. Peningkatan kadar kalsium dapat
berakibat pada beberapa perubahan meliputi tertekannya metabolisme
glukosa, pembentukan agregat protein dengan berat molekul tinggi dan
aktivasi protease yang destruktif. 9
Transport membran dan permeabilitas juga penting untuk nutrisi
lensa. Transport aktif asam-asam amino terdapat di epitel lensa dengan
mekanisme tergantung pada gradien natrium yang dibawa oleh pompa
natrium. Glukosa memasuki lensa melalui sebuah proses difusi terfasilitasi
yang tidak secara langsung terhubung oleh sistem transport aktif. Hasil

9
buangan metabolisme meninggalkan lensa melalui difusi sederhana.
Berbagai macam substansi seperti asam askorbat, mioinositol dan kolin
memiliki mekanisme transport yang khusus pada lensa. 9
Pembentukan katarak secara kimiawi ditandai oleh penurunan
penyerapan oksigen dan mula-mula terjadi peningkatan kandungan air.
Kandungan natrium dan kalsium meningkat; kandungan kalium,
berkurang. Pada lensa yang mengalami katarak juga tidak ditemukan
glutation. 9
Seiring pertambahan usia lensa, berat dan ketebalannya bertambah
sementara kekuatan akomodasinya berkurang. Ditambah lagi, terdapat
pengurangan transport dari air, nutrisi dan antioksidan. Akibatnya
kerusakan oksidatif yang progresif pada lensa menyebabkan
berkembangnya katarak senilis.8

Perubahan lensa pada usia lanjut meliputi : 3


‐ Kapsul: menebal, kurang elastis, presbiopia, bentuk lamel berkurang
‐ Epitel: makin tipis, sel epitel (germinatif) pada ekuator bertambah besar,
epitel bengkak dan vakuolisasi mitokondria
‐ Serat lensa: lebih ireguler, pada korteks terjadi kerusakan serat sel, sinar
UV lama kelamaan merubah protein nukleus (histidin, triptofan, metionin,
sistein dan tirosin) lensa menjadi brown sclerotic nucleus
‐ Korteks: tidak berwarna karena kadar asam askorbat tinggi dan
menghalangi fotooksidasi, serat tidak banyak mengubah protein pada
serat muda.

c. Faktor Resiko

‐ Katarak senilis berhubungan dengan banyak penyakit sistemik, seperti:


kolelitiasis, alergi, pneumonia, penyakit koroner dan insufisiensi jantung,
hipo/hiper tensi, dan diabetes. Hipertensi sistemik dapat meningkatkan
resiko terjadinya katarak subkapsular posterior secara signifikan.
Hipertensi dan glaucoma dapat menimbulkan katarak senilis dikarenakan
dapat menginduksi perubahan konformasi protein pada kapsul lensa yang

10
nantinya akan mempengaruhi transport membran dan permeabilitas ion
sehingga pada akhirnya akan meningkatkan tekanan intraokular yang akan
mempercepat pertumbuhan katarak.
‐ Eksposur terhadap sinar UV
‐ Faktor resiko lainnya. Termasuk didalamnya adalah umur, wanita, kelas
sosial, dan myopia. 3
d. Klasifikasi dan gejala

Katarak senilis dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan stadium.


Berdasarkan morfologi, katarak senilis dibagi menjadi 3 tipe utama.

Table 2. Derajat katarak senilis berdasarkan morfologi

Katarak nukleus sebagai hasil dari


sclerosis nukleus yang menyebabkan
terbentuknya kekeruhan sentral lentikular
(gambar 1). Pada dekade keempat
kehidupan, tekanan serat lensa perifer

Gambar 1. Katarak nukleus


11
menyebabkan penebalan seluruh lensa terutama nukleus. Katarak nukleus
meningkatkan kekuatan refraksi lensa sehingga menyebabkan myopia
lentikuler dan terkadang menghasilkan titik fokus kedua sehingga terjadi
diplopia monokular. Katarak nukleus ini berkembang sangat lambat. Karena
adanya myopia lentikular, penglihatan dekat (bahkan tanpa kacamata) tetap
baik untuk waktu yang lama. 3,8

Pada katarak kortikal, terdapat perubahan komposisi ion dari korteks lensa
dan akhirnya mengubah hidrasi dari serat lensa.katarak ini biasanya bilateral
tapi tidak simetris. Pasien katarak kortikal cenderung mengalami hiperopia.
Namun gangguan fungsi penglihatan bervariasi tergantung seberapa dekat
kekeruhan dengan aksis visual.3,8

