Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI

PADA Tn. M DENGAN dx MEDIS PPOK

Dosen pembimbing:

TUMIUR SORMIN, SKM.,M.Kes

DISUSUN OLEH :

Trisan Tya (2014301092)

PRODI STR KEPERAWATAN TK II REG 2

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

TAHUN 2020/2021
A. Konsep Dasar

1. Pengertian

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan dengan ciri-ciri adanya
keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible Pada klien PPOK paru-paru klien
tidak dapat mengembang sepenuhnya dikarenakan adanya sumbatan dikarenakan sekret yang
menumpuk pada paru-paru. (Lyndon Saputra, 2010).

PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009). Selain itu
menurut Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu kelompok penyakit paru yang
mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari jalan napas di dalam paru, yang
termasuk dalam kelompok ini adalah : bronchitis, emfisema paru, asma terutama yang
menahun, bronkiektasis. Arita Murwani (2011)

2. Etiologi

Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Brashers
(2007) adalah :

a) Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita PPOK.
Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan
asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan
resiko penyakit paru obstruksi pada anak.

b) Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok.

Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan
yang menyebabkan awitan awal emfisema.
c) Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan rendahnya
tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat
dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam
terjadinya PPOK.

d) Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas
PPOK.

3. Patofisiologi/patway

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk
keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme.
Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk
dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus
dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi.
Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering
dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan
obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1),dan rasio volume
ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponenkomponen asap rokok merangsang
perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-
sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan
penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit
dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD,2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada
paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di
paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian,apabila tidak terjadi
recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD,
2009). Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil.
Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan
elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan
(Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi
jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan
dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).
3. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah Perkembangan
gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan
yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang
makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek
akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk
persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banya. Reeves (2001). Biasanya
pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup
drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal
melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya.
Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari. Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat
badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak
yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh,kehilangan selera makan (isolasi sosial)
penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam
sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena
lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) yang bermanfaat diantaranya adalah pemeriksaan fungsi paru dan
pemeriksaan radiologis.

Pemeriksaan Fungsi Paru

Pemeriksaan fungsi paru sangat penting dalam menegakkan diagnosis, menentukan tingkat
keparahan PPOK dan untuk mengkaji ulang kondisi pasien PPOK. Pemeriksaan dengan
spirometri pada PPOK diutamakan untuk menentukan nilai forced expiratory volume in 1
second (FEV1) dan the forced vital capacity (FVC).
Pada PPOK ditemukan penurunan nilai FEV1 dengan penurunan rasio FEV1/FVC. Dapat juga
dilakukan uji bronkodilator. Jika Nilai rasio FEV1/FVC post pemberian bronkodilator <0.70, ini
menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara yang persisten.

Global Initiative Lung Disease (GOLD) melakukan klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan
aliran udara pada PPOK. Klasifikasi ini berdasarkan pemeriksaan spirometri setelah dilakukan
pemberian bronkodilator inhalasi kerja pendek untuk meminimalisir variabilitas. Berikut
klasifikasinya berdasarkan nilai FEV1 post-bronkodilator dengan rasio FEV1/FVC <70%:

 GOLD 1 (Mild) : FEV1 > 80% predicted


 GOLD 2 (Moderate) : 50% < FEV1 < 80% predicted
 GOLD 3 (Severe) : 30% < FEV1 < 50% predicted
 GOLD 4 (Very Severe) : FEV1 < 30% predicted

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan pada PPOK adalah foto rontgen toraks dan CT Scan
toraks.Pada foto rontgen thoraks anteroposterior-lateral, dapat ditemukan hiperinflasi paru,
hiperlusensi, diafragma tampak datar, bayangan jantung yang sempit, dan gambaran jantung
seperti pendulum (tear drop appearance). Pada PPOK tipe bronkitis kronis dapat ditemukan
pertambahan corak vascular paru dan kardiomegali.

Pemeriksaan CT scan toraks dapat membantu dalam mendiagnosis berbagai tipe dari PPOK. CT
Scan lebih spesifik dalam mendiagnosa emfisema jika dibandingkan foto thoraks polos.

Pemeriksaan Echokardiografi

Pada pasien dengan PPOK lama, dapat menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal dan gagal
jantung kanan (cor pulmonale). Echocardiografi dapat digunakan untuk menilai tekanan sistolik
arteri pulmonal dan fungsi sitolik ventrikel kanan.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sebetulnya tidak ada yang spesifik untuk PPOK. Apabila dilakukan
pemeriksaan laboratorium, maka akan didapatkan :

 Pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) dapat digunakan untuk memprediksi tingkat
keparahan dan serangan akut dari PPOK. Secara umum. pH < 7.3 menandakan adanya
gangguan pernafasan akut. Biasanya juga ditemukan kompensasi ginjal sehingga nilai pH
mendekati normal.
 Pemeriksaan darah lengkap dapat digunakan untuk melihat apakah ada infeksi sekunder
pada PPOK yang ditandai dengan leukositosis
 Pemeriksaan kimia darah pada pasien PPOK dapat menunjukkan retensi natrium. Obat-
obatan PPOK (agonis beta adrenergic, teofiline) memiliki efek penurunan kadar kalium
serum, sehingga harus dilakukan monitor berkala.
 Pemeriksaan Sputum
Pada bronchitis kronis, biasanya sputum bersifat mukoid dan penuh dengan makrofag.
Pada PPOK eksaserbasi, sputum akan menjadi purulent dan penuh dengan neutrofil.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan kultur mikroorganisme, sehingga dapat diberikan
antibiotik yang definitif.
 Pemeriksaan Brain natriuretic peptide (BNP) dapat membantu dalam membedakan
sesak yang disebabkan oleh PPOK atau oleh gagal jantung kongestif. Namun tetap harus
memperhatikan gejala klinis pasien.
 Pemeriksaan enzim alpha1-antitrypsin (AAT) dapat ditemukan defisiensi AAT.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat keluarga menderita
emfisema pada usia muda.

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002)
adalah :

Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.Terapi eksasebrasi akut
dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan
oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau
eritromisin 4 x 0,5 g/hari.

b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya
adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.

c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang
mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu
mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan
antibiotic yang lebih kuat.

d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan
berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.

e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.

f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien


dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6
jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.

1. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :

a) Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x0,25-0,5/hari dapat


menurunkan kejadian eksasebrasi akut.

b) Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka
sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.

1) Fisioterapi.

2) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.

3) Mukolitik dan ekspektoran.


4) Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa
(55 mmHg).

5) Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi,
untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan
penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.

Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen
penyebab dan edukasi atau penyuluhan kesehatan.Sasaran dari penatalaksanaan medis asma
adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah
serangan hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang
diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan
cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah merupakan
proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta dua
adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa obat
mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek samping yang berkaitan
dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih
dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.

Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik, radiogram
dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif
dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan
patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu
mencari bantuan medis untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian
besar. Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan
sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai
tingkat seperti bukan perokok.Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan
sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi,
hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea,
seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik
profilaktik, terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada proses
penyakit tahap lanjut. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik,
drainase postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan
bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan
untuk menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus
mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari
pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan
segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya,
dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian paru
yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang terjadi sebelum mengatasi
sisi lainnya.

Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, memperlambat


progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia.
Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan
untuk mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan
cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara
kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernafasan dan dukungan dipsikologis serta
penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.

B . Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Oksigenasi

a. Pengertian Oksigenasi

Oksigen merupakan gas yang sangat vital dalam kelangsungan hidup sel dan jaringan tubuh
karena oksigen diperlukan untuk proses metabolisme tubuh secara terus menerus. Oksigen
diperoleh dari atmosfer melalui proses bernapas. Di atmosfer, gas selain oksigen juga terdapat
karbon dioksida, nitrogen, dan unsur-unsur lain seperti argon dan helium (Tarwoto &
Wartonah, 2015). Pemenuhan kebutuhan oksigenasi tubuh sangat ditentukan oleh adekuatnya
system pernafasan, system kardiovaskuler, dan system hematologi. System pernafasan atau
respirasi berperan dalam menjamin ketersediaan oksigen untuk kelangsungan metabolism sel-
sel tubuh dan pertukaran gas. System kardiovaskuler berperan dalam proses transportasi
oksigen melalui aliran darah dan system hematologi yaitu sel darah merah yang sangat
berperan dalam oksigenasi karena di dalamnya terdapat hemoglobin yang mampu mengikat
oksigen (Tarwoto & Wartonah, 2015).

Kebutuhan oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk


kelangsungan metabolism sel tubuh,mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ atau
sel (Alimul, 2009). Kebutuhan tubuh terhadap oksigen merupakan kebutuhan yang sangat
mendasar dan mendesak. Tanpa oksigen dalam waktu tertentu, sel tubuh akan mengalami
kerusakan yang menetap dan menimbulkan kematian. Otak merupakan organ yang sangat
sensitif terhadap kekurangan oksigen. Otak masih mampu menoleransi kekurangan oksigen
antara tiga sampai lima menit. Apabila kekurangan oksigen berlangsung lebih dari lima menit,
dapat terjadi kerusakan sel otak secara permanen (Kozier dan Erb dalam Asmadi 2008).

