Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

KEJANG DEMAM KOMPLEKS PADA ANAK

Oleh :

NAMA : INDAR FARADILLAH

NIM : P00620219017

KELOMPOK : II

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLIKTEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAM BIMA
TAHUN 2021/2022
1. PENGERTIAN
1.1 Pengertian
- Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai
akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral
yang berlebihan.(betz & Sowden,2002).
- Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (
suhu rektal diatas 38 derajat C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium
(Ngastiyah, 1997:229).
- Kejang Demam Kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut
ini: Kejang lama > 15 menit, Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang
umum didahului kejang parsial dan Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24
jam
2. ETIOLOGI
Menurut Lumbantobing,2001 Faktor yang berperan dalam menyebabkan kejang
demam:
1. Demam itu sendiri Biasanya suhu demam diatas 38,8°C dan terjadi disaat
suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh
(Dona Wong L, 2008).
2. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap otak).
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui
atau ensekalopati toksik sepintas.
6. Gabungan semua faktor tersebut di atas.
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu tubuh yang tinggi dan cepat yang disebabkan infeksi diluar
susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut (OMA), bronkhitis, dan
lain – lain.

3. TANDA DAN GEJALA


Tanda Gejalanya berupa:
o serangan kejang demam berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral
o dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau
kelemahan
o gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau
kekakuan fokal.
o Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi
setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
neurologis.
o Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang
berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama
dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.
o Terdapat gangguan kesadaran
o Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap – ngecapkan
bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang – ulang pada tangan dan
gerakan tangan lainnya.
Setelah mengalami kejang, biasanya:
a) Akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit atau tertidur selama 1 jam
atau lebih
b) Terjadi amnesia (tidak ingat apa yang telah terjadi)-sakit kepala
c) Mengantuk
d) Linglung (sementara dan sifatnya ringan)

4. PATOFISIOLOGI dan PATHWAY ANAK DENGAN KEJANG DEMAM


KOMPLEKS.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu sebanyak 1º C akan menyebabkan
kenaikan kebutuhan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat
sebanyak 20%. Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai
65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron. Dalam waktu yang singkat terjadi difusi
dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, akibatnya terjadinya
lepasan muatan listrik. Lepasan muatan listrik ini dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah
kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung pada
tinggi atau rendahnya ambang kejang seseorang anak pada kenaikan suhu
tubuhnya. Kebiasaannya, kejadian kejang pada suhu 38ºC, anak tersebut
mempunyai ambang kejang yang rendah, sedangkan pada suhu 40º C atau lebih
anak tersebut mempunyai ambang kejang yang tinggi. Dari kenyataan ini dapat
disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang
kejang yang rendah (Latief et al., 2007).
PATHWAY ANAK DENGAN KEJANG DEMAM KOMPLEKS

Infeksi bakteri
Virus dan parasit

Reaksi inflamasi

Proses demam
Ketidakseimbangan
Hipertermia potensial membran
ATP ASE

Resiko kejang berulang


difusi Na+ dan K+

Pengobatan perawatan
Kondisi, prognosis, lanjut kejang resiko cedera
Dan diit

Kurang informasi, kondisi kurang dari lebih dari 15 menit dan berulang
Prognosis/pengobatan 15 menit
Dan perawatan perubahan suplay
Tidak menimbulkan Darah ke otak
Kurang pengetahuan/ gejala sisa
Inefektif
Penatalaksanaan kejang resiko kerusakan sel
Cemas Neuron otak
Cemas

Perfusi jaringan cerebral tidak efektif


5. KOMPLIKASI
1. Kerusakan sel otak
2. Penurunan IQ pada kejang demam yang berlangsung lama lebih dari 15 menit dan
bersifat unilateral
3. Kelumpuhan

