Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

DIFFICULT AIRWAYS

Referat ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Anestesi RSU. Haji Medan

Pembimbing:
dr. M. Winardi S. Lesmana, Sp.An

Disusun Oleh:
Ayu Selviani
NPM. 20360061

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan referat ini
dengan judul “Difficult Airways”. Penyelesaian referat ini banyak bantuan dari berbagai
pihak, oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih
yang sangat tulus kepada dr. M. Winardi S. Lesmana, Sp.An selaku pembimbing yang
telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan memberi kesempatan kepada
kami untuk menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tentu tidak lepas dari kekurangan
karena kebatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan
masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat.

Medan, Desember 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tugas terpenting dari ahli anestesiologi adalah manajemen jalan napas pasien.
Meskipun banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan napas berdasarkan
masalah kegawat daruratan, namun hanya beberapa yang bertanggung jawab atas
rutinitas, pertimbangan  pilihan dari keadaan intrinsik pasien terhadap kontrol
pernapasan.. Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan menunjukkan di
mana kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam tatalaksananya
justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien tersebut (Guyton, 2007).
Keenan dan Boyan melaporkan bahwa kelalaian dalam memberikan
ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari 27 pasien yang sedang dioperasi
mengalami mati jantung (cardiac arrest ). Salah satu penyebab utama dari hasil
akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata oleh  American Society of
Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode pernapasan yang
buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga kesalahan
mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas
yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan
intubasi trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus,
mengalami kematian dan kerusakan otak . Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di
atas), mengalami masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal.
Menurut Cheneyet al  menyatakan beberapa hal yang menjadi komplikasi dari
tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma  jalan napas, pneumothoraks, obstruksi
jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus (Abhiuqe, 2008).
Berdasarkan data-data tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana jalan napas yang
baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi dan beberapa langkah berikut
adalah penting agar hasil akhir menjadi baik, yaitu : (1) anamnesa dan pemeriksaan
fisik, terutama yang  berhubungan dengan penyulit dalam sistem pernapasan, (2)
penggunaan ventilasi supraglotik (seperti face mask, Laryngeal Mask Airway/LMA), (3)
tehnik intubasi dan ekstubasi yang benar, (4) rencana alternatif bila keadaan gawat
darurat terjadi.  (Guyton, 2007).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Kata “jalan napas” (atau airway, dalam bahasa inggris), mengarah kepada
saluran pernapasan atas, yang terdiri dari rongga hidung dan rongga mulut, faring,
laring, trakhea dan brokus. jalan napas pada manusia merupakan suatu saluran udara
yang sangat penting dan saling berhubungan. Karena jalan oroesofageal dan nasotraheal
bersilangan, terjadilah suatu evolusi atau perubahan secara anatomis dan fungsional
untuk melindungi jalan napas sublaringeal agar tidak terjadi aspirasi makanan yang
melewati faring. (Guyton, 2007)
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang
menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis). Kedua
bagian ini dipisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung
di bagian posterior dalam faring . Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler
yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke
esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring,
orofaring dan laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh
garis imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis
memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah
terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring
adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9
kartilago : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan
kuneiforme. ( Morgan GE et all, 2006)
Perbedaan anatoomis antara anak dan orang dewasa, (Guyton, 2007)
 Secara proporsional, ukuran pada anak lebih kecil
 Bagian tersempit: kartilago krikoid pada anak ; plika vokalis pada orang dewasa
 Daerah vertikal: C3, C4, C5 pada anak; C4, C5, C6 pada orang dewasa
 Epiglotis : pada anak lebih panjang, lebar dan kaku
 Pada anak plika ariepiglotika lebih dekat ke daerah midline
 Pita suara pada anak, sudut anterior bersinggung secara tegak lurus dengan laring
 Pada anak kartilago laryng dapat dibengkokkan
 Mukosa pada anak cenderung mudah rusak karena tindakan maipulatif.
DEFINISI DIFFICULT AIRWAYS
Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American Society
of Anesthesiology (ASA) 2003 adalah adanya situasi klinis yang menyulitkan baik
ventilasi dengan masker atau intubasi yang dilakukan oleh dokter anestesi yang
berpengalaman dan terampil. (American Society of Anesthesiologists, 2013)
KLASIFIKASI DIFFICULT AIRWAYS
Menurut ASA jenis kesulitan jalan nafas dibagi menjadi 5, (American Society of
Anesthesiologists, 2013;118:251-70)
1. Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA)
ketidakmampuan dari ahli anastesi yang berpengalaman untuk menjaga SO2 >
90% saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2 inspirasi 100%,
dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen pra ventilasi masih dalam batas
normal.
2. Kesulitan penempatan SGA, penembatan SGA membutuhkan upaya berulang
dengan ada atau tidaknya patologi trakea.
3. Kesulitan dilakukan laringoskopi, kesulitan untuk melihat bagian pita suara
setelah dicoba beberapa kali dengan laringoskop sederhana.
4. Kesulitan intubasi trakea, dibutuhkan lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha
intubasi yang terakhir lebih dari 10 menit.
5. Kegagalan intubasi , penematan ETT gagal setelah beberapa kali percobaan
intubasi.
DIAGNOSIS
 Anamnesis
Anamnesis terutama yang berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala
yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. bila mungkin, perlu
dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan
saluran pernapasan atas. tanda dan gejala yang berhubungan dengan jalan napas
harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok (misalnya pada sleep apnea
yang obstruktif), gigi terkikia, perubahan suara, disfagia, stridor, nyeri servikal
atau pergerakan leher yang terbatas, neuropati ektremitas atas, nyeri atau
disfungsi sendi temporomandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang
berlangsung lama setelah pembiusan. banyak kelainan kongenital dan gejala
yang dapat, berhubungan dengan penyulit tatalaksana jalan napas. (American
Society of Anesthesiologists, 2013;118:251-70)
 Pemeriksaan Fisik
o METODE LEMON
Salah satu alat yang dikembangkan untuk menentukan pasien mungkin
menimbulkan kesulitan manajemen jalan nafas adalah metode LEMON.
(Bimbaumer DM, 2005).
L = Look Externally
Melihat adanya hal-hal yang menyebabkan pasien membutuhan tindakan
ventilasi atau intubasi dan evaluasi kesulitan secara fisik, misalkan leher pendek,
trauma facial, gigi yang besar, kumis atau jenggot, atau lidah yang besar.
E = Evaluate 3-3-2
3-3-2 rule adalah penentuan jarak anatomis menggunakan jari sebagai alat ukur
untuk mengetahui seberapa besar bukaan mulut.
M = Mallampati score
Mallampati score digunakan sebagai alat klarifikasi untuk menilai visualisasi
hipofaring, secara pasien berbaring dalam posisi supine, membuka mulut sambil
menjulurkan lidah.

