Anda di halaman 1dari 47

Laporan Kasus Skizofrenia Dengan Pendekatan Dokter Keluarga

Oleh:

David Christian Ronaldtho

112019011

Pembimbing :

Dr. dr Aris Susanto MS Sp.OK

Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Periode 13 September 2021 – 20 November 2021

Jakarta, September 2021


Lembar Pengesahan

Pembimbing

Dr. dr. Aris Susanto MS Sp.OK


Kata Pengantar

Puji dan syukur saya naikkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Ada pun makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas kewajiban dalam rangka Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.

Makalah ini dibuat dengan melalui pendekatan kedokteran secara keluarga. Semoga
laporan makalah yang saya buat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca. Akhir
kata, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bimbingan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan makalah ini kepada DR. dr. Aris
Susanto MS,Sp.OK dan semua pihak yang turut membantu dalam terselesainya makalah ini.

Saya juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah yang saya buat
ini, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun sehingga di
masa mendatang dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi.

Jakarta, September 2021

David Christian Ronaldtho


Bab I
Pendahuluan

Secara umum pelayanan kesehatan dibagi dua yaitu pelayanan kesehatan personal atau
pelayanan kedokteran dan pelayanan kesehatan lingkungan atau pelayanan kesehatan
masyarakat. Sasaran kedua pelayanan ini berbeda, sasaran utama pelayanan kedokteran
adalah perseorangan dan keluarga. Sedangkan sasaran utama pelayanan kesehatan masyarakat
adalah kelompok dan masyarakat. Pelayanan kedokteran yang sasaran utamanya adalah
keluarga disebut dengan nama pelayanan dokter keluarga.
Dalam Epidemiologi pengertian penyebab timbulnya penyakit adalah suatu proses
interaksi antara: Pejamu (host), Penyebab (agent), dan Lingkungan (environment). Hendrik L.
Blum, menggambarkannya sebagai hubungan antara 4 faktor yaitu keturunan, lingkungan,
perilaku dan pelayanan kesehatan.
Menurut Leave and Clark, keuda bentuk pelayanan kesehatan ini mempunyai ciri-ciri
tersendiri. Jika pelayanan kesehatan tersebut terutama ditujukan untuk menyembuhkan
penyakit (curative) dan memulihkan kesehatan (rehabilitative) disebut dengan nama
pelayanan kedokteran. Sedangkan jika pelayanan kesehatan tersebut terutama ditujukan untuk
meningkatkan kesehatan (promotive) dan mencegah penyakit (preventive) disebut dengan
nama pelayanan kesehatan masyarakat.
Terwujudnya keadaan sehat merupakan kehendak semua pihak. Tidak hanya oleh
orang perorang atau keluarga, tetapi juga oleh kelompok dan bahkan oleh seluruh anggota
masyarakat. Adapun yang dimaksudkan dengan sehat disini ialah keadaan sejahterah dari
badan,jiwa, sosial yang memungkinkan setiap orang hisup produktif secara sosial dan
ekonomi.
Termasuk kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang
signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35
juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta
47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan
sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah
yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk
jangka panjang.1
Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang
ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas
mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan
prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau
sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.1
Skizofrenia termasuk jenis psikosis yang menempati urutan atas dari seluruh gangguan
jiwa yang ada. Selain karena angka insidennya di dunia cukup tinggi yakni satu per seribu,
hampir 80% penderita skizofrenia juga mengalami kekambuhan secara berulang.2
Skizofrenia yang menyerang kurang lebih 1 persen populasi, biasanya bermula di bawa
umur 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenal orang dari semua kelas sosial. Baik
pasien maupun keluarga sering mendapatkan pelayanaan yang buruk dan pengasingan sosial
karena ketidaktahuan yang meluas akan gangguan ini. Meski didiskusikan seolah-olah sebagai
suatu penyakit tunggal, skizofrenia mungkin terdiri dari sekumpulan gangguan dengan
etiologi yang heterogen dan mencakup pasien dengan presentasi klinis, respons terhadap
terapi, dan perjalanan penyakit yang bervariasi. Klinisi seyogianya menyadari bahwa
diagnosis skizofrenia sepenuhnya didasarkan pada riwayat psikiatri dan pemeriksaan status
mental. Tidak ada uji laboratorium untuk skizofrenia.3
Bab II
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Skizofrenia


Skizofrenia adalah merupakan suatu deskripsi sindroma dengan variasi penyebab
(banyak yang belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan
pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. 4
Pada Umumnya ditandai oleh penyimangan yang fundamental dan karateristik dari
pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) or tumpul (blunted).
Kesadaran yang jernih (clear consciusness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. 4

2.2 Pedoman diagnostik


Pedoman Diagnostik Skizofrenia menurut PPDGJ-III, adalah sebagai berikut :

 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):4,12
a. “thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda atau “thought insertion or withdrawal”
yang merupakan isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya
(insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(withdrawal); dan “thought broadcasting”, yaitu isi pikiranya tersiar keluar
sehingga orang lain atau umum mengetahuinya; 
b. “delusion of control”, adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar atau “delusion of passivitiy” merupaka
waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan
dari luar; (tentang ”dirinya” diartikan secara jelas merujuk kepergerakan
tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus),
atau “delusional perception”yang merupakan pengalaman indrawi yang
tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat
mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik yang didefinisikan dalam 3 kondisi dibawah ini:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian
tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
mahluk asing dan dunia lain).
 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :4
e. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme;
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
h. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
 Adanya gejala-gejala khas di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal).4
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat
sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri
secara sosial.4

2.3 Jenis-Jenis Skizifrenia


1. Skizofrenia Paranoid
 Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia4
 Sebagai tambahan :
- Halusinasi dan atau waham harus menonjol :4
a. Suara-suara halusinasi satu atau lebih yang saling berkomentar tentang
diri pasien, yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau tanpa
bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol.
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau
“Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas.
d. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta
gejalakatatonik

2. Skizofrenia Hebefrenik
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia hebefrenik dapat didiganosis apabila
terdapat ciri-ciri berikut :4
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Diagnosis hebefrenikbiasanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda
(onset biasanya mulai 15-25 tahun)..
 Untuk diagnosis hebefrenik yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai
oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum
sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner),
tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau
(pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang
(reiterated phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling)
serta inkoheren.
- Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak
menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan
kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran
ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu
perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya
suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama,
filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan
pikiran pasien.

3. Skizofrenia Katatonik
Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis apabila terdapat
butir-butir berikut :4
 Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
 Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :
- Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
- Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang
tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
- Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
- Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan
kearah yang berlawanan);
- Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
upaya menggerakkan dirinya);
- Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak
dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
- Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-
kalimat.
- Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda
sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala
lain.
- Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan
petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat
dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan
obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.

4. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)


Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:4
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik.
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.

5. Depresi Pasca-skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :4
 Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum
skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
 Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya); dan
 Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit
2 minggu.
 Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi
episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol,
diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.

6. Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua :4
 Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan
inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal
yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi
tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
 Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
 Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang
(minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia;
 Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi
kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative tersebut.

7. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :4
a. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan disertai
dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi
sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan
hidup, dan penarikan diri secara sosial.
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia
lainnya.
- secara relatif tidak nyata / tidak menonjol.4
2.4 Epidemiologi

1. Gender (jenis kelamin) dan usia


Skizofrenia setara prevalensinya pada pria dan wanita. Namun kedua jenis kelamin
tersebut berbeda awitan dan perjalanan penyakit. Awitan terjadi lebih dini pada
pria dibandingkan wanita. Lebih dari separuh pasien skizofrenik pria namun hanya
sepertiga dari semua pasien skizofrenik wanita pertama kali dirawat di rumah sakit
psikiatri sebelum usia 25 tahun. usia puncak awitan adalah 8 sampai 25 tahun
untuk pria dan 25 sampai 35 tahun untuk wanita. 5,13

2. Infeksi dan Musim Saat Lahir


Suatu temuan yang kuat dalam penelitian skizofrenia adalah bahwa orang-orang
yang mengalami skizofrenia kemungkinan besar dilahirkan di musim dingin dan
awal musim semi dan lebih jarang yang dilahirkan pada akhir musim semi dan
musim panas.5

3. Distribusi Geografik
Skizofrenia tidak terdistribusi secara merata di seluruh penjuru Amerika Serikat
maupun dunia. Secara historis, prevalensi skizofrenia di bagian timur laut dan
barat Amerika Serikat lebih besar daripada di daerah lain, meski distribusi yang
tidak merata ini telah terkikis. Sejumlah regio geografis bumi, seperti Irlandia,
memiliki prevalensi skizofrenia yang luar biasa tinggi, dan penelitian
menginterpretasikan kantung skizofrenia geografis ini sebagai kemungkinan
dukungan terhadap teori kausa skizofrenia infektif (contohnya, viral).5

4. Faktor Reproduktif
Penggunaan obat psikoterapeutik, kebijakan terbuka di rumah sakit,
deinstitusionalisasi di rumah sakit, dan perawatan berbasis masyarakat untuk
pasien skizofrenia, semuanya telah menyebabkan peningkatan angka pernikahan
dan kesuburan di antara pasien skizofrenia. Akibat faktor tersebut, jumlah anak
yang dilahirkan dari orang tua skizofrenik terus meningkat. Angka kesuburan
pasien skizofrenik mendekati angka populasi umum. Terdapat hubungan antara
angka kesuburan dengan tramisi genetik. Keluarga biologi derajat pertama pasien
skizofrenik memiliki resiko terkena penyakit sepuluh kali lebih besar dibanding
populasi umum.5
5. Penyakit Medis
Orang dengan skizofrenia memiliki angka kematian akibat kecelakaan dan
penyebab alami yang lebih tinggi dari pada populasi umum. Sejumlah studi
menunjukkan bahwa hingga 80 persen dari semua pasien skizofrenik mengalami
penyakit medis yang signifikan pada saat bersamaan dan bahwa hingga 50 persen
kondisi ini mungkin tidak terdiagnosis.5

6. Resiko Bunuh Diri


Bunuh diri merupakan penyebab utama kematian pada orang yang menderita
skizofrenia. Taksirannya bervariasi, namun hingga 10 persen orang dengan
skizofrenia mingkin meninggal akibat pencobaan bunuh diri.5

7. Penggunaan Zat
Sejumlah studi melaporkan bahwa merokok kretek dikaitkan dengan penggunaan
obat antipsikotik dalam dosis yang lebih tinggi, mungkin karena merokok kretek
meningkatkan laju metabolisme obat-obatan tersebut. Di lain pihak, merokok
kretek dikaitkan dengan penurunan parkinsonisme terkait obat antipsikotik,
mungkin karena aktivitasi neuron dopamin yang bergantung nikotin. Studi terkini
menunjukkan bahwa nikotin dapat menurunkan gejala positif, seperti halusinasi,
pada pasien skizofrenik karena efeknya terhadap reseptor nikotin di otak yang
mengurangi persepsi stimulus luar, khususnya bising. Komorbiditas skizofrenia
dengan gangguan terkait zat lain lazim dijumpai, meski dampak penyalahgunaan
obat pada pasien skizofrenik masih belum jelas. Kurang lebih 30 sampai 50 persen
pasien skizofrenia mungkin memenuhi kriteria penyalahgunaan atau
ketergantungan alkohol, dua zat lain yang paling sering digunakan adalah kanabis
dan kokain. Pasien melaporkan bahwa dirinya menggunakan zat tersebut untuk
memenuhi kenikmatan dan mengurangi depresi dan ansietas. 5,11,12
8. Faktor Populasi
Prevalensi skizofrenia senantiasa berkorelasi dengan kepadatan populasi lokal di
kota dengan populasi lebih dari 1 juta orang. Efek kepadatan penduduk sejalan
dengan pengalaman bahwa insiden skizofrenia pada anak dengan salah satu atau
kedua orangtua skizofrenik dua kali lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di
masyarakat perdesaan. 5

2.5 Etiologi

1. Model Diatesis-Stres
Menurut model diatesis-stres terhadap integrasi faktor biologis, psikososial dan
lingkungan, seseorang mungkin memiliki kerentanan spesifik (diatesis) yang, bila
diaktifkan oleh pengaruh yang penuh tekanan, memungkinkan timbulnya gejala
skizofrenia. Pada model diatesis-stres yang paling umum, diatesis atau stres dapat
berupa stres biologis, lingkungan, atau keduanya. Komponen lingkungan dapat
bersifat biologis (contohnya, infeksi) atau psikologis (contohnya, situasi keluarga yang
penuh tekanan atau kematian kerabat dekat). Dasar biologis diatesis dapat terbentuk
lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres psikososial,
dan trauma.5,6

2. Faktor Genetik
Serangkainan studi genetik secara meyakinkan mengusulkan adanya komponen
genetik dalam pewarisan sifat skizofrenia. Pada tahun 1930-an, studi klasik mengenai
genetika skizofrenia menunjukkan bahwa seseorang memiliki kecendrungan menderita
skizofrenia bila terdapat anggota keluarga yang mengidap gangguan tersebut dan
kecendrungan seseorang mengalami skizofrenia berkaitan dengan dekatnya
hubungannya (sebagai contoh, kerabat derajat pertama atau kedua). Kembar
monozigotik memiliki angka kejadian bersama yang paling tinggi. Pada studi terdapat
kembar monozigotik yang diadopsi, kembar dibesarkan orangtua asuh tampak
mengalami skizofrenia dalam jumlah yang sama dengan kembarannya yang
dibesarkan orangtua biologisnya. Temuan ini mengemukakan bahwa pengaruh genetik
lebih besar daripada pengaruh lingkungan, suatu temuan yang dikuatkan dengan
pengamatan bahwa semakin parah skizofrenianya, semakin besar kemungkinan
kembarannya mengalami gangguan yang sama. Satu studi menyokong model diatesis-
stres dan menunjukkan bahwa kembaran monozigotik yang diadopsi dan kemudian
mengaami skizofrenia ternyata sangat mungkin merupakan anak yang diadopsi
keluarga yang memiliki gangguan psikologis. Telah banyak dilaporkan adanya
hubungan antara lokasi kromosom dan skizofrenia sejak penerapan teknik biologi
molekuler dilakukan secara luas. Lebih dari separuh dari seluruh kromosom dikaitkan
dengan skizofrenia pada berbagai laporan, namun lebih panjang kromosom 5,11, dan
18, lengan pendek kromosom 19, serta kromosom X paling sering disebut. Lokus pada
kromosom 6,8, dan 22 dianggap terlibat. Literatur tersebut paling baik dirangkum
sebagai indikasi adanya potensi dasar genetik yang heterogen untuk skizofrenia.7

Tabel 1. Konseling Genetika Resiko Seumur Hidup Terjadinya Skizofrenia 7,13

Orangtua dari penderita skizofrenia 5%


Saudara kandung dari penderita skizofrenia 10%
Anak dari salah satu orangtua skizofrenia 10-15%
Anak dari kedua orangtua skizofrenia 30-40%
Kembar monozigot2 40-50%
Kembar dizigot 10%
Populasi Umum 1%

Perhatikan bahwa : 50% kembar monozigot tidak keduanya menderita skizofrenia;


sehingga jelaslah bahwa faktor lingkungan juga memegang peran. Terjadinya penyakit
merefleksikan adanya faktor bawaan dari pengasuhan

3. Faktor Psikososial
Jika skozofrenia merupakan penyakit otak, maka penyakit ini mungkin sejalan dengan
penyakit organ lain (contohnya, infark miokardium dan diabetes) yang perjalanan
penyakitnya dipengaruhi stres psikososial. Seperti halnya penyakit kronis lain
(misalnya, penyakit paru kongestif kronik), terapi obat sendiri jarang memadai untuk
memperoleh perbaikan klinis maksimal. Oleh sebab itu, klinis sebaiknya
mempertimbangkan faktor psikososial yang mempengaruhi skizofrenia. Meskipun,
secara historis, para pembuat teori menyatakan faktor psikososial berperan dalam
terjadinya skizofrenia, klinis masa sekarang dapat memanfaatkan penggunaan teori
dan pedoman yang relevan yang dibuat berdasarkan pengamatan dan hipostesis di
masa lampau ini.7
2.6 Pemeriksaan Fisik

