Anda di halaman 1dari 15

HUKUM KELUARGA, PERKAWINAN DAN

KEKUASAAN SERTA PERWALIAN


Makalah Ini di Ajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah

“Pengantar Hukum Keluarga”

Dosen Pembimbing:

Indah Listyorini, M.H.I.

Oleh:

Dyah Ayu Safitri (20030105)

Nadhifatun Nur Hajjah (20030131)

Siti Hartinah (20030106)

FAKULTAS SYARI’AH PRODI HUKUM


KELUARGA ISLAM

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan
jasmani dan rohani, sehingga kita dapat mensyukuri nikmat yang Allah berikan terhadap kita.
Sholawat serta salam kita haturkan kepada junjungan kita, nabi agung Muhammad saw, yang
telah menuntun kita dari zaman jahiliah menuju zaman islamiyah yakni Addinul Islam.

Dalam makalah ini memuat tentang Hukum keluarga, perkawinan dan kekuasaan
serta perwalian, makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Hukum
Keluarga. Kami mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu sehingga
makalah dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita tentang Hukum keluarga, perkawinan dan kekuasaan serta perwalian.
Semoga makalah yang sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya dan
kami meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan atau penguraian dalam
makalah kami.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bojonegoro, 25 Desember 2021

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ..................................................................... 4
C. Tujuan ........................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN............................................................................. .5

A. Pengertian Hukum Keluarga ...................................................... 5

B. Perkawinan ................................................................................. 6

C. Kekuasaan Orang Tua................................................................. 7

D. Perwalian .................................................................................... 8

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 9

A. Kesimpulan ................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Keluarga Islam sebagai tawaran untuk menyelesaikan beberapa
permasalahan, sebab hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Pada hakikatnya
bukan bermaksud untuk mengajarkan kepada umat islam dalam berumah tangga dapat
mempraktekannya, akan tetapi hukum disini bersifat solutif, artinya hukum islam
memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga yang terjadi.
Akan tetapi terkadang hukum-hukum yang telah ada belum dapat dipahami terkait
hikmah dan filsafatnya sehingga berakibat kepada anggapan hukum islam yang tidak
lagi repsentatif dalam menyelesaikan perkara perdata keluarga islam.
Di Indonesia upaya konkret pembaharuan hukum keluarga islam dimulai
sekitar tahun 1960-an yang kemudian berujung lahirnya Undang-Undang No. 1 Th
1974 tentang perkawinan. Sebelum perkawinan diatur, urusan perkawinan diatur
melalui beragam hukum, antara lain hukum adat, hukum islam tradisional, hukum
perkawinan campuran dan sebagainya sesuai dengan agama dan adat istiadat masing-
masing. Upaya pembaharuan hukum keluarga selanjutnya terjadi pada masa mentri
Agama Munawir Syadzali. Upaya ini ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pada tanggal 10 juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan,
kewarisan dan pewakafan yang diperuntukan untuk umat islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan mengenai pengertian hukum keluarga?
2. Apa yang dimaksud dengan perkawinan?
3. Apa itu kekuasaan orang tua?
4. Apa itu perwalian?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian tentang hukum keluarga.
2. Mengetahui tentang apa itu perkawian
3. Mengetahui tentang kekuasaan orang tua
4. Mengetahui tentang perwalian

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Keluarga
1. Pengertian
Sebelum membahas tentang hukum keluarga kita pahami dulu apa yang
dimaksud dengan keluarga. Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu kula dan
warga (kulawarga) yang berarti “anggota, kelompok atau kerabat”. Keluarga
sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan darah,
terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab diantara individu tersebut. Dan
keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah suatu atap dan
saling ketergantungan.
Keluarga dapat dilihat ada keluarga luas dan keluarga inti. Keluarga luas
ditarik atas dasar garis keturunan diatas keluarga aslinya, keluarga ini meliputi
hubungan antara paman dan bibi, keluarga kakek dan keluarga nenek. Sedangkan
keluarga inti yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak mereka.
Ciri-ciri keluarga bersifat universal, artinya ciri-ciri tersebut dapat kita
temukan dalam masyarakat apa saja, seperti berikut:
1. Keluarga yang terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan,
darah atau adopsi. Maksudnya, yang mengikat suami dan istri adalah
perkawinan, yang mempersatukan orang tua dengan anaknya adalah hubungan
darah dan juga melalui adopsi (pengangkatan)
2. Keluarga yang para anggota keluarganya biasanya hidup bersama dalam satu
rumah tangga (household). Kadang-kadang terdiri dari kakek, nenek, anak-
anaknya, serta cucu-cucunya. Dan kadang hanya terdiri dari suami istri tanpa
adanya anak.
3. Keluarga yang mempertahankan suatu kebudayaan bersama, yang sebagian
besar berasal dari kebudayaan umum yang lebih luas. Misalnya, kebudayaan
keluarga Batak sama dengan kebudayaan Batak pada umumnya.