Klasifikasi Klinis
 Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole
 Kelas II Pilar fausial dan palatum mole terlihat

 Kelas III Palatum durum dan palatum mole masih


terlihat
 Kelas IV Palatum durum sulit terlihat
Table I Skor Mallampati pada klinis
O = Obstruction/Obesity
Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi misalkan abses
peritonsil, trauma. Obesitas dapat menyebabkan sulitnya intubasi karena
memperberat ketika melakukan laringoskop dan mengurangi visualisasi laring.
N = Neck deformity
Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan berkurangnya
range of movement dari leher sehingga intubasi menjadi sulit. Leher yang baik
dapat fleksi dan ekstensi dengan bebas ketika laringoskopi atau intubasi,
Ekstensi leher “normal” adalah 35º ( The atlanto-oksipital/A-O joint). ( Reed MJ
et al, 2005).

o METODE 4MS
1. Mallampati
klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari orofaring.
( Reed MJ et al, 2005).

A. Klasifikasi Klinis
Mallampati
 Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole
 Kelas II Pilar fausial dan palatum mole terlihat

 Kelas III Palatum durum dan palatum mole masih


terlihat
 Kelas IV Palatum durum sulit terlihat

B. Klasifikasi Klinis
Samsoon Young
 Kelas I Visualisasi seluruh bukaan laring
 Kelas II Visualisasi hanya komisura posterior
dan bukaan laring
 Kelas III Visualisasi hanya epiglottis
 Kelas IV Visualisasi hanya soft palate

2. Maesurement 3-3-2 or 1-2-3-3 Fingers


3- jari bukaan mulut
3- jari jarak hypomental = dari manthus sampai leher
2- jari antara typiod sampai dasar dari mandibular
1- Jari subluksasi mandibular
3. Movement of the neck
Ektensi leher “ normal” adalah 35º ( The atlanto-oksipital/A-O joint).
Keterbatasan ekstensi sendi terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis,
halo-jaket fiksasi, pasien dengan gejala yang menunjukan kompresi saraf,
dengan ekstensi servikal. (Bimbaumer DM,2005).
4. Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O), Pathology (P) =
STOP
S = Skull ( Hidrocephalus dan Microcephalus )
T = Teeth ( Buck, protruded, & gigi ompong, makro dan mikro mandibular )
O = Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar kepala dan leher)
P = Pathologi (kraniofacial abnormal & syndromes: treacher Collins,
goldenhar’s, pierre robin, wardenburg syndrome).

 Pemeriksaan Penunjang
Radiografi, CT-scan, Fluoroskopi dapat mengidentifikasi berbagai keadaan yang
didapat atau bawaan pada pasien dengan kesulitan. ((American Society of
Anesthesiologists, 2013;118:251-70) .