1. Status keadaan fisik


Sifat keluhan pasien sangat penting untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya
suatu pemeriksaan fisik lengkap. Gejala fisik seperti nyeri kepala dan palpitasi
memerlukan pemeriksaan medis yang menyeluruh untuk menentukan bagian dari
proses somatik. Bila ada, yang berperan menyebabkan penderitaan tersebut. Hal yang
sama dapat digunakan pada gejala mental misalnya depresi, ansietas, halusinasi, dan
waham kejar, yang bisa jadi merupakan ekspresi dan proses somatik. Terkadang
keadaan menyebabkan kita perlu menunda pemeriksaan medis lengkap. Misalnya,
pasien dengan waham atau panik dapat menunjukkan perlawanan sikap bertahan atau
keduanya. Pada keadaan ini, riwayat medis harus diperoleh dari anggota keluarga bila
memungkinkan. Namun, kecauali ada alasan mendesak untuk melanjutkan
pemeriksaan fisik, hal itu sebaiknya ditunda sampai pasien menurut. 8

Pemeriksaan Neurologis
Selama proses anamnesis pada kasus tersebut, tingkat kesadaran dan atensi pasien
terhadap detil pemeriksaan, pemahaman, ekspresi wajah, cara bicara, postur, dan cara
berjalan perlu diperhatikan. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk dua tujuan.
Tujuan pertama dicapai melalui pemeriksaan neurologis rutin, yaitu terutama
dirancang untuk mengungkap asimetri fungsi motorik, persepsi, dan refleks pada
kedua sisi tubuh yang disebabkan oleh penyakit hemisferik fokal. Tujuan kedua
tercapai dengan mencari untuk memperoleh tanda yang selama ini dikaitkan dengan
disfungsi otak difus atau penyakit lobus frontal. Tanda ini meliputi refleks mengisap,
mencucur, palmomental, dan refleks genggam serta menetapnya respons terhadap
ketukan di dahi. Sayangnya, kecuali refleks genggam, tanda seperti itu tidak
berkaitan erat dengan patologi otak yang mendasari.8

2. Status mental
 Deskripsi keadaan umum8,9
o Penampilan
Postur, pembawaan, pakaian, dan kerapihan. Penampilan pasien
skizofrenia dapat berkisar dari orang yang sangat berantakan, menjerit-
jerit, dan teragitasi hingga orang yang terobsesi tampil rapi, sangat
pendiam, dan imobil.

o Perilaku dan aktivitas psikomotor yang nyata


Kategori ini merujuk pada aspek kuantitatif dan kualitatif dari perilaku
motorik pasien. Termasuk diantaranya adalah manerisme, tik, gerakan
tubuh, kedutan, perilaku streotipik, ekopraksia, hiperaktivitas, agitasi,
sikap melawan, fleksibilitas, rigiditas, gaya berjalan, dan kegesitan.

o Sikap terhadap pemeriksa


Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat dideskripsikan sebagai kooperatif,
bersahabat, penuh perhatian, tertarik, balk-blakan, seduktif, defensif,
merendahkan, kebingungan, apatis, bermusuhan, suka melucu,
menyenangkan, suka mengelak, atau berhati-hati.
 Mood dan afek
Mood didefinisikan sebagai emosi menetap dan telah meresap yang mewarnai persepsi
orang tersebut terhadap dunia.
Afek didefinisikan sebagai responsivitas emosi pasien saat ini, yang tersirat dari
ekspresi wajah pasien, termasuk jumlah dan kisaran perilaku ekspresif.
 Kakteristik gaya bicara
Pasien dapat digambarkan sebagai banyak bicara, cerewet, fasihm pendiam, tidak
spontan, atau terespons normal terhadap petunjuk dari pewawancara. Gaya bicara
dapat cepat atau lambat, tertekan, tertahan, emosional, dramatis, monoton, keras,
berbisik, cadel, terputus-putus, atau bergumam. Gangguan bicara, contohnya gagap,
dimasukkan dalam bagian ini.
 Persepsi
Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi mengenai dirinya atau lingkungannya,
dapat dialami oleh seseorang. Sistem sensorik yang terlibat (contohnya: auditorik,
visual, olfaktorik, atau taktil) dan isi ilusi atau halusinasi tersebut harus dijelaskan.
 Halusinasi senestik
Halusinasi senestik merupakan sensasi tak berdasar akan adanya keadaan organ tubuh
yang terganggu. Contoh halusinasi senestik mencakup sensasi terbakar pada otak,
sensasi terdorong pada pembuluh darah, serta sensasi tertusuk pada sumsum tulang.
 Ilusi
Sebagaimana dibedakan dari halusinasi, ilusi merupakan distorsi citra yang nyata,
sementara halusinasi tidak didasarkan pada citra atau sensasi yang nyata. Ilusi dapat
terjadi pada pasien skizofrenik selama fase aktif, namun dapat pula terjadi dalam fase
prodromal dan selama periode remisi.
 Isi pikir dan kecenderungan mental

- Proses pikir (bentuk pemikiran)

Pasien dapat memiliki ide yang sangat banyak atau justru miskin ide. Dapat terjadi
proses pikir yang cepat, yang bila berlangsung sangat ekstrim, disebut flight of
ideas. Seorang pasien juga dapat menunjukkan cara berpikir yang lambat atau
tertahan. Gangguan kontinuitas pikir meliputi pernyataan yang bersifat tangensial,
sirkumstansial, meracau, suka mengelak, atau perseveratif.
Bloking adalah suatu interupsi pada jalan pemikiran sebelum suatu ide selesai
diungkapkan. Sirkumstansial mengisyaratkan hilangnya kemampuan berpikir yang
mengarah ke tujuan dalam mengemukakan suatu ide, pasien menyertakan banyak
detail yang tidak relevan dan komentar tambahan namun pada akhirnya mampu ke
ide semula. Tangensialitas merupakan suatu gangguan berupa hilangnya benang
merah pembicaraan pada seorang pasien dan kemudian ia mengikuti pikiran
tangensial yang dirangsang oleh berbagai stimulus eksternal atau internal yang
tidak relevan dan tidak pernah kembali ke ide semula. Gangguan proses pikir dapat
tercermin dari word salad (hubungan antarpemikiran yang tidak dapat dipahami
atau inkoheren), clang association (asosiasi berdasarkan rima), punning (asosiasi
berdasarkan makna ganda), dan neologisme (kata-kata baru yang diciptakan oleh
pasien melalui kombinasi atau pemadatan kata-kata lain).

- Isi pikir

Gangguan isi pikir meliputi waham, preokupasi, obsesi, kompulsi, fobia, rencana,
niat, ide berulang mengenai bunuh diri atau pembunuhan, gejala hipokondriakal,
dan kecenderungan antisosial tertentu.
 Sensorium dan kognisi14,15
Pemeriksaan ini berusaha mengkaji fungsi organik otak dan inteligensi pasien,
kemampuan berpikir abstrak, serta derajat tilikan dan daya nilai.

- Kesadaran

- Gangguan kesadaran biasanya mengindikasikan adanya kerusakan organik


pada otak.

- Orientasi dan memori

- Ganggaun orientasi biasanya dibagi berdasarkan waktu, tempat, dan orang.

- Konsentrasi dan perhatian

- Konsentrasi pasien terganggu karena berbagai allasan. Gangguan kognitif,


ansietas, depresi, dan stimulus internal, seperti halusinasi auditorik, semuanya
dapat berperan menyebabkan gangguan konsentrasi.

- Membaca dan menulis


- Kemampuan visuospasial

- Pasien diminta untuk menyalin suatu gambar, misalnya bagian depan jam
dinding atau segilima bertumpuk.

- Pikiran abstrak

- Kemampuan untuk menangani konsep-konsep. Pasien mungkin memiliki


gangguan dalam membuat konsep atau menangani ide.

