Anda di halaman 1dari 15

FIQIH SIYASAH, KAJIAN DAN OBJEKNYA

Disusun Oleh:

Kelompok 12

Weni Rosalina (1720202106)

Ayu Azura (1730202132)

Dosen Pengampu:
Dra. Imaning Yusuf, M. Hum

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kajian fiqih siyasah terus berkembang seiring perkembangan dunia politik
yang semakin pesat dengan munculnya isu-isu politik mutakhir, seperti
demokrasi, civil society, dan hak asasi manusia. Ditambah lagi dengan isu-isu
pemikiran seperti sekularisme, liberalisme dan sosialisme yang mesti
mendapat respon dari Islam. Perkembangan tersebut tentunya menghadirkan
banyak pemahaman-pemahaman baru yang dikembangkan oleh para tokoh
fiqih siyasah yang menciptakan sejumlah perbedaan pemikirinan tentang
konsep fiqih siyasah dimaksud.
Di kalangan umat islam ada yang berpendapat bahwa Islam adalah agama
yang komprehensif. Di dalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan,
sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Misalnya Rasyid Ridha, Hasan
Al-Banna dan Al-Maududi meyakini bahwa ”Islam adalah agama yang serba
lengkap”. Di dalam ajarannya antara lain terdapat sistem ketatanegaraan atau
politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali
kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan
meniru sistem ketatanegaraan barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami
yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi
Besar Muhammad SAW dan oleh empat Khulafa al-Rasyidin.
Untuk melakukan kajian tentang fiqih Siyasah secara luas dan mendalam
dalam hubungannya sebagai ilmu untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan yang muncul seiring perkembangan zaman, tentunya harus
memahami secara benar tentang konsep dasar fiqih siyasah dari berbagai sudut
pandang. Oleh karena itu, penulis merasa penting mengangkat masalah kajian
Fiqih Siyasah dalam sebuah makalah yang berjudul “fiqih syiasah ( politik
dalam islam)”

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian fiqih siyasah ?
2. Apa saja ruang lingkup fiqih siyasah ?
3. Apa saja macam-macam fiqih syasah?
4. Bagaimana obyek kajian fiqih siyasah ?
5. Bagaimana metode kajian fiqih siyasah ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian fiqih siyasah ?
2. Untuk mengetahui ruang lingkup fiqih siyasah ?
3. Untuk mengetahui macam-macam fiqih syasah?
4. Untuk mengetahui obyek kajian fiqih siyasah ?
5. Untuk mengetahui metode kajian fiqih siyasah ?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqih Siyasah
Istilah fiqih siyasah merupakan tarkibidhafi atau kalimat majemuk yang
terdiri dari dua kata, yakni fiqih dan siyasah. Secara
etimologis, fiqih merupakan bentuk mashdar dari tashrifan kata faqiha-
yafqahu-fiqihan yangberarti pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga
dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan (tertentu). Sedangkan
secara terminologis, fiqih lebih populer didefinisikan sebagai berikut: Ilmu
tentang hukum-hukum syara‟ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari
dalil-dalilnya yang rinci.1
Al siyasah berasal dari kata ‫سا س يسوس سياسة‬yang berarti mengatur,
mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan. Secara terminologis,
sebagaimana dikemukakan Ahmad Fathi Bahatsi, siyasah adalah pengurusan
kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara‟.
Definisi lain ialah Ibn Qayyim dalam Ibn „Aqil
menyatakan: "Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih
dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun
Rasulullah tidak menetapkannya dan bahkan Allah tidak menentukannya".
Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, fiqih
siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang
seluk-beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara
pada khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh
pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna
mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya dari berbagai
kemudaratan yang mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.

1
Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-islami, (Damaskus: Daral-Fikr, 2001), hlm.18.

3
B. Ruang Lingkup Fiqih Siyasah
Ruang lingkup fiqih siyasah dikelompokkan menjadi tiga bagian pokok
yaitu :
1. Politik perundang-undangan (siyasah dusturiyyah). Bagian ini meliputi
pengkajian tentang penetapan perundang-undangan (tasriyyah) oleh
lembaga legislative, peradilan (qadla‟iyyah) oleh lembaga ludikatif, dan
administrasi pemerintahan („idariyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.2
2. Politik luar negeri (siyasah dauliyyah). Bagian ini mencakup hubungan
keperdataan antara wargahegara yang muslim dengan yang bukan
muslim yang bukan warga Negara. Dibagian ini pula masalah politik
peperangan (siyasah harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-
dasar diizinkan berperang, tawanan perang, dan genjatan senjata.3
3. Politik keuangan dan moneter (siyasah maliyyah), yang antara lain
membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan
belanja negara, perdagangan internasional, kepentingan atau hak-hak
publik, pajak dan perbankan.
C. Macam-macam Siyasah (Politik Islam)
Politik Islam secara umum terbagi menjadi tiga macam sebagai berikut;
1. Siyasah Dusturiyah
Siyasah Dusturiyah merupakan segala bentuk tata ukuran atau teori-
teori tentang Politik Tata Negara dalam Islam atau yang membahas
masalah perundang-undangan Negara agar sejalan dengan nilai-nilai
syari‟at. Artinya, undang-undang itu mengacu terhadap konstitusinya yang
tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dalam hukum-hukum syari‟at yang
disebutkan di dalam al-Qur‟an dan sunnah Nabi, baik mengenai akidah,
ibadah, akhlak, muamalah maupun berbagai macam hubungan yang lain.
Prinsip-prinsip yang diletakkan dalam perumusan undang-undang
dasar adalah jaminan atas hak asasi manusia setiap anggota masyarakat
dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa membeda-

2
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, hlm. 13.
3
Ibid., hlm. 14

4
bedakan stratifikasi sosial, kekayaan, pendidikan dan agama. Sehingga
tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan untuk merealisasikan
kemaslahatan manusia dan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, al-Qur‟an menyediakan suatu
dasar yang kukuh dan tidak berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan
moral yang perlu bagi kehidupan ini. Menurut Muhammad Asad, al-
Qur‟an memberikan suatu jawaban komprehensif untuk persoalan tingkah
laku yang baik bagi manusia sebagai anggota masyarakat dalam rangka
menciptakan suatu kehidupan berimbang di dunia ini dengan tujuan
terakhir kebahagiaan di akhirat. Ini berarti penerapan nilai-nilai universal
al-Qur‟an dan hadist adalah faktor penentu keselamatan umat manusia di
bumi sampai di akhirat, seperti peraturan yang pernah diperaktekkan
Rasulullah SAW dalam negara Islam pertama yang disebut dengan
“Konstitusi Madinah” atau “Piagam Madinah”.
Setelah Nabi wafat, tidak ada konstitusi tertulis yang mengatur negara
Islam, umat Islam dari zaman ke zaman, dalam menjalankan roda
pemerintahan berpedoman kepada prinsip-prinsip al-Qur‟an dan teladan
Nabi dalam sunnahnya. Pada masa khalifah empat, teladan Nabi masih
dapat diterapkan dalam mengatur masyarakat Islam yang sudah
berkembang. Namun pasca khulafa‟ ar-Rasidin tepatnya pada abad ke-19,
setelah dunia Islam mengalami penjajahan barat, timbul pemikiran di
kalangan ahli tata negara di berbagai dunia Islam untuk mengadakan
konstitusi. Pemikiran ini timbul sebagai reaksi atas kemunduran umat
Islam dan respon terhadap gagasan politik barat yang masuk di dunia
Islam bersamaan dengan kolonialisme terhadap dunia Islam. Sebab salah
satu aspek dari isi konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah bidang-
bidang kekuasaan negara. Kekuasaan itu dikenal dengan istilah Majlis
Syura atau “ ahl al-halli wa al-aqdi.
Menurut Abdul Kadir Audah, kekuasaan dalam negara Islam itu dibagi
ke dalam lima bidang, artinya ada lima kekuasaan dalam Negara Islam,
yaitu:

5
a. Sulthah Tanfizhiyyah (kekuasaan penyelenggara undang-undang).
b. Sulthah Tashri‟iyah (kekuasaan pembuat undang-undang).
c. Sulthah Qadhoiyah (kekuasaan kehakiman).
d. Sulthah Maliyah (kekuasaan keuangan).
e. Sulthah Muraqabah wa Taqwim (kekuasaan pengawasan masyarakat).
2. Siyasah Dauliyah
Syasah merupakan segala bentuk tata ukuran atau teori-teori tentang
sistem hukum internasional dan hubungan antar bangsa. Pada awalnya
Islam hanya memperkenalkan satu sistem kekuasaan politik negara yaitu
kekuasaan di bawah risalah Nabi Muhammad Saw dan berkembang
menjadi satu sistem khilafah atau kekhilafaan. Dalam sistem ini dunia
internasional, dipisahkan dalam tiga kelompok kenegaraan, yaitu, pertama,
negara Islam atau darussalam, yaitu negara yang ditegakkan atas dasar
berlakunya syariat Islam dalam kehidupan. Kedua, darus-harbi, yaitu
negara non Islam yang kehadirannya mengancam kekuasaan negara-
negara Islam serta menganggap musuh terhadap warga negaranya yang
menganut agama Islam.
Ketiga, darus-sulh, yaitu negara non-Islam yang menjalin persahabatan
dengan negara-negara Islam, yang eksistensinya melindungi warga negara
yang menganut agama Islam. Antara darus-salam dengan darus-sulh
terdapat persepsi yang sama tentang batas kedualatannya, untuk saling
menghormati dan bahkan menjalin kerja sama dengan dunia Internasional.
Keduanya saling terikat oleh konvensi untuk tidak saling menyerang dan
hidup bertetangga secara damai, sementara hubungan antara darus-salam
dengan darus-harb selalu diwarnai oleh sejarah hitam. Masing-masing
selalu memperhitungkan terjadi konflik, namun demikian Islam telah
meletakkan dasar untuk tidak berada dalam posisi pemrakarsa meletusnya
perang. Perang dalam hal ini merupakan letak mempertahankan diri atau
sebagai tindakan balasan.
Perang dalam rangka menghadapi serangan musuh di dalam Islam
memperoleh pengakuan yang syah secara hukum, dan termasuk dalam

6
ketegori jihad. Meskipun jihad dalam bentuk perang dibenarkan di dalam
Islam, namun pembenaran tersebut sebatas di dalam mempertahankan diri
atau tindakan balasan. Juga terbatas di dalam rangka menaklukkan lawan
bukan untuk membinasakan dalam arti pembantaian atau pemusnahan.
Oleh karena itu, mereka yang menyerah, tertawan, para wanita, orang tua
dan anak-anak, orang-orang cacat, tempat-tempat ibadah, dan sarana serta
prasarana ekonomi rakyat secara umum harus dilindungi.
Kekuasaan politik berikutnya mengalami perubahan tidak hanya
mengakui satu sistem khilafah tetapi telah mengakui keragaman tentang
khilafah. Selain itu juga memberi pengakuan atas otonomi negara-negara
bagian kerajaan maupun kesultanan di Spanyol hingga Asia Tenggara.
Pada konteks sekarang teori politik Islam kontemporer hanya
memperkenalkan konsepsi hukum internasional dalam dua bagian besar;
pertama, al-Ahkam ad-Dauliyah al-Ammah; yaitu suatu hukum
internasional yang menangani masalah-masalah makro. Kedua, al-Ahkam
ad-Dauliyah al-Khosoh, yaitu suatu hukum internasional yang menangani
masalah-masalah mikro.
Menurut Ali Anwar sebagaimana dikutip Mustafa Anshori Liddinillah
terdapat sembilan prinsip-prinsip politik luar negeri dalam siyasah
dauliyah. Pertama, saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat
(perjanjian) (QS. Al-Anfal: 58, QS. At-Taubah: 47, QS. An-Nahl: 91, dan
QS. Al-Isra‟: 34). Kedua, kehormatan dan integrasi Nasional (QS. An-
Nahl: 92). Ketiga, keadilan universal Internasional (QS. Al-Maidah: 8).
Keempat, menjaga perdamaian abadi. Kelima, menjaga ketentraman
negara-negara lain (QS. An-Nisa: 89-90). Keenam, Memberikan
perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam yang hidup di
negara lain (QS. Al-Anfal: 72). Ketujuh, Bersahabat dengan kekuasaan-
kekuasaan netral (QS. Al-Mumtahanah: 8-9). Kedelapan, Kehormatan
dalam hubungan Internasional (QS. Ar-Rahman: 60). Kesembilan,
Persamaan keadilan untuk para penyerang (QS. An-Nahl: 126).

