Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
1. Pengertian Belajar
Belajar merupakan perubahan perilaku atau perubahan kecakapan yang mampu bertahan
dalam waktu tertentu dan bukan berasal dari proses pertumbuhan (Gagne, 1989). Pendapat yang
hampir sama dikemukakan Singer (1980) yang menyatakan belajar adalah terjadinya perubahan
perilaku yang potensial sebagai akibat dari latihan dan pengalaman masa lalu dalam menghadapi
suatu tugas tertentu. Annarino (1980) menyatakan belajar adalah terjadinya suatu perubahan
perilaku dari organisasi manusia. Sedangkan Bowerd dan Hilgard (1981) menyatakan bahwa
belajar adalah terjadinya suatu perubahan perilaku yang potensial terhadap situasi tertentu yang
diperoleh dari pengalaman yang dilakukan berulang kali. Oxendine (1984) menggambarkan
bahwa belajar sebagai: (1) akumulasi pengetahuan, (2) penyempurnaan dalam suatu kegiatan, (3)
pemecahan suatu masalah, dan (4) penyesuaian dengan sistuasi yang berubah-ubah.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa definisi belajar di atas, bahwa belajar adalah
suatu proses perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai akibat dari latihan dan
pengalaman dimasa lalu.
Pengertian belajar motorik pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan pengertian belajar
secara umum. Drowaztky (1981) menyatakan belajar motorik adalah belajar yang diwujudkan
melalui respons-respons muskuler yang umum nya di ekspresikan dalam bentuk gerakan tubuh
atau bagian tubuh. Oxendine 3 (1984) menyatakan, belajar motorik adalah suatu proses terjadinya
perubahan yang bersifat tetap dalam perilaku motorik sebagai hasil dari latihan dan pengalaman.
Schmidt (1988) menyatakan belajar motorik adalah seperangkat proses yang berkaitan dengan
latihan atau pengalaman yang mengantarkan kearah perubahan permanen dalam perilaku
terampil. Rahantoknam (1988) memberikan definisi belajar motorik sebagai peningkatan dalam
suatu keahlian keterampilan motorik yang disebabkan oleh kondisi-kondisi latihan atau diperoleh
dari pengalaman, dan bukan karena proses kematangan atau motivasi temporer dan fluktuasi
fisiologis. Meskipun tekanan belajar motorik adalah penguasaan keterampilan, bukan berarti
aspek lain seperti domain kognitif dan afektif diabaikan.
Belajar motorik dalam olahraga mencerminkan suatu kegiatan yang disadari dari mana
aktivitas belajar diarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Magill
(1980) perubahan perilaku yang terjadi dalam belajar motorik ternyata dapat diamati bahkan
dapat diukur dari sikap dan penampilannya dalam suatu gerakan atau penampilan tertentu.
Karakteristik penampilan merupakan indikator dari pengembangan belajar atau penguasaan
keterampilan yang telah dikembangkan menjadikan seseorang dapat memiliki keterampilan yang
lebih baik dari sebelumnya, dan semakin meningkatnya penguasaan keterampilan tersebut, maka
waktu yang diperlukan untuk menampilkan keterampilan tersebut juga semakin singkat. Oleh
karena itu kon sep belajar motorik berkaitan erat dengan konsep belajar yang dikembangkan oleh
Gagne dan Bloom, yaitu perubahan sikap dan keterampilan atau perubahan yang terjadi pada
domain afektif dan psikomotor.
Schmidt (1988) menjelaskan tentang karakteristik belajar motorik sebagai berikut: (1)
Belajar motorik merupakan serangkaian proses, (2) Belajar motorik menghasilkan kemampuan
untuk merespon, (3) Belajar motorik tidak dapat diamati secara langsung, (4) Belajar motorik
relatif permanen, (5) Belajar motorik adalah karena hasil latihan, dan (6) Belajar motorik dapat
menimbulkan efek negatif. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut: (l) belajar motorik merupakan suatu proses, (2) belajar motorik merupakan hasil latihan,
(3) kapabilitas bereaksi sebagai hasil belajar motorik, (4) hasil belajar motorik bersifat relatif
permanen, (5) belajar motorik dapat menimbulkan efek negatif
Teori psikologi kognitif adalah merupakan bagian terpenting dari sains kognitif yang
telah memberi konstribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi pendidikan. Sains
kognitif merupakan himpunan disiplin yang terdiri atas: ilmu-ilmu komputer, linguistik,
intelegensi buatan, matematika, epistimologi, dan neuropsychology (psikologi syaraf).