- Informasi dan inteligensi

 Impulsivitas, Kekerasan, Bunuh diri, dan Pembunuhan


Pasien mungkin tidak dapat mengendalikan impuls akibat suatu gangguan kognitif
atau psikotik atau merupakan hasil suatu defek karakter yang kronik, seperti yang
dijumpai pada gangguan kepribadian.
Perilaku kekerasan lazim dijumpai di antara pasien skizofrenik yang tidak diobati.
Waham yang bersifat kejar, episode kekerasan sebelumnya, dan defisit neurologis
merupakan faktor resiko perilaku kekerasan atau impulsif.
Kurang lebih 50 persen pasien skizofrenik mencoba bunuh diri, dan 10 sampai 15
persen pasien skizofrenia meninggal akibat bunuh diri. Mungkin faktor yang paling
tidak diperhitungkan yang terlibat dalam kasus bunuh diri pasien ini adalah depresi
yang salah diagnosis sebagai afek mendatar atau efek samping obat. Faktor pemicu
lain untuk bunuh diri mencakup perasaan kehampaan absolut, kebutuhan melarikan
diri dari penyiksaan mental, atau halusinasi auditorik yang memerintahkan pasien
mebunuh diri sendiri.
Saat seorang pasien skizofrenik benar-benar melakukan pembunuhan, hal itu mungkin
dilakukan dengan alasan yang aneh atau tak disangka-sangka yang didasarkan pada
halusinasi atau waham.

 Daya nilai dan tilikan


Daya nilai : aspek kemampuan pasien untuk melakukan penilaian sosial. Dapatkah
pasien meramalkan apa yang akan dilakukannya dalam situasi imajiner. Contohnya:
apa yang akan pasien lakukan ketika ia mencium asap dalam suasana gedung bioskop
yang penuh sesak?
Tilikan: tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya. Pasien dapat
menunjukkan penyangkalan total akan penyakitnya atau mungkin menunjukkan
sedikit kesadaran kalau dirinya sakit namun menyalahkan orang lain, faktor eksternal,
atau bahkan faktor organik. Mereka mungking menyadari dirinya sakit, namun
menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang asing atau misterius dalam dirinya.

 Realiabilitas
Kesan psikiater tentang sejauh mana pasien dapat dipercaya dan kemampuan untuk
melaporkan keadaanya secara akurat. Contohnya, bila pasien terbuka mengenai
penyalahgunaan obat tertentu secara aktif mengenai keadaan yang menurut pasien
dapat berpengaruh buruk (mislnya, bermasalah dengan hukum), psikiater dapat
memperkirakan bahwa realiabilitas pasien adalah baik.2,3
3. Pemeriksaan tambahan
Tes psikologis: tes inteligensi, tes kepribadian, tes ketangkasan atau bakat, dan tes
neuropsikologis.

 Tes inteligensi
Dapat ditentukan HI (hasil bagi inteligensi) atau IQ (Intelligence Quotient) sebagai
suatu cara numerik untuk menyatakan taraf inteligensi. Rumusnya sebagai berikut:

Umur mental
HI= ------------------------- x 100
Umur kalender

Umur mental didapat dari tes inteligensi. Umur kalender diambil paling tinggi 15
(biarpun sebenarnya lebih), karena tes inteligensi yang ada sekarang sukar untuk
mengukur perbedaan inteligensi di atas umur 15 tahun.

 Tes kepribadian
Tes kepribadian lebih sukar dibuat, dipakai dan dinilai sehingga reliabilitas dan
validitas kurang dari tes inteligensi. Hal ini disebabkan antara lain karena begitu
banyaknya sifat kepribadian manusia dan sukarnya mencari parameter atau indikatro
yang tepat dan dapat diukur untuk suatu sifat kepribadian tertentu. Kepribadian adalah
keseluruhan perilaku manusia atau perannya dalam hubungan antar manusia,
pribadinya dapat dibedakan dari pribadi lain. Peran ini bukan saja perilaku yang nyata,
tetapi juga sikap internal, kecenderungan bertindak dan hambatan. Kepribadian dapat
dievaluasi dengan cara observasi, wawancara, atau melalui daftar pertanyaan, tes
melengkapi kalimat atau tes proyeksi.

 Tes neuropsikologis
Tes neuropsikologis merupakan tes yang mempelajari hubungan antara otak dan
perilaku dengan menggunakan prosedur tes yang terstandarisasi dan objektif. Tes ini
menguji kemampuan kognitif. Tujuan tes neuropsikologis adalah identifikasi,
kuantifikasi, dan deskripsi perubahan kognitif dan perilaku yang disebabkan oleh
disfungsi otak. Dalam hal ini, ranah (domain) yang dievaluasi adalah kemampuan
berbahasa, memori, penalaran dan pertimbangan intelektual, fungsi visual-motor,
fungsi sensori-perseptual, dan fungsi motorik.2,3

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Meskipun pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan penunjang, tetapi
peranannya penting dalam menjelaskan dan menkuantifikasi disfungsi neurofisiologis,
memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis. Hasil pemeriksaan laboratorik
harus dapat diintegrasikan dengan data riwayat penyakit, wawancara dan pemeriksaan
psikiatrik untuk memperoleh gambaran komprehensif tentang diagnosis dan
pengobatan yang diperlukan oleh pasien.
Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai tes apa saja yang digunakan sebagai
penyaring, tetapi beberapa tes berikut patut untuk dipertimbangkan:

1. Pemeriksaan darah lengkap


2. Elektrolit serum
3. Glukosa darah
4. Tes fungsi hepar
5. Tes fungsi ginjal
6. Kalsium serum
7. Uji fungsi tiroid
8. Pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan TPHA)
9. Tes urin untuk obat terlarang.2,3

2.8 Manifestasi Klinis

Pembahasan tanda dan gejala klinis skizofrenia mencuat tiga isu utama.
Pertama, tidak ada tanda atau gejala yang patognomonik untuk skizofrenia; tiap gejala
atau yang tampak pada skizofrenia dapat terjadi pada gangguan psikiatrik dan
neurologis lain. Pengamatan ini bersifat diagnostik untuk skizofrenia. Oleh sebab itu,
riwayat pasien esensial untuk diagnosis skizofrenia; klinis tidak dapat mendiagnosis
skizofrenia hanya berdasarkan pemeriksaan status mental saja, yang hasilnya dapat
bervariasi. Kedua, gejala pasien dapat berubah seiring berjalannya waktu. Sebagai
contoh, seorang pasien mungkin mengalami halusinasi intermiten dan kemampuan
yang beragam untuk tampil secara memadai pada situasi sosial, atau gejala gangguan
mood yang signifikan dapat datang dan pergi selama perjalanan penyakit skizofrenia.
Ketiga, klinis harus mempertimbangkan tingkat pendidikan pasien, kemampuan
intelektual, serta keanggotaan kultural dan subkultural. Kemampuan yang terganggu
untuk memahami konsep abstrak, contohnya, dapat mencerminkan tingkat pendidikan
pasien maupun intelegensinya. Organisasi religius dan sekte mungkin memiliki adat
istiadat yang tampak aneh bagi orang luar namun normal bagi mereka yang berada
dalam situasi kultural tersebut.3,16

1. Tanda-tanda dan Gejala Premorbid


Dalam rumusan teoretis mengenai perjalanan skizofrenia, tanda dan gejala
pramorbid muncul sebelum fase prodromal penyakit. Perbedaannya menyiratkan
bahwa tanda dan gejala pramorbid telah ada sebelum proses penyakit muncul dan
bahwa tanda dan gejala prodromal merupakan bagian gangguan yang sedang
berkembang. Pada riwayat pramorbid skizofrenia yang tipikal namun bukan tanpa
pengecualian, pasien telah memiliki kepribadian skizoid atau skizotipal yang
ditandai dengan sifat pendiam, pasif dan introvert; sebagai anak hanya memiliki
beberapa orang teman. Remaja paraskizofrenik mungkin tidak memiliki teman
dekat dan pacar serta menghindari olahraga kelompok. Mereka mungkin
menikmati menonton film dan televisi atau mendengarkan musik hingga
menhindari aktivitas sosial. Sejumlah pasien remaja dapat menunjukkan awitan
akut perilaku obsesif komplusif sebagai gambaran prodromal.3,16
Keahlian tanda dan gejala prodromal, yang hampir selalu dikenali setelah
diagnosis skizofrenia ditegakkan, bersifat tidak pasti; sekali skizofrenia
didiagnosis, kenangan retrospektif tanda dan gejala akan terpengaruh. Meski
demikian, walaupun rawat inap yang pertama sering dianggap menandai
dimulainya gangguan, tanda dan gejala mungkin telah ada selama berbulan-bulan
bahan bertahun-tahun. Tanda ini dapat dimulai dengan keluhan gejala somatik,
seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan.
Diagnosis awalnya dapat berupa kepura-puraan atau gangguan somatisasi.
Keluarga dan teman pada akhirnya dapat menyadari bahwa orang tersebut telah
berubah dan tidak lagi berfungsi baik dalam aktivitas personal, sosial, dan
okupasional. Pada stadium ini, pasien dapat mulai menumbuhkan minat pada ide
abstrak, filosofi, ilmu gaib, atau pertanyaan religius. Tanda dan gejala prodromal
tambahan dapat mencakup perilaku sangat aneh, afek abnormal, cara bicara tidak
biasa, ide bizar, dan pengalaman perseptual yang aneh.3
2. Gejala-gejala Positif dan Negatif 17,18,19
Pada tahun 1980, T.J.Crow mengajukan klasifikasi pasien skizofernik
kedalam tipe I dan II, berdasarkan ada atau tidaknya gejala positif dan negatif.
Walaupunn sistem ini tidak diterima sebagai bagian klasifikasi DSM-IV-TR,
pembedaan klinis kedua tipe tersebut secara signifikan mempengaruhi penelitian
psikiatrik. Gejala positif mencakup waham dan hausinasi. Gejala negatif meliputi
afek mendatar atau menumpul, miskin bicara atau isi bicara, bloking, kurang
merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial. Pasien
tipe I cendrung memiliki sebagian besar gejala positif, struktur otak normal pada
CT Scan, dan respon relatif baik terhadap pengobatan. Pasien tipe II cendrung
memilik sebagian besar gejala negatif, abnormalitas struktur otak pada CT Scen,
dan respon buruk terhadap terapi. Kategori ketiga, disorganized, mencakup
pembicaraan kacau (gangguan isi pikir), perilaku kacau, defek kognitif, dan defisit
atensi.