PENANGANAN JALAN NAPAS SULIT


Evaluasi Jalan Napas
 Memperoleh riwayat kesulitan jalan napas
Riwayat penyakit ( kesulitan jalan napas ) dapat membantu dalam cara
menghadapi kesulitan jalan nafas, riwayat operasi anastesi, jika ada kemudian
tanyakan waktu pelaksanaan.
 Pemeriksaan fisik
Ciri-ciri anatomi tertentu ( ciri-ciri fisik dari kepala leher ) dan kemungkinan
dari kesulitan jalan napas.
 Evaluasi tambahan
Tes diagnostic tertentu (Radiografi, CT-scan, fluoroskopi ) dapat
mengidendifikasi berbagai keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien
dengan kesulitan jalan napas.
PERSIAPAN STANDAR PADA MANAGEMEN KESULITAN JALAN NAPAS
1. Tersedianya peralatan untuk pengelolaan kesulitan jalan napas, American Society
of Anesthesiologists, 2013;118:251-70) .
 Laryngoskop dengan beberapa alternative desain dan ukuran yang sesuai
 Endotrakea tube berbagai macam ukuran.
 Pemandu endotrakea tube. Contohnya stylest semirigid dengan atau tanpa lubang
tengah jet ventilasi, senter panjang dan mangil tang dirancang khusus untuk
dapat memanipulasi bagian distal endotrakeal tube.
 Peralatan intubasi fiberoptik.
 Peralatan intubasi retrograde.
 Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya sebuah het
transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA, dan
combitube.
 Sebuah detector CO2 nafas.
2. Menginformasikan kepada pasien ataukeluarga tentang adanya atau dugaan
kesulitan jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan kesulitan
jalan nafas, dan resiko khusus yang kemungkinan dapat terjadi.
3. Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan sebagai asisten dalam
manajemen kesulitan jalan nafas.
4. Melakukan preoksigen preanastesi dengan sungkup wajaah sebelum memulai
menagemen kesulitan jalan nafas, kurang lebih 3 menit untuk mencapai hasil
saturasi oksigen yang baik.
5. Secara aktif emberikan oksigen tambahan di seluruh proses managemen
kesulitan jalan nafas, dapat mengguakan nasal cannule, facemask, LMA.
American Society of Anesthesiologists, 2013;118:251-70) .
STRATEGI INTUBASI PADA KESULITAN JALAN NAFAS
1. Intubasi Sadar.
Intubasi endotrakea dalam keadaan pasien sadar dengan anastesi topical, pilihan
tehnik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka,
leher, perdarahan, usu, serta kesulitan jalan nafas. Ketika intubasi endotrakeal
direncanakan dalam keadaan sadar dibawah anastesi topical, kombinasi obat
premedikasi digunakan untuk menghilangkan kecemasan, memberikan jalan
nafas yang jelas dan kering, dan mencegah aspirasi isi lambung. Yaitu antara
lain seperti diazepam, fentanyl atau etidin untuk mempermudah kooperasi pasien
tanpa harus menghilangkan reflex jalan nafas atas ( yang harus mencegah
aspirasi). Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan faring, tetapi jangan kena
plika vocalis. Midazolam dalam dosis 20 sampai 40mg/kg IV, diulangi setiap 5
menit yang diperlukan, yang digunakan untuk mencapai tingkat yang diinginkan
sedasi ( dosis maksimal 100 sampai 200 mg/kg ). ( Rankumar V, 2011 ). Pada
beberapa penelitian membuktikan bahwa intubasi sadar pada pasien yang
menderita kesulitan jalan nafas memberikan hasil memuaskan 88-100%.
(American Society of Anesthesiologists, 2013;118:251-70) .
2. Laringoskop dengan bantuan video
Meningkatkan visualisasi laring, frekuensi kesuksesan lebih tinggi disbanding
intubasi dengan laringoskop, dan frekuensi yang lebih tinggi dan intubasi upaya
pertama ; tidak ada perbedaan dalam waktu untuk intubasi, trauma jalan nafas,
bibir / traumakaret, trauma gigi, atau skait tenggorokan.
3. Intubasi stylest atau tube-changer.
4. SGA untuk ventilasi ( LMA, Laringeal tube )
Penggunaan LMA mingkatkan untuk menggantikan pemakain facemask dan TT
selama pemberian anastesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasnagan TT
pada pasien dengan jalan nafas yang sulit, dan untuk membantu ventilasi selama
bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkoskop. LMA memiliki
kelebihan yang istimewah dalam menentukan penangan kesulitan jalan nafas
dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan : LMA yang
dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, Proseal LMA yang
memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastric dan dapat digunakan
ventilasi tekanan psitif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi
bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit.

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir
bagian proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan
konektor berukuran 15 mm, dan dibagian distal terdapat balon
berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon
dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara
membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan
tekanan rendah ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan
anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral
airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah, perhatian yang
detil akan memperbaiki keberhasilan. Posisi ideal dari balon
adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme
dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika
esophagus terletak di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi
masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi LMA
yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak
berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak
baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang
ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh
epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan
terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara
langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB)
menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian
balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa
di plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi
faring (tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus
tetap dipertahankan pada tempatnya sampai reflek jalan nafas
pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau
membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai
lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan
tersedia dalam berbagai ukuran. ( Morgan GE et al, 2006 ).

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau


TT. Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan
faring (misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh
(misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah
(misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan
inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional,
LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi
jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan
bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakea, penggunaan LMA
dihubungkan dengan kejadian bronkospasme lebih kurang dari
pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti
untuk trakeal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu
terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat
diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya
dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah
digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie),
ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0
mm).