6. PENATALAKSANAAN
a. Terapi farmakologi
Pada saat terjadinya kejang, obat yang paling cepat diberikan untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal sebanyak 20 mg.
Obat yang dapat diberikan oleh orangtua atau di rumah adalah diazepam rektal.
Dosisnya sebanyak 0,5-0,75 mg/kg atau 5 mg untuk anak dengan berat badan
kurang daripada 10 kg dan 10 mg untuk anak yang mempunyai berat badan lebih
dari 10 kg. Selain itu, diazepam rektal dengan dosis 5 mg dapat diberikan untuk
anak yang dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3
tahun. Apabila kejangnya belum berhenti, pemberian diapezem rektal dapat
diulangi lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Anak seharusnya dibawa ke rumah sakit jika masih lagi berlangsungnya kejang,
setelah 2 kali pemberian diazepam rektal. Di rumah sakit dapat diberikan
diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg (UUK Neurologi IDAI, 2006).
Jika kejang tetap belum berhenti, dapat diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10-20 mg/ kg/ kali dengan kecepatan 1 mg/ kg/ menit atau
kurang dari 50 mg/menit. Sekiranya kejang sudah berhenti, dosis selanjutnya
adalah 4-8 mg/ kg/ hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika kejang belum
berhenti dengan pemberian fenitoin maka pasien harus dirawat di ruang intensif.
Setelah kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demam, apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya (UUK Neurologi IDAI, 2006).
Seterusnya, terapi antipiretik tidak mencegah kejang kekambuhan. Kedua
parasetamol dan NSAID tidak mempunyai manfaatnya untuk mengurangi
kejadian kejang demam. Meskipun mereka tidak mengurangi risiko kejang
demam, antipiretik sering digunakan untuk mengurangi demam dan memperbaiki
kondisi umum pasien. Dalam prakteknya, kita menggunakan metamizole
(dipirone), 10 sampai 25 mg/ kg/ dosis sampai empat dosis harian (100 mg/ kg/
hari), parasetamol 10 sampai 15 mg/ kg/ dosis, juga sampai empat dosis harian
(sampai 2,6 g/hari)
dan pada anak-anak di atas usia enam bulan, diberikan ibuprofen sebanyak 5
sampai 10 mg/ kg/ dosis dalam tiga atau empat dosis terbagi (sampai 40 mg/ kg/
hari pada anak-anak dengan berat kurang dari 30 kg dan 1200 mg) (Siqueira,
2010).
Pengobatan jangka panjang atau rumatan hanya diberikan jika kejang demam
menunjukkan ciri-ciri berikut seperti kejang berlangsung lebih dari 15 menit,
kelainan neurologi yang nyata sebelum atau selapas kejadian kejang misalnya
hemiparesis, paresis Todd, palsi serebal, retardasi mental dan hidrosefalus, dan
kejadian kejang fokal. Pengobatan rumat dipertimbangkan jika kejang berulang
dua kali atau lebih dalam 24 jam, kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12
bulan dan kejang demam berlangsung lebih dari 4 kali per tahun. Obat untuk
pengobatan jangka panjang adalah fenobarbital (dosis 3-4 mg/ kgBB/ hari dibagi
1-2 dosis) atau asam valproat (dosis 15-40 mg/ kgBB/ hari dibagi 2-3 dosis).
Dengan pemberian obat ini, risiko berulangnya kejang dapat diturunkan dan
pengobatan ini diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian secara bertahap
selama 1-2 bulan (Saharso et al., 2009).
b. Terapi non-farmakologi
Tindakan pada saat kejang di rumah, (Ngastiyah, 2005, Mahmood et al., 2011
dan Capovilla et al., 2009):
1) Baringkan pasein di tempat yang rata.
2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasein.
3) Semua pakaian ketat yang mengganggu pernapasan harus dibuka misalnya ikat
pinggang.
4) Tidak memasukkan sesuatu banda ke dalam mulut anak.
5) Tidak memberikan obat atau cairan secara oral.
6) Jangan memaksa pembukaan mulut anak.
7) Monitor suhu tubuh.
8) Pemberikan kompres dingin dan antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh yang
tinggi.
9) Posisi kepala seharusnya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.
10) Usahakan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen.
11) Menghentikan kejang secepat mungkin dengan pemberian obat antikonvulsan
yaitu diazepam secara rektal.
Pengobatan kejang berkepanjangan di rumah sakit, (Capovilla et al., 2009):
1) Hilangkan obstruksi jalan napas.
2) Siapkan akses vena.
3) Monitor parameter vital (denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah, SaO2).
4) Berikan oksigen, jika perlu (SaO2 <90%)
5) Mengadministrasikan bolus intravena diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg pada
kecepatan infus maksimal 5 mg/menit, dan menangguhkan ketika kejang
berhenti. Dosis ini dapat diulang jika perlu, setelah 10 menit.
6) Memantau kelebihan elektrolit dan glukosa darah.
7) Jika kejang tidak berhenti, meminta saran seorang spesialis (ahli anestesi, ahli
saraf) untuk pengobatan.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG (DIAGNOSTIK)


a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam, dapat untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah perifer,
elektrolit, dan gula darah.
b. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko meningitis bakterialis adalah 0,6–6,7%. Pada bayi,
sering sulit menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi
klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi
lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan – sangat dianjurkan
2. Bayi antara 12-18 bulan – dianjurkan
3. Bayi >18 bulan – tidak rutin Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu
dilakukan pungsi lumbal.
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak
direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG
masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya pada
kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
d. Pencitraan
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan
CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT scan dan MRI
dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun
kejang fokal sekunder. Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti Computed
Tomography scan (CT-scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan
hanya atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema

B.KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. FOKUS PENGKAJIAN
1. Pengkajian
a. Biodata/ Identitas
Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin. Biodata orang tua perlu
dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama,
suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.
b. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang
(1) Gerakan kejang anak
(2) Terdapat demam sebelum kejang
(3) Lama bangkitan kejang
(4) Pola serangan
(5) Frekuensi serangan
(6) Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
(7) Riwayat penyakit sekarang
(8) Riwayat Penyakit Dahulu
c. Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur
mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat
imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang.
d. Riwayat kesehatan keluarga.
1. Apakah ada Anggota keluarga menderita kejang
2. Apakah ada Anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf
3. Apakah ada Anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau
penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.

