Disusun Oleh :
Pembimbing :
dr. Farah, Sp.F
JOURNAL READING
A Study on Unsafe Abortion Presented for Medicolegal Examination
Diajukan kepada :
Disusun Oleh :
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING
Disusun Oleh :
Mengesahkan :
Pembimbing
Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola aborsi yang tidak aman dalam
kasus yang dirujuk secara medis dan untuk menilai kekuatan dan keterbatasan pendapat
medikolegal dalam kasus seperti tersebut di atas.
Hasil : Dari 51 kasus yang ditinjau, gangguan secara mekanis adalah cara yang digunakan dalam
45% kasus. 68% perempuan masuk rumah sakit dengan pendarahan hebat. Kondisi saat masuk
rumah sakit sangat kritis yang membutuhkan intervensi medis untuk menyelamatkan nyawanya
terdapata pada 53% kasus. Persiapan untuk pemeriksaan medikolegal dilakukan setelah 3 hari
masuk rumah sakit di sebagian besar (59%) kasus, sedangkan di 47% kasus, ada gangguan
terapetik dalam 3 hari pemeriksaan medikolegal. Pada saat pemeriksaan medikolegal itu, bukti
gangguan awal tidak dapat teridentifikasi pada kebanyakn kasus (84%).
Kesimpulan : Pemberian bukti yang kuat untuk memberikan hasil hukum yang diharapkan
dalam kasus aborsi ilegal yaitu dibatasi. Otoritas peradilan dan penegakan hukum harus
menyadari keterbatasan ini dan mencari bukti yang kuat untuk menerapkan hukumannya.
Kata Kunci : aborsi yang tidak aman, administrasi peradilan, pendapat medikolegal, kekuatan,
batasan.
PENDAHULUAN
Aborsi dianggap sebagai masalah kesehatan dan sosial utama di Sri Lanka dan saat ini
dibahas secara ekstensif. Undang-undang tentang aborsi saat ini sangat ketat dan tidak
perempuan. Akibatnya, meski ada batasan hukum, aborsi dilakukan di sejumlah besar, di tempat-
tempat tersembunyi kebanyakan oleh orang-orang yang tidak terlatih, dalam kondisi yang sangat
tidak higienis. Menurut statistik Menteri Kesehatan, 7% hingga 16% dari semua perujukan
perempuan ke rumah sakit pemerintahan dimungkinkan karena komplikasi dari aborsi kecil.
Dilaporkan bahwa sekitar 700 aborsi yang diinduksi dilakukan di Sri Lanka setiap harinya.
Aborsi yang tidak aman merupakan penyebab utama ketiga kematian ibu di Sri Lanka
selama satu dekade terakhir. Komplikasi aborsi yang tidak aman tidak hanya terbatas pada
perdarahan dan menyebabkan syok bahkan kematian, tetapi juga ada banyak contoh di mana ibu
menjadi cacat permanen, efek lanjut dari infeksi saluran reproduksi termasuk penyakit radang
panggul, subfertilitas sekunder, dan kehamilan ektopik. Karena ilegalitas dan stigma yang
melekat padanya, sebagian besar aborsi yagn tidak aman tidak dilaporkan terutama bila tidak ada
komplikasi yang mematikan. Pemeriksaan medis forensik pada dugaan aborsi ilegal diharapkan
dapat mengidentifikasi sisa-sisa janin atau bukti kehamilan untuk menetapkan bukti yang
mengganggu kehamilan. Pendapat berbasis bukti yang seimbang dan masuk akal dari seorang
ahli forensik dapat memberikan kontribusi yang sangat besar pada sistem peradilan pidana.
Dalam penilaian forensik, aborsi dan etiologinya, aborsi akibat trauma hanya dapat ditentukan
setelah pengecualian dari semua penyebab nontraumatik lainnya. Pakar forensik tidak dapat
memberikan pendapat hanya berdasar pada latar belakang keadaan atau sejarah suatu kejadian.
Temuan harus sesuai dengan prinsip dasar patologi dan patofisiologi. Dalam kasus aborsi ilegal,
bukti gangguannya sangat minimal pada saat dipresentasikan ke ahli forensik karena berbagai
alasan. Hal ini dapat membatasi ahli dalam mengungkapkan pendapat yang solid.
TUJUAN
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pola aborsi yang tidak aman yang disajikan untuk
pemeriksaan medikolegal dan untuk menilai kekuatan dan keterbatasan pendapat medikolegal
DESAIN STUDI
Sebuah studi deskriptif retrospektif pada perempuan yang pernah dirujuk untuk pemeriksaan
medikolegal dan mengaku pernah aborsi yang diinduksi dilakukan berdasarkan catatan kasus
penulis selama 5 tahun terakhir. Informasi dikumpulkan secara proforma untuk memenuhi tujuan
HASIL
Dari 51 kasus yang ditinjau, mayoritas 30 perempuan (58%) dari kelompok usia 26
sampai 35 tahun (Tabel 1). Ada 4 perempuan (8%) pada kelompok usia kurang dari 20 tahun.