2. Anatomi dan Fisiologi yang berhubungan dengan oksigenasi

A. Anatomi Sistem Pernafasan

Organ pernapasan
a. Hidung

Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang
(kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang
berguna untuk menyaring udara, debu,dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.

b. Faring

Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan
makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung, dan mulut sebelah
depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain adalah ke atas berhubungan
dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium, ke bawah
terdapat 2 lubang (ke depan lubang laring dan ke belakang lubang esofagus).

c. Laring

Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikal dan
masuk ke dalam trakhea di bawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah
empang tenggorokan yang biasanya disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang9 tulang rawan
yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring.

d. Trakea

Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai
20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda (huruf C)
sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya
bergerak ke arah luar. Panjang trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat
yang dilapisi oleh otot polos.

e. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat
pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai struktur serupa dengan trakea dan
dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk
paru-paru.Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8
cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan,
terdiri dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang.Bronkus bercabang-cabang,cabang yang lebih kecil
disebut bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung
bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli.

f. Paru-paru

Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan paru), lobus pulmo
dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru
kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari
belahan yang kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah
segmen pada lobus superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10
segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3
buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-
belahan yang bernama lobulus. Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh
jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat
sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang ini
disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara
0,2-0,3 mm. Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada
atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada
mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura.
Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu
selaput paru yang langsung membungkus paru-paru. Kedua pleura parietal yaitu selaput yang
melapisi rongga dada sebelah luar. Antara keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa)
sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang
berguna untuk meminyaki permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru
dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernapas .

b. Fisiologi Sistem Pernafasan

Nares anterior adalah saluran-saluran di lubang hidung. Saluran-saluran itu bermuara ke dalam
bagian yang dikenal sebagai vestibulum (rongga) hidung. Rongga hidung dilapisi selaput lendir
yang sangat kaya akan pembuluh darah dan bersambung dengan lapisan faring dan dengan
selaput lendir semua sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung. Faring
(tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungan esofagus
pada ketinggian tulang rawan terikoid. Maka letaknya di belakang hidung, di belakang mulut
dan di belakang laring. Laring (tengkorak) terletak di depan bagian terendah faring yang
memisahkan dari kolumna vertebra. Laring terdiri dari lapisan tulang rawan yang diikat bersama
oleh ligamen dan membran. Yang terbesar diantaranya ialah tulang rawan tiroid dan disebelah
depannya terdapat benjolan subkutaneus yang dikenal sebagai jakun, yaitu didepan leher.
Trakhea atau batang tenggorakan kira-kira sembilan sentimeter panjangnya. Trakhea tersusun
atas enam belas sampai dua puluh lingkaran tak lengkap berupa cicin tulang rawan yang diikat
bersama oleh jaringan fibrosa. Trakhea dilapisan oleh selaput lendir yang terdiri dari epithelium
bersilia dan sel cangkir. Trakhea servikalis yang berjalan melalui leher, disilang oleh istmus
kelenjar tiroid, yaitu belahan dari kelenjar yang melingkari sisi-sisi trakhea. Bronkus mempunyai
struktur serupa dengan trakhea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Brinkus kanan lebih
pendek dan lebih lebar dari pada yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan
mengeluarkan sebuah cabang yang disebut brinchus lobus atas cabang kedua timbul setelah
cabang utama lewat dibawah arteri disebut bronchus lobus bawah (Pearce, 2002).

Paru-paru merupakan salah satu alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-
gelembung (alveoli). Alveoli terdiri dari sel-sel epitel dan endotel.Jika dibentang luas
permukaan < 90 m2, pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk kedalam darah dan
CO2 dikeluarkan dari dalam darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini < 700.000.000 buah
(paru-paru kiri dan kanan). Paru-paru ini dibagi menjadi 2 yaitu paru-paru kanan yang terdiri
dari 3 lobus dan paru-paru kiri mempunyai 2 lobus. Letak paru-paru adalah pada rongga dada
tepatnya pada cavum mediastinum. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput halus yang disebut
pleura visceral, sedangkan selaput yang berhubungan langsung dengan rongga dada sebelah
dalam adalah selaput fleur parietal. Diantara pleura ini terdapat sedikit cairan, berfungsi untuk
melicinkan permukaan selaput fleura agar dapat bergerak akibat inspirasi dan ekspirasi, paru-
paru akan terlindungi dinding dada.

Kapasitas paru-paru dapat dibedakan menjadi 2 kapasitas yaitu kapasitas total yang
mengandung arti jumlah udara dapat mengisi paru-paru pada inspirasi sedalam-dalamnya.
Sedangkan kapasitas vital adalah jumlah udara dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksimal.
Dalam keadaan normal kedua paru-paru dapat menampung udara sebanyak kurang lebih 5
liter. Waktu ekspirasi di dalam paru-paru dapat masih tertinggal < 3 liter udara. Pada waktu kita
bernafas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 CM3 atau 2 ½ M jumlah
pernafasan. Dalam keadaan normal orang dewasa 16-18 x/menit anak-anak 24 x/menit dan
bayi 30 x/menit. Dalam keadaan tertentu keadaan tersebut akan berubah, misalnya akibat dari
suatu penyakit pernafasan bisa bertambah cepat atau sebaliknya (Syaifuddin, 1996) .

