BAB II Hyperbilirubinemia
BAB II Hyperbilirubinemia
TINJAUAN PUSTAKA
Ikterus neonatorum adalah akumulasi bilirubin yang berlebihan dalam darah yang
ditandai dengan jaundice pada kulit, sklera, mukosa dan urin (Mitayani, 2009). Ikterus terjadi
ketika bilirubin disimpan di dalam jaringan subkutan dan terlihat ketika tingkat serum
bilirubin melebihi enam mg/dL (Mansjoer, 2000). Ikterus disebabkan oleh proses normal
terjadi pada 25% sampai 50% dari semua bayi yang baru lahir cukup bulan yang sehat
(Deslidel, 2012). Peningkatan kadar bilirubin lebih sering terjadi pada bayi kurang dari 38
fisiologi akan muncul pada hari kedua dan ketiga pasca lahir dan terlihat jelas pada hari ke-5
sampai ke-6 (Saputra, 2014). Kadar bilirubin indirek neonatus cukup bulan tidak melebihi 10
mg/dl, peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi lima mg/dl per hari dengan kadar bilirubin
direk tidak melebihi satu mg/dl. Ikterus tidak terbukti terkait dengan keadaan patologis dan
menghilang pada 10 hari pertama (Arief, 2009). Ikterus patologi terjadi dalam 24 jam
pertama segera setelah lahir dan menetap setelah dua minggu pertama, kadar bilirubin pada
neonatus cukup bulan >10 mg/dl atau >12,5 mg/dl pada neonatus kurang bulan, bilirubin
meningkat >5 mg/dl per hari, kadar bilirubin direk melebihi satu mg/dl dan mempunyai
yang berkaitan dengan pemberian ASI. Breastfeeding jaundice muncul pada bayi yang mendapat
ASI eksklusif yang terjadi pada hari ke-2 atau ke-3 disaat produksi air susu ibu
sedikit. Neonatus kehilangan berat badan/dehidrasi, frekuensi menyusu yang tidak adekuat,
hambatan ekskresi bilirubin hepatik serta adanya gangguan reabsorpsi bilirubin di usus
bilirubin tak terkonjugasi yang berakhir pada keadaan hiperbilirubinemia pada neonatus
(IDAI, 2013). Breastmilk jaundice merupakan kadar bilirubin indirek yang meningkat
dengan kadar 25 sampai 30 mg/dl pada minggu ke-2 sampai ke-3. Hal ini disebabkan oleh
progesteron yaitu pregnan-3-alpha 20 beta-diol yang terdapat di dalam air susu ibu (IDAI,
2013). Breastmilk jaundice tidak terjadi pada hari pertama sampai ke-5 kehidupan karena
peningkatan penyerapan bilirubin dalam usus tidak terjadi sampai adanya transisi dari
Penentuan derajat ikterus menurut pembagian zona tubuh oleh Kramer (1969) yaitu
Kramer I ikterus di daerah kepala dengan perkiraan bilirubin total ± 5-7 mg/dl, Kramer II di
daerah dada sampai pusat dengan bilirubin total ± 7-10 mg/dl, Kramer III mulai perut
dibawah pusat sampai dengan lutut dengan bilirubin total ± 10-13 mg/dl, Kramer IV bagian
lengan sampai dengan pergelangan tangan, tungkai bawah sampai dengan pergelangan kaki
dengan bilirubin total ± 13-17 mg/dl, dan Kramer V sampai dengan telapak tangan dan
2.1.1 Bilirubin
dalam sel darah merah pada sistem retikuloendotelial yang terbagi menjadi dua bentuk
yaitu bilirubin tak terkonjugasi dan terkonjugasi (Haws, 2007). Heme merupakan hasil
hemolisis eritrosit dan protein heme lainnya seperti sitokrom, mioglobin, peroksidase dan
katalase. Usia hidup eritrosit pada neonatus lebih pendek berkisar 80-90 hari
dibandingkan orang dewasa yaitu 120 hari, sehingga bilirubin diproduksi dua kali lebih
ekskresi, dimana sebagian besar produksi bilirubin berasal dari eritrosit yang rusak. Heme
dikonversi menjadi bilirubin tak terkonjugasi kemudian berikatan dengan albumin dan
dibawa ke hati kemudian dikonjugasi oleh asam glukuronat pada reaksi yang dikatalisasi oleh
diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Pada bayi baru lahir yang ususnya bebas dari
bakteri, pembentukan sterkobilin tidak terjadi, namun usus bayi mengandung banyak beta
akan direabsorpsi kembali melalui siklus enterohepatik ke aliran darah (Mansjoer, 2000).