2
Istilah Hukum Keluarga berasal dari terjemahan kata Familierecht (Belanda)
atau law of familie (Inggris). Berikut beberapa pengertian hukum keluarga:

1. Menurut Prof. Mr. Dr. L.J Van Apeldoorn


Hukum keluarga (familierecht) adalah peraturan hubungan hukum yang timbul
dari hubungan keluarga.
2. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, SH.
Hukum keluarga adalah kesemuanya kaidah-kaidah hukum yang menentukan
syarat-syarat dan caranya mengadakan hubungan abadi serta seluruh akibatnya.
3. Menurut Prof. Ali Afandi, SH.
Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai
hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian,
pengampuan)
4. Dari Ensiklopedia Indonesia, Algra, dan kawan kawan, menuliskan bahwa
Hukum keluarga adalah mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan
keluarga. Yang termasuk dalam hukum keluarga ialah peraturan perkawinan,
pengaturan kekuasaan orang tua dan peraturan perwalian.

Dari beberapa definisi diatas terlihat bahwa hukum keluarga mengatur


hubungan hukum atau peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak yang
berkaitan dengan keluarga yang sedarah dan keluarga karena perkawinan. Hal ini
meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang
tua, pengampuan, perwalian, dan lain yang berhubungan dengan keluarga.

2. Asas Hukum Keluarga

Ada beberapa asas hukum yang dapat diterapkan dalam hukum keluarga di
Indonesia, yaitu:

1. Asas Monogami, yaitu seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri,
demikian pula sebaliknya. (pasal 27 KUHPerdata dan pasal 3 UU No. 1 Th
1974)
2. Asas Konsensual, yaitu suatu asas bahwa perkawinan atau perwalian dikatakan
sah apabila terdapat persetujuan atau konsensus antara suami-istri yang akan

3
melangsungkan perkawinan atau keluarga (Pasal 28 KUHPerdata dan Pasal 6
UU No. 1 Th 1974)
3. Asas Proporsional, yaitu suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalah kehidupan rumah tangga dan
dalam pergaulan masyarakat ( Pasal 31 UU No. 1 Th 1974)
4. Asas persatuan bulat, yaitu suatu asas dimana antara suami istri terjadi persatuan
harta benda yang dimilikinya ( Pasal 119 KUHPerdata).
3. Dasar Hukum Keluarga

Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku adalah:

1. Buku 1 KUHPerdata yaitu Bab IV sampai dengan Bab XI


2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
3. Peraturan pemerintah No. 9 Th 1974 tentang pelaksanaan UU No. 1 Th 1974
tetang perkawinan
4. Intruksi Presiden No. 1 Th 1991 tentang kompilasi Hukum Islam di
Indonesia (Pasal 1-170 KHI).
5. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 Tentang Perubahan dan
Penambahan PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil.
B. Perkawinan
1. Pengertian
Ada beberapa pendapat dari para ahli yang menjelaskan tentang pengertian
perkawinan, diantaranya:
1. Menurut Duvall & Miller (1985):
Perkawinan dikenal sebagai hubungan antar pria dan wanita yang memberikan
hubungan seksual, keturunan, membagi peran antara suami istri.
2. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Bab 1 pasal 1, perkawinan diartikan:
Perkawinan adalah ikatan batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami-
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Beberapa sumber lain menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan atau


komitmen emosional dan legal antara seorang pria dengan seorang wanita yang

4
terjalin dalam waktu yang panjang dan melibatkan aspek ekonomi, sosial,
tanggung jawab pasangan, kedekatan fisik, serta hubungan seksual.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, peneliti membatasi pengertian


perkawinan sebagai ikatan yang bersifat kontrol sosial antara pria dan wanita
didalamnya diatur mengenai hak dan kewajiban, kebersamaan emosional, juga
ativitas seksual, ekonomi, dengan tujuan untuk membentuk keluarga serta
mendapatkan kebahagiaan dan kasih berdasarkan tuhan YME.

2. Alasan Melakukan Perkawinan

Menurut Stinnett (dalam Turner & Helms, 1987) terdapat berbagai alasan
seseorang melakukan perkawinan, diantaranya:

1. Komitmen. Dengan melakukan perkawinan seseorang ingin menunjukkan


kepada pasangannya mengenai komitmen terhadap hubungannya.
2. One-to-one relationship. Yaitu individu dapat memberikan afeksi, rasa hormat
pada pasangannya.
3. Companionship and sharing. Dengan perkawinan seorang dapat mengatasi
rasa kesepiannya dengan berbagi segala hal pada pasangannya.
4. Love. Karena pada dasarnya perkawinan adalah sarana untuk memenuhi
kebutuhan dasar tentang cinta
5. Kebahagiaan. Banyak yang menganggap bahwa dengan melakukan
perkawinan akan mendapatkan kebahagiaan.
6. Legitimasi hubungan seks dan anak. Perkawinan memberikan legitimasi
sebuah hubungan seksual hingga akhirnya memperoleh keturunan.
3. Fungsi-Fungsi Perkawinan
1. Menumbuhkan dan memelihara cinta serta kasih saying
2. Menyediakan rasa aman dan penerimaan
3. Memberikan kepuasan dan tujuan
4. Menjamin kebersamaan secara terus menerus
5. Menyediakan status sosial dan kesempatan sosialisasi.
C. Kekuasaan Orang Tua
1. Pengertian
Kekuasaan orang tua adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh orang
tua (kandung) kepada anaknya semasa si anak tersebut belum dewasa. Menurut

5
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, dalam kekuasaan orang tua
harus mencerminkan kesadaran akan kewajiban mereka untuk bertindak atas
kepentingan anak-anaknya dan mempertahankan keseimbangan antara hak dan
kewajiban mereka untuk mensejahterakan anak-anaknya.
Mengenai kekuasaan orang tua diatur didalam KUHPerdata Buku 1 Titel XIV
Pasal 298-329, dan UU No. 1 Tahun 1974 LN 1974-1 Pasal 45 sampai dengan
pasal 49. Menurut Pasal 45 (1) UU No. 1/1974, kedua orang tua wajib memelihara
dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban ini didalah
KUHPerdata diatur dalam pasal 298.
Ketika anak sudah dewasa (mencapai usia 21 tahun), maka ia wajib untuk
memelihara orang tuanya dan keluarganya menurut garis lurus keatas didalam
keadaan tidak mampu (vide Pasal 231 KUHPerdata Pasal 47 UU No. 1 Tahun
1974). Ketentuan mengenai memelihara orang tua dan keluarganya menurut garis
lurus keatas tersebut tidak terkecuali bagi anak-anak menantu laki-laki atau
perempuan (Pasal 322) ataupun anak-anak luar kawin dan diakui menurut UU
(Pasal 328) sebatas kemampuan.
Meskipun demikian kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu tidak boleh
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang milik anaknya yang belum
berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya ( Pasal 48). Kekuasaan salah seorang atau
kedua orang tua terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu apabila ia
sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali.
2. Dasar Hukum Kekuasaan Orang Tua

Dasar hukum mengenai kekuasaan orang tua yang menjadi sumber utama
yakni:

1. Pasal 298-319 BW;


2. Pasal 45-49 UU Nomor 1 Tahun 1974
Dalam pasal diatas ditetapkan dua hal yakni:
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang
masih dibawah umur dan belum kawin.
2. Meskipun kekuasaan orang tua sudah tidak ada lagi atau kehilangan hak untuk
menjadi wali, mereka tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik
anaknya yang masih dibawah umur atau belum kawin.

6
3. Pencabutan dan pembebasan kekuasaan orang tua

Pemecatan kekuasaan orang tua dapat terjadi apabila ternyata, seorang


bapak atau ibu yang memangku kekuasaan orang tua tidak cakap atau tidak
mampu menunaikan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya,
dan kepentingan anak-anak itupun oleh hal lain tidak menentangnya. Maka
atas permintaan dewan perwalian atau atas tuntutan kejaksaan bolehlah dia
dibebaskan dari kekuasaan orang tuanya, baik terhadap sekalian anak maupun
terhadap seorang atau lebih dari anak-anak itu.

Selain itu kekuasaan orang tua berakhir apabila:

1. Karena pembebasan dari orang tua


2. Karena pencabutan/pemecatan kekuasaan dari kedua orang tua
3. Karena kematian anak
4. Karena anak sudah dewasa
5. Karena pencabutan salah satu orang tua
6. Dan pembubaran perkawinan orang tua anak tersebut.

Yang dapat mengajukan agar orang tua dipecat/dibebaskan kekuasaan orang


tua adalah:

1. Orang tua yang lain


2. Keluarga sedarah orang tua
3. Dewan perwalian (weeskamer/Balai Harta Peninggalan)
4. Kejaksaan.

D. Perwalian
1. Pengertian
Perwalian dalam istilah bahasa adalah wali yang berarti menolong
yang mencintai. Perwalian secara etimologi ( bahasa ), memiliki beberapa
arti , diantaranya adalah kata perwalian berasal dari kata wali , dan jamak
dari awliya. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti teman, klien,
sanak atau pelindung. Dalam literatur fiqih Islam perwalian disebut dengan

7
al-walayah ( alwilayah ), (orang yang mengurus atau yang mengusai
sesuatu), seperti kata ad-dalalah yang juga bisa disebut dengan ad-di lalah.
Perwalian menurut hukum Islam ( fiqih ) merupakan tanggung jawab
orang tua terhadap anak. Dalam hukum Islam diatur dalam ( hadlanah ),
yang diartikan “ melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-
laki atau perempuan, atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, dan
menyediakan sesuatu yang menja dikan kebaikannya, menj aganya dari
sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan
akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul
tanggung jawabnya. Dalam hal ini, kedua orang tua wajib memelihara
anaknya, baik pemeliharaan mengenai jasmani maupun rohaninya.
Keduannya bertanggung jawab penuh mengenai perawatan, pemeliharaan,
pendidikan, akhlak, dan agama anaknya.

2. Dasar Hukum Perwalian


Dasar hukum perwalian menurut hukum Islam adalah sebagaimana
firman Allah dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat : 282
‫فان كان الذى علیھ الحق سفیھا او ضعیفا اوال یستطیع ان یمل ھو یملل ولیھ بالعدل‬
Artinya: Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah
walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Kutipan ayat tersebut menunjukkan peran, kewajiban dan hak-hak wali
terhadap anak dan harta yang berada di bawah perwaliannya, disamping itu
orang yang lemah akalnya dalam melakukan perbuatan hukum harus
malalui walinya. Wali tidak boleh menyerahkan harta ( yang dalam
perlindungannya ) kepada yang belum sempurna akalnya. Berikanlah
kepada mereka belanja dan pakaian secukupnya serta perlakukan mereka
dengan baik. Allah SWT memerintahkan kepada para wali untuk mereka
dari waktu kewaktu mengecek dan menguji anakanak yang di bawah
asuhannya sampai mereka cukup umur untuk kawin. Jika didapati mereka
cukup cerdas dan cakap serta pandai untuk menjaga hartanya sendiri, maka
hendaklah diserahkan harta mereka yang ada di bawah kekuasaan sang wali
kepada mereka untuk diurusnya sendiri.

8
3. Syarat-syarat Wali dan yang Berhak menjadi Wali
1. Syarat-Syarat Wali
a. Orang Mukallaf
b. Muslim
c. Baligh dan berakal sehat,
d. Adil
e. Laki-laki
2. Yang Berhak Menjadi Wali

Pada Umumnya tanggung jawab orang tua terhadap anak dalam


hukum Islam diatur adalah ibu yang memelihara anaknya ketika
bercerai dan jika ibu sudah tidak ada, diserahkan kepada pemelihara
yang lebih dekat dengan urutan sebagai berikut:

1. Ibunya ibu ( nenek dari ibu )


2. Ibunya ayah ( nenek dari ayah )
3. Ibunya nenek
4. Seterusnya dengan mendahulukan perempuan baru laki-laki (kalau
sudah tidak ada yang perempuan ) seperti bibi.