B. Fisiologi Proses Oksigenasi

Menurut Alimul Hidayat 2009 mengatakan proses pemenuhan kebutuhan oksigenasi tubuh
terdiri atas tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi gas, dan transportasi gas.

1) Ventilasi

Ventilasi merupakan proses keluar dan masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam alveoli atau
dari alveoli ke atmosfer. Proses ventilasi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:

a) Adanya perbedaan tekanan antara atmosfer dengan paru, semakin tinggi tempat maka
tekanan udara semakin rendah, demikian sebaliknya, semakin rendah tempat tekanan udara
semakin tinggi.

b) Adanya kemampuan toraks dan paru pada alveoli dalam melaksanakan ekspansi atau
kembang kempis.
c) Adanya jalan napas yang dimulai dari hidung hingga alveoli yang terdiri atas berbagai otot
polos yang kerjanya sangat dipengaruhi oleh sistem saraf otonom (terjadinya rangsangan
simpatis dapat menyebabkan relaksasi sehingga vasodilatasi dapat terjadi, kerja saraf
parasimpatis dapat menyebabkan kontraksi sehingga vasokontriksi atau proses penyempitan
dapat terjadi).

d) Refleks batuk dan muntah

e) Adanya peran mukus siliaris sebagai barier atau penangkal benda asing yang mengandung
interveron dan dapat mengikat virus. Pengaruh proses ventilasi selanjutnya adalah complience
dan recoil. Complience merupakan kemampuan paru untuk mengembang. Kemampuan ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu adanya surfaktan yang terdapat pada lapisan alveoli
yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan adanya sisa udara yang menyebabkan
tidak terjadinya kolaps serta gangguan toraks. Surfaktan diproduksi saat terjadi peregangan sel
alveoli dan disekresi saat kita menarik napas, sedangkan recoil adalah kemampuan
mengeluarkan CO2 atau kontraksi menyempitnya paru. Apabila complience baik namun recoil
terganggu, maka CO2 tidak dapat keluar secara maksimal. Pusat pernapasan, yaitu medula
oblongata dan pons, dapat memengaruhi proses ventilasi, karena CO2 memiliki kemampuan
merangsang pusat pernapasan. Peningkatan CO2 dalam batas 60 mmHg dapat merangsang
pusat pernapasan dan bila pCO2 kurang dari sama dengan 80 mmHg dapat menyebabkan
depresi pusat pernapasan.

2) Difusi Gas

Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen di alveoli dengan kapiler paru dan CO2 di
kapiler alveoli. Proses pertukaran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luasnya
permukaan paru, tebal membran respirasi/ permeabilitas yang terdiri atas epitel alveoli dan
interstitial (keduanya dapat memengaruhi proses difusi apabila terjadi proses penebalan),
perbedaan tekanan dan konsentrasi O2 (hal ini sebagaimana O2 dari alveoli masuk ke dalam
darah oleh karena tekanan O2 dalam rongga alveoli lebih tinggi dari tekanan O2 dalam darah
vena pulmonalis masuk dalam darah secara difusi), pCO2 dalam arteri pulmonalis akan berdifusi
ke dalam alveoli, dan afinitas gas (kemampuan menembus dan saling mengikat hemoglobin).
3) Transportasi Gas

Transportasi gas merupakan proses pendistribusian O2 kapiler ke jaringan tubuh dan CO2
jaringan tubuh ke kapiler. Pada proses transportasi, O2 akan berikatan dengan Hb membentuk
oksihemoglobin (97%) dan larut dalam plasma (3%), sedangkan CO2 akan berikatan dengan Hb
membentuk karbominohemoglobin (30%), larut dalam plasma (5%), dan sebagian menjadi
HCO3 yang berada dalam darah (65%). Transportasi gas dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu curah jantung (cardiac output), kondisi pembuluh darah, latihan (exercise),
perbandingan sel darah dengan darah secara keseluruhan (hematokrit), serta eritrosit dan
kadar Hb. (Alimul Hidayat, 2009).

C. Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Oksigen

Kebutuhan tubuh terhadap oksigen tidak tetap, sewaktu-waktu tubuh memerlukan oksigen
yang banyak, oleh karena suatu sebab. Kebutuhan oksigen dalam tubuh dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya lingkungan, latihan, emosi, gaya hidup dan status kesehatan.

1. Lingkungan

Pada lingkungan yang panas tubuh berespon dengan terjadinya vasodilatasi pembuluh darah
perifer, sehingga darah banyak mengalir ke kulit. Hal tersebut mengakibatkan panas banyak
dikeluarkan melalui kulit. Respon demikian menyebabkan curah jantung meningkat dan
kebutuhan oksigen pun meningkat. Sebaliknya pada lingkungan yang dingin, pembuluh darah
mengalami konstriksi dan penurunan tekanan darah sehingga menurunkan kerja jantung dan
kebutuhan oksigen.