2.1.2 Hiperbilirubinemia
serum total >5 mg/dL. Faktor terjadinya hiperbilirubinemia yaitu (1) proses fisiologis
pada bayi baru lahir terutama bayi prematur, selama minggu pertama kehidupan terjadi
peningkatan kadar bilirubin indirek serum. Kompensasi tekanan partial oksigen yang
rendah, umur sel darah merah pendek dan peningkatan resirkulasi enterohepatik dari
bilirubin mengakibatkan volume sel darah merah meningkat. Organ hati yang belum
peningkatan produksi disertai peningkatan pemecahan sel darah merah yang berlebihan.
kegagalan enzim pada sel darah merah, abnormalitas struktur membran sel darah merah,
infeksi (bakteri, virus, dan protozoa). (3) Kelainan serapan oleh hati, (4) kegagalan
glukoronil transferase (pengaruh obat). (5) Peningkatan hemolisis dan peningkatan beban
jalur degradasi bilirubin akibat dari sekuestrasi sel darah merah yang berasal dari sefal
hematoma perdarahan saluran cerna, serta (6) siklus enterohepatik (Haws, 2007).
2.1.3 Dampak hiperbilirubinemia
indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nikleus, subtalamus
hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar vertikel IV. Secara klinis dapat berupa
mata berputar, letargi, kejang, tidak mau menghisap, malas minum, tonus otot meningkat
dan leher kaku serta apabila berlanjut dapat menyebabkan ketulian nada tinggi, gangguan
Pemberian ASI secara dini pada neonatus dapat mengurangi terjadinya ikterus
lampu dengan jarak antara 10-50 cm. Fototerapi dianjurkan apabila kadar bilirubin serum
total > 12 mg/dl pada neonatus usia 25-48 jam pasca lahir, dan wajib dilaksanakan apabila
kadar bilirubin serum total 15 mg/dl. Transfusi tukar dianjurkan apabila fototerapi yang
sudah dilaksanakan selama 2 x 24 jam tidak dapat menurunkan kadar bilirubin serum total
dilakukan apabila kadar bilirubin serum total lebih dari 15 mg/dl pada usia 25-48 jam pasca
kelahiran. Pengobatan dengan intravena imun globulin pada bayi dengan isoimunisasi Rh
atau ABO dapat mengurangi tindakan transfusi tukar. Intravena imun globulin telah
digunakan untuk kondisi imunologi dalam beberapa tahun terakhir. Kebutuhan untuk
transfusi tukar dapat dikurangi dengan intravena imun globulin (Klaus, 1993).
2.2 Cara Persalinan
Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada
kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala,
tanpa komplikasi baik ibu maupun janin (Hidayat, 2010). Perabdominam (bedah sesar) suatu
cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan
perut (Mochtar, 2006). Ibu yang melahirkan spontan berisiko terjadinya trauma lahir pada
bilirubin tak terkonjugasi. Memar dan sefal hematoma merupakan bentuk umum dari
perdarahan ekstravaskuler pada neonatus yang terjadi pada jaringan periosteum (sub
periosteal) karena tekanan jalan lahir pada persalinan normal yang dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia. Sefal hematoma terjadi sangat lambat sehingga tidak nampak adanya
edema dan eritema pada kulit kepala (Rukiyah, 2013). Kejadian trauma pada neonatus dapat
berkurang dengan dilakukannya tindakan bedah sesar namun berisiko pada ibu (Manuaba,
2007).