Katarak subkapsular posterior berlokasi pada korteks di dekat kapsul


posterior. Pada katarak ini terdapat terbentuk kekeruhan yang bergranuler.
Awalnya terdapat sekumpulan kecil kekeruhan granular yang lalu berkembang
ke perifer. Seiring dengan pertambahan kekeruhan, sisa korteks dan nukleus
menjadi ikut terlibat. Gejala yang biasa timbul adalah penglihatan yang
berkurang dan glare (silau) siang hari atau di saat terkena cahaya yang terang.
Katarak ini dapat disebabkan trauma, penggunaan kortikosteroid, inflamasi,
dan radiasi ion.3,8

Anamnesis yang teliti dapat menentukan progresifitas dan kerusakan


fungsi penglihatan karena katarak. Pasien dengan katarak senilis sering datang
dengan gangguan penglihatan yang progresif. Secara klinis, tipe katarak yang
berbeda mengakibatkan penurunan visus yang berbeda. Sebagai contoh,
katarak subkapsular posterior dapat mengakibatkan penurunan visus yang
sangat besar terutama pada penglihatan dekat. Terjadinya penurunan
sensitivitas terhadap kontras (glare), lebih sering terjadi pada katarak kortikal
dibandingkan katarak nukleus. Diplopia monokular dapat terjadi dan tidak
dapat dikoreksi dengan kacamata maupun lensa kontak. Terkadang dapat juga
terjadi perubahan persepsi warna. Namun hal ini sangat jarang terjadi.3,8

12
Berdasarkan stadiumnya, katarak terdiri dari 6 stadium yaitu:3,8
‐ Katarak insipien. Merupakan stadium dini yang belum menimbulkan
gangguan visus. Kekeruhan terutama terdapat pada bagian perifer berupa
bercak-bercak seperti jari-jari roda (kuneiform) pada korteks anterior,
sedangkan aksis masih relatif jernih. Kekeruhan mulai dari tepi ekuator
menuju korteks anterior dan posterior (katarak kortikal). Vakuol mulai
terlihat di korteks, yang terlihat bila dipupil dilebarkan disebut spokes of
wheel. Pada stadium insipien dapat terjadi miopia artifisial di mana
penglihatan jauh kabur sedangkan penglihatan dekat sedikit membaik
dibandingkan sebelumnya (second sight), sehingga pasien dapat membaca
lebih baik tanpa kacamata. Keadaan ini disebabkan oleh peningkatan
indeks refraksi lensa pada stadium insipien. Bila kualitas lensa memburuk
atau terjadi kelelahan maka second sight ini akan menghilang.
‐ Katarak intumesen. Kekeruhan lensa disebabkan pembengkakan lensa
akibat lensa degeneratif menyerap air. Lensa yang membengkak dan
membesar akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi dangkal, hal
ini dapat menimbulkan penyulit berupa glaukoma. Stadium ini tidak selalu
terjadi pada proses katarak.
‐ Katarak imatur. Lensa sebagian keruh, belum mengenai seluruh lapisan
lensa. Volume lensa bertambah akibat meningkatnya tekanan osmotik
bahan lensa yang degeneratif, sehingga pada keadaan lensa mencembung
akan dapat menimbulkan hambatan pupil dan dapat menimbulkan
glaukoma sekunder. Pada pemeriksaan uji bayangan iris atau shadow test
akan terlihat bayangan iris pada lensa, disebut shadow test positif.
‐ Katarak matur (gambar 2). Kekeruhan telah mengenai seluruh lapisan
lensa. Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca 2+ yang
menyeluruh. Bila katarak imatur tidak dikeluarkan, maka cairan lensa akan
keluar sehingga lensa kembali pada ukuran normal dan terjadi kekeruhan
lensa yang lama kelamaan akan mengakibatkan kalsifikasi lensa pada
katarak matur. Bilik mata depan kembali normal, tidak terdapat bayangan
iris pada lensa yang keruh sehingga shadow test menjadi negatif.

13
‐ Katarak hipermatur (gambar 3). katarak yang telah mengalami proses
degenerasi lanjut, dapat menjadi keras, lembek dan mencair. Massa lensa
yang berdegenerasi mencair dan keluar dari kapsul lensa sehingga ukuran
lensa mengecil dan kapsul mengkerut. Kadang pengkerutan berjalan terus
sehingga hubungan dengan zonula Zinnii menjadi kendur. Bila proses
katarak berlanjut disertai dengan penebalan kapsul, maka korteks yang
berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan
memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu disertai dengan nukleus
yang terbenam didalam korteks lensa karena lebih berat, keadaan tersebut
dinamakan katarak morgagni.
‐ Katarak Morgagni. Merupakan lanjutan dari katarak hipermatur dimana
likuefaksi total pada korteks telah menyebabkan inti tenggelam pada
bagian inferior. Bila proses katarak hipermatur berlanjut disertai dengan
penebalan kapsul, maka korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat
keluar, maka korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu
disertai dengan nukleus yang terbenam didalam korteks lensa karena lebih
berat.

gambar 2. Katarak Matur gambar 3. Katarak Hipermatur

Tabel 3. Perbedaan katarak berdasarkan stadium. 3


Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata Normal Dangkal Normal Dalam
depan
Sudut bilik Normal Sempit Normal Terbuka
mata

14
Shadow test Negatif Positif Negatif Pseudopos
Penyulit - Glaukoma - Uveitis dan
glaukoma

e. Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit sistemik


yang berpengaruh pada mata dan juga perkembangan katarak.3

Pemeriksaan mata lengkap dimulai dari pemeriksaan visus. Jika pasien


mengeluhkan glare, visus juga harus diperiksa di ruangan yang sangat terang.
Pemeriksaan sensitivitas terhadap kontras juga harus dilakukan, terutama jika
ada keluhan. Tes shadow akan menunjukkan hasil positif pada stadium
katarak imatur.

Pemeriksaan slit lamp tidak hanya dikonsentrasikan untuk melihat


kekeruhan lensa, namun juga menilai struktur okular lainnya seperti
konjungtiva, kornea, iris dan bilik mata depan. Penampakan lensa harus dilihat
secara seksama sebelum dan sesudah dilatasi pupil. Posisi lensa dan keutuhan
serat zonular juga harus diperiksa karena subluksasio lensa dapat
mengindikasikan trauma pada mata sebelumnya, kelainan metabolik, atau
katarak hipermatur.3,8

Pemeriksaan laboraturium diperlukan sebagai bagian


skrining preoperative untuk mendeteksi penyakit penyerta
(misalnya diabetes mellitus, hipertensi dan kelainan
jantung). Pemeriksaan radiologis seperti USG, CT Scan dan
MRI diperlukan jika dicurigai adanya kelainan di daerah
posterior dan kurangnya gambaran pada bagian belakang
mata karena katarak yang sudah sangat padat. Pemeriksaan
ini membantu dalam perencanaan tatalaksana bedah.3,8

15
3. KATARAK TRAUMATIK

Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh cedera benda asing di


lensa atau trauma tumpul terhadap bola mata. Peluru senapan angin dan petasan
merupakan penyebab tersering; penyebab lain yang lebih jarang adalah anak
panah, batu, kontusio, pajanan berlebih terhadap panas ("gtassblower cataract'),
sinar-X, dan bahan radioaktif. Di dunia industri, tindakan pengamanan terbaik
adalah sepasang kacamata pelindung yang bermutu baik.8

Beberapa hal yang dapat menyebabkan katarak yaitu:2,10, 11


a. Direct penetrating injury pada lensa (gambar 4)

Gambar 4 Direct penetrating injury


b. Concussion (gegar) dapat menimbulkan gambaran bunga kortikal opak
(rosette cataract) atau vossius ring (gambar 5) yang berasal dari pigmen iris
yang tercetak dalam kapsul lensa anterior

Gambar 5 vossius ringdan rosette cataract

c. Electric shock dan lightning merupakan penyebab yang jarang


d. Ionizing radiation pada tumor okular
e. Infrared radiation

16
Segera setelah masuk benda asing, lensa menjadi putih, karena lubang
pada kapsul lensa menyebabkan humor uqueus dan kadang-kadang korpus
vitreum masuk ke dalam struktur lensa.

Pasien mengeluh penglihatan kabur secara mendadak. Mata menjadi


merah, lensa opak, dan mungkin terjadi perdarahan intraokular. Apabila humor
aqueusatau korpus vitreum keluar dari mata, mata menjadi sangat lunak. Penyulit
adalah infeksi, uveitis, ablasio retina, dan glaukoma. Benda asing magnetik
intraokular harus segera dikeluarkan. Contoh kelainan pada mata akibat trauma
tersebut (gambar 6).

Gambar 6. Kelainan pada mata akibat trauma

Tatalaksana dengan antibiotik sistemik dan topikal serta kortikosteroid


topikal dalam beberapa hari untuk memperkecil kemungkinan infeksi dan uveitis.
Atropin sulfat 1 % sebanyak 1 tetes tiga kali sehari, untuk menjaga pupil tetap
berdilatasi dan untuk mencegah pembentukan sinekia posterior.2,10,11

Katarak dapat dikeluarkan pada saat pengeluaran benda asing atau setelah
peradangan mereda. Untuk mengeluarkan katarak traumatik. biasanya digunakan

17
teknik-teknik yang sama dengan yang digunakan untuk mengeluarkan katarak
kongenital, terutama pada pasien berusia kurang dari 30 tahun. 2,10,11

