Oleh:
112019011
Pembimbing :
Pembimbing
Puji dan syukur saya naikkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Ada pun makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas kewajiban dalam rangka Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Makalah ini dibuat dengan melalui pendekatan kedokteran secara keluarga. Semoga
laporan makalah yang saya buat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca. Akhir
kata, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bimbingan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan makalah ini kepada DR. dr. Aris
Susanto MS,Sp.OK dan semua pihak yang turut membantu dalam terselesainya makalah ini.
Saya juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah yang saya buat
ini, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun sehingga di
masa mendatang dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi.
Secara umum pelayanan kesehatan dibagi dua yaitu pelayanan kesehatan personal atau
pelayanan kedokteran dan pelayanan kesehatan lingkungan atau pelayanan kesehatan
masyarakat. Sasaran kedua pelayanan ini berbeda, sasaran utama pelayanan kedokteran
adalah perseorangan dan keluarga. Sedangkan sasaran utama pelayanan kesehatan masyarakat
adalah kelompok dan masyarakat. Pelayanan kedokteran yang sasaran utamanya adalah
keluarga disebut dengan nama pelayanan dokter keluarga.
Dalam Epidemiologi pengertian penyebab timbulnya penyakit adalah suatu proses
interaksi antara: Pejamu (host), Penyebab (agent), dan Lingkungan (environment). Hendrik L.
Blum, menggambarkannya sebagai hubungan antara 4 faktor yaitu keturunan, lingkungan,
perilaku dan pelayanan kesehatan.
Menurut Leave and Clark, keuda bentuk pelayanan kesehatan ini mempunyai ciri-ciri
tersendiri. Jika pelayanan kesehatan tersebut terutama ditujukan untuk menyembuhkan
penyakit (curative) dan memulihkan kesehatan (rehabilitative) disebut dengan nama
pelayanan kedokteran. Sedangkan jika pelayanan kesehatan tersebut terutama ditujukan untuk
meningkatkan kesehatan (promotive) dan mencegah penyakit (preventive) disebut dengan
nama pelayanan kesehatan masyarakat.
Terwujudnya keadaan sehat merupakan kehendak semua pihak. Tidak hanya oleh
orang perorang atau keluarga, tetapi juga oleh kelompok dan bahkan oleh seluruh anggota
masyarakat. Adapun yang dimaksudkan dengan sehat disini ialah keadaan sejahterah dari
badan,jiwa, sosial yang memungkinkan setiap orang hisup produktif secara sosial dan
ekonomi.
Termasuk kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang
signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35
juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta
47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan
sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah
yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk
jangka panjang.1
Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang
ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas
mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan
prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau
sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.1
Skizofrenia termasuk jenis psikosis yang menempati urutan atas dari seluruh gangguan
jiwa yang ada. Selain karena angka insidennya di dunia cukup tinggi yakni satu per seribu,
hampir 80% penderita skizofrenia juga mengalami kekambuhan secara berulang.2
Skizofrenia yang menyerang kurang lebih 1 persen populasi, biasanya bermula di bawa
umur 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenal orang dari semua kelas sosial. Baik
pasien maupun keluarga sering mendapatkan pelayanaan yang buruk dan pengasingan sosial
karena ketidaktahuan yang meluas akan gangguan ini. Meski didiskusikan seolah-olah sebagai
suatu penyakit tunggal, skizofrenia mungkin terdiri dari sekumpulan gangguan dengan
etiologi yang heterogen dan mencakup pasien dengan presentasi klinis, respons terhadap
terapi, dan perjalanan penyakit yang bervariasi. Klinisi seyogianya menyadari bahwa
diagnosis skizofrenia sepenuhnya didasarkan pada riwayat psikiatri dan pemeriksaan status
mental. Tidak ada uji laboratorium untuk skizofrenia.3
Bab II
Tinjauan Pustaka
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):4,12
a. “thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda atau “thought insertion or withdrawal”
yang merupakan isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya
(insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(withdrawal); dan “thought broadcasting”, yaitu isi pikiranya tersiar keluar
sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
b. “delusion of control”, adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar atau “delusion of passivitiy” merupaka
waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan
dari luar; (tentang ”dirinya” diartikan secara jelas merujuk kepergerakan
tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus),
atau “delusional perception”yang merupakan pengalaman indrawi yang
tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat
mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik yang didefinisikan dalam 3 kondisi dibawah ini:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian
tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
mahluk asing dan dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :4
e. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme;
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
h. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal).4
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat
sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri
secara sosial.4
2. Skizofrenia Hebefrenik
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia hebefrenik dapat didiganosis apabila
terdapat ciri-ciri berikut :4
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenikbiasanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda
(onset biasanya mulai 15-25 tahun)..