Pengaruh lingkungan terhadap oksigen juga ditentukan oleh ketinggian tempat. Pada tempat
tinggi tekanan barometer akan turun, sehingga tekanan oksigen juga turun. Implikasinya,
apabila seseorang berada pada tempat yang tinggi, misalnya pada ketinggian 3000 meter diatas
permukaan laut, maka tekanan oksigen alveoliberkurang. Ini mengindikasikan kandungan
oksigen dalam paru-paru sedikit. Dengan demikian, pada tempat yang tinggi kandungan
oksigennya berkurang. Semakin tinggi suatu tempat maka makin sedikit kandungan oksigennya,
sehingga seseorang yang berada pada tempat yang tinggi akan mengalami kekurangan oksigen.
Selain itu, kadar oksigen di udara juga dipengaruhi oleh polusi udara. Udara yang dihirup pada
lingkungan yang mengalami polusi udara, konsentrasi oksigennya rendah. Hal tersebut
menyebabkan kebutuhan oksigen dalam tubuh tidak terpenuhi secara optimal. Respon tubuh
terhadap lingkungan polusi udara diantaranya mata perih, sakit kepala, pusing, batuk dan
merasa tercekik.

2. Latihan

Latihan fisik atau peningkatan aktivitas dapat meningkatkan denyut jantung dan respirasi rate
sehingga kebutuhan terhadap oksigen semakin tinggi.

3. Emosi

Takut, cemas, dan marah akan mempercepat denyut jantung sehingga kebutuhan oksigen
meningkat.

4. Gaya Hidup

Kebiasaan merokok akan mempengaruhi status oksigenasi seseorang sebab merokok dapat
memperburuk penyakit arteri koroner dan pembuluh darah arteri. Nikotin yang terkandung
dalam rokok dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer dan pembuluh darah
koroner. Akibatnya, suplai darah ke jaringan menurun.

5. Status Kesehatan.

Pada orang sehat, sistem kardiovaskuler dan sistem respirasi berfungsi dengan baik sehingga
dapat memenuhi kebutuhan oksigen tubuh secara adekuat. Sebaliknya, orang yang mempunyai
penyakit jantung ataupun penyakit pernapasan dapat mengalami kesulitan dalam pemenuhan
kebutuhan oksigen tubuh.

D. Masalah Kebutuhan Oksigen

1. Hipoksia
Hipoksia merupakan kondisi tidak tercukupinya pemenuhan kebutuhan oksigen dalam tubuh
akibat defisiensi oksigen atau peningkatan penggunaan oksigen dalam tingkat sel, ditandai
dengan warna kebiruan pada kulit (sianosis). Secara umum terjadinya hipoksia disebabkan oleh
menurunnya kadar Hb, menurunnya difusi oksigen dari alveoli ke dalam darah, menurunnya
perfusi jaringan atau gangguan ventilasi yang dapat menurunkan konsentrasi oksigen
Perubahan Pola Pernapasan

1. Takipnea merupakan pernapasan yang frekuensi lebih dari 20 kali per menit. Proses ini
terjadi karena paru dalam keadaan atelektasis atau terjadinya emboli.

2. Bradipnea merupakan pola pernapasan yang lambat dan kurang dari 10 kali per menit. Pola
ini dapat ditemukan dalam keadaan peningkatan tekanan intrakranial yang disertai narkotik
atau sedatif.

3. Hiperventilasi merupakan cara tubuh dalam mengompensiasi peningkatan jumlah oksigen


dalam paru agar pernapasan lebih cepat dan dalam. Proses ini ditandai dengan adanya
peningkatan denyut nadi, napas pendek, adanya nyeri dada, menurunnya konsentrasi CO2 dan
lain-lain.

4. Kusmaul merupakan pola pernapasan cepat dan dangkal yang dapat ditemukan pada orang
dalam keadaan asidosis metabolik.

5. Hipoventilasi merupakan upaya tubuh untuk mengeluarkan karbondioksida dengan cukup


yang dilakukan pada saat ventilasi alveolar serta tidak cukupnya penggunaan oksigen yang
ditandai dengan adanya nyeri kepala, penurunan kesadaran, disorientasi, atau
ketidakseimbangan elektrolit yang dapat terjadi akibat atelektasis, lumpuhnya otot-otot
pernapsan, depresi pusat pernapasan, peningkatan tahanan jalan udara, penurunan tahanan
jaringan paru dan toraks, serta penurunan compliace paru dan toraks.

6. Dispnea merupakan perasaan sesak dan berat saat bernapas. Hal ini dapat disebabkan oleh
perubahan kadar gas dalam darah/jaringan, kerja berat/berlebihan, dan pengaruh psikis.
7. Orthopnea merupakan kesulitan bernapas kecuali dalam posisi duduk atau berdiri dan pola
ini sering ditemukan pada sesorang yang mengalami kongesif paru.