Terdapat 42 perempuan (82%) yang sudah menikah. Mayoritas, 16 perempuan (31%),
melakukan aborsi karena kegagalan kontrasepsi, padahal ada 11 aborsi (21%) karena
kemiskinan. Kehamilan sebelum menikah diidentifikasi sebagai penyebab penting ketiga
dilkukannya aborsi dengan resultan 9 kasus (18%). Ketuntasan keluarga merupakan alasan aborsi
pada 6 perempuan (12%), sedangkan terdapat 9 (18%) kasus karena alasan lain.
Terdapat 20 kasus (39%) dari aborsi diinduksi pada saat periode amenore 6 sampai 8
minggu, sedangkan 19 kasus (37%) terjadi pada periode amenore 8 sampai 16 minggu. 17 kasus
(33%) dari para perempuan pergi ke “pusat kesehatan” untuk melakukan aborsi di sana,
sedangkan ada 15 kasus (30%) yang pernah melakukan aborsi di rumah (Tabel 2).
Terdapat 23 kasus (45%) telah mengalami gangguan mekanis, sedangkan 22 kasus
(43%) juga telah menjalani penghentian secara medis dengan cara suntikan, obat oral, atau
dengan memasukkan alat pencegah kehamilan (Tabel 3).
Mayoritas, 29 kasus (57%), dari perempuan dirawat di rumah sakit 24 jam setelah
gangguan. 35 kasus (68%) datang dengan pendarahan hebat. 27 kasus (53%) membutuhkan
intervensi medis untuk menyelamatkan hidup. 28 kasus (58%) menunjukkan bukti aborsi saat
masuk. Dari 28 perempuan yang menunjukkan bukti aborsi, hanya 6 yang menunjukkan bukti
gangguan (Tabel 4).
24 kasus (47%) dari kelompok telah menjalani pemeriksaan medis yangn berhubungan
dengan hukum dalam waktu 3 hari setelah gangguan terapeutik. Pada waktu pemeriksaan
medikolegal, 44 kasus (86%) tidak memiliki bukti gangguan awal, sedangkan hanya 7 kasus saja
(14%) yang menunjukkan bukti gangguan awal. Rujukan untuk pemeriksaan medikolegal sudah
dilakukan 3 hari atau lebih setelah masuk dalam 30 (59%) kasus. Terdapat 7 remaja (33%)
dirujuk untuk pemeriksaan medikolegal kurang dari 3 hari setelah penerimaan. Ada 3 kasus
(18%) dari 17 perempuan pada kelompok ini dengan bukti gangguan, sedangkan terdapat 4 kasus
dari 30 kasus (13%) dengan bukti gangguan pada kelompok yang dirujuk 3 hari kemudian (Tabel
5). Tidak ada perbedaan signifikan dalam kehadiran bukti interferensi antara 2 kelompok (P =
0,544).
Bukti kehamilan baru-baru ini dapat ditemukan di semua 51 perempuan. Manajemen
rumah sakit termasuk evakuasi produk yang dipertahankan dari konsepsi (Evacuation of
Retained Products of Conception/ERPC) di mayoritas, 34 (66%), perempuan (Tabel 6).
DISKUSI
administrasi peradilan. Dalam kasus aborsi ilegal menempatkan hidup perempjuan dalam risiko,
diharapkan dari ahli medis forensik untuk menetapkan semua bukti yang tersedia pada gangguan
kehamilan untuk mendakwa dan menghukum responden. Aksi legal mengenai aborsi umumnya
ditujukan untuk mencegah aborsi, menargetkan pusat aborsi atau mereka yang pernah melakukan
aborsi mandiri. Namun, untuk mengungkapkan pendapat yang tidak bias, sangatlah penting
untuk memiliki pemahaman yang tepat tentang pola aborsi serta untuk memahami kekuatan dan
melakukan aborsi sudah menikah dan berusia antara 26 tahun dan 35 tahun. Hal ini dijelaskan
dengan baik ketika penulis menganalisis alasan aborsi, di mana sebagian besar alasannya adalah
kegagalan kontrasepsi, sedangkan kemiskinan menempati urutan kedua. Dalam sebuah studi
yang dilakukan oleh WHO tentang aborsi yang tidak aman dan terkait kematian, ada mayoritas
(27%) antara usia kelompok usia 25 sampai 29 tahun, sedangkan ada 22% dalam kelompok usia
dari 30 hingga 34 tahun di negara-negara Asia. 39% dari aborsi telah diinduksi pada amenore 6
sampai 8 minggu. Sebuah "pelayanan medis" atau rumah adalah tempat yang dipilih untuk
induksi sebagian besar menunjukkan risiko untuk kehidupan. Hal ini menjelaskan situasi tragis
yang terkait dengan kemiskinan perempuan. Diketahui bahwa meskipun undang-undang kaku,
perempuan dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih tinggi menemukan sedikit atau tidak
adanya kesulitan dalam menjalani aborsi secara global. Aborsi yang tidak aman adalah suatu
masalah perempuan miskin. Namun, meski ada undang-undang, banyak perempuan di Sri Lanka
dapat memiliki akses penghentian melalui klinik di sektor swasta yang tersebar luas di pulau itu.
