DIFFICULT AIRWAYS
Pembimbing:
dr. M. Winardi S. Lesmana, Sp.An
Disusun Oleh:
Ayu Selviani
NPM. 20360061
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan referat ini
dengan judul “Difficult Airways”. Penyelesaian referat ini banyak bantuan dari berbagai
pihak, oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih
yang sangat tulus kepada dr. M. Winardi S. Lesmana, Sp.An selaku pembimbing yang
telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan memberi kesempatan kepada
kami untuk menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tentu tidak lepas dari kekurangan
karena kebatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan
masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tugas terpenting dari ahli anestesiologi adalah manajemen jalan napas pasien.
Meskipun banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan napas berdasarkan
masalah kegawat daruratan, namun hanya beberapa yang bertanggung jawab atas
rutinitas, pertimbangan pilihan dari keadaan intrinsik pasien terhadap kontrol
pernapasan.. Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan menunjukkan di
mana kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam tatalaksananya
justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien tersebut (Guyton, 2007).
Keenan dan Boyan melaporkan bahwa kelalaian dalam memberikan
ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari 27 pasien yang sedang dioperasi
mengalami mati jantung (cardiac arrest ). Salah satu penyebab utama dari hasil
akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata oleh American Society of
Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode pernapasan yang
buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga kesalahan
mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas
yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan
intubasi trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus,
mengalami kematian dan kerusakan otak . Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di
atas), mengalami masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal.
Menurut Cheneyet al menyatakan beberapa hal yang menjadi komplikasi dari
tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma jalan napas, pneumothoraks, obstruksi
jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus (Abhiuqe, 2008).
Berdasarkan data-data tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana jalan napas yang
baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi dan beberapa langkah berikut
adalah penting agar hasil akhir menjadi baik, yaitu : (1) anamnesa dan pemeriksaan
fisik, terutama yang berhubungan dengan penyulit dalam sistem pernapasan, (2)
penggunaan ventilasi supraglotik (seperti face mask, Laryngeal Mask Airway/LMA), (3)
tehnik intubasi dan ekstubasi yang benar, (4) rencana alternatif bila keadaan gawat
darurat terjadi. (Guyton, 2007).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
Kata “jalan napas” (atau airway, dalam bahasa inggris), mengarah kepada
saluran pernapasan atas, yang terdiri dari rongga hidung dan rongga mulut, faring,
laring, trakhea dan brokus. jalan napas pada manusia merupakan suatu saluran udara
yang sangat penting dan saling berhubungan. Karena jalan oroesofageal dan nasotraheal
bersilangan, terjadilah suatu evolusi atau perubahan secara anatomis dan fungsional
untuk melindungi jalan napas sublaringeal agar tidak terjadi aspirasi makanan yang
melewati faring. (Guyton, 2007)
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang
menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis). Kedua
bagian ini dipisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung
di bagian posterior dalam faring . Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler
yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke
esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring,
orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh
garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis
memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah
terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring
adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9
kartilago : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan
kuneiforme. ( Morgan GE et all, 2006)
Perbedaan anatoomis antara anak dan orang dewasa, (Guyton, 2007)
Secara proporsional, ukuran pada anak lebih kecil
Bagian tersempit: kartilago krikoid pada anak ; plika vokalis pada orang dewasa
Daerah vertikal: C3, C4, C5 pada anak; C4, C5, C6 pada orang dewasa
Epiglotis : pada anak lebih panjang, lebar dan kaku
Pada anak plika ariepiglotika lebih dekat ke daerah midline
Pita suara pada anak, sudut anterior bersinggung secara tegak lurus dengan laring
Pada anak kartilago laryng dapat dibengkokkan
Mukosa pada anak cenderung mudah rusak karena tindakan maipulatif.
