Anda di halaman 1dari 4

PENDAHULUAN

 Pengakuan Pariyem adalah cerita tentang seorang gadis desa berstatus sosial rendah
yang akhirnya menjadi babu di sebuah keluarga priyayi. Dia memasrahkan dirinya pada
nasib dan sudah puas sepenuhnya dengan segala aspek kehidupannya.

Linus Suryadi A.G menulis  Pengakuan Pariyem dalam bentuk prosa lirik. Prosa
lirik adalah karangan yang tidak terikat oleh syarat-syarat jumlah baris, jumlah suku kata
dan sajak, tetapi sangat mementingkan irama. Jadi prosa lirik merupakan bentuk peralihan
dari
dari puisi
puisi ke prosa
prosa atau
atau sebali
sebalikny
knyaa prosa
prosa lirik
lirik sering
sering disebu
disebutt bahasa
bahasa berira
berirama.
ma. Dalam
Dalam
tuturannya, bahasa yang digunakan oleh Linus adalah bahasa Indonesia, diselingi dengan
kata-kata, ungkapan, dan ide Jawa.

Karena menariknya gaya penulisan Linus dalam novel


novel Pengakuan Pariyem, maka
 Pengakuan Pariyem,
 pada kajian stilistika kali ini, penulis ingin membahas lebih jauh mengenai penggunaan
 prosa lirik dalam novel Pengakuan
novel Pengakuan Pariyem pada lembar pembahasan dalam makalah ini.

1
PEMBAHASAN

“Prosa Lirik dalam Novel Pengakuan Pariyem”

Prosa Lirik adalah karangan yang tidak terikat oleh syarat-syarat jumlah baris,
 jumlah suku kata dan sajak, tetapi sangat mementingkan irama. Jadi prosa lirik merupakan
 bentuk peralihan dari puisi ke prosa atau sebaliknya prosa lirik sering disebut bahasa
 berirama.

Karya Linus Suryadi Ag, "Pengakuan Pariyem", diakui bagus teristimewa karena
ditulis dalam format prosa lirik dengan kata-kata yang indah dan mendalam disertai
ungkapan-ungkapan dan dibubuhi ide Jawa. Biasanya karya yang dikategorikan bernilai
sastra, apalagi puisi, selain temanya menyentuh, bahasanya juga luar biasa.

Dilihat dari isinya, novel ini fokus ke dalam pikiran dan pengalaman seorang
 perempuan Jawa belia, yaitu Pariyem. Sehingga gaya penceritaannya bersifat subjektif dan
liris yang membuat kronologinya tidak jelas. Memang ada satu latar waktu yang
dicantumkan dan mendominasi cerita, yaitu April 1979, itu menunjukkan rangkaian
 peristiwa yang membuat novel ini berulang kali disela oleh refleksi dan kenangan Pariyem.
Selain itu, karena bentuknya prosa lirik maka berpengaruh kepada sifat ceritanya. Sifat
ceritanya menjadi liris, fokalisasi hanya dilakukan terhadap Pariyem.

Karena sifat cerita yang liris, fokalisasi hanya dilakukan terhadap Pariyem. Ia
membuat pengakuan terhadap Mas Paiman, yang menjadi pusat perhatiannya dalam cerita,
meski hunbungan antara mereka berdua tidak jelas:

Saya mengaku kepada Mas Paiman, kok 

Saya mengaku kepada sampeyan saja

Bila saya mengaku pada Mas Paiman

Itu bukti saya tresna pada sampeyan (PP: 59-60)

Pilihan kata ganti orang dalm bahasa Indonesia sangat mencolok. Pariyem

2
menggunakan bentuk sopan dengan kata saya untuk menyebut dirinya dan bukan dengan
kata aku. Seperti umumya terdapat dalam cerita-cerita yang menggunakan narator tokoh
orang pertama. Pemakaian bentuk sopan ini menunjukan bahwa dia menghormati
 pendengar langsungnya, Mas Paiman. Penggunaan  saya membuat pembaca menyadari
kenyataan bahwa si pembicara adalah orang yang rendah kedudukannya. Ketika dia
menyebut Mas Paiman—dan Mas paiman adalah satu-satunya tokoh yang diajaknya bicara
 —ia menggunakan Mas atau sampeyan, bentuk sopan orang kedua tunggal di Jawa. Selain
masalah kata ganti tersebut, penggunaan kata babu untuk menyebut pembantu juga tidak 
 biasa. Istilah yang jelas-jelas tidak berlaku ini dan yang telah digantikan dalam bahasa
Indonesia masa kini dengan kata pembantu, yang maknanya lebih dekat dengan “bantuan
rumah tangga”, mengingatkan kita pada relasi masa kolonial.
Karena bentuknya prosa lirik, bukan berarti tidak sarat dengan nilai. Bukan prosa
utuh atau puisi utuh saja yang memiliki nilai, prosa lirik juga memperhatikan unsur nilai
atau mengndung nilai-nilai. Ini menimbulkan manfaat yaitu bacaan yang disuguhkan tidak 
membosankan, bisa memberikan perasaan tenang, gembira yang terungkap secara implisit
maupun eksplisit dalam menangkap serta memahami maknanya. Tidak mudah untuk 
memahami semua makna yang terkandung dalam karya sastra, karena tidak jarang bahwa
karya sastra itu banyak mengandung
simbol-simbol atau imaji-imaji.
Jadi, ditinjau dari struktur penulisannya yang menggunakan bentuk prosa lirik 
membuat para pembaca susah untuk menafsirkannya, hal ini juga membuat pembaca
menafsirkan karya ini dengan beragam. Selain itu, penggunaan kosakata dari bahasa
tertentu (bahasa jawa) membuat para pembaca yang bukan orang jawa asli merasa kesulitan
untuk mengerti apa yang dimaksud oleh penulis. Namun anehnya, beberapa orang (kritikus)
menganggap bahwa kesulitan dalam memahami karya ini merupakan suatu keistimewaan
atau keindahan dari karya sastra Prosa Lirik Pengakuan Pariyem tersebut.

PENUTUP

3
Prosa lirik merupakan jenis karangan yang tidak terikat oleh syarat-syarat jumlah
 baris, jumlah suku kata dan sajak, tetapi sangat mementingkan irama. Dalam novel
 Pengakuan Pariyem ini memang gaya penulisan dari pengarang dengan menggunakan jenis
 prosa lirik.
 Novel ini fokus ke dalam pikiran dan pengalaman seorang perempuan Jawa belia,
yaitu Pariyem. Sehingga gaya penceritaannya bersifat subjektif dan liris yang membuat
kronologinya tidak jelas.
Prosa lirik ini bila ditinjau dari struktur penulisannya, membuat para pembaca susah
untuk menafsirkannya, tapi hal ini juga membuat pembaca menafsirkan karya ini dengan
 beragam.

Anda mungkin juga menyukai