Untuk diagnosis hebefrenik yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai
oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum
sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner),
tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau
(pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang
(reiterated phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling)
serta inkoheren.
- Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak
menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan
kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran
ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu
perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya
suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama,
filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan
pikiran pasien.
3. Skizofrenia Katatonik
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis apabila terdapat
butir-butir berikut :4
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :
- Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
- Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang
tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
- Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
- Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan
kearah yang berlawanan);
- Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
upaya menggerakkan dirinya);
- Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak
dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
- Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-
kalimat.
- Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda
sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala
lain.
- Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan
petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat
dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan
obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
5. Depresi Pasca-skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :4
Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum
skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya); dan
Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit
2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi
episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol,
diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
6. Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua :4
Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan
inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal
yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi
tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang
(minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia;
Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi
kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative tersebut.
7. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :4
a. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan disertai
dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi
sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan
hidup, dan penarikan diri secara sosial.
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia
lainnya.
- secara relatif tidak nyata / tidak menonjol.4
2.4 Epidemiologi
3. Distribusi Geografik
Skizofrenia tidak terdistribusi secara merata di seluruh penjuru Amerika Serikat
maupun dunia. Secara historis, prevalensi skizofrenia di bagian timur laut dan
barat Amerika Serikat lebih besar daripada di daerah lain, meski distribusi yang
tidak merata ini telah terkikis. Sejumlah regio geografis bumi, seperti Irlandia,
memiliki prevalensi skizofrenia yang luar biasa tinggi, dan penelitian
menginterpretasikan kantung skizofrenia geografis ini sebagai kemungkinan
dukungan terhadap teori kausa skizofrenia infektif (contohnya, viral).5
4. Faktor Reproduktif
Penggunaan obat psikoterapeutik, kebijakan terbuka di rumah sakit,
deinstitusionalisasi di rumah sakit, dan perawatan berbasis masyarakat untuk
pasien skizofrenia, semuanya telah menyebabkan peningkatan angka pernikahan
dan kesuburan di antara pasien skizofrenia. Akibat faktor tersebut, jumlah anak
yang dilahirkan dari orang tua skizofrenik terus meningkat. Angka kesuburan
pasien skizofrenik mendekati angka populasi umum. Terdapat hubungan antara
angka kesuburan dengan tramisi genetik. Keluarga biologi derajat pertama pasien
skizofrenik memiliki resiko terkena penyakit sepuluh kali lebih besar dibanding
populasi umum.5
5. Penyakit Medis
Orang dengan skizofrenia memiliki angka kematian akibat kecelakaan dan
penyebab alami yang lebih tinggi dari pada populasi umum. Sejumlah studi
menunjukkan bahwa hingga 80 persen dari semua pasien skizofrenik mengalami
penyakit medis yang signifikan pada saat bersamaan dan bahwa hingga 50 persen
kondisi ini mungkin tidak terdiagnosis.5
7. Penggunaan Zat
Sejumlah studi melaporkan bahwa merokok kretek dikaitkan dengan penggunaan