2.9 Penatalaksanaan Skizofrenia


Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan
kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.

1. Medika mentosa
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan
gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama:
antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin.
a. Antagonis Reseptor Dopamin
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama
terhadap gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama.
Pertama, hanya presentase kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat
memulihkan fungsi mental normal secara bermakna. Kedua, antagonis reseptor
dopamin dikaitkan dengan efek samping yang mengganggu dan serius. Efek
yang paling sering mengganggu aalah akatisia adan gejala lir-parkinsonian
berupa rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda
dan sindrom neuroleptik maligna.
b. Antagonis Serotonin-Dopamin
SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal ayng minimal atau tidak ada,
berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding
antipsikotik standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun
glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek samping neurologis dan
endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih efektif dalam menangani gejala
negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut sebagai obat antipsikotik atipikal
ini tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas
dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang tipikal.
Golongan ini setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala
positif skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit,
bila ada, menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Beberapa SDA yang telah
disetujui di antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol,
kuetiapin, dan ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan
antagonis reseptor dopamin, sebagai obat lini pertama untuk penanganan
skizofrenia.

Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen antipsikotik, pada
subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood ditambah penggunaan
antipsikotik. Pada banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan mengobati keadaan
skizofrenia.5,6,7

Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran

Haloperidol (Haldol) Tab. 2-5 mg 5-15 mg/hari

Risperidone (Risperdal) Tab. 1-2-3 mg 2-6 mg/hari

Olanzapine (Zyprexa) Tab. 5-10 mg 10-20 mg/hari

Clozapine (Clozaril) Tab. 25- 100 mg 25-100 mg/hari

Quetiapine (Seroquel) Tab. 25-100 mg 50-400 mg/hari

Tab. 200 mg

Aripiprazole (Abilify) Tab. 10-15 mg 10-15 g/hari


2. Terapi Psikososial
a. Pelatihan keterampilan social
Pelatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut sebagai terapi
keterampilan perilaku. Terapi ini secara langsung dapat mendukung dan
berguna untuk pasien bersama dengan terapi farmakologis. Selain gejala yang
biasa tampak pada pasien skizofrenia, beberapa gejala yang paling jelas terlihat
melibatkan hubungan orang tersebut dengan orang lain, termasuk kontak mata
yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi wajah yang
aneh, kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, serta persepsi yang tidak
akurat atau kurangnya persepsi emosi pada orang lain. Pelatihan keterampilan
perilaku diarahkan ke perilaku ini melalui penggunaan video tape berisi orang
lain dan si pasien, bermain drama dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah
untuk keterampilan khusus yang dipraktekkan.

b. Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya berfokus pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok dapat
berorientasi perilaku, psikodinamis atau berorientasi tilikan, atau suportif.

c. Terapi perilaku kognitif


Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk
memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distraktibilitas, serta mengoreksi
kesalahan daya nilai. Terdapat laporan adanya waham dan halusinasi yang
membaik pada sejumlah pasien yang menggunakan metode ini. Pasien yang
mungkin memperoleh manfaat dari terapi ini umumnya aalah yang memiliki
tilikan terhadap penyakitnya.

d. Psikoterapi individual
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk membangun
hubungan terapeutik sehingga pasien merasa aman. Reliabilitas terapis, jarak
emosional antaraterapis dengan pasien, serta ketulusan terapis sebagaimana
yang diartikan oleh pasien, semuanya mempengaruhi pengalaman terapeutik.
Psikoterapi untuk pasien skizofrenia sebaiknya dipertimbangkan untuk
dilakukan dalamm jangka waktu dekade, dan bukannya beberapa sesi, bulan,
atau bahakan tahun. Beberapa klinisi dan peneliti menekankan bahwa
kemampuan pasien skizofrenia utnuk membentuk aliansi terapeutik dengan
terapis dapat meramalkan hasil akhir. Pasien skizofrenia yang mampu
membentuk aliansi terapeutik yang baik cenderung bertahan dalam psikoterapi,
terapi patuh pada pengobatan, serta memiliki hasil akhir yang baik pada
evaluasi tindak lanjut 2 tahun. Tipe psikoterapi fleksibel yang disebut terapi
personal merupakan bentuk penanganan individual untuk pasien skizofrenia
yang baru-baru ini terbentuk. Tujuannya adalah meningkatkan penyesuaian
personal dan sosial serta mencegah terjadinya relaps. Terapi ini merupakan
metode pilihan menggunakan keterampilan sosial dan latihan relaksasi,
psikoedukasi, refleksi diri, kesadaran diri, serta eksplorasi kerentanan individu
terhadap stress. 20

2.10 Komplikasi
Beberapa individu yang mengalami skizofrenia dapat terkena stroke dan
mengalami kerusakan otak, yang tidak disadarinya. Kurangnya kesadaran tentang
skizofrenia dan penyakit manik-depresi merupakan keadaan biasa dialami penderita yang
tidak memperhatikan pengobatannya. Terdapat pula komplikasi sosial, dimana penderita
dikucilkan oleh masyarakat. Setelah itu dapat juga menjadi korban kekerasan dan melukai
diri sendiri. Pada komplikasi depresi, penderita dapat melakukan tindakan bunuh diri.
Disamping bunuh diri karena depresi dan halusinasi, penderita skizofrenia yang tadinya
tidak merokok, banyak menjadi perokok berat ini diperkirakan karena faktor obat, yang
memblok satu reseptor dalam otak (nikotin). Reseptor nikotin yang menimbulkan rasa
senang, pikiran jernih, mudah menangkap sesuatu. Akibatnya penderita skizofrenia
mencari kompensasi dengan mengambil nikotin dari luar, dari rokok. Dan resiko dari
perokok memperpendek usia, karena adanya penyakit saluran pernapasan, kanker,
jantung, dan penyakit fisik lainnya. Kemudian, dengan penggunaan antipsikotik, ada
tekanan terhadap hormon estrogen, testosteron, dan hormon-hormon tersebut memproteksi
tulang sehingga dapat terjadi osteoporosis.8,9,10
2.11 Prognosis

Pada beberapa studi kasus menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun
setelah rawat inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-20% persen
yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih dari 50% pasien dapat
digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat inap berulang, eksaserbasi
gejala, episode gangguan mood mayor, dan percobaan bunuh diri. Namun, skizofrenia
tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dan sejumlah faktor dikaitkan
dengan prognosis yang baik. Angka pemulihan yang dilaporkan berkisar dari 10-60%, dan
taksiran yang masuk akal adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami gejala sedang,
dan 40-60% pasien tetap mengalami hendaya secara signifikan akibat gangguan tersebut
selama hidup mereka.8

PROGNOSIS BAIK PROGNOSIS BURUK


USIA AWITAN TUA USIA AWITAN MUDA
PEREMPUAN LAKI-LAKI
MENIKAH TIDAK MENIKAH
TIDAK ADA RIWAYAT KELUARGA ADA RIWAYAT KELUARGA
KEPRIBADIAN YANG TENANG ADA MASALAH KEPRIBADIAN
IQ TINGGI IQ RENDAH
ADA PENCETUS TIDAK ADA PENCETUS YANG JELAS
GEJALA POSITIF GEJALA NEGATIF
PATUH TERHADAP PENGOBATAN KEPATUHAN TERHADAP PENGOBATAN
YANG BURUK
EE RENDAH EE TINGGI
KEADAAN AKUT KEADAAN KRONIK/BERULANG
ADANYA KOMPONEN MOOD TIDAK ADA KOMPONEN MOOD

2.12 Pencegahan
Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak bisa
dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini penting,
terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini, bila telah
didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah terjadinya
gejala skizofrenia berkelanjutan.
Bab III

Laporan Kunjungan Ke Rumah

Data Riwayat Keluarga


I. Identitas Pasien
a. Nama : Ny.B
b. Umur : 78 Tahun
c. Jenis kelamin : Perempuan
d. Pekerjaan : -
e. Pendidikan : SMA
f. Alamat : Perumahan Anni Land, Tangerang

II. Riwayat Biologis Keluarga


a. Keadaan kesehatan sekarang : Kurang baik
b. Kebersihan perorangan : Baik
c. Penyakit yang sering diderita : Tidak ada
d. Penyakit keturunan : Tidak ada
e. Penyakit kronis/ menular : Skizofrenia
f. Kecacatan anggota keluarga : Tidak ada
g. Pola makan : Baik
h. Pola istirahat : Baik
i. Jumlah anggota keluarga : 6 orang

III. Psikologis Keluarga


a. Kebiasaan buruk : Tidak ada
b. Pengambilan keputusan : Anak Pertama
c. Ketergantungan obat : Tidak ada
d. Tempat mencari pelayanan kesehatan : Fasilitas Kesehatan di RS Primaya
e. Pola rekreasi : Kurang
IV. Keadaan Rumah/ Lingkungan (belom)
a. Jenis bangunan : Permanen
b. Lantai rumah : Keramik
c. Luas rumah : Tidak diketahui
d. Penerangan : Baik
e. Kebersihan : Baik
f. Ventilasi : Baik
g. Dapur : Ada
h. Jamban keluarga : Ada
i. Sumber air minum : Air isi ulang (AQUA)
j. Sumber pencemaran air : Tidak ada
k. Pemanfaatan perkarangan : Tempat tanaman hias
l. Sistem pembuangan air limbah : Tidak Ada
m. Tempat pembuangan sampah : Ada
n. Sanitasi lingkungan : Baik

V. Spiritual Keluarga
a. Ketaatan beribadah : Baik
b. Keyakinan terhadap kesehatan : Baik

VI. Keadaan Sosial Keluarga


a. Tingkat pendidikan : Baik
b. Hubungan antar anggota keluarga : Baik
c. Hubungan dengan orang lain : Baik
d. Kegiatan organisasi sosial : Baik
e. Keadaan ekonomi : Baik

VII. Kultural Keluarga


a. Adat yang berpengaruh : Chinese
b. Lain- lain : Tidak ada
VIII. Anggota keluarga dan Genogram Keluarga

Nama dan Jenis S (P) Y (P) K (L) A (L) O (P)


Kelamin

Usia 57 tahun 27 tahun 18 tahun 5 tahun 2 tahun

Pekerjaan Ibu Rumah Karyawan Karyawan Tidak ada Tidak ada


Tangga Swasta Swasta

Pendidikan SMA SMA SMA TK -


Terakhir

Hubungan Anak Pertama Cucu ke 4 Cucu ke 5 Cicit ke 1 Cicit ke 2


Keluarga

Status Perkawinan Ya Menikah Ya Tidak Tidak

Serumah/Tidak Serumah Serumah Serumah Serumah Serumah

Keadaan Sehat Sehat Sehat Sehat Sehat


Kesehatan

Keterangan:

? = Laki- laki tidak diketahui

? = Perempuan tidak diketahui

= Laki-laki hidup

= Laki-laki meninggal

= Perempuan hidup

= Perempuan meninggal

= Pasien

= Tinggal serumah
IX. Keluhan Utama
Sering melihat bayangan juga merasa ada yang mengintip dan hendak menjahati
dirinya sejak 4 tahun lalu.

X. Keluhan Tambahan
Sering melamun,marah-marah, mengamuk, dan mau melarikan diri dari rumah.

XI. Riwayat Penyakit Sekarang

Alloanamnesis: Dengan anak pertama pasien. Anak pertama pasien mengatakan


bahwa pasien mulai merasakan keluhan seperti ini sejak kurang lebih 4 tahun yang
lalu semenjak suami pasien meninggal dunia. Dan belakangan ini pasien sering
mengamuk sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu, pasien mengamuk seperti berteriak-
teriak dengan nada yang tinggi, marah-marah jika sesuatu hal terjadi tidak seperti apa
yang pasien kehendaki juga disertai dengan membanting barang-barang disekitarnya.
Hal lain yang juga diceritakan menurut keluarga adalah pasien mengaku sering
melihat sosok bayangan berwarna putih dan juga sosok pria yang sering mengintipnya
dan hendak mencelakai pasien sehingga membuat pasien selalu merasa ketakutan dan
tidak jarang pasien melakukan tindakan seperti bersembunyi dibawah kolong meja
atau membenturkan kepala ke dinding. Selain itu pasien juga sering mengatakan
bahwa dirinya sering mendengar suara-suara dari leluhur yang memerintah dirinya
untuk kabur dari rumah atau mengatakan bahwa suara tersebut sedang menunggunya
disebuah jembatan dan pasien harus segara menyusul suara tersebut, kalau tidak
pasien akan celaka. Pasien juga sering berbicara sendiri dan tertawa sendiri tanpa
sebab yang jelas. Apabila keluarga pasien menegur, bahwa apa yang dialami pasien itu
tidak benar pasien langsung diam atau kadang marah. Pasien sendiri dulunya sebelum
sakit adalah pribadi yang aktif bersosialisasi dengan keluarganya, ke anggotaan gereja
dan juga tetangga yang ada disekitarnya. Keluarga mengatakan bahwa pasien tidak
ada gangguan dalam merawat diri dan pasien masih mau makan, dan sering tidur larut
malam. Pasien rutin berobat kontrol hanya saja susah patuh untuk disuruh meminum
obatnya.
Autoanamnesis : Pasien mengatakan bahwa dirinya merasa pusing dan pasien juga
mengatakan sering melihat bayangan putih dan sosok pria sedang mengawasi dirinya
dan juga mendengar bisikan-bisikan suara leluhur yang memerintah dirinya ke sebuah
jembatan yang tidak diketahui tempatnya.

XII. Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada

XIII. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis

Tanda- tanda Vital:


Tekanan darah : 120/ 80mmHg
Frekuensi nadi : 85 x/menit
Frekuensi napas : 16 x/menit
Suhu : 35.6oC

Pemeriksaan Umum
Kepala : Normosefali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Telinga : Normotia, serumen +/+
Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, Septum deviasi –
Bibir : Merah muda, tidak kering, sianosis (-)
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB dan kelenjar tiroid
Paru : Suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung : Bunyi jantung I-II murni reguler, murmur -, gallop –
Abdomen : Tampak datar, teraba supel, nyeri tekan (-), timpani,
bising usus normal
Ekstremitas : Akral hangat +/+ (pada ekstremitas atas dan bawah), bengkak -/-
Kulit : Turgor kulit baik
Status Motorik

Superior Inferior
Pemeriksaan
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra

Gerakan (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal

Kekuatan Otot 5/5/5/5 5/5/5/5 5/5/5/5 5/5/5/5

Tonus Otot (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal
Atrofi Otot (-) (-) (-) (-)
Refleks Fisiologis (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal
Refleks Patologis (-) (-) (-) (-)
Sensibilitas (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal

Status Mental

a. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Pasien tampak sehat, berpakaian rapi sesuai dengan usianya. Rambut pasien
pendek. Wajah pasien sesuai dengan usianya, kontak mata dengan pemeriksa baik.
Gigi pasien terlihat lengkap.
2. Kesadaran
a. Kesadaran sensorium / neurologik : Compos mentis
b. Kesadaran Psikiatrik : tidak tampak terganggu
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor
 Sebelum wawancara : pasien sedang duduk di ruang tamu rumah
 Selama wawancara : pasien kurang kooperatif dan kurang mau menjawab
pertanyaan yang di ajukan.
 Sesudah wawancara : Pasien kembali melamun
4. Sikap terhadap pemeriksa : tidak kooperatif dan pertanyaan yang diajukan tidak
mau dijawab.
5. Pembicaraan :
A. Cara berbicara : Spontan, intonasi baik, volume cukup, dan artikulasi
tidak jelas.
B. Gangguan berbicara : tidak ada.

b. Alam Perasaan (Emosi)


1. Suasana perasaan (mood) : euthym
2. Afek ekspresi afektif
a. Arus : cepat
b. Stabilisasi : stabil
c. Kedalaman : dalam
d. Skala diferensisasi : luas
e. Keserasian : serasi
f. Pengendalian impuls : kuat
g. Ekspresi : wajar
h. Dramatisasi : tidak ada dramatisasi
i. Empati : dapat dinilai

d.Gangguan Persepsi

a. Halusinasi : ada (halusinasi visual dan auditorik)


b. Ilusi : tidak ada
c. Depersonalisasi : tidak ada
d. Derealisasi : tidak ada
e. Sensorium dan Kognitif (Fungsi Intelektual)
1. Taraf pendidikan : SMA
2. Pengetahuan umum : tidak bisa dinilai
3. Kecerdasan : tidak bisa dinilai
4. Konsentrasi : tidak bisa dinilai
5. Orientasi
a. Waktu : tidak bisa dinilai
b. Tempat : tidak bisa dinilai
c. Orang : bisa dinilai
d. Situasi : tidak bisa dinilai

6. Daya ingat
a. Tingkat
 Jangka panjang : tidak bisa dinilai
 Jangka pendek : tidak bisa dinilai
 Segera : tidak bisa dinilai
b. Gangguan : Tidak ada
7. Pikiran abstraktif : tidak bisa dinilai
8. Visuospatial : tidak bisa dinilai
9. Bakat kreatif : tidak diketahui
10. Kemampuan menolong diri sendiri : Baik (pasien dapat makan, mandi, dan
berpakaian sendiri)

f. Proses Pikir
1. Bentuk pikir
Produktivitas : tidak bisa dinilai
Kontinuitas : tidak relevan
Hendaya Bahasa : tidak ada
2. Isi pikir
 Preokupasi : Tidak ada
 Waham : Ada (waham dikendalikan)
 Obsesi : Tidak ada
 Fobia : Tidak ada
 Gagasan rujukan : Tidak ada
 Gagasan pengaruh: Tidak ada

IX. Tilikan
Tilikan derajat 4, Menghayati bahwa sakitnya berkaitan dengan hal yang tidak
diketahui di dalam diri pasien.
X. Formulasi Diagnostik
Aksis I: Berdasarkan ikhtisar penemuan bermakna, maka kasus ini termasuk
gangguan jiwa karena adanya:
1. Gangguan kejiwaan karena pernah adanya :
Gejala Psikosis kejiwaan berupa: halusinasi visual dan auditorik, waham
dikendalikan
2. Gangguan ini sebagai Gangguan Mental Non Organik (GMNO) karena tidak
adanya:
 Gangguan kesadaran (pasien kompos mentis)
 Gangguan kognitif (orientasi dan memori)
 Gangguan fungsi intelektual
 Kelainan faktor organik spesifik

Kriteria Diagnosis F20. Skizofrenia

Harus ada sedikitinya satu dari antara gejala berikut yang jelas:

(a) Thought echo /thought withdrawal / thought broadcasting


(b) Delusion of control/ delusion influence/delusion of passitivity/delusion perception
(c) Halusinasi auditorik
(d) Waham-waham menetap yang menurut budaya setempat mustahil
Atau paling sedikit 2 gejala di bawah ini yang selalu ada:

(e) Halusinasi menetap disertai overvalued setiap hari


(f) Arus pikir yang terputus atau mengalami sisipan berakibat pembicaraan
inkoheren/inrelevan/neologisme
(g) Perilaku katatonik seperti gaduh gelisah,posturing,fleksibilitas
cerea,negativisme,mutisme dan stupor
(h) Gejala-gejala “negatif” seperti sikap apatis, jarang bicara,resmpons emosional
yang menumpul/tidak wajar,mengakibatkan penarikan diri secara sosial dan
menurunnya kinerja sosial tetapi harus jelas bahwa hal tersebut disebabkan oleh
depresi/medikasi neuroleptika
 Adanya gejala-gejala khas di atas telah berlangsung selama 1 bulan atau lebih
(tidak berlaku untuk fase nonpsikotik prodorma)
 Harus ada suatu perubahan konsisten bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek bermanifestasi sebagai hilangnya minat,hidup tak bertujuan,tak
berbuat sesuatu,larut dalam diri sendiri dan penarikan diri secara sosial

Diagnosis Kerja:

F20 Skizofrenia, pasien ini dapat didiagnosis skizofrenia karena terdapat

- Halusinasi visual dan auditorik


- Waham dikendalikan
- Arus pikir irelevan
- Adanya penarikan diri secara sosial

F20.0 Skizofrenia Paranoid


 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
 Pada pasien terdapat waham dikendalikan, halusinasi auditorik, halusinasi
visual menetap, serta gejala-gejala negatif.
Diagnosis paranoid untuk pertama kali ditegakkan bila terdapat halusinasi auditorik
seperti mengancam pasien atau memberi perintah, atau tanpa kalimat hanya seperti
dentuman maupun siulan. Terdapat juga halusinasi somatisasi, seksual, pembauan,
maupun gustatorik. Terdapat juga waham dikendalikan, dipengaruhi, ataupun dikejar-
kejar. Pada pasien terdapat halusinasi auditorik, halusinasi visual dan waham
dikendalikan
Differential Diagnosis :
F20.6 Skizofrenia Simpleks
 Kategori ini dipakai pada keadaan di mana terdapat gejala “negatif” yang khas dari
skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi , waham, atau manifestasi lain
dari episode psikotik.
 Disingkirkan dengan : Pada pasien, gejala skizofrenia disertai dengan halusinasi
dan waham.

F23.2 Gangguan Psikotik Lir-Skizofrenia


 Untuk mendiagnosis pasti harus memenuhi: onset gejala psikotik harus akut (2
minggu atau kurang, dari suatu keadaan nonpsikotik menjadi keadaan yang jelas
psikotik.), gejala-gejala yang memenuhi kriteria untuk Skizofrenia harus sudah ada
untuk sebagian besar waktu sejak berkembangnya gambaran klinis yang jelas psikotik.
 Apabila gejala-gejala skizofrenia menetap untuk kurun waktu lebih dari 1 bulan
lamanya, maka diagnosis harus dirubah menjadi Skizofrenia.
 Disingkirkan dengan : Pada pasien gejala psikotiknya sudah bertahan lebih dari 1
bulan yaitu sudah lebih 4 tahun.

Aksis II :
Tidak ditemukan adanya gangguan kepribadian dan retardasi mental

Aksis III :
Tidak ditemukan adanya gangguan pada kondisi medik umum

Aksis IV :
Tidak diketahui dengan jelas stressor pada pasien

Aksis V :
Global Assessment of Functioning (GAF) Scale 60-51 gejala sedang (Moderate)
disabilitas sedang.
XI. Evaluasi Multiaksial
 Aksis 1 : WD = F20.0 Skizofrenia Paranoid.
DD= F20.6. Skizofrenia Simpleks.
F23.2 Gangguan Psikotik Lir-Skizofrenia
 Aksis II : Tidak ada gangguan pada kondisi medik umum.
 Aksis III : Tidak ada gangguan pada kondisi medik umum.
 Aksis IV : Tidak ditemukan adanya gangguan pada kondisi medik umum.
 Aksis V : Global Assessment of Functioning (GAF) Scale 60-51 gejala sedang
(Moderate) disabilitas sedang.

