Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN TINEA CRURIS

Disusun Oleh :

ALDRIYAN KAREL RAHANKLAN


NIM : 117361610

Preseptor Akademik Preseptor Lahan

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN


STIK FAMIKA MAKASAR

TAHUN 2020/2021

1
LAPORAN PENDAHULUAN

TINEA CRURIS

1. DEFENISI
Tinea adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya lapisan
teratas pada kulit pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan
jamur dermatofita (jamur yang menyerang kulit). Tinea kruris sendiri merupakan
penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur pada daerah genitokrural (selangkangan),
sekitar anus, bokong dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.

Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit
yang berlangsun seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerahgenito-krural
saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian
bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris mempunyai nama lain eczema
marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobie itch (Rasad, Asri, Prof.Dr.
2005)

Tinea cruris adalah infeksi dari permukaan kulit yang mempengaruhi daerah pangkal
paha, termasuk alat kelamin , daerah kemaluan dandaerah perianal . Hal ini
terutama mempengaruhi orang-orang dan dominan cuaca hangat dan lembab. Hal
ini disebabkan oleh jamurdermatofit Trichophyton rubrum dan kadang-kadang oleh
Candida albicans , Trichophyton mentagrophytes dan floccosum Epidermophyton.

Tinea cruris, juga dikenal sebagai rasa gatal selangkangan, selangkangan busuk,
marginatum Eksi, rasa gatal pusat , rasa gatal atlet, dan Kurap pangkal paha di
Amerika Inggris: 303 dan dhobi rasa gatal atau scrot membusuk di british Bahasa
Inggris, (rujuka) adalah dermatofit infeksi jamur dari selangkangan daerah di kedua
jenis kelamin , meskipun lebih sering terlihat pada pria.

2. ETOLOGI
Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) danEpidermophython
fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton tonsurans (6%) (Boel,
Trelia.Drg. M.Kes.2003)
Pria lebih sering terkena daripada wanita. Maserasi dan oklusi kulit lipat paha
menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang akan memudahkan
infeksi. Tinea kruris biasanya timbul akibat penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain.
Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi
atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai
kamar mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.

3. EPIDEMIOLOGI

2
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka
kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan
perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea cruris.Jamur ini
sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan diri atau
lingkungan sekitar yang kotor dan lembab

4. PATOFISIOLOGI
Cara penularan jamur dapat secara angsung maupun tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari
manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman,
kayu yang dihinggapi jamur, pakaian debu. Agen penyebabjuga dapat ditularkan
melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau
autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini
menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan
invasi ke stratum korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-
cabangnya didalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim
keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi
peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum menyebabkan
timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi kulit
semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:
 Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik, zoofilik,
geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu dengan yang
lain dalam hal afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh
misalnya: Trichopyhton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermophython
fluccosum paling sering menyerang liapt paha bagian dalam

 Faktor Trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.

 Faktor Suhu dan Kelembapan


Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela
jari paling sering terserang penyakit jamur.
Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan

 Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan


Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden
penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering
ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik

5. MANISFESTASI KLINIS

3
 Anamanesi
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat
meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke
supra pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika
banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan
yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai
pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita
diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara,
atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena dermatophytosis.

 Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder.
Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula
atau pustula. Jika kronis atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya
makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likenifikasi.
Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likenifikasi.
Manifestasi tinea cruris :
Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat paha,
dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis
Daerah bersisik
Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif
Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan
disertai likenifikasi
Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus yang
tersebar dan sedikit skuama
Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi mungkin
muncul karena garukan
Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga tampak
kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula folikuler
Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk
mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya
dibersihkan dengan alkohol 70%.

Pemeriksaan Dengan Sediaan Basah


Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan
memakai scalpel atau pinggir gelas → taruh di obyek glass → tetesi KOH 10-15 % 1-2
tetes → tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan → lihat di mikroskop dengan
pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh

4
sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang
lama atau sudah diobati, dan

miselium
Pemeriksaan Kultur Dengan Sabouraud Agar
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium
saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide (mycobyotic-
mycosel) untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.
Identifikasi jamur biasanya antara 3-6 minggu (Wiederkehr, Michael. 2008)

Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya dan
spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid–Schiff, jamur akan tampak
merah muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak
coklat atau hitam (Wiederkehr, Michael. 2008).
Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma
dimana akan tampak floresensi merah bata(Wiederkehr, Michael. 2008).

7. PENATALAKSANAAN
Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti jamur topikal
saja dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa formulasi.
Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100% dan jarang
ditemukan efek samping. Obat ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu.
Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2
minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik dapat diberikan jika terdapat
kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi topikal. Sebelum memilih
obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-obatan tersebut.
Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi sistemik diberikan
lebih dari 4 mingggu.
Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam emapat
golongan yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya
seperti siklopiros,tolnaftan, haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim
lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah enzim yang berfungsi mengubah lanosterol
ke ergosterol), dimana truktur tersebut merupakankomponen penting dalam
dinding sel jamur. Goongan Alynamin menghambat keja dari squalen epokside yang
merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol yang berakibat akumulasi
toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian sel. Dengan penghambatan
enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan membran sel sehingga ergosterol
tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme kerjanya diperkirakan sama
dengan golongan alynamin sedangkan golongan lainnya sama dengan golongan
azole. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam bentuk pemberian topikal dan
sistemik:
Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris adalah: Golongan Azol

5
Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec) Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan
dalam pengobatan tinea cruris karena bersifat broad spektrum antijamur yang
mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi dengan mengubah permeabilitas
membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan dengan clotrimazole ini bisa
dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-
anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream 1%, solution,
lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidakada kontraindikasi obat ini,
namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas, peradangan
infeksi yang luas dan hinari kontak mata.

Mikonazole (icatin, Monistat-derm)


Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akanmenghambat
biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotio,
bedak. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama
dengan dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,
hindari kontak dengan mata.

Econazole (Spectazole)
Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu
menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu
permeabilitas dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan
dengan ecnazole dapat dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak
2kali atau 4 kali dalam sediaan cream 1%.. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.

Ketokonazole (Nizoral)
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat broad
spektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur
meningkat menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat
dilakukan selama 2-4 minggu. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan
hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.

Oxiconazole (Oxistat)
Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan menghambat
sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur
mati. Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia
dalam bentk cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun
penggunaan sama dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas dan hanya digunakan untuk pemakaian luar.

Sulkonazole (Exeldetm)
Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya
yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran

6
komponen sel, sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk
cream 1% dan solutio. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama
dengan orang dewasa (dioleskan pada daerah yang terkena selama 2-4 minggu
sebanyak 4 kali sehari).

Griseofulfie
Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan
mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya
dibanding itrakonazole. Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg
ultramicrosize) PO selama 2-4minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg
microsize /kg/hari

DAFTAR PUSTAKA

Adiguna, MS., 2004. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia. Dalam : Dermatomikosis


Superfisialis. Jakarta; Balai Penerbit FKUI.

Agusni, I., Kasansengari, US., 1992. Gambaran Klinis Penyakit-Penyakit Jamur


Superfisialis pada Kulit. Dalam : Kumpulan Naskah Dermato-Mikologi.
Surabaya : FK UNAIR.

Agusyana, Yus., 2011. Olah Data Skripsi Dan Penelitian Dengan SPSS 19. Jakarta :
PT.Gramedia.

Brown, GR., Burns, T., 2005. Lecture Notes Dermatologi. Jakarta : Erlangga.

7
Budimulja, U., 2005. Mikosis. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.4.
Jakarta : FKUI.

Cholis, M., 2004. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. Dalam : Dermatofitosis


Superfisialis. Jakarta ; Balai Penerbit FKUI.

Djuanda, Adhi., 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,. Ed.4. Jakarta ; FKUI.

Dahlan, MS., 2008. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Ed.4. Jakarta ;
Salemba Medika.

Daldjoeni., 1992. Pokok-pokok Geografi Manusia. Bandung.

Goedadi, M., Suwito., 2004. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam :
Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta ; Balai Penerbit FKUI.

Hanum, Sri Yusfinah Masfah., 2009. Hubungan Kadar CD-4 Dengan Infeksi Jamur
Superfisialis Pada Penderita HIVdi RSUP H. Adam Malik Medan.
Universitas Sumatra Utara. Tesis.

Harahap, M., 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta ; Hipokrates.

Ichsan, Zanuar., 2010. Dermatofitosis. Fakultas Kedokteran UNS, Bookreading.

Kane, Lio, Stratigos, et.al, 2009. Color Atlas & Synopsis of Pediatric Dermatology.
International Edition. 2nd Edition. Mc Graw Hill Medical.

Anda mungkin juga menyukai