obat antipsikotik dalam dosis yang lebih tinggi, mungkin karena merokok kretek
meningkatkan laju metabolisme obat-obatan tersebut. Di lain pihak, merokok
kretek dikaitkan dengan penurunan parkinsonisme terkait obat antipsikotik,
mungkin karena aktivitasi neuron dopamin yang bergantung nikotin. Studi terkini
menunjukkan bahwa nikotin dapat menurunkan gejala positif, seperti halusinasi,
pada pasien skizofrenik karena efeknya terhadap reseptor nikotin di otak yang
mengurangi persepsi stimulus luar, khususnya bising. Komorbiditas skizofrenia
dengan gangguan terkait zat lain lazim dijumpai, meski dampak penyalahgunaan
obat pada pasien skizofrenik masih belum jelas. Kurang lebih 30 sampai 50 persen
pasien skizofrenia mungkin memenuhi kriteria penyalahgunaan atau
ketergantungan alkohol, dua zat lain yang paling sering digunakan adalah kanabis
dan kokain. Pasien melaporkan bahwa dirinya menggunakan zat tersebut untuk
memenuhi kenikmatan dan mengurangi depresi dan ansietas. 5,11,12
8. Faktor Populasi
Prevalensi skizofrenia senantiasa berkorelasi dengan kepadatan populasi lokal di
kota dengan populasi lebih dari 1 juta orang. Efek kepadatan penduduk sejalan
dengan pengalaman bahwa insiden skizofrenia pada anak dengan salah satu atau
kedua orangtua skizofrenik dua kali lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di
masyarakat perdesaan. 5
2.5 Etiologi
1. Model Diatesis-Stres
Menurut model diatesis-stres terhadap integrasi faktor biologis, psikososial dan
lingkungan, seseorang mungkin memiliki kerentanan spesifik (diatesis) yang, bila
diaktifkan oleh pengaruh yang penuh tekanan, memungkinkan timbulnya gejala
skizofrenia. Pada model diatesis-stres yang paling umum, diatesis atau stres dapat
berupa stres biologis, lingkungan, atau keduanya. Komponen lingkungan dapat
bersifat biologis (contohnya, infeksi) atau psikologis (contohnya, situasi keluarga yang
penuh tekanan atau kematian kerabat dekat). Dasar biologis diatesis dapat terbentuk
lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres psikososial,
dan trauma.5,6
2. Faktor Genetik
Serangkainan studi genetik secara meyakinkan mengusulkan adanya komponen
genetik dalam pewarisan sifat skizofrenia. Pada tahun 1930-an, studi klasik mengenai
genetika skizofrenia menunjukkan bahwa seseorang memiliki kecendrungan menderita
skizofrenia bila terdapat anggota keluarga yang mengidap gangguan tersebut dan
kecendrungan seseorang mengalami skizofrenia berkaitan dengan dekatnya
hubungannya (sebagai contoh, kerabat derajat pertama atau kedua). Kembar
monozigotik memiliki angka kejadian bersama yang paling tinggi. Pada studi terdapat
kembar monozigotik yang diadopsi, kembar dibesarkan orangtua asuh tampak
mengalami skizofrenia dalam jumlah yang sama dengan kembarannya yang
dibesarkan orangtua biologisnya. Temuan ini mengemukakan bahwa pengaruh genetik
lebih besar daripada pengaruh lingkungan, suatu temuan yang dikuatkan dengan
pengamatan bahwa semakin parah skizofrenianya, semakin besar kemungkinan
kembarannya mengalami gangguan yang sama. Satu studi menyokong model diatesis-
stres dan menunjukkan bahwa kembaran monozigotik yang diadopsi dan kemudian
mengaami skizofrenia ternyata sangat mungkin merupakan anak yang diadopsi
keluarga yang memiliki gangguan psikologis. Telah banyak dilaporkan adanya
hubungan antara lokasi kromosom dan skizofrenia sejak penerapan teknik biologi
molekuler dilakukan secara luas. Lebih dari separuh dari seluruh kromosom dikaitkan
dengan skizofrenia pada berbagai laporan, namun lebih panjang kromosom 5,11, dan
18, lengan pendek kromosom 19, serta kromosom X paling sering disebut. Lokus pada
kromosom 6,8, dan 22 dianggap terlibat. Literatur tersebut paling baik dirangkum
sebagai indikasi adanya potensi dasar genetik yang heterogen untuk skizofrenia.7
3. Faktor Psikososial
Jika skozofrenia merupakan penyakit otak, maka penyakit ini mungkin sejalan dengan
penyakit organ lain (contohnya, infark miokardium dan diabetes) yang perjalanan
penyakitnya dipengaruhi stres psikososial. Seperti halnya penyakit kronis lain
(misalnya, penyakit paru kongestif kronik), terapi obat sendiri jarang memadai untuk
memperoleh perbaikan klinis maksimal. Oleh sebab itu, klinis sebaiknya
mempertimbangkan faktor psikososial yang mempengaruhi skizofrenia. Meskipun,
secara historis, para pembuat teori menyatakan faktor psikososial berperan dalam
terjadinya skizofrenia, klinis masa sekarang dapat memanfaatkan penggunaan teori
dan pedoman yang relevan yang dibuat berdasarkan pengamatan dan hipostesis di
masa lampau ini.7
2.6 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Neurologis
Selama proses anamnesis pada kasus tersebut, tingkat kesadaran dan atensi pasien
terhadap detil pemeriksaan, pemahaman, ekspresi wajah, cara bicara, postur, dan cara
berjalan perlu diperhatikan. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk dua tujuan.