Ibu yang melahirkan dengan bedah sesar merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dengan penundaan menyusui sehingga meningkatkan kadar bilirubin. Penundaan menyusui dapat
(Osborn,1984). Osborn mendapatkan hasil bahwa cara persalinan berhubungan dengan asupan
nutrisi pada neonatus dimana ibu yang mengalami operasi bedah sesar sebagian besar mampu
memulai menyusui bayi rata-rata lebih dari empat sampai 24 jam sehingga neonatus diberikan
asupan tambahan sampai ibu mampu menyusui (Osborn, 1984). Neonatus yang lahir melalui
bedah sesar tidak melewati jalan lahir ibu, sehingga tidak mendapatkan bakteri menguntungkan
dengan menggunakan 455 sampel rekam medis dan hasil wawancara mendapatkan hasil, dari
255 neonatus dengan ikterus, sebanyak 69,8% ibu dengan persalinan bedah sesar dan 30,2%
ibu dengan persalinan spontan. Berbeda dengan penelitian kasus kontrol dengan sampel 80
neonatus matur yang dilakukan oleh (Sareharto & Wijayahadi, 2010) di Semarang bahwa
Inisiasi menyusu dini atau permulaan menyusu dini adalah bayi mulai menyusu
sendiri segera setelah lahir (Roesli, 2012). Proses yang dilakukan yaitu bayi dikeringkan pada
bagian kepala dan badan kecuali bagian tangan yang terdapat lemak putih, tali pusat dipotong
dan diikat kemudian bayi ditengkurapkan di dada atau perut ibu. Proses ini dipertahankan
minimum satu jam atau setelah menyusu awal selesai. Prosedur invasif seperti tetes mata
bayi, suntikan vitamin K dan prosedur menimbang, mengukur serta cap bayi dapat dilakukan
Manfaat inisiasi menyusu dini bagi bayi adalah melatih insting bayi, meningkatkan
kekebalan tubuh bayi, serta manfaat lain adalah mempercepat pengeluaran kolostrum (Roesli,
2012). Penurunan hormon prolaktin apabila inisiasi menyusu dini tidak dilakukan dapat
mengakibatkan produksi ASI kurang lancar dan ASI baru akan keluar pada hari ketiga atau lebih
(Purwanti, 2004). Hormon prolaktin dan oksitosin berperan dalam produksi ASI yang dapat
dirangsang dengan isapan bayi sehingga dapat merangsang pengeluaran ASI. Pemberian ASI
yang adekuat, tanpa diberi minuman tambahan dapat mengatasi breastfeeding jaundice dimana
bayi yang sehat dan lahir cukup bulan mempunyai cadangan energi serta cairan untuk
mempertahankan metabolisme selama tiga hari (IDAI, 2013). Menyusui yang tidak adekuat,
(Gartner, 2001). Ketidakcukupan ASI yang dikeluarkan dari payudara ibu dapat disebabkan
oleh kekeliruan dalam melakukan pemberian ASI untuk pertama kali (Purwanti, 2004).
Penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Saputra tahun 2016 mendapatkan hasil
kejadian ikterus lebih banyak terjadi pada kelompok yang tidak dilakukan inisiasi menyusu
dini. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Bilgin, 2013) dalam studi prospektif di
Turkey, tidak ada hubungan antara waktu menyusu pertama kali dengan peningkatan kadar
Kolostrum adalah cairan pelindung yang kaya akan zat anti infeksi dan mengandung
tinggi protein yang keluar hari pertama sampai hari ke-4 atau ke-7 setelah melahirkan (Marmi,
2012). Komposisi kolostrum terdiri dari kadar karbohidrat dan rendah lemak dan protein (gamma
globulin). Kolostrum mengandung antibodi yang memberikan perlindungan bagi bayi sampai
umur enam bulan, lebih tinggi mineral terutama natrium kalium dan klorida. Kolostrum memiliki
dengan ASI matur, namun memiliki total energi lebih rendah. Jumlah kolostrum masih terbatas
nutrisi yang membantu melapisi serta maturasi usus dan lambung. Kolostrum merupakan
cairan pencahar yang ideal untuk mempersiapkan saluran cerna bayi terhadap makanan yang
akan datang serta membersihkan zat yang tidak dibutuhkan dari usus neonatus. Kolostrum
sangat diperlukan untuk tumbuh kembang bayi, sebagai laksatif alami serta mencegah kuning
Mekonium adalah tinja pertama bayi, berwarna jingga yang tersusun dari sel-sel
epitel yang mengalami deskuamasi, sel-sel epidermis serta lanugo yang ditelan bersama
cairan amnion. Sebanyak 90% neonatus mengeluarkan mekonium pada 24 jam pertama dan
sisanya dalam 36 jam. Mekonium akan berubah warna pada hari ke-3 atau ke-4, tergantung
seberapa dini pemberian susu dan susu apa yang digunakan. Semakin cepat usus bayi
dirangsang semakin cepat terjadi motilitas usus sehingga pengeluaran mekonium dapat lebih
cepat. Pengeluaran mekonium yang lebih cepat berdampak pada berkurangnya kejadian
kerusakan saluran pencernaan (Purwanti, 2004). Penelitian kohort yang dilakukan oleh
Suryandari (2015) mendapatkan hasil, terdapat perbedaan kejadian ikterus fisiologis pada bayi
baru lahir dengan pemberian kolostrum dini dan tidak diberi kolostrum secara dini dengan nilai
p<0,05 dimana bayi baru lahir normal yang tidak diberi kolostrum secara dini 13,5 kali lebih
besar mengalami ikterus fisiologis dibandingkan bayi yang diberikan kolostrum secara dini.