Sampel yang diteliti hanya mewakili mereka yang kurang mampu, perempuan yang
telah melakukan aborsi tidak aman dan membutuhkan perawatan di rumah sakit karena
komplikasinya. Kira-kira 10% sampai 13% kematian ibu yang terjadi di Sri Lanka diakibatkan
oleh ketidakamanan aborsi, dan masih banyak lagi yang mengalami beberapa bentuk komplikasi
pada penghentian medis. Metode yang paling umum digunakan di klinik aborsi untuk
Secara global, pelaku aborsi menghindar dari terminasi mekanis, dan penghentian
medis menjadi semakin populer tidak seperti masa lalu. Namun, karena sampel mewakili hanya
perempuan dengan komplikasi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, banyak dari
penghentian medis mungkin tidak disertakan pada penelitian ini Dalam penelitian berbasis
rumah sakit di Sri Lanka, ada 92% kasus individu yang telah menjalani intervensi mekanis.
Terdapat adanya bukti kehamilan baru-baru ini di semua kasus (100%). Sebanyak 57%
perempuan telah dirawat di rumah sakit dalam 24 jam kejadian, dan 68% dari total kelompok
mengalami kejadian pendarahan berat, dengan 53% membutuhkan intervensi medis segera untuk
menyelamatkan kehidupan. Evakuasi Produk yang Ditahan telah dilakukan di 66% kasus,
Komplikasi yang paling umum dari aborsi yang diinduksi adalah aborsi tidak lengkap,
perdarahan, sepsis, dan cedera intra-abdomen Adanya perdarahan adalah indikator yang sangat
baik untuk diminta bahwa ada bukti aborsi pada saat masuk rumah sakit. Dulu terungkap pada
penelitian bahwa 58% menunjukkan bukti aborsi pada saat masuk. Namun, hal ini tidak
menunjukkan bahwa kejadian aborsi adalah akibat dari adanya gangguan. Semua komplikasi
Rujukan untuk dilakukan pemeriksaan medikolegal dilakukan 3 hari atau lebih setelah
masuk terdapat dalam 59% kasus. Hanya 14% kasus yang menunjukkan bukti gangguan pada
saat pemeriksaan medikolegal. Bukti forensik gangguan kehamilan termasuk trauma terlokalisasi
baik di serviks, vagina, atau organ intra-abdominal; adanya benda asing; dan adanya obat
abortifacient secara lokal atau sistemik. Tanda-tanda ini mungkin tidak ada di kebanyak korban.
Demikian pula intervensi terapeutik untuk menghilangkan retensi produk dapat menciptakan
artefak yang menyebabkan salah tafsir. Jadi, bahkan jika ada bukti aborsi, hal tersebut sangat
sulit dan harus berhati-hati dalam pemberian pendapat atas bukti gangguan. Tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam kelompok tersebut dirujuk 3 hari kemudian dan dalam 3 hari ketika bukti
interferensi dipertimbangkan. Hal ini lebih jauh menekankan batasan atau kesulitan yang terkait
dengan pembentukan opini berbasis bukti yang kuat di kasus dugaan aborsi.
BATASAN
Kelompok studi tidak mewakili gambaran sebenarnya dari insiden aborsi karena banyak kasus
tidak dilaporkan.
Karena peraturan yang ketat, aborsi yang tidak aman menjadi masalah kesehatan yang utama
terutama di kalangan mereka yang kurang mampu. Membentuk opini berbasis bukti yang kuat
untuk membuktikan atau menyanggah tuduhan ahli forensik adalah terbatas. Hal ini
menyebabkan kurangnya tingkat dakwaan dan hukuman dalam dugaan aborsi dan bersama-sama
dengan peraturan yang ketat menghasilkan peningkatan lebih lanjut dari pusat aborsi tidak aman.
Penting bagi pembuat kebijakan, otoritas penegakan hukum, dan peradilan untuk mengetahui
batasan ini untuk mempertimbangkan setiap perubahan pada undang-undang kita atau untuk
meningkatkan perawatan fasilitas kesehatan dalam pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan
dan untuk mencari bukti kuat yang menguatkan untuk menerapkan hukuman untuk
2. Deskripsi judul +
4. Korespodensi penulis +
No. Abstrak +
1. Abstrak 1 paragraf +
-
4. Kurang dari 250 kata
(258 kata)
No. Pendahuluan +
- (3
1. Terdiri dari 2 bagian
paragraf)
3. Populasi sumber -
4. Teknik sampling -
5. Kriteria inklusi -
6. Kriteria eksklusi -
9. Uji statistic -