Tujuan pertama dicapai melalui pemeriksaan neurologis rutin, yaitu terutama
dirancang untuk mengungkap asimetri fungsi motorik, persepsi, dan refleks pada
kedua sisi tubuh yang disebabkan oleh penyakit hemisferik fokal. Tujuan kedua
tercapai dengan mencari untuk memperoleh tanda yang selama ini dikaitkan dengan
disfungsi otak difus atau penyakit lobus frontal. Tanda ini meliputi refleks mengisap,
mencucur, palmomental, dan refleks genggam serta menetapnya respons terhadap
ketukan di dahi. Sayangnya, kecuali refleks genggam, tanda seperti itu tidak
berkaitan erat dengan patologi otak yang mendasari.8
2. Status mental
Deskripsi keadaan umum8,9
o Penampilan
Postur, pembawaan, pakaian, dan kerapihan. Penampilan pasien
skizofrenia dapat berkisar dari orang yang sangat berantakan, menjerit-
jerit, dan teragitasi hingga orang yang terobsesi tampil rapi, sangat
pendiam, dan imobil.
Pasien dapat memiliki ide yang sangat banyak atau justru miskin ide. Dapat terjadi
proses pikir yang cepat, yang bila berlangsung sangat ekstrim, disebut flight of
ideas. Seorang pasien juga dapat menunjukkan cara berpikir yang lambat atau
tertahan. Gangguan kontinuitas pikir meliputi pernyataan yang bersifat tangensial,
sirkumstansial, meracau, suka mengelak, atau perseveratif.
Bloking adalah suatu interupsi pada jalan pemikiran sebelum suatu ide selesai
diungkapkan. Sirkumstansial mengisyaratkan hilangnya kemampuan berpikir yang
mengarah ke tujuan dalam mengemukakan suatu ide, pasien menyertakan banyak
detail yang tidak relevan dan komentar tambahan namun pada akhirnya mampu ke
ide semula. Tangensialitas merupakan suatu gangguan berupa hilangnya benang
merah pembicaraan pada seorang pasien dan kemudian ia mengikuti pikiran
tangensial yang dirangsang oleh berbagai stimulus eksternal atau internal yang
tidak relevan dan tidak pernah kembali ke ide semula. Gangguan proses pikir dapat
tercermin dari word salad (hubungan antarpemikiran yang tidak dapat dipahami
atau inkoheren), clang association (asosiasi berdasarkan rima), punning (asosiasi
berdasarkan makna ganda), dan neologisme (kata-kata baru yang diciptakan oleh
pasien melalui kombinasi atau pemadatan kata-kata lain).
- Isi pikir
Gangguan isi pikir meliputi waham, preokupasi, obsesi, kompulsi, fobia, rencana,
niat, ide berulang mengenai bunuh diri atau pembunuhan, gejala hipokondriakal,
dan kecenderungan antisosial tertentu.
Sensorium dan kognisi14,15
Pemeriksaan ini berusaha mengkaji fungsi organik otak dan inteligensi pasien,
kemampuan berpikir abstrak, serta derajat tilikan dan daya nilai.
- Kesadaran
- Pasien diminta untuk menyalin suatu gambar, misalnya bagian depan jam
dinding atau segilima bertumpuk.
- Pikiran abstrak
Realiabilitas
Kesan psikiater tentang sejauh mana pasien dapat dipercaya dan kemampuan untuk
melaporkan keadaanya secara akurat. Contohnya, bila pasien terbuka mengenai
penyalahgunaan obat tertentu secara aktif mengenai keadaan yang menurut pasien
dapat berpengaruh buruk (mislnya, bermasalah dengan hukum), psikiater dapat
memperkirakan bahwa realiabilitas pasien adalah baik.2,3
3. Pemeriksaan tambahan
Tes psikologis: tes inteligensi, tes kepribadian, tes ketangkasan atau bakat, dan tes
neuropsikologis.