Menurut hukum Islam orang yang berhak ditunjuk menjadi


wali terdiri dari:

a. Jika anak tersebut sudah dapat memilih atau sudah tidak lagi
membutuhkan pelayanan perempuan, maka orang yang ditunjuk
menjadi wali untuknya diambil dari keluarganya sesuai dengan
urutan tertib hukum waris, yaitu siapa yang berhak mendapat
warisan terlebih dahulu.
b. Jika anak tersebut belum dapat memilih, para ahli fiqih
berpendapat bahwa kerabat ibu lebih didahulukan dari kerabat ayah
dan urutannya sebagai berikut:
1) Nenek dari pihak ibu
2) Kakek dari pihak ibu
3) Saudara perempuan sekandung dari anak tersebut
4) Saudara perempuan se ibu
5) Saudara perempuan se ayah

9
6) Keponakan perempuan sekandung
7) Keponakan perempuan ibu se ibu
8) Saudara perempuan ibu sekandung
9) Saudara perempuan ibu se ibu
10) Saudara perempuan ibu se ayah
11) Keponakan perempuan ibu se ayah
12) Anak perempuan saudara laki-laki sekandung
13) Anak perempuan saudara laki-laki se ibu
14) Anak perempuan saudara laki-laki se ayah
15) Bibi dari ibu sekandung
16) Bibi dari ibu se ibu
17) Bibi dari ibu se ayah.

Dengan demikian urutan-urutan perwalian tersebut merupakan


urutan-urutan yang dapat ditunjuk oleh hakim pengadilan untuk
menjadi wali bagi seorang anak, apabila ternyata orang tua si anak
sebelum meninggal tidak menunjuk wali untuk anaknya.

10
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum keluarga mengatur hubungan hukum atau peraturan-peraturan baik
tertulis maupun tidak yang berkaitan dengan keluarga yang sedarah dan keluarga
karena perkawinan. Hal ini meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam
perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, perwalian, dan lain yang
berhubungan dengan keluarga.

pengertian perkawinan sebagai ikatan yang bersifat kontrol sosial antara pria
dan wanita didalamnya diatur mengenai hak dan kewajiban, kebersamaan
emosional, juga ativitas seksual, ekonomi, dengan tujuan untuk membentuk
keluarga serta mendapatkan kebahagiaan dan kasih berdasarkan tuhan YME.

kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang milik anaknya yang belum berumur 18 tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan. Kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya ( Pasal 48). Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua
terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu apabila ia sangat melalaikan
kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali.

kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang berada di bawah
perwaliannya, disamping itu orang yang lemah akalnya dalam melakukan
perbuatan hukum harus malalui walinya. Wali tidak boleh menyerahkan harta (
yang dalam perlindungannya ) kepada yang belum sempurna akalnya. Berikanlah
kepada mereka belanja dan pakaian secukupnya serta perlakukan mereka dengan
baik. Allah SWT memerintahkan kepada para wali untuk mereka dari waktu
kewaktu mengecek dan menguji anakanak yang di bawah asuhannya sampai
mereka cukup umur untuk kawin. Jika didapati mereka cukup cerdas dan cakap
serta pandai untuk menjaga hartanya sendiri, maka hendaklah diserahkan harta
mereka yang ada di bawah kekuasaan sang wali kepada mereka untuk diurusnya
sendiri.

11
DAFTAR PUSTAKA

]L.J. van Apeldoarn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan: Mr. Oetarid Sadino),
Jakarta: Pradnya Paramita. 1980, hlm. 233.

Soedirnan Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Jakarta:


Ghalia Indonesia. 1984. hlm. 83

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga,. Hukum Pembuktian, Jakarta:


Rineka Cipta, 1997, hal. 93.

Algra, dkk, Esiklopedi Indonesia, tt, 1347, Bandung Bina Cipta, 1983, hal. 134

Pengalaman suami dan..., Tri Haryadi, FPsi UI, 2009

https://www.academia.edu/38229020/Kekuasaan_Orang_Tua

https://www.muisumut.com/blog/2019/10/14/hukum-keluarga/

http://www.papekanbaru.go.id/images/stories2017/berkas2017/Makalah%20Say
uti.%20Perwalian.pdf

https://tirto.id/hukum-nikah-dalam-islam-dan-penjelasannya-sesuai-fikih-ekwo

12

Anda mungkin juga menyukai