DEFINISI DIFFICULT AIRWAYS
Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American Society
of Anesthesiology (ASA) 2003 adalah adanya situasi klinis yang menyulitkan baik
ventilasi dengan masker atau intubasi yang dilakukan oleh dokter anestesi yang
berpengalaman dan terampil. (American Society of Anesthesiologists, 2013)
KLASIFIKASI DIFFICULT AIRWAYS
Menurut ASA jenis kesulitan jalan nafas dibagi menjadi 5, (American Society of
Anesthesiologists, 2013;118:251-70)
1. Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA)
ketidakmampuan dari ahli anastesi yang berpengalaman untuk menjaga SO2 >
90% saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2 inspirasi 100%,
dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen pra ventilasi masih dalam batas
normal.
2. Kesulitan penempatan SGA, penembatan SGA membutuhkan upaya berulang
dengan ada atau tidaknya patologi trakea.
3. Kesulitan dilakukan laringoskopi, kesulitan untuk melihat bagian pita suara
setelah dicoba beberapa kali dengan laringoskop sederhana.
4. Kesulitan intubasi trakea, dibutuhkan lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha
intubasi yang terakhir lebih dari 10 menit.
5. Kegagalan intubasi , penematan ETT gagal setelah beberapa kali percobaan
intubasi.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Anamnesis terutama yang berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala
yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. bila mungkin, perlu
dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan
saluran pernapasan atas. tanda dan gejala yang berhubungan dengan jalan napas
harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok (misalnya pada sleep apnea
yang obstruktif), gigi terkikia, perubahan suara, disfagia, stridor, nyeri servikal
atau pergerakan leher yang terbatas, neuropati ektremitas atas, nyeri atau
disfungsi sendi temporomandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang
berlangsung lama setelah pembiusan. banyak kelainan kongenital dan gejala
yang dapat, berhubungan dengan penyulit tatalaksana jalan napas. (American
Society of Anesthesiologists, 2013;118:251-70)
Pemeriksaan Fisik
o METODE LEMON
Salah satu alat yang dikembangkan untuk menentukan pasien mungkin
menimbulkan kesulitan manajemen jalan nafas adalah metode LEMON.
(Bimbaumer DM, 2005).
L = Look Externally
Melihat adanya hal-hal yang menyebabkan pasien membutuhan tindakan
ventilasi atau intubasi dan evaluasi kesulitan secara fisik, misalkan leher pendek,
trauma facial, gigi yang besar, kumis atau jenggot, atau lidah yang besar.
E = Evaluate 3-3-2
3-3-2 rule adalah penentuan jarak anatomis menggunakan jari sebagai alat ukur
untuk mengetahui seberapa besar bukaan mulut.
M = Mallampati score
Mallampati score digunakan sebagai alat klarifikasi untuk menilai visualisasi
hipofaring, secara pasien berbaring dalam posisi supine, membuka mulut sambil
menjulurkan lidah.
Klasifikasi Klinis
Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole
Kelas II Pilar fausial dan palatum mole terlihat
o METODE 4MS
1. Mallampati
klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari orofaring.
( Reed MJ et al, 2005).
A. Klasifikasi Klinis
Mallampati
Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole
Kelas II Pilar fausial dan palatum mole terlihat
B. Klasifikasi Klinis
Samsoon Young
Kelas I Visualisasi seluruh bukaan laring
Kelas II Visualisasi hanya komisura posterior
dan bukaan laring
Kelas III Visualisasi hanya epiglottis
Kelas IV Visualisasi hanya soft palate
Pemeriksaan Penunjang
Radiografi, CT-scan, Fluoroskopi dapat mengidentifikasi berbagai keadaan yang
didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan. ((American Society of
Anesthesiologists, 2013;118:251-70) .
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir
bagian proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan
konektor berukuran 15 mm, dan dibagian distal terdapat balon
berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon
dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara
membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan
tekanan rendah ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan
anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral
airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah, perhatian yang
detil akan memperbaiki keberhasilan. Posisi ideal dari balon
adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme
dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika
esophagus terletak di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi
masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi LMA
yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak
berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak
baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang
ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh
epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan
terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara
langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB)
menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian
balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa
di plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi
faring (tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus
tetap dipertahankan pada tempatnya sampai reflek jalan nafas
pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau
membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai
lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan
tersedia dalam berbagai ukuran. ( Morgan GE et al, 2006 ).
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA