Anda di halaman 1dari 4

KONTROVERSI TWK DAN KPK; MIRIP LITSUS ORBA?

Sumber: https://yoursay.suara.com/

https://antikorupsi.org/

Polemik pengalihan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) adalah hasil dari revisi
UU KPK. Menurut Fahri Hamzah ketika diwawancari jurnalis senio Karni Ilyas dalam kanal you
tubenya mengatakan bahwa "Yang sedang kita lakukan ini atau yang sedang kita saksikan ini
adalah satu koreksi yang memang kita desain secara masif untuk meluruskan cara berpikir kita
tentang penegakan hukum dan cara kita memandang korupsi dan cara memberantasnya." 

Menurut wakil ketua partai gelora itu juga bahwa hal ini berkaitan dengan status tersangka pada
Budi Gunawan yang saat itu akan dilantik menjadi Kapolri. Menurutnya, belum juga diperiksa
tetapi sudah menjadi tersangka. 

Di satu sisi korupsi memang menjadi kasus yang tiada akhirnya. Di sisi lain, korupsi menjadi
satu agenda rutin yang berkaitan dengan kebijakan publik. Banyak pejabat yang tidak disangka-
sangka tenyata tersandung kasus korupsi. Artinya, korupsi bukan sebuah tindakan yang
dilakukan dengan ketidak sadaran, atau ketidak sengajaan. 

Namun, di lain pihak, KPK harus benar-benar diisi orang-orang berhari bersih dan berjiwa tegas
dalam menegakkan kebenaran. Walaupun pada dasarnya orang baik itu musuhnya banyak.
Tetapi begitulah pola-pola penegakan, harus jujur, bahwa yang merah harus dikatakan merah.
Artinya membawa amanat kejujuran itu juga sangat penting. 

Maka wajar, bagi para relawan anti korupsi, pergerakan mahasiswa dan element-element
masyarakat anti korupsi yang lain, merasa ada upaya pelemahan dalam badan KPK sendiri. Dari
revisi UU KPK, polemik TWK yang tak kunjung ketemu ujung pangkalnya. Nah, pelemahan-
pelemahan itu bisa kita lihat dalam beberapa proses, di antaranya adalah:

1. DPR membahas revisi UU KPK


Pada September 2019 DPR membahas tentang revisi UU KPK. Walaupun banyak pihak yang
menolak dan para mahasiswa melakukan unjuk rasa, ternyata pada tanggal 17 September 2019
DPR mengesahkan hasil  revisi UU KPK. 

2. Pengajuan Gugatan UU KPK kepada MK yang molor selama satu tahun


Gugatan ini dilayangkan oleh Agus Raharjo dan kawan-kawan. Yang kemudian disayangkan,
adalah pembahasan dari gugatan ini molor selama satu tahun. Oleh karenanya hal itu menjadi
asumsi bagi penggerak anti korupsi bahwa memang benar-benar ada indikasi untuk melemahkan
KPK.

3. Terjadi perbedaan pendapat di MK


Menurut salah satu anggota hakim, Wahidin Adams terdapat sejumlah indikator spesifik yang
menyebabkan UU KPK hasil revisi itu memiliki masalah konstitusionaltas dan moralitas yang
serius, sehingga gugatan yang diterima hanya sebagian, di antaranya adalah: ketentuan soal
penggeledahan, penyadapan harus seizin Dewas dinilai bertetangan dengan UUD 1945. 

4. 75 pegawai KPK tidak lolos TWK


Dari kesemua pegawai KPK yang mengikuti test wawasan kebangsaan (TWK) ada 75 orang
yang tidak lolos tes tersebut. Di mana kesemua yang tidak lolos itu di antaranya adalah Novel
Baswedan dan Yudi Purnomo. Artinya beberapa orang yang kompeten dan sudah lama
mengabdikan diri di KPK bahkan melaksanakan tugasnya dengan baik, bahkan Novel Baswedan
juga pernah diintimidasi dan diteror dengan penyiraman air keras, ternyata mereka dinyatakan
tidak lulus TWK dan dinonaktifkan.

Beberapa hal yang terjadi itu menunjukkan bahwa ada upaya untuk pelemahan KPK itu sendiri.
bahkan opini yang berkembang ada keterkaitannya dengan isu pilpres tahun 2024. 

Korupsi harus diperangi, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, karena berkaitan
dengan rakyat dan kesejahteraan sosial. Bagaimanapun upaya pelemahan itu, jika masih ada
semangat untuk memberantas tindakan korup, di sanalah masih ada harapan bahwa bangsa kita
akan bersih dari tindakan-tindakan yang merugikan seperti korupsi.