7
3. Siyasah Maaliyah
Politik yang mengatur sistem ekonomi dalam Islam. Dr. Abdurrahman
al-Maliki menyatakan bahwa politik ekonomi Islam adalah sejumlah
hukum (kebijakan) yang ditujukan untuk menjamin terpenuhinya
kebutuhan primer setiap individu dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
pelengkap (kebutuhan sekunder dan tersier) sesuai dengan kadar
kemampuannya. Untuk itu, semua kebijakan ekonomi Islam harus
diarahkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi dan (jika
memungkinkan) terpenuhinya kebutuhan pelengkap pada setiap orang
(perindividu) yang hidup di dalam Negara Islam, sesuai dengan syariah
Islam.4
Dengan demikian, politik ekonomi Islam didasarkan pada empat
pandangan dasar: 1). Setiap orang adalah individu yang membutuhkan
pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhannya. 2). Adanya jaminan bagi setiap
individu yang hidup di dalam Daulah Islamiyah untuk memenuhi
kebutuhan primernya. 3). Islam mendorong setiap orang untuk berusaha
dan bekerja mencari rezeki agar mereka bisa mewujudkan kemakmuran
dan kesejahteraan hidup; alias bisa memasuki mekanisme pasar. 4).
Negara menerapkan syariah Islam untuk mengatur seluruh interaksi di
tengah-tengah masyarakat serta menjamin terwujudnya nilai-nilai
keutamaan dan keluhuran dalam setiap interaksi, termasuk di dalamnya
interaksi ekonomi.
Dasar itu, politik ekonomi Islam tidak sekadar diarahkan untuk
meningkatnya pendapat nasional (GNP) atau disandarkan pada
pertumbuhan ekonomi nasional, keadilan sosial, dan lain sebagainya.
Politik ekonomi Islam terutama ditujukan untuk menjamin terpenuhinya
kebutuhan primer secara menyeluruh bagi setiap orang yang hidup di
Negara Islam. Atas dasar itu, persoalan ekonomi bukanlah bagaimana
meningkatkan kuantitas produksi barang dan jasa, tetapi sampainya barang
dan jasa itu kepada setiap orang (distribusi). Hanya saja, pertumbuhan

4
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Rajawali, 1994), hlm 29.

8
ekonomi juga menjadi obyek yang diperhatikan dan hendak diselesaikan
di dalam sistem ekonomi Islam. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa obyek
persoalan ekonomi dalam sistem ekonomi Islam ada macam: (1) politik
ekonomi; (2) pertumbuhan kekayaan. Menurut an-Nahbani dan al-Maliki,
politik ekonomi Islam adalah jaminan atas pemenuhan seluruh kebutuhan
pokok (al-hajat al-asasiyah/basic needs) bagi setiap individu dan juga
pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan luks (al-hajat al-kamaliyah)
sesuai kadar kemampuan individu bersangkutan yang hidup dalam
masyarakat tertentu dengan kekhasan di dalamnya. Dengan demikian titik
berat sasaran pemecahan permasalahan dalam ekonomi Islam terletak pada
permasalahan individu manusia bukan pada tingkat kolektif (negara dan
masyarakat).
Menurut Al-Maliki, ada empat perkara yang menjadi asas politik
ekonomi Islam. Pertama, setiap orang adalah individu yang memerlukan
pemenuhan kebutuhan. Kedua, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok
dilakukan secara menyeluruh (lengkap). Ketiga, mubah (boleh) hukumnya
bagi individu mencari rezki (bekerja) dengan tujuan untuk memperoleh
kekayaan dan meningkatkan kemakmuran hidupnya. Keempat, nilai-nilai
luhur (syariat Islam) harus mendominasi (menjadi aturan yang diterapkan)
seluruh interaksi yang melibatkan individu-individu di dalam masyarakat .
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa politik ekonomi
kebijakan fiskal Islam adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok
setiap warga negara (Muslim dan non Muslim/kafir dzimmi) dan
mendorong mereka agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder
dan tersiernya sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.5
D. Objek Kajian Fiqih Siyasah
Objek kajian fiqih siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara
warga negara dengan warga negara, hubungan antar warga negara dengan
lembaga negara, dan hubungan antara lembaga negara dengan lembaga
negara, baik hubungan yang bersifat intern suatu negara maupun hubungan