Tes inteligensi
Dapat ditentukan HI (hasil bagi inteligensi) atau IQ (Intelligence Quotient) sebagai
suatu cara numerik untuk menyatakan taraf inteligensi. Rumusnya sebagai berikut:
Umur mental
HI= ------------------------- x 100
Umur kalender
Umur mental didapat dari tes inteligensi. Umur kalender diambil paling tinggi 15
(biarpun sebenarnya lebih), karena tes inteligensi yang ada sekarang sukar untuk
mengukur perbedaan inteligensi di atas umur 15 tahun.
Tes kepribadian
Tes kepribadian lebih sukar dibuat, dipakai dan dinilai sehingga reliabilitas dan
validitas kurang dari tes inteligensi. Hal ini disebabkan antara lain karena begitu
banyaknya sifat kepribadian manusia dan sukarnya mencari parameter atau indikatro
yang tepat dan dapat diukur untuk suatu sifat kepribadian tertentu. Kepribadian adalah
keseluruhan perilaku manusia atau perannya dalam hubungan antar manusia,
pribadinya dapat dibedakan dari pribadi lain. Peran ini bukan saja perilaku yang nyata,
tetapi juga sikap internal, kecenderungan bertindak dan hambatan. Kepribadian dapat
dievaluasi dengan cara observasi, wawancara, atau melalui daftar pertanyaan, tes
melengkapi kalimat atau tes proyeksi.
Tes neuropsikologis
Tes neuropsikologis merupakan tes yang mempelajari hubungan antara otak dan
perilaku dengan menggunakan prosedur tes yang terstandarisasi dan objektif. Tes ini
menguji kemampuan kognitif. Tujuan tes neuropsikologis adalah identifikasi,
kuantifikasi, dan deskripsi perubahan kognitif dan perilaku yang disebabkan oleh
disfungsi otak. Dalam hal ini, ranah (domain) yang dievaluasi adalah kemampuan
berbahasa, memori, penalaran dan pertimbangan intelektual, fungsi visual-motor,
fungsi sensori-perseptual, dan fungsi motorik.2,3
Pembahasan tanda dan gejala klinis skizofrenia mencuat tiga isu utama.
Pertama, tidak ada tanda atau gejala yang patognomonik untuk skizofrenia; tiap gejala
atau yang tampak pada skizofrenia dapat terjadi pada gangguan psikiatrik dan
neurologis lain. Pengamatan ini bersifat diagnostik untuk skizofrenia. Oleh sebab itu,
riwayat pasien esensial untuk diagnosis skizofrenia; klinis tidak dapat mendiagnosis
skizofrenia hanya berdasarkan pemeriksaan status mental saja, yang hasilnya dapat
bervariasi. Kedua, gejala pasien dapat berubah seiring berjalannya waktu. Sebagai
contoh, seorang pasien mungkin mengalami halusinasi intermiten dan kemampuan
yang beragam untuk tampil secara memadai pada situasi sosial, atau gejala gangguan
mood yang signifikan dapat datang dan pergi selama perjalanan penyakit skizofrenia.
Ketiga, klinis harus mempertimbangkan tingkat pendidikan pasien, kemampuan
intelektual, serta keanggotaan kultural dan subkultural. Kemampuan yang terganggu
untuk memahami konsep abstrak, contohnya, dapat mencerminkan tingkat pendidikan
pasien maupun intelegensinya. Organisasi religius dan sekte mungkin memiliki adat
istiadat yang tampak aneh bagi orang luar namun normal bagi mereka yang berada
dalam situasi kultural tersebut.3,16
1. Medika mentosa
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan
gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama:
antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin.
a. Antagonis Reseptor Dopamin
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama
terhadap gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama.
Pertama, hanya presentase kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat
memulihkan fungsi mental normal secara bermakna. Kedua, antagonis reseptor
dopamin dikaitkan dengan efek samping yang mengganggu dan serius. Efek
yang paling sering mengganggu aalah akatisia adan gejala lir-parkinsonian
berupa rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda
dan sindrom neuroleptik maligna.
b. Antagonis Serotonin-Dopamin
SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal ayng minimal atau tidak ada,
berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding
antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun
glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek samping neurologis dan
endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih efektif dalam menangani gejala
negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut sebagai obat antipsikotik atipikal
ini tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas
dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang tipikal.