XII. Anjuran Penatalaksanaan Penyakit


 Promotif
Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai
penyakit skizofrenia

 Preventif
Meminta keluarga pasien untuk menjalankan gaya hidup yang sehat dengan
mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna, mengolah makanan secara
bersih, sering mencuci tangan dengan sabun dan tidak jajan sembarangan,
memasak air hingga mendidih sebelum diminum.
 Kuratif
Terapi medikamentosa :
R/ Clozapine tab 25 mg
S1 dd1
R/ Olanzapine tab 5 mg
S2 dd 1
R/Trihexyphenidyl HCl tab 2 mg
S1 dd 1

Terapi non-medikamentosa :

- Minum obat secara teratur.


- Makan secara teratur 3 kali sehari dengan makanan yang bergizi.
- Rutin kontrol ke psikiater untuk mendapatkan sesi psikoterapi.
 Rehabilitatif
Jika keluhan semakin memburuk, segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat
yang ada di wilayah Kecamatan Tirtajaya.

XIII. Prognosis
 Qua ad vitam : dubia ad bonam
 Qua ad fungsionam : dubia ad bonam
 Qua ad sanactionam : dubia ad malam

IX. Daftar Problem


 Organobiologik : Tidak ditemukan
 Psikologi/psikiatrik : Terdapat waham kebesaran , halusinasi auditorik dan
visual.
 Sosial/keluarga : Kesan pasien tidak memiliki masalah dengan keluarga.
Keadaan Rumah
 Lokasi : Kondisi lingkungan baik, bersih, dan tidak padat perumahan
 Kondisi : Jenis bangunan permanen, lantai rumah berupa keramik. Rumah
tampak bersih.
 Ventilasi : sirkulasi udara baik, suasana rumah nyaman.
 Pencahayaan : di daerah berjendela dibagian depan rumah, pencahayaan baik.
 Kebersihan : kebersihan rumah baik, barang-barang tersusun rapi.
 Sanitasi dasar : sumber air minum pasien dari depot isi ulang (AQUA).

Analisis Fungsi Keluarga


 Keadaan biologis : keadaan biologis pasien masih baik
 Keadaan psikologis : hubungan pasien dengan anggota keluarga baik.
 Keadaan sosiologis : pasien dan keluarga sering mengikuti kegiatan di lingkungan
sekitar.
 Keadaan ekonomi : keadaan ekonomi keluarga pasien baik.
 Keadaan religius : seluruh anggota keluarga menjalankan ibadah dengan baik.
Bab IV
Penutup

4.1 Kesimpulan

Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan suatu gangguan


mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas.
Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya skizofrenia, antara lain
genetik, metabolisme, neurokimia. Pada Skizofrenia terdapat gejala positif dan gejala
negatif. Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi afek
mendatar atu menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking, kurang merawat
diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial. Indikasi pemberian
obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan gejala aktif dan
mencegah kekambuhan juga memperhatikan efek samping dari pada obat psikotik.
Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini penting, terutama bila
sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini, bila telah didiagnosis maka
dapat membuat penderita normal kembali, mampu melakukan aktifitas yang produktif
serta mencegah terjadinya gejala skizofrenia berkelanjutan.

4.2 Saran
4.2.1 Dokter Keluarga
Membuat jadwal secara tertulis untuk melakukan kunjungan rumah pada pasien
dengan gangguan kesehatan jiwa, khususnya gangguan jiwa berat, minimal 1
kali/bulan. Meningkatkan pengawasan dalam pencatatan dan pelaporan pasien
gangguan jiwa
4.2.2 Pasien
Edukasi pada pasien dan keluarga tentang pengetahuan penyakit skizofrenia, untuk
memantau pasien dalam meminum obat secara teratur, jangan putus obat dan rutin
control sesuai jadwal yang diberikan oleh dokter serta untuk selalu ada untuk pasien,
dan tidak meninggalkan pasien sendirian dan perbanyak rekreasi yang dapat
membahagiakan
Bab V

Daftar Pustaka

1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peran keluarga dukungan kesehatan jiwa


masyarakat. Jakarta : 6 Oktober 2016. Diunduh dari :
http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-kesehatan-
jiwa-masyarakat.html , 24 September 2021.
2. Rubbyana Urifah. Hubungan antara strategi koping dengan kualitas hidup pada penderita
skizofrenia remisi simptom. Jurnal psikologi klinis dan kesehatan mental. Vol 1 No 02,
Juni 2012. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.
3. Sadock Bejamin J dan Virginia A Sadock. Kaplan dan sadock buku ajar psikiatri klinis.
Edisi 2. Jakarta : EGC; 2010.h. 147-68.
4. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM 5.
Jakarta: PT Nuh Jaya; 2013.
5. Kirkpatrick B. Understanding the physiology of schizophrenia. J Clin Psychiatry.
2013;74(3):5.
6. Muttaqin H, Sihombing RNE, penyunting. Skizofrenia. Dalam: Sadock BJ, Sadock VA.
Kaplan & sadock’s concise textbook of clinical psychiatry. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;
2010.h.147-75.
7. The National Institute of Mental Health. Schizophrenia [Internet]. Department of Health
and Human Services. 2014. Available from:
https://www.nimh.nih.gov/health/topics/schizophrenia/index.shtml-diakses September
24, 2021.
8. Barder HE, Sundet K, Rund BR, Evensen J, Haahr U, ten Velden Hegelstad W, et al.
Neurocognitive Development in First Episode Psychosis 5 Years Follow Up:
Associations between Illness Severity and Cognitive Course. Schizophr Res.
2013;149:63–9.
9. Ayuningtyas D, Rayhani M. Analisis Situasi Kesehatan Mental pada Masyarakat di
Indonesia dan Strategi Penganggulangannya. J Ilmu Kesehat Masy. 2018;9(1):1–10.
10. Safitri M. Perbedaan Kualitas Hidup Antara Pasien Skizofrenia Gejala Positif dan Gejala
Negatif Menonjol [Skripsi]. Universitas Sebelas Maret; 2010.

43
11. Stahl SM. Beyond the dopamine hypothesis of schizophrenia to three neural networks of
psychosis: dopamine, serotonin, and glutamate. CNS Spectr. 2018;23:187–91.
12. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. Indonesia;
2015. Available from:
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02 -MENKES-
73- 2015_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Jiwa_.pdf-diakses September
2021
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Konsensus Penatalaksanaan
Gangguan Skizofrenia. Jakarta: PDSKJI; 2011.
14. Agustia S, Sabrian F, Woferst R. Hubungan Gaya Hidup dengan Fungsi Kognitif Pada
Lansia. J Online Mhs Progr Stud Ilmu Keperawatan Univ Riau. 2014;1(2):1–8.
15. Theresa RM, Trihandini I. Hubungan Antara Fungsi Kognitif dengan Tingkat
Kemandirian dan Kualitas Hidup Warga Usia Lanjut. Bina Widya. 2013;24(3):139–44.
16. Kurnia FYP. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kekambuhan pada
Pasien Skizofrenia di Poli Psikiatri RSD dr. Soebandi Jember. Universitas Jember; 2015.
17. Pagehgiri TP. Gambaran Profil Aspek Intelektual Penderita Skizofrenia Berdasarkan Tes
Rorschach. 2002;
18. Kipps CM, Hodges JR, Hodges JR. Cognitive Assessment for Clinician. J Neurol
Neurosurg Psychiatry. 2005;76.
19. Tanaka T, Tomotake M, Ueoka Y, Kaneda Y, Taniguchi K, Nakataki M, et al. Cognitive
dysfunction in schizophrenia. Psychiatry Clin Neurosci. 2012;66:491–8.
20. Cadena EJ, White DM, Kraguljac N V., Reid MA, Jindal R, Pixley RM, et al. Cognitive
control network dysconnectivity and response to antipsychotic treatment in
schizophrenia. Schizophr Res. 2019;204:262–70.

44
LAMPIRAN FOTO

Foto 1. Rumah pasien tampak depan

Foto 2. Ruang tamu pasien Foto 3. Dapur dan meja makan

45
Foto 4. kamar pasien

Foto 5. Pasien Foto 6. Pasien melukai diri sendiri

46
Foto 7. Saat Pasien bersembunyi karena merasa takut

47

Anda mungkin juga menyukai