Amsal Fill
Amsal Fill
PENDAHULUAN
Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin
Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
ُهhُْرفَت ْ ازدَاد
ِ َت َمع ّ ُب َكما َ اَ َّن ْال ِع ْل َم يُوْ ِجب
ْ فَ َم ِن، َ ُكوْ نhالس ِ في ْالقَ ْل ِ ْا ْل َمع
ِ َْرفَةُ يُوْ ِجبُ ال ّس ِكينَة
ْ اِ ْزدَاد
َُت َس ِك ْينَتُه
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu
pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa
yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan
(hatinya).”
Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai kepada
tingkatan ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah, memiliki
tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang mengatakan;
ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan
ma’rifah, antara lain:
Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan
prilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang
bersifat nyata, kerena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum
tentu benar.
Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal
itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram[1].
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan
kehiduoan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat
menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT. Sehingga Asy Syekh Muhammad
bin Al-Fadhal mengatakan bahwa Ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat
memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan
Tuhannya.
Imam Rawin mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah,
bagaikan ia berada di muka cermin, bila ia memandanginya, pasti ia melihat
lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhannya.
Maka tiada lain yang dilihatnya dalam Tuhannya. Maka tidak lain yang
dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT., saja.
Al-Junaid Al-Baghdadiy mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifah, bagaikan sifat air gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya.
Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai
sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi,
selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya
kepada Allah terputus, meskipun hanya sekejap mata saja.
Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifah itu adalah
keadaan yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan
dengan Tuhannya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni ajaran
Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari syariat, Tarikat,
Hakikat, dan Ma’rifah. Tidak mungkin dapat ditempuh secra terbalik dan tidak
pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba
tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan[2].
2. Ma’rifah Laduniyah
Ma’rifah laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh
Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari
atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat
sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-
Nya. Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifah laduniyah
dengan sebutan Ma’rifah orang mahjdub. Ma’rifah orang mahjdub yang
diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan
secara langsung oleh Tuhan kepada manusia yang ada sisi kesamaannya
dengan Ma’rifah Laduniyah.
Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara
biasa (Ma’rifah talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang
atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan
‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak
memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Dengan
demikian Ma’rifah laduniyah juga dapat disebut Ma’rifah orang Mahjdzub
juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh
Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan
menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya,
kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Firman Allah dalam al-Qur’an :
اتَ ْينَاهُ َرحْ َمةً ِم ْن ِع ْن ِدنَا َو َعلَ ْمنَاهُ ِم ْن لَ ُدنّا َ ِع ْل ًما الكهف
Artinya : “…yang telah berikan padanya rakmat dari sisi kami, dan
yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (al-Kahfi : 65).
Ma’rifah laduniyah tidak jauh bedanya dengan ‘alim Rabbani yang
berbeda dengan Ilmu yang dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah al-Ghazali
disebut dengan Ilmu ta’limiyat. Namun, keduanya tetap berhubungan.
Hubungan antara keduanya, menurut al-Ghazali laksana naskah asli dengan
duplikatnya. Hal ini mirip dengan teori plato bahwa Ilmu yang ada di alam ide
itu lebih murni dari pada ilmu yang telah digelar di alam raya, namun kedunya
persis sama, seperti halnya naskah asli dengan duplikatnya atau fotokopinya.
Ilmu laduniyah, ‘alim Ar-Rabani, ‘alim sejati, dan Ma’rifat orang mahjdub
dapat dicapai oleh para sufi dalam keadaan penghayatan Kasyf, sedang ilmu
ta’limyah hanya dapat dipelajari oleh para ilmuwan setapak demi setapak
dengan susah payah.
Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan hikmahnya sebagai
berikut :
ِ ِت بَِأ َح ِديـــَّــتِ ِه ْالقُلُوْ بُ َوال َّس َرا
ئر ْ َت بِِإلَ ِهيَّتِ ِه الّظَ َو ِه ُر َوتَ َحقَّق َ ك ِم ْن قَ ْب ِل اَ ْن يَ ْستَ ْشهَ َد
ْ َك فَنَطَق َ اَ ْشهَ َد
Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia
menuntut kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir
mengucapkan (mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan
sifat-sifat ke Easaan-Nya.
Maksud perkataan hikmah tersebut adalah “Tuhan menampakan
keluhuran dan keagungan Dzat-Nya didalam hati seseorang, setelah itu Allah
menunutut persaksian kepadamu mengenai kebesaran dan keluhuran-Nya
dengan melakukan dzikir dan Ibadah. Ibadah yang dilakukan dengan anggota
lahir sebagai persaksian mengenai keagungan dan keluhuran-Nya, dan dzikir
yang dilakukan dalam hati sebagai pengakuan dari sifat-sifat ke-Esaan-Nya[4].
C. Tokoh Ma’rifat
Dalam litelatur tasawuf, dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham
ma’rifat, yaitu al-Ghazali dan Dzannun al-Misri.
Al-Gazali
Al-Gazali mengakhiri masa pertualangannya, karena telah mendapat
“pegangan” yang sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah
masyarakat. Pegangan itu ialah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan
di tanah suci Mekkah dan Madinah.
Mengakhiri hidup menyendiri dan masuk kembali ke tengah masyarakat,
sesudah bertahun-tahun lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya sendiri,
karena dia tetap beribadat dan tetap berbuat amal di mana saja dia berada, tetapi
persoalannya ialah jalan mana yang benar ditempuh untuk meyakinkan kebenaran itu
kepada khayalak ramai.
Sesudah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka
terbukalah pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup
pertualangan yang berjalan 10 tahun lamanya, sudah cukup membosankannya, dan
timbullah pikiran yang normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat.
Terhadap hal ini, Al-Ghazali mengatakan: “kemudian panggilan anak-anak
dan cinta keluarga menarik sebagai besi berani supaya aku pulang ke tanah air. Aku
bersiap-siap akan pulang sesudah bertahun-tahun aku menjauhinya karena
mengutamakan hidup berkhalwat dan menyendiri untuk membersihkan jiwa
mengingat Tuhan. Peristiwa-peristiwa hidup, kepentingan hidup berkeluarga dan
desakan-desakan hidup telah mengubah tujuan hidupku, mengacukan pikiran
berkhalwat, sehingga timbullah kegelisahan batin yang tidak membersihkan suasana
hidupku lagi. Sungguhpun begitu, tidaklah putus harapanku dan segala arah yang
melintang aku singkirkan ke pinggir, supaya dapat aku pulang kembali”.
Hatinya sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah
mungkin dia pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah.
Kebetulan datanglah panggialan yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri
Fakhrul Mulk, putera dari Nizamul Mulk almarhum, telah memintanya supaya segara
pulang ke Niesabur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang di tanggalkannya.
Dzannun al-Misri
Adapun Dzannun al-Misri berasal dari Naubah, suatu Negeri yang terletak
diantara Sudan dan Mesir. Lahir pada tahun 180H/799M dan wafat pada tahun
246H/865M. Menurut Hamka, beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan
menuju Tuhan, yaitu mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang diturunkan dan
takut terpalingkan dari jalan yang benar. Dalam sebuah hikayat, Dzunnun terkenal
sebagai orang yang tinggi ilmu agamanya serta mustajab do’anya. Dalam sebuah
cerita disebutkan bahwa nama Dzunnun muncul ketika terjadi sebuah peristiwa yang
menunjukkan karomah yang dimilikinya.
Pada saat mengadakan perjalanan, Dzunnun dituduh mencuri batu berharga
yang mengakibatkan dirinya disiksa. Namun merasa tidak melakukan, Dzunnun
berdoa dan memohon kepada Allah tentang kebenaran. Akhirnya do’anya dikabulkan
melalui ribuan ikan yang membawa batu berharga di mulutnya dan mendekati kapal
kemudian menyerahkan kepada saudagar yang menuduhnya mencuri.
Dalam sejumlah kitab, Dzunnun dikabarkan sebagai orang zuhud dan berilmu
tinggi. Kema’rifatannya tentang Tuhan mampu menembus batas-batas kosmik
manusia biasa. Dalam sufi terdapat beberapa tingkatan ma’rifat. Yang pertama adalah
tingkatan yang paling rendah yang berada pada orang awam. Tingkatan ini mengakui
adanya Tuhan serta membenarkan apa yang disampaikan Rasul-Nya. Kedua tingkatan
Teolog atau Filosof. Tingkatan ini mengetahui Tuhan berdasarkan pertimbangan
empiris dan penciptaan, dan belum menyaksikan langsung dalam penyingkapan
bathin. Tingkatan yang ketiga adalah tingkatan yang paling tinggi didalam
kema’rifatan, yaitu mengetahui keberadaan, sifat dan perilaku Tuhan melalui
sanubarinya. Menurut Dzunnun, kema’rifatan dapat dilihat dengan mengetahui cirri-
cirinya yaitu selalu bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa bersyukur.
Dalam tingkatan ketaqwaan, Dzunnun juga menyinggung masalah khauf atau
rasa takut kepada Allah serta mahabbah kepada Allah. Tuhan harus dicinyai dari
segalanya. Seseorang yang mencintai khaliq akan berbuat apa saja untuk dicintainya
bahkan masuk neraka sekalipun adalah lebih baik dimata Dzunnun dari pada berpisah
dari sang khaliq[5].
D. Manfaat Ma’rifat
Mengenal Allah adalah aset terbesar. Mengenal Allah akan membuahkan
akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa ditatap,
didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila
demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita
tidak mengenal Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak
tenang dalam hidup, dan sebagainya.
Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia
tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat
diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum
ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada
tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah.
Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita
semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah[6].
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya.
Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
Pertama, Hidup selalu berada di jalan yang benar (on the right track).
Kedua, memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir
dari terjaganya keimanan.
Ketiga, Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal
harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita
miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.
Keempat, seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah
akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan
seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan
fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.
Kelima, seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem
pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah SWT akan
memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan memiliki
kemampuan untuk bertobat.
Keenam, selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin
pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan
dituntun untuk melewati jalan tersebut.
Ketujuh, seorang ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila
kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang
diambilnya selalu tepat.
Kemampuan Manusia untuk melakukan Ma’rifat Allah menciptakan manusia
dengan sempurna yaitu diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu,
kemudian manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan
pemberian Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5).
KESIMPULAN
Apabila melihat dari keterangan diatas dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka
istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam
tasawuf. Dijelaskan pula, bahwa tanda orang makrifah itu ada tiga:
Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya.
Tidak meyakini ilmu bathiniah yang dapat merusak lahiriah huku
Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya dan tidak membawanya
pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah.
Dan di jelaskan pula macamnya ma’rifat diantaranaya:
1.Ma’rifat Ya’limiyat yaitu dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan
dalam usaha memperoleh Ilmu.
2. Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan
keadaan kasf, mengenal kepada-Nya.
Bila melihat keterangan di atas manfaaat Ma’rifat adalah dapat mengingat Allah, bisa
mengetahui keagungan Allah.
DAFTAR PUSTAKA