Golongan ini setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala
positif skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit,
bila ada, menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Beberapa SDA yang telah
disetujui di antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol,
kuetiapin, dan ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan
antagonis reseptor dopamin, sebagai obat lini pertama untuk penanganan
skizofrenia.
Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen antipsikotik, pada
subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood ditambah penggunaan
antipsikotik. Pada banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan mengobati keadaan
skizofrenia.5,6,7
Tab. 200 mg
b. Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya berfokus pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok dapat
berorientasi perilaku, psikodinamis atau berorientasi tilikan, atau suportif.
d. Psikoterapi individual
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk membangun
hubungan terapeutik sehingga pasien merasa aman. Reliabilitas terapis, jarak
emosional antaraterapis dengan pasien, serta ketulusan terapis sebagaimana
yang diartikan oleh pasien, semuanya mempengaruhi pengalaman terapeutik.
Psikoterapi untuk pasien skizofrenia sebaiknya dipertimbangkan untuk
dilakukan dalamm jangka waktu dekade, dan bukannya beberapa sesi, bulan,
atau bahakan tahun. Beberapa klinisi dan peneliti menekankan bahwa
kemampuan pasien skizofrenia utnuk membentuk aliansi terapeutik dengan
terapis dapat meramalkan hasil akhir. Pasien skizofrenia yang mampu
membentuk aliansi terapeutik yang baik cenderung bertahan dalam psikoterapi,
terapi patuh pada pengobatan, serta memiliki hasil akhir yang baik pada
evaluasi tindak lanjut 2 tahun. Tipe psikoterapi fleksibel yang disebut terapi
personal merupakan bentuk penanganan individual untuk pasien skizofrenia
yang baru-baru ini terbentuk. Tujuannya adalah meningkatkan penyesuaian
personal dan sosial serta mencegah terjadinya relaps. Terapi ini merupakan
metode pilihan menggunakan keterampilan sosial dan latihan relaksasi,
psikoedukasi, refleksi diri, kesadaran diri, serta eksplorasi kerentanan individu
terhadap stress. 20
2.10 Komplikasi
Beberapa individu yang mengalami skizofrenia dapat terkena stroke dan
mengalami kerusakan otak, yang tidak disadarinya. Kurangnya kesadaran tentang
skizofrenia dan penyakit manik-depresi merupakan keadaan biasa dialami penderita yang
tidak memperhatikan pengobatannya. Terdapat pula komplikasi sosial, dimana penderita
dikucilkan oleh masyarakat. Setelah itu dapat juga menjadi korban kekerasan dan melukai
diri sendiri. Pada komplikasi depresi, penderita dapat melakukan tindakan bunuh diri.
Disamping bunuh diri karena depresi dan halusinasi, penderita skizofrenia yang tadinya
tidak merokok, banyak menjadi perokok berat ini diperkirakan karena faktor obat, yang
memblok satu reseptor dalam otak (nikotin). Reseptor nikotin yang menimbulkan rasa
senang, pikiran jernih, mudah menangkap sesuatu. Akibatnya penderita skizofrenia
mencari kompensasi dengan mengambil nikotin dari luar, dari rokok. Dan resiko dari
perokok memperpendek usia, karena adanya penyakit saluran pernapasan, kanker,
jantung, dan penyakit fisik lainnya. Kemudian, dengan penggunaan antipsikotik, ada
tekanan terhadap hormon estrogen, testosteron, dan hormon-hormon tersebut memproteksi
tulang sehingga dapat terjadi osteoporosis.8,9,10
2.11 Prognosis
Pada beberapa studi kasus menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun
setelah rawat inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-20% persen
yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih dari 50% pasien dapat
digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat inap berulang, eksaserbasi
gejala, episode gangguan mood mayor, dan percobaan bunuh diri. Namun, skizofrenia
tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dan sejumlah faktor dikaitkan
dengan prognosis yang baik. Angka pemulihan yang dilaporkan berkisar dari 10-60%, dan
taksiran yang masuk akal adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami gejala sedang,
dan 40-60% pasien tetap mengalami hendaya secara signifikan akibat gangguan tersebut
selama hidup mereka.8
2.12 Pencegahan
Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak bisa
dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini penting,
terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini, bila telah
didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah terjadinya
gejala skizofrenia berkelanjutan.
Bab III
V. Spiritual Keluarga
a. Ketaatan beribadah : Baik
b. Keyakinan terhadap kesehatan : Baik
Keterangan:
= Laki-laki hidup
= Laki-laki meninggal
= Perempuan hidup
= Perempuan meninggal
= Pasien
= Tinggal serumah
IX. Keluhan Utama
Sering melihat bayangan juga merasa ada yang mengintip dan hendak menjahati
dirinya sejak 4 tahun lalu.
X. Keluhan Tambahan
Sering melamun,marah-marah, mengamuk, dan mau melarikan diri dari rumah.
Pemeriksaan Umum
Kepala : Normosefali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Telinga : Normotia, serumen +/+
Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, Septum deviasi –
Bibir : Merah muda, tidak kering, sianosis (-)
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB dan kelenjar tiroid
Paru : Suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung : Bunyi jantung I-II murni reguler, murmur -, gallop –
Abdomen : Tampak datar, teraba supel, nyeri tekan (-), timpani,
bising usus normal
Ekstremitas : Akral hangat +/+ (pada ekstremitas atas dan bawah), bengkak -/-
Kulit : Turgor kulit baik
Status Motorik
Superior Inferior
Pemeriksaan
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Tonus Otot (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal
Atrofi Otot (-) (-) (-) (-)
Refleks Fisiologis (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal
Refleks Patologis (-) (-) (-) (-)
Sensibilitas (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal
Status Mental
a. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Pasien tampak sehat, berpakaian rapi sesuai dengan usianya. Rambut pasien
pendek. Wajah pasien sesuai dengan usianya, kontak mata dengan pemeriksa baik.
Gigi pasien terlihat lengkap.
2. Kesadaran
a. Kesadaran sensorium / neurologik : Compos mentis
b. Kesadaran Psikiatrik : tidak tampak terganggu
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor
Sebelum wawancara : pasien sedang duduk di ruang tamu rumah
Selama wawancara : pasien kurang kooperatif dan kurang mau menjawab
pertanyaan yang di ajukan.
Sesudah wawancara : Pasien kembali melamun
4. Sikap terhadap pemeriksa : tidak kooperatif dan pertanyaan yang diajukan tidak
mau dijawab.
5. Pembicaraan :
A. Cara berbicara : Spontan, intonasi baik, volume cukup, dan artikulasi
tidak jelas.
B. Gangguan berbicara : tidak ada.
d.Gangguan Persepsi
6. Daya ingat
a. Tingkat
Jangka panjang : tidak bisa dinilai
Jangka pendek : tidak bisa dinilai
Segera : tidak bisa dinilai
b. Gangguan : Tidak ada
7. Pikiran abstraktif : tidak bisa dinilai
8. Visuospatial : tidak bisa dinilai
9. Bakat kreatif : tidak diketahui
10. Kemampuan menolong diri sendiri : Baik (pasien dapat makan, mandi, dan
berpakaian sendiri)
f. Proses Pikir
1. Bentuk pikir
Produktivitas : tidak bisa dinilai
Kontinuitas : tidak relevan
Hendaya Bahasa : tidak ada
2. Isi pikir
Preokupasi : Tidak ada
Waham : Ada (waham dikendalikan)
Obsesi : Tidak ada
Fobia : Tidak ada
Gagasan rujukan : Tidak ada
Gagasan pengaruh: Tidak ada
IX. Tilikan
Tilikan derajat 4, Menghayati bahwa sakitnya berkaitan dengan hal yang tidak
diketahui di dalam diri pasien.
X. Formulasi Diagnostik
Aksis I: Berdasarkan ikhtisar penemuan bermakna, maka kasus ini termasuk
gangguan jiwa karena adanya:
1. Gangguan kejiwaan karena pernah adanya :
Gejala Psikosis kejiwaan berupa: halusinasi visual dan auditorik, waham
dikendalikan
2. Gangguan ini sebagai Gangguan Mental Non Organik (GMNO) karena tidak
adanya:
Gangguan kesadaran (pasien kompos mentis)
Gangguan kognitif (orientasi dan memori)
Gangguan fungsi intelektual
Kelainan faktor organik spesifik
Harus ada sedikitinya satu dari antara gejala berikut yang jelas:
Diagnosis Kerja:
Aksis II :
Tidak ditemukan adanya gangguan kepribadian dan retardasi mental
Aksis III :
Tidak ditemukan adanya gangguan pada kondisi medik umum
Aksis IV :
Tidak diketahui dengan jelas stressor pada pasien
Aksis V :
Global Assessment of Functioning (GAF) Scale 60-51 gejala sedang (Moderate)
disabilitas sedang.