Pengkajian menurut Riyadi & Sukarmin (2013) terdapat 3 pengkajian yang harus di
lakukan, antara lain:
1) Riwayat Pengkajian
Pada anak kejang demam riwayat yang menonjol adalah adanya demam yang di alami
oleh anak (suhu rektal di atas 38ºC). Demam ini dilatarbelakangi adanya penyakit lain
yang terdapat pada luar kranial seperti tonsilitis, faringitis. Sebelum serangan kejang
pada pengkajian status kesehatan biasanya anak tidak mengalami kelainan apa-apa.
Anak masih menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasanya.
2) Pengkajian Fungsional
Pengkajian fungsional yang sering mengalami gangguan adalah terjadi penurunan
kesadaran anak dengan tiba-tiba sehingga kalau di buktikan dengan tes GCS skor
yang di hasilkan berkisar antara 5 sampai 10 dengan tingkat kesadaran dari apatis
sampai somnolen atau mungkin dapat koma. Kemungkinan ada gangguan jalan nafas
yang di buktikan dengan peningkatan frekwensi pernapasan >30 x/menit dengan
irama cepat dan dangkal, lidah terlihat menekuk menutup faring. Pada kebutuhan rasa
aman dan nyaman anak mengalami gangguan kenyamanan akibat hipertermi,
sedangkan keamanan terjadi ancaman karena anak mengalami kehilangan kesadaran
yang tiba-tiba beresiko terjadinya cidera secara fisik maupun fisiologis. Untuk
pengkajian pola kebutuhan atau fungsi yang lain kemungkinan belum terjadi
gangguan kalau ada mungkin sebatas ancaman seperti penurunan personal hygiene,
aktivitas, intake nutrisi.
3) Pengkajian Tumbuh Kembang Anak
Secara umum kejang demam tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
anak. Ini di pahami dengan catatan kejang yang di alami anak tidak terlalu sering
terjadi atau masih dalam batasan yang dikemukakan oleh Livingstone (1 tahun tidak
lebih dari 4 kali) atau penyakit yang melatarbelakangi timbulnya kejang seperti
tonsilitis, faringitis, segera dapat di atasi. Kalau kondisi tersebut tidak terjadi anak
dapat mudah mengalami keterlambatan pertumbuhan misalnya berat badan yang
kurang karena ketidak cukupan nutrisi sebagai dampak anoreksia, tinggi badan yang
kurang dari umur semestinya sebagai akibat penurunan asupan mineral. Selain
gangguan pertumbuhan sebagai dampak kondisi atas anak juga dapat mengalami
gangguan perkembangan seperti penurunan kepercayaan diri akibat sering kambuhnya
penyakit sehingga anak lebih banyak berdiam diri bersama ibunya kalau di sekolah,
tidak mau berinteraksi dengan teman sebaya. Saat dirawat di rumah sakit anak terlihat
pendiam, sulit berinteraksi dengan orang yang ada di sekitar, jarang menyentuh
mainan. Kemungkinan juga dapat terjadi gangguan perkembangan yang lain seperti
penurunan kemampuan motorik kasar (meloncat, berlari).

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN, TUJUAN DAN INTERVENSI


KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis
NOC : Setelah dilakukan perawatan, pola nafas efektif dengan kriteria hasil :
- Respiratory rate dalam batas normal
- Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan

NIC/ Intervensi :

1.1 kaji pola pernafasan klien. Lihat adanya lendir atau benda lain didalam mulut
pasien
1.2 Letakkan pasien pada posisi miring dan permukaan datar
1.3 Kolaborasai dalm pemberian oksigen sesuai indikasi.

2. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi


NOC: setelah dilakukan perawatan 1x24 jam suhu tubuh menurun ke arah
normal dengan Kriteria Hasil / Tujuan : suhu tubuh normal 36-37,2 derajat
celcius.
NIC/ Intervensi :
1.1 Kaji penyebab hipertermia
1.2 Beri Kompres hangat pada ubun-ubun.ketiak,leher,lipatan paha
1.3 Jika mungkin, berikan minum sedikit-sedikit tapi sering sesuai dengan kondisi
anak
1.4 Beri pakaian tipis yang daat menyerap keringat.
1.5 Kolaborasi : pemberian antipiretik sesuai dengan indikasi

3. Resiko cedera berhubungan dengan terpapar patogen


NOC : tidak terjadi cedera, pasien aman.

NIC / Intervensi:

3.1 Jelaskan pada keluarga akibat-akibat yang terjadi sat kejang berulang (lidah
tergigit)
3.2 Sediakan spatel lidah yang telah dibungkur dengan kasa verban
3.3 Beri posisi miring kiri/kanan
3.4 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti konvulsan
DAFTAR PUSTAKA
1. Kapita Selekta Kedokteran. Ilmu Kesehatan Anak. Media Aeculapius. Fakultas
Kedoteran Universitas Indonesia 2000.
2. Konsensus Penatalaksanaan kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi. Ikatan Dokter
Anak Indonesia 2006.
3. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas
Kedokteran Universitas Indinesia 1985.
4. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi I 2004.
5. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Definisi dan Indikator Diagnostik, edisi 1, 2016
6. https://www.scribd.com/doc/23761569/Pathway-Anak-Kejang-Demam, accessed n
december 2nd 2018

Anda mungkin juga menyukai