8. Cheyne stokes merupakan siklus pernapasan yang amplitudonya mula-mula naik, turun,
berhenti, kemudian mulai dari siklus baru.

9. Pernapasan paradoksial merupakan pernapasan yang ditandai dengan pergerakan dinding


paru yang berlawanan arah dari keadaan normal, sering ditemukan pada keadaan atelektasis.

10. Biot merupakan pernapasan dengan irama mirip dengan cheyne stokes, tetapi
amplitudonya tidak teratur. Pola ini sering dijumpai pada rangsangan selaput otak, tekanan
intrakranial yang meningkat, trauma kepala, dan lain-lain.

2. Obstruksi Jalan Napas

Obstruksi jalan napas merupakan kondisi pernapasan yang tidak normal akibat
ketidakmampuan batuk secara efektif, dapat disebabkan oleh sekresi yang kental atau
berlebihan akibat penyakit infeksi, imobilisasi, stasis sekresi dan batuk tidak efektif karena
penyakit persarafan seperti Cerebro Vascular Accident (CVA), efek pengobatan sedatif dan lain-
lain (Hidayat, 2007).Bersihan jalan nafas tidak efektif merupakan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi atau obstruksi saluran pernapasan guna mempertahankan jalan nafas
yang bersih (Nanda, 2015-2017).

3 . Pertukaran Gas

Pertukaran gas merupakan kondisi penurunan gas, baik oksigen maupun karbondioksida antara
alveoli paru dan sistem vaskular, dapat disebabkan oleh sekresi yang kental atau imobilisasi
akibat penyakit sistem saraf, depresi susunan saraf pusat, atau penyakit radang paru.
Terjadinya gangguan pertukaran gas ini menunjukkan kapsaitas difusi menurun, antara lain
disebabkan oleh penurunan luas permukaan difusi, penebalan membrane alveolar kapiler,
terganggunya pengangkutan oksigen dari paru ke jaringan akibat rasio ventilasi perfusi tidak
baik, anemia, keracunan karbondioksida, dan terganggunya aliran darah.

C. Proses Keperawatan pada gangguan Kebutuhan oksigenasi


1. PENGKAJIAN

a. Identitas

Tn. M Laki-laki berusia 67 tahun datang dibawa anaknya ke RS Reksodiwiryo Padang pada
tanggal 2 Juni 2017 pukul 17.30 WIB melalui IGD dengan keluhan sesak nafas(+), demam (+)

b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pasien mengatakan bahwa pasien sesak nafas sebelum masuk rumah sakit, disertai dengan
bunyi menciut (+), disertai dengan demam (+). Pasien dirawat diruang VI Paru Rumah Sakit
Reksodiwiryo padang dengan diagnosa medis PPOK.

Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 03 Juni 2017 pasien mengatakan nafasnya masih terasa
sesak (+) dan pasien demam (+) dan juga masih batuk.

C. Riwayat Kesehatan Dahulu

Klien mengatakan pernah dirawat sebelumnya pada tahun 2016 dengan penyakit yang sama
dengan pasien sekarang yaitu PPOK.

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Klien mengatakan bahwa tidak ada anggota keluarga klien yang menderita sakit yang sama
dengan klien.tidak ada keluarga yang menderita penyakit keturunan seperti hipertensi, diabetes
mellitus, jantung koroner serta tidak ada keluarga yang menderita penyakit menular.

e. Pengkajian kebutuhan dasar oksigenasi

Menurut Doenges (2012) pengkajian pada pasien dengan PPOK ialah :

1) Aktivitas dan istirahat :

Gejala :

- Keletihan, kelemahan, malaise.

- Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.


- Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.

- Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.

Tanda :

- Keletihan.

- Gelisah, insomnia.

- Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.

2) Sirkulasi

Gejala :

Pembengkakan pada ekstrimitas bawah

Tanda :

- Peningkatan tekanan darah.

- Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.

- Distensi vena leher atau penyakit berat.

- Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.

- Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)

- Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku tabuh dan
sianosis perifer.

- Pucat dapat menunjukkan anemia.

3) Integritas Ego

Gejala :

- Peningkatan faktor resiko.


- Perubahan pola hidup. Tanda

4) Ansietas, ketakutan, peka rangsang Makanan atau Cairan

Gejala :

- Mual atau muntah.

- Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).

- Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.

- Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan

- berat badan

- menunjukkan edema (bronchitis).

Tanda :

- Mual atau muntah.

- Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).

- Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan

- Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema
(bronchitis).

5) Hygiene

Gejala :

Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.

Tanda :

Kebersihan buruk, bau badan.

6) Pernafasan
Gejala :

- Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada
emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada
tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma).

- Lapar udara kronis.

- Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun selama minimal 3
bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, putih atau kuning)
dapat banyak sekali (bronkhitis kronis).

- Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat menjadi
produktif (emfisema).

- Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan pernafasan dalam jangka
panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau asap misalnya asbes, debu batubara, rami katun,
serbuk gergaji.

- Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin (emfisema).

- Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus

7) Penggunaan oksigen pada malam hari terus menerus

Tanda :

- Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan mendengkur,
nafas bibir (emfisema).

- Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya dengan eksasebrasi akut
(bronchitis kronis).

- Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa supraklavikula,
melebarkan hidung.
- Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel chest), gerakan
diafragma minimal.

- Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar, lembut, atau
krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area paru pada ekspirasi dan
kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi nafas (asma).

- Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara dengan emfisema,
bunyi pekak pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.

- Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.

- Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan, warna merah
(bronkhitis kronis, biru menggembung). Pasien dengan emfisema sedang sering disebut pink
puffer karena warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi
pernafasan cepat.

- Tabuh pada jari-jari (emfisema).

8) Keamanan

Gejala :

- Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.

- Adanya atau berulangnya infeksi.

- Kemerahan atau berkeringan (asma)

9) Seksual

Gejala :

Penurunan libido.

10) Interaksi Sosial

Gejala :
- Hubungan ketergantungan.

- Kurang sistem pendukung.

- Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.

- Penyakit lama atau kemampuan membaik.

Tanda :

- Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara karena distress pernafasan.

- Keterbatasan mobilitas fisik.

- Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.

11) Penyuluhan atau pembelajan

Gejala :

- Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.

- Kesulitan menghentikan merokok.

- Penggunaan alkohol secara teratur.

- Kegagalan untuk membaik.

Pemeriksaan penunjang

Diagnosis dapat ditegakan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja, tetapi kadang-kadang
juga sulit juga, sehingga perlu pemeriksaan penunjang seperti sinar tembus dada. Diagnosis
yang pasti bisa didapatkan melalui tindakan torakosintesis dan biopsi pleura pada beberapa
kasus.

a) Sinar tembus dada


Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk banyangan seperti
kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila
permukaannya horizontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga tersebut
yang bisa berasal dari luar atau dari dalam paru-paru itu sendiri. Hal lain yang dapat terlihat
dalam foto dada efusi pleura adalah terdorongnya mediatisnum pada sisi yang berlawanan
dengan cairan. Akan tetapi, bila terdapat akteletasis pada sisi yang bersamaan dengan cairan,
mediatisnum akan tetap pada tempatnya.

b) Torakosintesis

Aspirasi cairan pleura sebagai sarana untuk diagnostic maupun terapeutik. Torakosistesis
sebaiknya dilakukan pada posisi duduk. Lokasi aspirasi adalah pada bagian bawah paru disela
iga ke-9 garis axial posterior dengan memakai jarum abocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran
cairan sebaiknya tidak lebih dari 1.000-1.500 cc pada setiap kali aspirasi. Jika aspirasi dilakukan
sekligus dalam jumlah banyak, maka akan menimbulkan syok pleural (hipotensi) atau edema
paru. Edema paru terjadi karena paru-paru terlalu cepat mengembang.

c) Biopsi pleura

Pemeriksaan histologist satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukan 50 – 75
% diagnosis kasus pleuritis tuberculosis dan tumor pleura. Bila hasil biopsy pertama tidak
memuaskan dapat dilakukan biopsi ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotorak,
hemotorak, penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada. Pendekatan pada efusi pleura
yang tidak terdiagnosis.Pemeriksaan penunjang lainnya :

1) Bronkoskopi: pada kasus-kasus neoplasma, korpus alienum, abses paru.

2) Scanning isotop : pada kasus-kasus dengan emboli paru.

3) Torakoskopi (fiber-optic pleuroscopy): pada kasus dengan neoplasma atau TBC.

2. Rumusan Diagnosa Keperawatan


Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges
(2012) adalah :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.

b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan oksigenasi (obstruksi jalan nafas
oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.

c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penumpukan gas di lambung.

d. Kurang pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurangnya infromasi tentang


penyakit nya.

3. Perencanaan Keperawatan

No. Diagnosis Tujuan Intervensi

1. Bersihan jalan Setelah dilakukan Mandiri :


nafas tidak efektif tindakan
1) Auskultasi bunyi nafas.
berhubungan keperawatan
Catat adanya bunyi nafas
dengan selama 3 x 24 jam
misalnya mengi, krekels,
bronkospasma, diharapkan pasien
ronkhi
akan
peningkatan
mempertahankan  Kaji atau pantau
produksi sekret,
jalan nafas yang frekuensi
sekresi tertahan,
paten dengan bunyi pernafasan. Catat
tebal, sekresi
nafas bersih atau rasio inspirasi atau
kental,
jelas dengan kriteria ekspirasi
penurunan energi
hasil pasien akan  Catat adanya derajat
atau kelemahan.
menunjukkan dispnea, misalnya
perilaku untuk keluhan lapar udara,
memperbaiki
bersihan jalan nafas gelisah, ansietas,
misalnya batuk distress pernafasan,
efektif dan penggunaan otot
mengeluarkan bantu.
sekret  Kaji pasien untuk
posisi yang nyaman,
misalnya peninggian
kepala tempat tidur,
duduk pada
sandaran tempat
tidur
 Dorong atau bantu
latihan nafas
abdomen atau bibir
 Observasi
karakteristik batuk,
misalnya batuk
menetap, batuk
pendek, basah.
Bantu tindakan
untuk memperbaiki
keefektifan upaya
batuk.
 Tingkatkan masukan
cairan sampai 3000
ml/hari sesuai
toleransi jantung.
Memberikan air
hangat. Anjurkan
masukan cairan
antara sebagai
pengganti
makanan

2. b. Kerusakan Setelah dilakukan Mandiri :


pertukaran gas tindakan
- Kaji frekuensi, kedalaman
berhubungan keperawatan
pernafasan. Catat
dengan ganguan selama 3 x 24 jam
penggunaan otot aksesori,
supply oksigen diharapkan pasien
nafas bibir,
(obstruksi jalan menunjukkan
ketidakmampuan berbicara
nafas oleh perbaikan ventilasi
atau berbincang.
sekresi, spasma dan oksigenasi
bronkus, jebakan jaringan adekuat -Tinggikan kepala tempat
udara), kerusakan dengan GDA dalam tidur, bantu pasien untuk
alveoli. rentang normal dan memilih posisi yang mudah
bebas gejala distress untuk bernafas. Dorong
pernafasan dengan nafas dalam perlahan atau
kriteria hasil pasien nafas bibir sesuai
akan berpartisipasi kebutuhan atau toleransi
dalam program individu
pengobatan dalam
- Kaji atau awasi secara
tingkat kemampuan
rutin kulit dan warna
atau situasi.
membran mukos

- Dorong mengeluarkan
sputum, penghisapan bila di
indikasikan

- Auskultasi bunyi nafas,


catat area penurunan aliran
udara dan atau bunyi
tambahan

- Palpasi fremitus.

- Awasi tingkat kesadaran


atau status mental. Selidiki
adanya perubahan.

- Evaluasi tingkat toleransi


aktivitas. Berikan
lingkungan tenang dan
kalem. Batasi aktivitas
pasien atau dorong untuk
tidur atau istirahat di kursi
selama fase akut.
Mungkinkan pasien
melakukan aktivitas secara
bertahap dan tingkatkan
sesuai toleransi individu.

- Awasi tanda vital dan


irama jantung.

- Berikan oksigen tambahan


yang sesuai dengan indikasi
hasil GDA dan toleransi
pasien.

- Berikan penekan SSP


(antiansietas, sedative, atau
narkotik) dengan hati-hati.
- Bantu intubasi, berikan
atau pertahankan ventilasi
mekanik dan pindahkan ke
ICU sesuai instruksi untuk
pasien

3. Gangguan rasa Setelah di lakukan - Respon klien dan keluarga


nyaman “nyeri” tindakan lebih terbuka dan
Berhubungan keperawatan 2x24 menerima baik penjelasan
Dengan jam gangguan rasa dari perawat
penumpukan gas nyaman “nyeri’
-Mengurangi rasa nyeri
dilambung berkurang dengan
yang dirasakan klien.
kriteria hasil :
-Mengetahui
Klien mengatakan
perkembangan setiap
nyeri berkurang.
hasilnya
- Skala nyeri 2

- klien tidak
meringgis

- TTV

TD 120/80-140/100
mmhg

Nadi 60-100X/
menit

Suhu: 36,5-37,5
derajat

4. Kurang Tujuan dari rencana kaji tingkat pengetahuan


pengetahuan tindakan pasien dan keluarga,
adalah ketiadaan keperawatan jelaskan patofisiologi dari
atau defisiensi menurut Engram penyakit dan bagaimana hal
informasi kognitif (2000) adalah ini berhubungan dengan
yang tidaka setelah dilakukan anatomi dan fisiologi
dekuat terhadap tindakan dengan cara yang tepat,
pengetahuan. keperawatan gambarkan tanda dan
selama 3 x 24 jam gejalan yang biasa muncul
diharapkan pada penyakit dengan cara
pengetahuan klien yang tepat, gambarkan
dan keluarga proses penyakit dengan
bertambah. cara yang tepat.

Daftar pustaka

http://repository.poltekeskupang.ac.id/1065/1/Angela%20Marici.pdf

http://repository.unissula.ac.id/13723/5/Bab%20I.pdf

http://repository.poltekkes-tjk.ac.id/169/2/5%20BAB%20I.pdf

http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/18781/1/ea91ca43e8db520c8a1e16ebf600f7e5.pdf

Anda mungkin juga menyukai