4. KATARAK SEKUNDER
a. Akibat penyakit intraocular (katarak komplikata)
Katarak dapat terbentuk sebagai efek langsung penyakit intraokular pada fisiologi
lensa (misalnya uveitis rekuren yang parah). Katarak biasanya berawal di daerah
subkapsul posterior dan akhirnya mengenai seluruh struktur lensa. Penyakit-penyakit
intraokular yang sering berkaitan dengan pembentukan katarak adalah uveitis kronik
atau rekuren, glaukoma, retinitis pigmentosa, dan pelepasan retina. Katarak ini
biasanya unilateral. Prognosis visualnya tidak sebaik katarak senilis biasa. 8
Dikenal 2 bentuk yaitu bentuk yang disebabkan kelainan pada polus posterior
mata dan akibat kelainan pada polus anterior bola mata.
Katarak pada polus posterior terjadi akibat penyakit koroiditis, retinitis
pigmentosa, ablasio retina , kontusio retina dan miopia tinggi yang mengakibatkan
kelainan badan kaca. Biasanya kelainan ini berjalan aksial yang biasanya tidak
berjalan cepat di dalam nukleus, sehingga sering teriihat nukleus lensa tetap jernih.
Katarak akibat miopia tinggi dan ablasi retina memberikan gambaran agak berlainan.
Katarak akibat kelainan polus anterior bola mata biasanya akibat kelainan komea
berat, iridoksiklitis, kelainan neoplasma dan glaukoma. Pada iridosiklitis akan
mengakibatkan katarak subkapsularis anterior. Pada katarak akibat glaukoma akan
terlihat katarak disiminata pungtata subkapsular anterior (katarak Vogt). Contoh
katarak sekunder akibat dari penyakit okular lain adalah (gambar 7): 2,10,11
‐ Uveitis anterior kronik. Merupakan penyebab tersering katarak sekunder. Tanda
yang pertama kali ditemukan adalah kilauan polikromatik pada kutub posterior
lensa, yang tidak akan berkembang jika uveitis tersebut sembuh/hilang. Jika
inflamasi terus terjadi, kekeruhan pada posterior dan anterior lensa akan
berkembang menjadi katarak matur. Kekeruhan lensa berkembang lebih cepat
pada sinekia posterior.
‐ Glaukoma sudut tertutup akut. Dapat menyebabkan kekeruhan (berwarna abu-abu
– putih dan berukuran kecil) pada anterior, subkapsular atau kapsul lensa dalam
area pupil. Gambaran yang terbentuk menunjukkan infark fokal pada epitelium
lensa dan merupakan patognomonik dari glaukoma sudut tertutup akut di masa
lampau.

18
Gambar 7. Uveitis anterior dan glaucoma sudut tertutup

‐ Miopia tinggi (patologis). Miopia yang tinggi berhubungan dengan kekeruhan


pada subkapsular posterior lensa dan onset awal sklerosis nukleus, yang
meningkatkan gangguan refraktif miopia (myopia refractive error). Miopia
simpel tidak berhubungan dengan pembentukan katarak.

b. Akibat penyakit sistemik


Katarak bilateral dapat terjadi karena gangguan-gangguan sistemik
berikut ini: diabetes mellitus, hipoparatiroidisme, distrofi miotonik, dermatitis
atopik, galaktosemia, dan sindrom Lowe, Werner, dan Down.8
Katarak diabetik merupakan katarak yang terjadi akibat adanya penyakit
diabetes melitus. (gambar 8)

Gambar 8. Katarak Diabetes


Katarak pada pasien diabetes melitus dapat terjadi dalam 3 bentuk:
‐ Efek osmotik. Fluktuasi kadar gula darah dapat menyebabkan variasi pada
ketebalan lensa dan mempengaruhi osmotiknya. Lensa bersifat menyerap

19
air dan mata cenderung menjadi miopi ketika kadar gula tinggi karena
jalur heksokinase pada metabolisme glukosa lensa menjadi tersaturasi dan
glukosa yang berlebihan akan diubah menjadi sorbitol dan fruktosa. Hal
ini menyebabkan air dari aqueous humor masuk ke lensa secara osmosis.
‐ Katarak diabetik juvenile akut. Pasien diabetes juvenil dengan kadar gula
yang tinggi sekali dan tidak terkontrol, dapat terjadi gambaran katarak
serentak pada kedua mata dalam 48 jam, bentuk dapat snow flake atau
bentuk piring subkapsular.
‐ Onset cepat katarak senilis. Diabetes cenderung menyebabkan katarak
pada usia muda.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada keadaan hiperglikemia
terdapat penimbunan sorbitol dan fruktosa di dalam lensa. Pada mata terlihat
meningkatkan insidensi maturasi katarak yang lebih pada pasien diabetes.
Jarang ditemukan ”true diabetik” katarak. Pada lensa akan terlihat kekeruhan
tebaran salju subkapsular yang sebagian jernih dengan pengobatan.
Diperlukan pemeriksaan tes urine dan pengukuran gula darah puasa.2,10,11