Bayi mengalami ikterus fisiologis tidak hanya tergantung pada proses pemberian
kolostrum namun juga dipengaruhi oleh pola menyusui sedini dan sesering mungkin (Arief,
2009). Jumlah bilirubin dalam darah bayi akan berkurang seiring diberikannya kolostrum
yang dapat mengatasi kekuningan, asalkan bayi tersebut disusui sesering mungkin
(Prasetyono, 2012). Semakin sering bayi menyusu maka kemampuan stimulasi hormon dan
kelenjar payudara semakin sering sehingga produksi ASI semakin banyak (Marmi, 2012).
2.5 Frekuensi Menyusu Dalam 24 Jam
Prolaktin memengaruhi jumlah produksi ASI dan oksitosin berkaitan dengan proses
pengeluaran ASI. Prolaktin berkaitan dengan nutrisi ibu, semakin baik asupan nutrisinya maka
produksi yang dihasilkan juga banyak. Mengeluarkan ASI diperlukan hormon oksitosin yang
kerjanya dipengaruhi oleh proses hisapan bayi. Bayi yang menyusui dengan rentang frekuensi
yang optimal menjadikan bayi mampu menghadapi efek ikterus (Haryono, 2014). Rentang
frekuensi menyusu yang optimal adalah setiap dua jam sekali atau sesering mungkin sesuai
dengan keinginan bayi dimana lambung bayi akan kosong dalam waktu dua jam (Haryono,
2014). Frekuensi maksimal menyusu pada bayi adalah sesuai kemauan dan paling sedikit delapan
kali sehari (IDAI, 2013). Semakin sering puting dihisap oleh bayi semakin banyak ASI yang
dikeluarkan, bayi yang terus disusui secara adekuat dan teratur cenderung lebih awal
mengeluarkan mekonium dan mengalami kejadian ikterus fisiologis yang lebih rendah (Marmi,
2012). Pemberian ASI yang tidak adekuat meningkatkan risiko dehidrasi akibat menurunnya
gastrointestinal. Bayi yang sehat dapat mengosongkan payudara dalam waktu lima sampai tujuh
menit dan dengan pemberian ASI tidak terjadwal dan sesuai kebutuhan bayi dapat mencegah
ikterus (Apriyulan, 2017). Studi prospekti yang dilakukan oleh (Tazami, 2013) di Jambi
mendapatkan hasil bahwa angka kejadian ikterus dengan pemberian ASI yang kurang dari
dimana peningkatan bilirubin indirek sering dialami oleh neonatus yang dilahirkan prematur
dengan BBLR. Immaturitas hepar dan saluran gastrointestinal yang terjadi pada BBLR
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada neonatus yaitu sebagian besar sel darah merah
memiliki usia yang singkat dan terjadi peningkatan sirkulasi enterohepatik dan defisiensi
Inkompatibilitas ABO adalah suatu keadaan umur sel darah merah neonatus yang
memendek akibat antibodi dari ibu. Inkompatibilitas ABO ditemukan pada bayi golongan
darah A atau B dan ibu golongan darah O. Kelompok ini memiliki risiko hiperbilirubinemia
dikarenakan adanya reaksi imun berdasarkan terjadinya hemolisis (Murray, 2007). Keadaan
hiperbilirubinemia cenderung lebih umum terjadi pada golongan darah O pada ibu atau
Risiko kejadian hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang dilahirkan dari ibu
yang memiliki riwayat diabetes melitus. Pada usia 48-72 jam, 20-30% neonatus dengan ibu
yang memiliki riwayat diabetes melitus memiliki konsentrasi bilirubin indirek yang tinggi.