 KELANJUTAN POLEMIK TWK


Pemberantasan korupsi akhirnya menemui ajalnya. Pada hari ini Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) resmi
mengumumkan nasib sejumlah pegawai pasca melewati Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Setelah rapat lintas kementerian dan lembaga itu, diputuskan bahwa 51 pegawai KPK tetap
dipaksa untuk keluar dari lembaga antirasuah.
Mencermati hasil kesepakatan tersebut, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama,
sejumlah lembaga negara yang mengikuti proses pembahasan hari ini telah melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan. Betapa tidak, sejak awal sudah ditegaskan bahwa
penyelenggaraan TWK yang diikuti seluruh pegawai KPK bersifat ilegal. Sebab, TWK
diselundupkan secara sistematis oleh Pimpinan KPK melalui Peraturan Komisi Pemberantasan
Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 (Perkom 1/2021). Padahal, Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tidak mengamanatkan metode seleksi
untuk alih status kepegawaian KPK.
Kedua, putusan untuk mengeluarkan 51 pegawai KPK secara terang benderang menghiraukan
putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diketahui, dalam putusannya, MK sudah
mengumumkan bahwa pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh melanggar hak-hak
pegawai. Kemudian, jika tes tersebut dimaknai dengan metode seleksi, bukankah hal itu
menimbulkan dampak kerugian bagi pegawai KPK? Lagi pun mesti dipahami bahwa putusan
MK bersifat final dan mengikat serta tidak bisa ditafsirkan lain.
Ketiga, substansi pertanyaan dalam TWK yang diinisiasi oleh Pimpinan KPK bersama lembaga
lain bertentangan dengan hak asasi manusia. Merujuk pada beberapa pemberitaan yang beredar
luas di tengah masyarakat, pertanyaan-pertanyaan TWK menyentuh ranah privasi warga negara.
Dapat dibayangkan, perihal kehidupan pribadi, pandangan politik, dan Agama turut dijadikan
dasar penilaian. Bahkan, proses wawancara juga dilakukan secara tidak profesional. Hal itu dapat
merujuk kepada fakta bahwa panitia penyelenggara tidak menyediakan alat rekam saat dilakukan
proses tanya jawab dengan pegawai KPK berlangsung.  
Keempat, kebijakan Pimpinan KPK untuk memasukkan TWK dalam Peraturan Perkom 1/2021
telah melanggar kode etik. Merujuk pada Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat banyak
ketentuan yang saling bertentangan. Mulai dari poin Integritas, Sinergi, Keadilan,
Profesionalisme, dan Kepemimpinan. Berlandaskan pada pelanggaran itu, maka beberapa waktu
lalu sejumlah pegawai KPK melaporkan seluruh Pimpinan KPK ke Dewan Pengawas.
Kelima, konsep TWK terlihat ahistoris dengan kondisi sebenarnya. Beberapa waktu terakhir
sejumlah pegawai KPK menyebutkan rangkaian seleksi “Indonesia Memanggil” dan sejumlah
pelatihan yang didapatkan pasca terpilih menjadi pegawai lembaga antirasuah itu. Dalam
penjelasan ditemukan fakta bahwa saat terpilih menjadi pegawai, mereka turut melewati program
induksi selama 48 hari yang di dalamnya juga terdapat materi wawasan kebangsaan dan bela
negara. Jadi, TWK itu jelas tidak dibutuhkan lagi untuk diterapkan, apalagi dijadikan batu uji
untuk menilai wawasan kebangsaan pegawai KPK.
Keenam, pernyataaan Pimpinan KPK dan Kepala BKN patut dianggap sebagai upaya
pembangkangan atas perintah Presiden Joko Widodo. Patut diingat, beberapa waktu lalu
Presiden telah menegaskan bahwa TWK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan
sejumlah pegawai KPK. Namun, faktanya dua lembaga itu malah menganggap pernyataan
Presiden sebagai angin lalu semata. Padahal, berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen
ASN. Selain itu, akibat perubahan UU KPK, khususnya Pasal 3, lembaga antirasuah tersebut
merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Jadi, pada dasarnya, tidak ada
alasan bagi dua lembaga itu mengeluarkan kebijakan administrasi yang bertolak belakang
dengan pernyataan Presiden.
Ketujuh, putusan untuk memberhentikan sejumlah pegawai KPK terkesan terburu-buru tanpa
didahului dengan melakukan mekanisme evaluasi secara menyeluruh atas penyelenggaraan
TWK. Sejak polemik TWK ini menguak ke tengah publik, terdapat sejumlah elemen dan
organisasi yang mengkaji keabsahan pemberhentian pegawai KPK. Mulai dari masyarakat sipil,
organisasi keagamaan, mantan Pimpinan KPK, bahkan puluhan guru besar telah mengeluarkan
sikap penolakan penyelenggaraan TWK dan hasilnya dengan berbagai alasan yang logis dan
berdasar hukum. Untuk menegaskan berbagai pelanggaran, sejumlah pegawai yang dinyatakan
tidak lolos TWK juga mendatangi beberapa lembaga negara, diantaranya: Ombudsman dalam
konteks perbuatan maladminstrasi dan Komnas HAM.
Kedelapan, patut diduga ada sejumlah kelompok yang bersekongkol dengan Pimpinan KPK
untuk memberhentikan pegawai-pegawai KPK. Indikasi ini menguat tatkala para pendengung
(buzzer) memenuhi media sosial dan diikuti pula dengan upaya peretasan kepada pihak-pihak
yang mengkritisi TWK. Namun, isu yang dibawa oleh para buzzer terlihat usang dan tidak
pernah bisa menunjukkan bukti konkret, misalnya tuduhan taliban dan radikalisme di KPK.
Atas sejumlah permasalahan itu, Indonesia Corruption Watch mendesak agar:

1. Dewan Pengawas segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh Pimpinan
KPK terkait pemberhentian pegawai dalam Tes Wawasan Kebangsaan;
 
2. Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur Kepala BKN dan
seluruh Pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51
pegawai KPK;
 
3. Presiden Joko Widodo membatalkan keputusan Pimpinan KPK dan Kepala BKN dengan
tetap melantik seluruh pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara;

Anda mungkin juga menyukai