XI. Evaluasi Multiaksial
Aksis 1 : WD = F20.0 Skizofrenia Paranoid.
DD= F20.6. Skizofrenia Simpleks.
F23.2 Gangguan Psikotik Lir-Skizofrenia
Aksis II : Tidak ada gangguan pada kondisi medik umum.
Aksis III : Tidak ada gangguan pada kondisi medik umum.
Aksis IV : Tidak ditemukan adanya gangguan pada kondisi medik umum.
Aksis V : Global Assessment of Functioning (GAF) Scale 60-51 gejala sedang
(Moderate) disabilitas sedang.
Preventif
Meminta keluarga pasien untuk menjalankan gaya hidup yang sehat dengan
mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna, mengolah makanan secara
bersih, sering mencuci tangan dengan sabun dan tidak jajan sembarangan,
memasak air hingga mendidih sebelum diminum.
Kuratif
Terapi medikamentosa :
R/ Clozapine tab 25 mg
S1 dd1
R/ Olanzapine tab 5 mg
S2 dd 1
R/Trihexyphenidyl HCl tab 2 mg
S1 dd 1
Terapi non-medikamentosa :
XIII. Prognosis
Qua ad vitam : dubia ad bonam
Qua ad fungsionam : dubia ad bonam
Qua ad sanactionam : dubia ad malam
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
4.2.1 Dokter Keluarga
Membuat jadwal secara tertulis untuk melakukan kunjungan rumah pada pasien
dengan gangguan kesehatan jiwa, khususnya gangguan jiwa berat, minimal 1
kali/bulan. Meningkatkan pengawasan dalam pencatatan dan pelaporan pasien
gangguan jiwa
4.2.2 Pasien
Edukasi pada pasien dan keluarga tentang pengetahuan penyakit skizofrenia, untuk
memantau pasien dalam meminum obat secara teratur, jangan putus obat dan rutin
control sesuai jadwal yang diberikan oleh dokter serta untuk selalu ada untuk pasien,
dan tidak meninggalkan pasien sendirian dan perbanyak rekreasi yang dapat
membahagiakan
Bab V
Daftar Pustaka
43
11. Stahl SM. Beyond the dopamine hypothesis of schizophrenia to three neural networks of
psychosis: dopamine, serotonin, and glutamate. CNS Spectr. 2018;23:187–91.
12. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. Indonesia;
2015. Available from:
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02 -MENKES-
73- 2015_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Jiwa_.pdf-diakses September
2021
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Konsensus Penatalaksanaan
Gangguan Skizofrenia. Jakarta: PDSKJI; 2011.
14. Agustia S, Sabrian F, Woferst R. Hubungan Gaya Hidup dengan Fungsi Kognitif Pada
Lansia. J Online Mhs Progr Stud Ilmu Keperawatan Univ Riau. 2014;1(2):1–8.
15. Theresa RM, Trihandini I. Hubungan Antara Fungsi Kognitif dengan Tingkat
Kemandirian dan Kualitas Hidup Warga Usia Lanjut. Bina Widya. 2013;24(3):139–44.
16. Kurnia FYP. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kekambuhan pada
Pasien Skizofrenia di Poli Psikiatri RSD dr. Soebandi Jember. Universitas Jember; 2015.
17. Pagehgiri TP. Gambaran Profil Aspek Intelektual Penderita Skizofrenia Berdasarkan Tes
Rorschach. 2002;
18. Kipps CM, Hodges JR, Hodges JR. Cognitive Assessment for Clinician. J Neurol
Neurosurg Psychiatry. 2005;76.
19. Tanaka T, Tomotake M, Ueoka Y, Kaneda Y, Taniguchi K, Nakataki M, et al. Cognitive
dysfunction in schizophrenia. Psychiatry Clin Neurosci. 2012;66:491–8.
20. Cadena EJ, White DM, Kraguljac N V., Reid MA, Jindal R, Pixley RM, et al. Cognitive
control network dysconnectivity and response to antipsychotic treatment in
schizophrenia. Schizophr Res. 2019;204:262–70.
44
LAMPIRAN FOTO
45
Foto 4. kamar pasien
46
Foto 7. Saat Pasien bersembunyi karena merasa takut
47