c. Akibat pengaruh obat-obatan


Katarak toksik jarang terjadi. Obat lain yang diduga berhubungan dengan
terjadinya katarak meliputi fenotiazin, amiadaron, busulfan, dan tetes mata
miotikum kuat seperti fosfolin iodide.8 (gambar 9)
Obat-obatan yang dapat menyebabkan katarak antara lain: 2,10,11
‐ Steroid. Steroid sistemik dan topikal merupakan kataraktogenik.
Meningkatnya kadar kortikosteroid dalam mata dapat meningkatkan kadar
kalium dalam lensa dan hal ini berhubungan dengan pembentukan katarak.
Kekeruhan lensa pada awalnya terjadi di posterior subkapsular yang
selanjutnya dapat berkembang ke anterior subkapsular. (gambar 9)
Hubungan antara dosis sistemik yang lemah, durasi pemberian, total dosis
dan formasi katarak masih belum jelas. Anak-anak lebih rentan terhadap
efek kataraktogenik steroid sistemik. Pasien yang mengalami perubahan
pada lensa mata harus dikurang dosis steroidnya sampai batas minimum

20
yang dibutuhkan untuk melawan penyakit yang dideritanya, dan jika
mungkin mengganti terapinya.

Gambar 9. katarak akibat steroid


Gambar 10.
katarak akibat chlorpromazine
‐ Chlorpromazine. Dapat menyebabkan
deposisi dengan gambaran seperti garpu
atau cabang, bintang, granul berwarna
kuning kecoklatan pada kapsul lensa
anterior dalam area pupil. Gambaran
difus, deposit granular pada endotelium
kornea dan pada stroma juga dapat terjadi (gambar 10). Deposit pada
lentikular dan korneal terkait dengan dosis obat dan biasanya ireversibel.
Pada dosis yang sangat tinggi (> 2400 mg per hari) obat tersebut dapat
menyebabkan retinotoksisitas.
‐ Busulphan. Digunakan untuk pengobatan leukemia mieloid kronik. Dapat
menyebabkan kekeruhan lensa.
‐ Amiodarone. Digunakan untuk pengobatan aritimia jantung. Obat ini
menyebabkan deposit pada anterior subkapsular lensa pada sekitar 50%
pasien dengan dosis sedang hingga tinggi.
‐ Allopurinol. Digunakan untuk pengobatan hiperurisemia dan gout kronik.
Obat ini meningkatkan risiko terbentuknya katarak pada pasien lanjut usia,
jika dosis kumulatif melebihi 400 gram atau durasi pemberiannya melebihi
3 tahun.

21
BAB IV

PENATALAKSANAAN KATARAK

1. TATALAKSANA KATARAK
Katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi. Akan tetapi jika
gejala katarak tidak mengganggu, tindakan operasi tidak diperlukan. Kadangkala
cukup dengan mengganti kacamata. Operasi dilakukan apabila tajam pengelihatan
sudah menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau
bila katarak ini menimbulkan penyulit seperti glukoma dan uveitis. Hingga saat
ini belum ada obat-obatan, makanan, atau kegiatan olahraga yang dapat
menghindari atau menyembuhkan seseorang dari gangguan katarak. Akan tetapi
melindungi mata terhadap sinar matahari yang berlebihan dapat memperlambat
terjadinya gangguan katarak. Kacamata gelap atau kacamata reguler yang dapat
menghalangi sinar ultraviolet (UV) sebaiknya digunakan ketika berada diruang
terbuka pada siang hari.
Operasi tidak perlu menunggu katarak matang dan cukup dengan bius lokal
atau diberikan secara topikal, dan tanpa harus menjalani rawat inap. Lensa keruh
diangkat dan digantikan dengan lensa buatan yang ditanam secara permanen.
Tingkat keberhasilan operasi katarak cukup tinggi. Lebih dari 95% tindakan
operasi menghasilkan perbaikan penglihatan apabila tidak terdapat gangguan pada
kornea, retina, saraf mata atau masalah mata lainnya. Pembedahan katarak terdiri
dari pengangkatan lensa dan menggantinya dengan lensa buatan. Operasi ini dapat
dilakukan dengan:

Teknik Operasi
Terapi definitif dari katarak senilis adalah ekstraksi lensa. Terdapat 3
prosedur yang biasa digunakan yaitu ekstraksi katarak intrakapsular, ekstraksi
katarak ekstrakapsular dan fakoemulsifikasi. 3,8
a. Ekstraksi katarak intrakapsular
Pada teknik ini, seluruh lensa akan dikeluarkan bersama kapsul lensa
termasuk kapsul posterior. Saat ini teknik tersebut sudah mulai ditinggalkan

22
karena tingginya kejadian komplikasi pascaoperasi, seperti ablasio retina,
edema makular sistoid, astigmatisme, robekan iris, dan edema kornea. Selain
itu, diperlukan insisi limbus superior 140-1600 sehingga membutuhkan waktu
penyembuhan yang lebih lama. Teknik ini masih dapat digunakan jika tidak
tersedia fasilitas yang cukup untuk dilakukan teknik ekstraksi katarak
ekstrakapsular.
Operasi ini dapat dilakukan pada beberapa kondisi, yaitu: Pasien katarak
muda, Pasien dengan kelainan endotel, Keratoplasti, Implantasi lensa
intraokular posterior, Implantasi lensa sekunder intraokular, Bedah glaukoma,
Mata dengan predisposisi terjadi prolaps badan kaca, Ablasio retina, Mata
dengan edema makular sistoid, Pencegahan penyulit pada bedah katarak seperti
prolapsnya badan kaca.
Kontraindikasi absolut teknik ini ialah anak-anak dan dewasa muda
dengan katarak dan kasus ruptur kapsular karena trauma. Kontraindikasi relatif
berupa miopia tinggi, sindrom Marfan, dan katarak morgagni.

b. Ekstraksi katarak ekstrakapsular


Pada teknik ini, lensa dikeluarkan bersama kapsul anterior, sedangkan
kapsul posterior ditinggalkan. Oleh sebab itu, terdapat ruang bebas di tempat
bekas lensa yang memungkinkan untuk ditempatkan lensa pengganti (lensa
intraokuler ruang posterior). Insisi dilakukan di limbus atau sebelah perifer
kornea, biasanya di bagian superior (kadang temporal), sedangkan pembukaan
dilakukan di kapsul anterior lalu nukleus dan korteks dikeluarkan dan diganti
dengan lensa intraokular yang ditempatkan di “capsular bag” yang disokong
oleh kapsul posterior.
Pembedahan ini dapat dilakukan pada pasien katarak muda, pasien dengan
kelainan endotel, bersama-sama keratoplasti, implantasi lensa intraokuler
posterior, perencanaan implantasi sekunder lensa intraokuler, bedah glaukoma,
mata dengan presdisposisi terjadinya prolaps badan kaca, riwayat ablasi retina,
edema makular sistoid, dan pascabedah ablasio.

23
Gambar 11. Ekstraksi katarak ekstrakapsular

Keuntungan teknik ini dibandingkan ekstraksi intrakapsular:


‐ Insisi yang lebih kecil meminimalisasi trauma dan waktu penyembuhan
menjadi lebih singkat
‐ Komplikasi aderensi korpus vitreus ke kornea dan iris dapat
diminimalisasi.
‐ Letak anatomis lensa intraokuler yang lebih stabil karena disokong oleh
kapsul posterior
‐ Kapsul posterior yang utuh dapat berperan sebagai sawar terhadap bakteri
dan mikroorganisme yang mungkin masuk saat operasi serta menahan
pertukaran molekul antara akuos humor dan vitreous.

Kekurangan dari teknik ini adalah dapat terjadi opasifikasi sekunder pada
kapsul posterior yang disebut sebagai katarak sekunder. Hal ini dapat diatasi
dengan melakukan discission pada kapsul posterior dengan neodymium: YAG
laser. Letupan energi laser akan menyebabkan letupan kecil di jaringan target
sehingga akan terbentuk lubang kecil di kapsul posterior pada aksis pupil.

24
c. Fakoemulsifikasi

Gambar 12. Fakoemulsifikasi


Fakoemulsifikasi menggunakan vibrator ultrasonik yang berguna untuk
menghancurkan nukleus lensa yang keras sehingga bahan nukleus dan korteks
dapat diaspirasi melalui insisi sebesar + 3mm. Insisi yang sama digunakan
untuk memasukkan lensa intraokular yang dapat dilipat. Jika menggunakan
lensa yang kaku, diperlukan insisi sebesar 5 mm. Keuntungan dari insisi kecil
ini adalah bekas sayatan tidak perlu dijahit, penyembuhan luka lebih cepat
dengan distorsi kornea lebih sedikit, mengurangi inflamasi intraokuler
pascaoperasi, dan pemulihan fungsi visual lebih cepat. Risiko terlepasnya
bahan posterior lensa melalui robekan kapsular posterior dapat dihindari.

d. Operasi katarak pada anak


Tindakan pengobatan pada katarak kongenital adalah operasi. Beberapa
pertimbangan dalam operasi:
‐ Operasi katarak kongenital dilakukan bila refleks fundus tidak tampak
‐ Biasanya bila katarak bersifat total, operasi dapat dilakukan pada usia 2
bulan atau lebih muda bila telah dapat dilakukan pembiusan.