5
H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah, ( Jakarta: Kencana, 2007), hlm 28.

9
yang bersifat ekstern antar negara, dalam berbagai bidang kehidupan. Dari
pemahaman seperti itu, tampak bahwa kajian siyasah memusatkan perhatian
pada aspek pengaturan. Penekanan demikian terlihat dari penjelasan T.M.
Hasbi Ash Shiddieqy: “Objek kajian siyasah adalah pekerjaan-pekerjaan
mukallaf dan urusan-urusan mereka dari jurusan penadbirannya, dengan
mengingat persesuaian penadbiran itu dengan jiwa syariah, yang kita tidak
peroleh dalilnya yang khusus dan tidak berlawanan dengan sesuatu nash dari
nash-nash yang merupakan syariah „amah yang tetap”.6
Hal yang sama ditemukan pula pada pernyataan Abul Wahhab Khallaf:
“Objek pembahasan ilmu siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan
yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan
pokok-pokok agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta
memenuhi kebutuhannya”. Secara garis besar maka, objeknya menjadi
peraturan dan perundang-undangan, pengorganisasian dan pengaturan
kemaslahatan, dan hubungan antar penguasa dan rakyat serta hak dan
kewajiban masing-masing dalam mencapai tujuan negara.
Suyuti Pulungan , menampilkan beberapa pendapat ulama tentang obyek
kajian fiqih siyasah yang berbeda-beda, lalu menyimpulkan bahwa objek
kajiannya adalah :
1. Peraturan dan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan landasan
idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
2. Pengorganisasian dan pengaturan kemaslahatan.
3. Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban
masing-masing dalam usaha mencapai tujuan negara.
E. Metode Kajian Fiqih Siyasah
Metode yang digunakan dalam membahas fiqih siyasah tidak berbeda
dengan metode yang digunakan dalam membahas fiqih lain, dalam fiqih
siyasah juga menggunakan ilmu ushul fiqih dan qowaid fiqih. Dibandingkan
dengan fiqih-fiqih yang disebutkan, penggunaan metode ini dalam fiqih

6
T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut Syariah
Islam, (Yogyakarta : Matahari Masa, 1969), hlm. 3

10
siyasah terasa lebih penting. Alasannya, masalah siyasah tidak diatur secara
terperinci oleh syari‟at Al-Qur‟an dan Al-Hadits.
Secara umum, dalam fiqih siyasah, digunakan metode-metode seperti7:
1. Al-Qiyas
Al- Qiyas dalam fiqih syasah, digunakan untuk mencari ilat hukum.
Dengan penggunaan Al-Qiyas, hukum dari sesuatu masalah, dapat
diterapkan pada masalah yang lain pada masa dan tempat yang berbeda,
jika masalah-masalah yang disebutkan terakhir mempunyai ilat hukum
yang sama dengan masalah yang disebutkan pertama.
Penggunaan al-Qiyas sangat bermanfaat, terutama dalam memecahkan
masalah-masalah baru. Akan tetapi kenyataanya, tidak semua masalah
baru dapat dipecahkan dengan penggunaan Al-Qiyas. Dalam keadaan
demikian, digunakan metode lainnya.
2. Al-Mashalahah al-Mursalah
Pada umumnya Al-Mashalahah al-Mursalah digunakaan dalam
mengatur dan mengendalikan persoaln-persoalan yang tidak diatur oleh
syari‟at Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, penarapan al-
Mashlahah al-Mursalaah harus didasarkan pada hasil penelitian yang
cermat dan akurat juga dalam kepustakaan fiqih, dikenal dengan
istilah istqra‟. Tanpa penelitian seperti itu, penggunaan al-Mashlahah al-
Mursalah tidak akan menimbulkan kemaslahatan, tetapi justru
sebailiknya mengakibatkan kemafsadatan.
3. Sadd al-Dzariah dan Fath al- Dzari‟ah
Dalam fiqih siyasah sad al-Dzariah digunakan sebagai upaya
pengendalian masyarakat untuk menghindari kenafsadzataan. Dan Fath al-
Dzari‟ah digunakan sebagai upaya perekayasaan masyarakat untuk
mencapai kemaslahatan.
4. Al-„Adah.

7
Munawir Sjazdali, Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran. (Jakarta: UI
Pers, 1990), hlm 45.

11
Metode ketiga yang banyak digunakan dalam fiqih siyasah adalah al-
„adah. Adah ini ada dua macam, yaitu : al-adah ash shohihah dan al-„addah
al-fasidah. Al-„adah ash sohihah yaitu adat yang tidak
menyalahi Syara‟, sedangkan al-„adah al-fasidah yaitu adat yang
bertentangan dengan syara‟.
5. Al-Istihsan
Sering diartikan perubahan dalil yang dipakai seorang mujtahid. Dalam
hubunga itu dalil yang satu ke dalil yang lain yang menurutnya lebih kuat.
Menurut „Ibn „Arabiy: “melaksanakan dalil yang kuat diantara dua dalil”.
6. Kaidah-kaidah Kulliyah Fiqihiyah.
Kaidah ini sebagai teori ulama banyak digunakan untuk melihat ketepatan
pelaksanaan fiqih siyasah. Kaidah-kaidah ini bersifat umum. Oleh karena
itu dalam penggunaannya perlu memperhatikan kekecualian-kekecualian
dan syarat-syarat tertentu.

12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Fiqih siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas
tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan
negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh
pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna
mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya dari berbagai
kemudaratan yang mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang dijalaninya.
Ruang lingkup fiqih siyasah ada tiga yaitu:
a. Politik perundang-undangan (siyasah dusturiyyah).
b. Politik luar negeri (siyasah dauliyyah).
c. Politik keuangan dan moneter (siyasah maliyyah).
Dalam penentuan objek kajian Fiqih siyasah terdapat beberapa khilafiah
namun dari beberapa khilafiah itu dapat ditarik kesimpulan objek kajiannya ada
tiga yaitu:
a. Peraturan dan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan landasan
idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
b. Pengorganisasian dan pengaturan kemaslahatan.
c. Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban
masing-masing dalam usaha mencapai tujuan negara.
Metode kajian fiqih siyasah yaitu meliputi:
a. Al-Qiyas
b. Al-Mashalahah al-Mursalah.
c. Sadd al-Dzariah dan Fath al- Dzari‟ah
d. Al-„Adah
e. Al-Istihsan
f. Kaidah-kaidah Kulliyah Fiqihiyah

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhayli, Wahbah. (2001). Ushul al-Fiqh al-islami. Damaskus: Daral-Fikr.


Ash Shiddieqy T. M. Hasbi. (1969). Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut
Syariah Islam. Yogyakarta : Matahari Masa.
Djazuli, H.A. (2007). Fiqh Siyâsah. Jakarta: Kencana.
Iqbal, Muhammad. (2007). Fiqh Siyasah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Pulungan, J. Suyuti. (1994). Fiqh Siyasah, Jakarta: Rajawali
Sjazdali, Munawir. (1990). Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: UI Pers.

14

Anda mungkin juga menyukai