5. SGA untuk intubasi (ILMA)


6. Laryngoscopi bila rigid dari berbagai desain dan ukuran
Laryngoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk
fasilitas intubasi trakea, handle biasanya berisi baterai untuk cahaya
bola lampu pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle
yang berkhir pada ujung blade. Cahaya ari bundle fiberoptik bertuju
langsung dan tidak tersebar.
Laringoskop dengan lampu fiberoptik bundle dapat cocok digunakan diruang
MRI. Blade macintosh dan miller ada yang melengkung dan bentuk lurus.
Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien.
7. Intubasi dengan bantuan fiberoptik
8. Stylets menyala atau Light Wand

Akibat dari kesulitan jalan nafas


Akibat yang dapat terjadi dari kesulitan jalan napas, adalah:
 Kematian
 Kerusakan otak
 Cardiac arrest
 Trauma jalan nafas
 Kerusakan gigi.

Algoritma Kesulitan Jalan Nafas


1. Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari masalah pada penanganan dasar:
 Kesulitan dengan kerjasama atau persetujuan pasien
 Kesulitan ventilasi sungkup
 Kesulitan penempatan supraglotic airway
 Kesulitan laringoskopi
 Kesulitan intubasi
 Kesulitan akses bedah jalan nafas
2. Aktif memberikan oksigen tambahan selama proses manajemen kesulitan jalan
nafas
3. Mempertimbangkan manfaat relative dan kelayakan dari penanganan dasar:
 Awake intubation vs intubasi setelah induksi anastesi umum
 Tehnik non-invasif vs tehnik invasive untuk pendekatan awal untuk
intubasi
 Video laringoskopi sebagai pendekatan awal untuk intubasi
 Menjaga ventilasi spontan vs pelepasan ventilasi spontan.
4. Mengembangkan strategi primer dan strategi alternatif
BAB III

KESIMPULAN

Kegawatdaruratan jalan nafas merupakan suatu keadaan yang mengancam


dikarenakan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga diperlukan penilaian
serta penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Trakeostomi dan Intubasi sebagai suatu
tindakan untuk mengatasi gawat darurat perlu kita ketahui dan kuasai dengan baik
mengingat tindakan tersebut mempunyai resiko komplikasi dan kematian.
Untuk itu sangat diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik mengenai
persiapan, indikasi dan kontraindikasi, jenis, tekhnik dan komplikasi trakeostomi.
Tindakan perawatan pasca trakeostomi dan Intubasi merupakan tindakan yang tidak
kalah pentingnya, dan untuk itu juga harus dikelola dengan cermat untuk melengkapi
keberhasilan dalam rangka menyelamatkan pasien dari bahaya gangguan ventilasi.
Tindakan trakeostomi selain untuk menyelamatkan jiwa pasien, dapat juga memperbaiki
keadaan umum pasien. Keberhasilan tindakan Trakeostomi ditentukan oleh persiapan
yang baik, prosedur operasi dan perawatan yang baik setelah operasi serta diperlukan
juga pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi laring serta Trakeostomi itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Bingham, B.J.G. Hawke, M. Kwok, P. ATLAS OF CLINICAL


OTOLARYNGOLOGY. Chapter 3. Mosby Year Book. St. Louis.
1992. p.63- 87
Byron.Otolaryngology-Head and Neck Surgery, 3rd Edition. North
Carolyna:Byron.p66
Jerry R. Balantine, DO, FACEP. Tracheostomy. Medicinenet. 9 Juli 2008.
http://www.medicinenet.com/tracheostomy/article.htm
Lucente, Frank E. Sobol, Steven M. ESSENTIAL OF OTOLARYNGOLOGY. Third
edition. Raven Press. New York. 1933. p. 336-354. 9. Scott & Brown’s.
OTOLARINGOLOGY: LARINGOLOGY. Fifth edition. Butterworths. Great
Britain. 1987. p. 155-168.
Paparella, Michael., Shumrick, Donald. Otolaryngology- Head and Neck. Philadelphia :
WB Saunders Company
Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2001.412-413
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.
Soepardi, Arsyad., Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telingan Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2001.201-208
Sjamsuhidajat R, De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC 2004.421- 422
Scott & Brown’s. OTOLARINGOLOGY: LARINGOLOGY. Fifth
edition.Butterworths. Great Britain. 1987. p. 155-168.

Anda mungkin juga menyukai