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan pada arti penting proses internal mental
manusia.
Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tidak dapat
diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti motivasi, kesengajaan,
keyakinan, dan sebagainya. Meskipun teori kognitif dipertentangkan dengan teori behaviorisme,
menurut ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori
psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi pada ranah cipta, seperti
berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain itu aliran behaviorisme
juga tidak mau tahu urusan ranah rasa. Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada dasarnya
adalah peristiwa mental, bukan behavioral (jasmaniah) meskipun hal-hal bersifat bihavioral
tampak nyata dalam setiap siswa belajar. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar
membaca dan menulis, misalnya tentu menggunakan perangkat jasmaniah, untuk menggucapkan
kata dan menggoreskan pena. Aka 158 atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting
karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya.
Teori Kognitif Gestalt Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar
Gestalt. Rahyubi (2012: 77) menyatakan bahwa peletak dasar teori gestalt adalah Max Werheimer
(1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Kaum Gestaltis
berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut
pandangan Gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan-
hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya, tingkat kejelasan dan
keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan
belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran. Aplikasi teori Gestalt dalam proses
pembelajaran antara lain adalah sebagai berikut: (1) Pengalaman tilikan (insight), bahwa tilikan
memegang peranan yang penting dalam perilaku; (2) Pembelajaran yang bermakna (meaningful
learning), kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam
proses pembelajaran; (3) Perilaku bertujuan (pusposive behavior), bahwa perilaku terarah pada
tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya
dengan tujuan yang ingin dicapai; (4) Prinsip ruang hidup (life space), bahwa perilaku individu
memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana seseorang berada. Oleh karena itu, materi yang
diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan
peserta didik; dan (5) Transfer dalam belajar, yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi
pembelajaran tertentu ke situasi lain.
Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok
dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan
masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk
menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
Teori Belajar Cognitive Field dari Lewin Lewin berpendapat bahwa tingkah laku
merupakan hasil interaksi antarkekuatan-kekuatan baik yang dari dalam diri individu (seperti
tujuan, kebutuhan, Jurnal Pendidikan Olahraga, Vol. 5, No. 2, Desember 2016 159 tekanan
kejiwaan) maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan. Menurut Lewin
belajar berlangsung sebagai akibat dari 12 perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur
kognitif tersebut adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu
sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan
yang lebih penting pada motivasi dari pada reward (Dalyono, 2012: 36).
Teori Belajar Cognitive Developmental dari Piaget Piaget adalah seorang psikolog
developmental dengan suatu teori komprehensif tentang perkembangan intelegensi atau proses
berpikir. Karena, kemampuan belajar individu dipengaruhi oleh tahap perkembangan pribadi serta
perubahan umur individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan
kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual
adalah tidak kuantitatif melainkan kualitatif (Dalyono, 2012: 37).
Pertumbuhan intelektual anak mengandung tiga aspek yaitu struktur, content, dan
function. Anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur, dan konten intelektualnya
berubah/berkembang. Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian
perkembangan, masing-masing mempunyai struktur psikologi khusus yang menentukan
kecakapan pikiran anak. Maka, Piaget mengartikan intelegensi adalah sejumlah struktur
psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus (Dalyono, 2012: 39).
Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek
fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan dari guru.
Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi
dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Jarome
Brunner dengan Discovery Learning Bruner berpendapat bahwa mata pelajaran dapat diajarkan
secara efektif dalam 13 bentuk intelektual yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Pada
tingkat permulaan pengajaran hendaknya dapat diberikan melalui cara-cara yang bermakna dan
makin meningkat ke arah abstrak. Pengembangan program 160 pengajaran dilakukan dengan
mengkoordinasikan mode penyajian bahan dengan cara dimana anak dapat mempelajari bahan
tersebut, yang sesuai dengan tingkat kemajuan anak. Tingkat-tingkat kemajuan anak dari tingkat
representasi sensori (enactive) ke representasi konkret (iconic) dan akhirnya ke tingkat
representasi yang abstrak (symbolic) (Dalyono, 2012: 42).
a) Gerak reflek
Gerak reflek adalah respon atau aksi yang terjadi tanpa kemauan dasar, yang
ditimbulkan oleh suatu stimulus.Gerak reflek bersifat prekuisit terhadap
perkembangan kemampuan gerak pada tingkat-tingkat berikutnya. Gerak reflek
dibedakan menjadi tiga yaitu refleks segmental, refleks intersegmental, dan refleks
suprasegmental (Sugiyanto dan Sudjarwo, 1993:219).
b) Gerak dasar fundamental
Gerak dasar fundamental adalah gerakan-gerakan dasar yang berkembangnya
sejalan dengan pertumbuhan tubuh dan tingkat kematangan pada anak-anak. Gerakan
ini pada dasarnya berkembang menyertai gerakan refleks yang dimiliki sejak
lahir, gerak dasar fundamental mula-mula bisa dilakukan pada masa bayi dan masa
anak-anak, dan disempurnakan melalui proses berlatih yaitu dalam bentuk melakukan
berulang-ulang.
Gerak dasar fundamental diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu gerak lokomotor,
gerak non-lokomotor, dan gerak manipulatif. Sugiyanto dan Sudjarwo, (1993:220) :
1) Gerak lokomotor adalah berpindah dari tempat satu ke tempat lain misalnya
merangkak,berjalan, berdiri; 2) Gerak non-lokomotorik adalah gerak yang melibatkan
tangan, kaki, dan togok. Gerakan ini berupa gerakan yang berporos pada suatu sumbu
di bagian tubuh tertentu misalnya memutar lengan, mengayun kaki, membungkuk,
memutar togok; 3) Gerakan mamipulatif adalah gerakan memanipulasi atau
memastikan obyek tertentu dengan menggunakan tangan, kaki atau bagian tubuh
yang lain. Gerakan manipulatif memerlukan koordinasi bagin tubuh yang digunakan
untuk memanipulasi objek dengan indra pelihatan dan peraba misalnya memainkan
bola menggunakan tangan, kaki, dan kepala.
c) Kemampuan fisik
Kemampuan fisik adalah kemampuan memfungsikan sistim organ-organ
tubuh didalam melakukan aktifits fisik.Kemampuan fisik sangat penting untuk
mendukung aktifitas psikomotor.Gerakan yang terampil bisa berkembang bila
kemampuan fisik mendukung pelaksanaan gerak. Secara garis besar kemampuan fisik
dapat dibedakan menjadi 4 macam kemampuan, yaitu ketahanan (endurance),
kekuatan (strength), fleksibilitas (fleksibility), kelincahan (agility) (Sugiyanto dan
Sudjarwo,1993:221-222).
d) Gerakan keterampilan
Gerakan keterampilan adalah gerakan yang memerlukan koordinasi
dengan kontrol gerak cukup kompleks. Untuk menguasainya harus diperlukan
proses belajar gerak. Gerakan yang terampil menunjukkan sifat efisiensi didalam
pelaksanaannya (Sugiyanto dan Sudjarwo,1993:222). 5)
e) Komunikasi non-diskusif
Komunikasi non-diskusif memerlukan level klasifikasi domain
psikomotor. Menurut Harrow, komunikasi non-diskrusif merupakan prilaku yang
berbentuk komunikasi melalui gerakan-gerakan tubuh. Gerakan yang bersifat
komunikatif non-diskusif meliputi gerakan ekspresif dan gerakan interperatif.
Gerakan ekspresif meliputi gerakan-gerakan yang bisa digunakan untuk
mengkomunikasikan maksud tertentu yang digunakan dalam kehidupan, misalnya
menganggukkan kepala tanda setuju. Gerakan interperatif adalah gerakan yang
diciptakan berdasarkan penafsiran nilai-nilai estetik disebut gerakan estetik,
sedangkan gerak yang diciptakan dengan maksud untuk menyampaikan pesan
melalui makna yang tersembunyi didalam gerakan disebut gerakan kreatif
(Sugiyanto dan Sudjarwo,1993:223).
AFEKTIF
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator dan buku sebagai
pemberi informasi. Aktivitas jasmani dalam pengertian ini dipaparkan sebagai
kegiatan anak didik untuk meningkatkan keterampilan motorik dan nilai-nilai
fungsional yang mencakup aspek kognitif, afektif, psikomotorik, dan sosial.
Aktivitas ini harus dipilih dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta
didik. Melalui kegiatan Pendidikan Jasmani dan Olahraga diharapkan peserta
didik akan tumbuh dan berkembang secara sehat dan segar jasmaninya, serta
dapat berkembang kepribadiannya agar lebih harmonis dalam menjalankan
kehidupannya sekarang maupun yang akan datang