disebabkan oleh besarnya ukuran neonatus yang meningkatkan risiko trauma lahir sehingga
resorpsi darah dari sepal hematoma menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada neonatus dengan
ibu diabetes melitus juga terjadi polisitemia dan kecepatan penguraian normal massa sel
darah merah yang meningkat mengakibatkan beban bilirubin yang besar bagi hati untuk
Asfiksia adalah keadaan hipoksia yang progresif karena akumulasi CO 2 dan asidosis
(Deslidel, 2012). Asfiksia dibedakan menjadi tiga yaitu bayi normal dengan skor APGAR 7-
10 dimana bayi dianggap sehat dan hanya memerlukan perawatan rutin untuk bayi baru lahir,
asfiksia sedang dengan skor APGAR 4-6 dan asfiksia berat dengan skor APGAR 0-3
(Deslidel, 2012). Asfiksia merujuk pada kejadian hipoksia dan iskemia dimana kadar oksigen
arteria yang kurang dari normal serta aliran darah ke sel dan ke organ tidak mencukupi untuk
di organ hati yang menyebabkan konjugasi berkurang (Behrman, 2000). Asfiksia berat
dengan skor APGAR 0-3 akan menghambat pelaksanaan inisiasi menyusu dini.
pada manusia yang berfungsi mencegah hemolitik sekaligus menjaga keutuhan sel darah
merah. Defisiensi G6PD merupakan kelainan enzim yang terkait kromosom sex yang
umumnya terjadi pada lelaki (Wang, 2014). Rendahnya aktivitas enzim G6PD pada sel darah
merah dengan aktivitas residual G6PD kurang dari 100 mengakibatkan terjadi peningkatan
hemolisis pada sel darah merah. Peningkatan hemolisis menyebabkan terjadinya peningkatan
produksi bilirubin.
Menurut WHO, preeklamsi ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada preeklamsi
lebih dari 140/90 mmHg dengan protein urin lebih dari 300 mg/L dalam 24 jam (Klaus, 1993).
Preeklamsi merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang berhubungan dengan kelahiran
prematur dan BBLR karena dapat mengganggu pertukaran gas dan metabolisme pada janin
dimana memperlambat pertumbuhan janin serta memperpendek usia kehamilan ibu (Proverawati,
2010). Penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Asih tahun 2006 di Cilacap mendapatkan
hasil sebanyak 59,1% ibu primigravida yang mengalami preeklamsi melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah (p<0,05). Bayi lahir dengan berat badan rendah dapat menimbulkan
Paritas adalah status seorang wanita sehubungan dengan jumlah anak yang dilahirkan
(Hinchliff, 1999). Neonatus yang mengalami ikterus ditemukan pada ibu dengan paritas
pertama dibandingkan dengan paritas lebih dari satu, hal ini diakibatkan oleh trauma lahir
akibat jalan lahir yang digunakan untuk pertama kalinya (Klaus, 1993).
2.7 Hubungan antara Ikterus Fisiologis dengan Cara Persalinan dan Pemberian ASI
Cara persalinan secara spontan maupun secara tindakan memiliki pengaruh yang
sama terhadap ikterus neonatorum. Persalinan spontan dapat menimbulkan trauma lahir pada
neonatus salah satunya sefal hematoma yang dapat meningkatkan kadar bilirubin. Persalinan
dengan tindakan menghambat pelaksanaan inisiasi menyusu dini serta neonatus tidak
mendapatkan bakteri normal pada jalan lahir. Bakteri berfungsi untuk membantu proses
ikterus (Bobak, 2005). Pemberian kolostrum sering dan dini akan meningkatkan ekskresi
mekonium dan menurunkan kadar billirubin (Bobak, 2005). Proses menyusui dilanjutkan
delapan kali atau lebih dalam sehari dan ibu dianjurkan menyusui secara teratur dalam 24
jam. Pada proses inisiasi menyusu dini terdapat fase bayi menjilat-jilat kulit ibu sehingga
memudahkan flora normal kulit ibu masuk ke pencernaan bayi. Bakteri berfungsi untuk
pengubahan bilirubin serta aktifitas enzim glukoronidase pada usus bayi. Apabila bakteri
tidak terdapat dalam usus maka terjadi peningkatan hidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi
bilirubin tak terkonjugasi dan masuk ke siklus enterohepatik. Kejadian ikterik neonatorum
berhubungan dengan peningkatan siklus enterohepatik yang disebabkan tertumpuknya
bilirubin pada gangguan pasase mekonium (Bobak, 2005). Bayi yang mendapat kolostrum
berperan sebagai laksatif alami (pencahar) yang membantu mendorong mekonium keluar dari
tubuh. Kolostrum mulai diproduksi pada akhir kehamilan dan tetap bertahan hingga empat
hari setelah kelahiran. Bilirubin yang dikeluarkan melalui mekonium menurunkan kadar