25
Tindakan bedah pada katarak kongenital yang umum dikenal adalah
disisio lensa, ekstraksi linier, atau ekstraksi dengan aspirasi. Pengobatan
katarak kongenital bergantung pada:3
‐ Katarak total bilateral, dilakukan pembedahan secepatnya
‐ Katarak total unilateral, dilakukan pembedahan 6 bulan setelah terlihat
atau segera sebelum terjadi juling, bila terlalu muda akan mudah terjadi
ambliopia jika tidak dilakukan tindakan segera.
‐ Katarak total/kongenital unilateral, dilakukan pembedahan secepatnya
karena prognosis buruk dan mudah terjadi ambliopia. Selanjutnya diberi
kacamata segera dengan latihan bebat mata
‐ Katarak bilateral parsial, pengobatan lebih konservatif sehingga dapat
dicoba dengan midriatika. Pembedahan dilakukan jika ada kekeruhan
progresif serta tanda-tanda juling. Prognosis lebih baik.

2. KOMPLIKASI.10
a. Hilangnya vitreous. Jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama
operasi, gel vitreous dapat masuk ke dalam bilik anterior yang meningkatkan
risiko glaukoma atau traksi pada retina. Oleh sebab itu, dibutuhkan
pengangkatan dengan satu instrumen yang dapat melakukan aspirasi dan
eksisi gel (vitrektomi). Pemasangan lensa intraokuler sesegera mungkin tidak
dapat dilakukan pada kondisi tersebut.
b. Prolaps iris. Iris dapat mengalami protrusi melalui insisi bedah pada periode
pascaoperasi dini. Prolaps iris dapat terlihat sebagai daerah berwarna gelap
pada lokasi insisi. Pupil juga akan mengalami distorsi. Keadaan ini
membutuhkan pembedahan segera untuk perbaikan.
c. Endoftalmitis. Sumber infeksi biasanya idiopatik, diduga flora yang terdapat
pada palpebra sebelah luar, konjungtiva dan aparatus lakrimal. Sumber lain
diduga adalah kontaminasi saat operasi. Dapat diatasi dengan pemberian
pengobatan pra operasi pada infeksi di sekitar mata, desinfeksi yang benar dan
injeksi antibiotik pascaoperasi. Interval waktu antara ekstraksi katarak dengan
onset endolftalmitis berguna dalam memprediksi kemungkinan organisme
penyebab. S. aureus dan organisme gram negatif biasanya timbul antara hari

26
pertama sampai ketiga pasca operasi dengan gejala yang berat. S. epidermidis
antara hari ke-4 sampai ke-10 pasca operasi dengan gejala yang ringan.
Penatalaksanaan dimulai dengan identifikasi organisme penyebab dengan
pemeriksaan sampel akueus dan vitreus. Hasil kultur yang negatif tidak
menyingkirkan diagnosis. Sampel harus diambil dalam ruang operasi.
Endoftalmitis merupakan komplikasi infektif dari ekstraksi katarak yang
serius namun jarang terjadi. Biasanya pasien datang dengan:
‐ Mata merah dan nyeri
‐ Penurunan tajam penglihatan yang terjadi beberapa hari setelah
pembedahan
‐ Hipopion, yaitu pengumpulan sel darah putih di bilik anterior.
d. Astigmatisme pascaoperasi. Mungkin diperlukan pengangkatan jahitan kornea
untuk mengurangi astigmatisme kornea. Pengangkatan jahitan tersebut
dilakukan sebelum melakukan pengukuran kacamata baru namun setelah luka
insisi sembuh dan tetes mata steroid dihentikan. Kelengkungan kornea yang
berlebih dapat terjadi pada garis jahitan yang terlalu erat. Pengangkatan
jahitan akan menyelesaikan masalah ini dan dapat dilakukan dengan mudah di
klinik dengan anestesi lokal dan pasien duduk di depan slit lamp. Jahitan yang
longgar harus segera diangkat untuk mencegah infeksi namun mungkin
diperlukan untuk mencegah infeksi. Akan tetapi, mungkin diperlukan
penjahitan kembali jika penyembuhan lokal insisi tidak sempurna.
Fakoemulsifikasi tanpa jahitan melalui insisi yang kecil tentu saja akan
membuat pasien jauh dari risiko ini. selain itu, penempatan luka
memungkinkan koreksi astigmatisme yang telah ada sebelumnya.
e. Edema makular sistoid. Makula menjadi edema setelah pembedahan, terutama
jika disertai hilangnya vitreous. Keadaan ini dapat membaik sering waktu
namun dapat menyebabkan penurunan visus berat.
f. Ablasio retina. Komplikasi ini makin menurun seiring ditemukannya berbagai
teknik modern dalam ekstraksi katarak. Ablasio retina makin mudah terjadi
pada kehilangan vitreous.
g. Opasifikasi kapsul posterior. Pada 20% pasien, kerjernihan kapsul posterior
berkurang pada beberapa bulan setelah pembedahan ketika sel epitel residu

27
bermigrasi melalui permukaannya. Penglihatan menjadi kabur dan mungkin
terasa silau. Dapat dibuat satu lubang kecil pada kapsul dengan laser
(neodumium yttrium, ndYAG laser) sebagai prosedur klinis rawat jalan.
Terdapat risiko kecil edema makular sistoid atau ablasio retina setelah
kapsulotomi YAG. Kejadian ini dapat dicegah, bergantung pada bahan lensa,
bentuk tepi lensa, dan tumpang tindih lensa intraokuler dengan sebagian kecil
cincin kapsul anterior.
h. Jika jahitan nilon halus tidak diangkat setelah pembedahan, jahitan dapat lepas
dalam beberapa bulan atau tahun setelah pembedahan, mengakibatkan iritasi
atau infeksi. Gejala hilang dengan pengangkatan jahitan.

3. PENCEGAHAN
Umumnya katarak terjadi bersamaan dengan bertambahnya umur yang
tidak dapat dicegah. Pemeriksaan mata secara teratur sangat perlu untuk
mengetahui adanya katarak. Bila telah berusia 60 tahun sebaiknya mata diperiksa
setiap tahun. Pencegahan utama adalah mengontrol penyakit yang berhubungan
dengan katarak dan menghindari faktor-faktor yang mempercepat terbentuknya
katarak :
a. Menggunakan kaca mata hitam ketika berada di luar ruangan pada siang hari
bisa mengurangi jumlah sinar ultraviolet (UV) yang masuk ke dalam mata.
b. Berhenti merokok bisa mengurangi resiko terjadinya katarak.
c. Katarak dapat dicegah, di antaranya dengan menjaga kadar gula darah selalu
normal pada penderita diabetes mellitus.

4. PROGNOSIS
Prognosis penglihatan untuk pasien anak-anak yang memerlukan
pembedahan tidak sebaik prognosis untuk pasien katarak senilis. Adanya
ambliopia dan kadang-kadang anomali saraf optikus atau retina membatasi tingkat
pencapaian pengelihatan pada kelompok pasien ini. Prognosis untuk perbaikan
ketajaman pengelihatan setelah operasi paling buruk pada katarak kongenital
unilateral dan paling baik pada katarak kongenital bilateral inkomplit yang
proresif lambat.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury's general ophthalmology.


16th ed. USA: McGraw-Hill Companies. 2004.
2. Lang GK. Ophtalmology. New York: Thieme. 2000
3. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Ed 3. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2010
4. Murrill, CA, Stanfield DL, VanBrocklin MD, Bailey IL, DenBeste BP, Dilorio
RC, et al. Optometric Clinical Practice Guideline: Care of the Adult Patient
with Cataract. USA: American Optometric Association. 2004
5. American College of Eye Surgeons. Guidelines for Cataract Practice. Diunduh
dari http://www.aces-abes.org/guidelines_for_cataract_practice.htm. 3 April
2011 pukul 12.00
6. Bashour M. Cataract, Congenital. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com. 3 April 2011 pukul 12.00
7. Al Ghozie, Mutasimbillah. Handbook of Ophtalmology: A Guide to Medical
Examination. 2002.
8. Shock JP, Harper RA. Lensa. Dalam: Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P,
editor. Oftalmologi Umum Ed 14. Jakarta: Widyamedika. 2000.
9. Lukitasari, Arti. Peran N-Asetil Sistein dalam Menghambat Kerusakan Lensa
Diabetik. Diunduh dari http://www.adln.lib.unair.ac.id/print.php?id=gdlhub-
gdl-s3-2009-lukitasari-
11074&PHPSESSID=9a70b6a1c07975fa549b6056f57be1ae. 3 April 2011
pukul 14.00 WIB.
10. Kansky JJ, editor. Clinical ophtalmology a sistemic approach. 3 Rev ed.
Oxford: Butterworth Heinamann Ltd. 1994.
11. Ocampo VV. Cataract Senile. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1210914-overview. 3 April 2011 pukul
14.00 WIB.
12. Bruce J, Chris C, Anthony B. Lecture Notes Oftalmologi. Edisi Kesembilan.
Jakarta: Penerbit Erlangga. 2002.
13. Wijana, Nana S.D. Ilmu Penyakit Mata. Ed. 6. Penerbit Abadi Tegal: Jakarta.
1993.

29

Anda mungkin juga menyukai