Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALISA

IODOMETRI

DISUSUN OLEH:
DONI FARIS ARIDHO
204001

PROGRAM STUDI KIMIA TEKSTIL


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI WARGA SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2021
I. TUJUAN PERCOBAAN

a) Menentukan chlor aktif dalam kaporit dengan metode yodometri

II. DASAR TEORI


Prinsip dasar dari iodometri adalah titrasi reduksi-oksidasi (redoks) yang berdasarkan
pada adanya perpindahan elektron yang terjadi antara titran dengan analis. Jenis titrasi ini
biasanya menggunakan potensiometri untuk mendeteksi titik akhirnya. Namun demikian,
penggunaan indikator yang dapat berubah warna saat kelebihan titran juga sering digunakan.
Titrasi yang melibatkan Iodium dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu titrasi langsung (iodimetri)
dan titrasi tidak langsung (iodometri) (Rohman, 2007).
Dalam Farmakope Indonesia, titrasi iodimetri digunakan untuk menetapkan kadar asam askorbat,
natrium tiosulfat, metampiron (antalgin), serta sediaan-sediaan injeksi. Sedangkan titrasi
Iodometri digunakan untuk penetapan kadar Cu(II) Sulfat, Fe(III) Ammonium Sulfat, penetapan
kadar rivanol, ampisilin dalam kapsul dan tablet (Gholib, 2007).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam titrasi iodimetri maupun iodometri yakni:
1. Oksigen error, terjadi jika dalam larutan asam, maka oksigen dari udara akan mengoksidasi
Iodida menjadi Iod (kesalahan makin besar dengan meningkatnya asam). Oksigen di udara dapat
menyebabkan hasl titrasi terlalu tinggi. Reaksi yang terjadi:
O2 + 4I- + 4 H +→ 2 I2 + 2 H2O
2. Pemberian kanji terlalu awal akan menyebabkan Iod menguraikan amilum dan hasil
peruraian mengganggu perubahan warna pada titik akhir titrasi.
3. Penambahan KI harus berlebih karena I2 yang terbentuk bersifat sukar larut dalam air
tetapi udah larut dalam KI.
4. Larutan thiosulfat dalam suasana yang sangat asam dapat menguraikan larutan thiosulfat
menjadi belerang dan bpada suasana basa (pH > 9) thiosulfat menjadi ion sulfat.
5. Pada pH lain muncul bahaya lain yaitu bereaksinya I2 yang terbentuk dengan air (hidrolisa)
dan hasil reaksinya berlanjut menjadi:
4 × (I2 + H2O→HOI + I- + H+)
4 HOI + S2O32- + H2O→2 SO42- + 4 I- + 6 H+
6. Banyak reaksi analit dengan KI yang berjalan agak lambat.
IODOMETRI DENGAN Na2S2O3 SEBAGAI TITRAN
(TITRASI TIDAK LANGSUNG)
Pada metode ini analit harus merupakan oksidator yang cukup kuat karena dalam metode ini
analit selalu direduksi dulu dengan KI sehingga terbentuk I2. I2 inilah yang dititrasi dengan
Na2SO3. Reaksi yang terjadi yaitu:
Oksanalit + I-→Redanalit + I2
2 S2O32- - + I2 → S4O62- + 2 I-
Daya reduksi ion iodida cukup besar dan reaksi S2O32- dengan I2 berlangsung baik dari segi
kesempurnaannya berdasarkan potensial redoksnya masing-masing:
S4O62- + 2e → 2 S2O32- Eo= 0,080 volt
I2 + 2e → 2I- Eo= 0,536 volt
Titrasi dapat dilakukan tanpa indikator dari luar karena warna I2 yang dititrasi tersebut akan
lenyap bila titik akhir tercapai, warnanya mula-mula coklat agak tua menjadi lebih muda lalu
kuning, kuning muda, dan seterusnya sampai akhirnya lenyap (Harjadi, 1993).
Namun akan lebih mudah dan lebih tegas bila ditambahkan amilum ke dalam larutan sebagai
indikator. Amilum dengan I2 membentuk suatu kompleks berwarna biru tua yang masih sangat
jelas sekalipun sedikit sekali. Pada titik akhir, iod yang terikat itupun hilang beraksi dengan titran
sehingga warna biru lenyap mendadak dan perubahan warnanya tampak sangat jelas (Harhadi,
1993).
Larutan standar yang digunakan dalam kebanyakan proses iodometri adalah Natrium Thiosulfat,
garam ini biasanya berbentuk sebagai pentahidrat Na2SO3.5H2O. Larutan tidak boleh
distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi dengan larutan
standar primer. Larutan Natrium Thiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama.
Dalam metode ini, analit dioksidasi oleh I2 sehingga I2 tereduksi menjadi ion iodida:
Ared + I2 → Aoks + I-
Yod (I2) merupakan oksidator yang tidak terlalu kuat, sehingga hanya zat-zat yang bersifat
reduktor yang cukup kuat dapat dititrasi. Indikatornya ialah amilum dengan perubahan warna
dari tidak berwarna menjadi biru. I2 sebagai zat padat sukar larut dalam air yaitu hanya sekitar
0,0013 mol per liter pada suhu 25OC tetapi sangat mudah larut dalam larutan KI karena
membentuk ion I3- sebagai berikut:
I2 + I- → I3- (ion triyodida)
Maka larutan dibuat dengan KI sebagai pelarut. Larutan yod ini tidak stabil sehingga standarisasi
perlu dilakukan berulang kali. Ketidakstabilan Yod (I2) disebabkan oleh:
1. Penguapan yod
2. Reaksi yod dengan karet, gabus, dan bahan anorganik lain yang mungkin masuk dalam
larutan lewat debu dan asap
3. Oksidasi oleh udara pada pH rendah
Titrasi iodometri adalah salah satu jenis titrasi redoks yang melibatkan iodium. Titrasi iodometri
termasuk jenis titrasi tidak langsung yang dapat dipergunakan untuk menetapkan senyawa-
senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang lebih besar daripada sistem iodium iodide
atau senyawa-senyawa yang bersifat oksidator seperti CuSO4.5H2O. Berbeda dengan titrasi
iodometri yang mereaksikan sampel dengan iodium, maka pada proses iodometri ini, sampel
yang bersifat oksidator direduksi dengan KI berlebih dan akan menghasilkan I2 yang selanjutnya
dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat (Na2S2O3). Banyaknya volume Na2S2O3 yang
dipergunakan sebagai titran setara dengan banyaknya sampel
Oksidimetri didasarkan pada reaksi oksidasi-reduksi antara analit dengan titran. Analit yang
mengandung spesi reduktor dititrasi dengan titran berupa larutan standar dari oksidator atau
sebaliknya. Berbagai reaksi redoks dapat digunakan sebagai dasar reaksi oksidimetri, misalnya
penetapan ion besi (II), Fe2+ dalam analit dengan menggunakan titran larutan standar cesium
(IV), Ce4+ yang mengikuti persamaan reaksi :
Fe2+ + Ce4+ Fe3+ + Ce3+
Oksidator lain yang banyak digunakan dalam oksidimetri adalah kalium permanganat, KMnO4,
misalnya pada penetapan kadar ion besi (II) dalam suasana asam
5Fe2+ + MnO4-+ 8H+ 5Fe3+ + Mn2+ + 4H2O
(Ibnu dkk,2004:94).
Agen pengoksidasi yang kuat dapat dianalisa dengan menambahkan kalium iodida berlebih
dan mentitrasi iodin yang dibebaskan. Karena banyak agen pengoksidasi membutuhkan suatu
larutan asam untuk bereaksi dengan iodin, natrium tiosulfat biasanya dipergunakan sebagai
titrannya. Natrium tiosulfat umumnya dibeli sebagai pentahidrat, Na2S2O3.5H2O dan larutan-
larutannya distandardisasi terhadap sebuah standar primer. Standarisasi adalah proses dimana
konsentrasi larutan ditentukan secara akurat. Suatu larutan standar terkadang dapat dipersiapkan
dengan menguraikan suatu sampel dari zat terlarut yang diinginkan dan menimbang secara
akurat dalam suatu larutan yang volumenya diukur secara akurat
Larutan standar yang digunakan sebagai titran harus diketahui dengan tepat konsentrasinya.
Biasanya, larutan standar dibuat dengan cara melarutkan sejumlah berat tertentu bahan kimia
pada sejumlah tertentu pelarut yang sesuai. Cara ini mudah dilakukan, tetapi hasilnya seringkali
kurang tepat, karena hanya sedikit jenis zat kimia bahan titran yang diketahui dalam keadaan
murni. Zat kimia yang benar-benar murni bila ditimbang dengan tepat dan dilarutkan dalam
sejumlah tertentu pelarut yang sesuai menghasilkan larutan standar primer. Larutan standar lain
yang ditetapkan konsentrasinya melalui titrasi dengan menggunakan larutan standar primer
dikenal sebagai larutan standar sekunder
Larutan yang telah distandardisasi dapat dipergunakan sebagai larutan standar sekunder
untuk mendapatkan konsentrasi dari larutan lainnya. Bagi pekerjaan yang membutuhkan akurasi
yang tinggi, disarankan untuk menstandardisasi kedua larutan asam dan basa terpisah dengan
menggunakan standar primer. Standar primer yang dipergunakan secara luas untuk larutan basa
terdiri dari kalium hidorgen ftalat, KHC8H4O4, disingkat KHP. Asam sulfamat, HSO3NH2, dan
kalium hidrogen iodat, KH(IO3) adalah dua asam kuat dan merupakan standar primer yang
sempurna. Natrium karbonat, Na2CO3, dan tris (hidroksimetil) aminometana,
(CH2OH2)3CNH2, dikenal sebagai TRIS atau THAM, secara umum adalah standar primer
untuk asam kuat . Konsentrasi dinyatakan dalam normalitas (g.ek/l). Larutan standar disiapkan
dengan menimbang reagen murni secara tepat. Oleh karena itu, dikenal standar primer, yaitu zat
yang tersedia dalam komposisi kimia yang jelas dan murni. Larutan tersebut hanya bereaksi pada
kondisi kimia yang jelas dan murni. Larutan tersebut hanya bereaksi pada kondisi titrasi dan
tidak melakukan reaksi sampingan. Tidak berubah ataupun bereaksi ditempat terbuka (atmosfer).
Garam terhidrat tidak baik untuk larutan standar primer
Menurut Day & Underwood (1999:51) standar primer harus mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
1. Harus tersedia dalam bentuk murni, atau dalam suatu tingkat kemurnian yang diketahui,
pada suatu tingkat biaya yang logis. Secara umum, jumlah total dari pengotor tidak boleh
melebihi 0,01 sampai 0,02% dan harus dilakukan tes untuk mendeteksi kuantitas pengotor-
pengotor tersebut melalui tes kualitatif dengan sensitivisme yang diketahui.
2. Substansi tersebut harus stabil. Harus mudah dikeringkan dan tidak terlalu higroskopis
sehingga tidak banya menyerap air selama penimbangan. Substansi tersebut seharusnya tidak
kehilangan berat bila terpapar udara. Garam hidrat biasanya tidak dipergunakan sebagai standar
primer.
3. Yang diinginkan adalah standar primer tersebut mempunyai berat ekivalen yang cukup
tinggi agar dapat meminimalisasi konsekuensi galat pada saat penimbangan.

III. ALAT DAN BAHAN


ALAT : BAHAN :
1. Labu ukur 1. Na2SO3 0,1 N
2. Buret 2. Ca(OCl)2
3. Erlenmeyer 3. Aquadest
4. Beaker glass 4. Larutan H2SO4 4N
5. Corong 5. Larutan KI 10 %
6. Cawan porselin 6. Amilum
7. Pengaduk
8. Pipet gondok
9. Gelas ukur
IV. CARA KERJA
1. Ambil Na2SO3 0,1 N masukkan ke dalam
2. Timbang 1 gram Ca(OCl)2 atau kaporit
3. Masukkan ke dalam labu takar 100 ml dan tambahkan aquadest sampai tanda batas
4. Larutan kaporit disaring
5. Ambil 10 ml H2SO4 4N dan sebanyak 10 ml untuk larutan KI 10%
6. Beri 10 ml larutan kaporit yanga sudah disaring tadi
7. Titrasikan dengan Na2SO3 sampai warna kuning muda
8. Tambahkan amilum 2 ml
9. Titrasikan sampai warna biruhilang ( jernih )
10. Hitung volume Na2SO3
11. Hitung kadar chlor aktif dalam g/L

V. TABEL PERHITUNGAN

Na2SO3 Ca(OCl)2
No.
V (ml) N V (ml) N Cl2 gr / L

1 18 0,1 10 0,18 6,39

2 18,5 0,1 10 0,185 6,56

3 17,5 0,1 10 0,175 6,21


6,38

 Perhitungan
1) N Na2SO3 × V Na2SO3 = N Ca(OCl)2 × V Ca(OCl)2
0,1 × 18 = N Ca(OCl)2 × 10
0,1× 18
N Ca(OCl)2 =
10
= 0,18 N
Mr Cl 2
g/L Cl2 = N as × ×V
BO Cl 2
71 gr /mol
= 0,18 ek/l ×
2 ek /mol
= 6,39 gr

2) N Na2SO3 × V Na2SO3 = N Ca(OCl)2 × V Ca(OCl)2


0,1 × 18,5 = N Ca(OCl)2 × 10
0,1× 18 ,5
N Ca(OCl)2 =
10
= 0,185 N
Mr Cl 2
g/L Cl2 = N as × ×V
BO Cl 2
71 gr /mol
= 0,185 ek/l ×
2 ek /mol
= 6,36 gr

3) N Na2SO3 × V Na2SO3 = N Ca(OCl)2 × V Ca(OCl)2


0,1 × 17,5 = N Ca(OCl)2 × 10
0,1× 17,5
N Ca(OCl)2 =
10
= 0,175 N
Mr Cl 2
g/L Cl2 = N as × ×V
BO Cl 2
71 gr /mol
= 0,175 ek/l ×
2 ek /mol
= 6,21 gr

VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan diatas dapat diambil kesimpulan kadar Cl2 aktif dalam g/L adalah
6,38 gram.

IX. DAFTAR PUSTAKA


1. Buku pegangan kuliah praktek kimia dasar STTW Warga Surakarta
2. https://shasaawalia56.blogspot.com/2020/03/laporan-praktikum-pembahasan-
penetapan.html?m=1
3. http://vioni13.blogspot.com/2017/08/laporan-kimia-analitik-iodometri-dan.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai