Anda di halaman 1dari 6

BAB III

OBJEK KAJIAN PSIKOLOGI TASAWUF

SATUAN BAHASAN 3 :
Objek Kajian Psikologi Tasawuf

A. Gambaran singkat Mengenai Materi Kuliah


Materi kuliah ini membahas mengenai Objek Formal dan objek material psikologi tasawuf,
serta kajian lapangan psikologi tasawuf.

B. Pedoman Mempelajari Materi


Baca dengan baik uraian mengenai Objek formal maupun objek materialnya, dan objek
kajian pembahasannya. Kemudian mereview ulang dengan membuat resume tiap
pembahasan. Fahami dengan baik intisari/ringkasan tersebut.

C. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat Memahami Objek Kajian Psikologi Tasawuf.
2. Mahasiswa dapat membedakan objek formal maupun objek materialnya.
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami objek formal sebagai substansi pengertian sebuah
disiplin ilmu yang membedakan satu disiplin ilmu dengan ilmu yang lainnya.

D. Bahasan Materi : Objek Kajian Psikologi Tasawuf


Objek formal Psikologi Tasawuf adalah mengkaji prilaku spiritual dan pengalaman suluk
para sufi dalam berinteraksi dengan Rob-nya dan relasi pelayanan kepada makhluk Tuhan.
Tiga konsep dasar psikologi tasawuf yang menjadi objek kajiannya, yaitu : ruh, qalb, dan
naf.s
Dimensi ruh yang dikaji dalam psikologi tasauf, sebenarnya bukan garapan psikologi.
Ruh termasuk bidang kajian agama, khususnya tasauf Islam. Tetapi kajian-kajian tasauf, seperti
al-Ghazali mengungkap adanya wilayah “transformasi” atau “wilayah perubahan” antara
kesadaran biasa yang termasuk dimensi kejiwaan dengan kesadaran lain yang te rmasuk “alam
hakikat”. Wilayah peralihan ini dapat dialami, dicapai dan dapat disadari oleh seseorang dalam
kondisi yang khusyu. Wilayah ini dinamakan psiko-spiritual 1.Pengalaman spiritual al-Hallaj, Ibn
‘Arabi, Abu Yazid al-Busthami yang sulit dipahami dengan kata-kata dalam bahasa verbal, telah
mengalami penyatuan dirinya dengan asma-Nya dan sifat-Nya (yatazalla bi ‘asmaihi wa
sifatihi) yang memunculkan teori hulul, ittihad dan wahdat al-wujud adalah wilayah yang
mungkin dapat dikaji dalam perspektif psikologi sufi.
Menurut Javad Nurbakhsyi, sifat-sifat kebendaan (tab’), diri, hati, kesadaran batin (khafi)
dan kesadaran batin terdalam (akhfa), masing-masing merupakan tahapan-tahapan
perkembangan yang harus dila lui oleh jiwa manusia dalam perjalanannya menuju keseimbangan
dan kesempurnaan spiritual2.
Untuk menggambarkan model transformasi sufi, Robert Frager mengadaptasi diagram
yang dikembangkan oleh Robert Assagioli, seorang psikiater yang mempelajari teori Sigmund
Freud de ngan teori tiga strata kesadarannya, agar cocok dengan model tujuh tingkatan nafs.
Pada diagram tersebut, alam tak sadar atas diletakkan pada bagian tertinggi dari lingkaran yang
mewakili bagian jiwa spiritual, transcendental atau transpersonal.
Agar lebih memperluas pembahasan ini, dipandang perlu untuk mengemukakan
pendapat ibn Sina (980-1037 M), tentang klasifikasi jiwa. Menurutnya, jiwa terbagi ke dalam
tiga bagian3: pertama, Jiwa nabati (ruh nabati), ia mempunyai Jiwa sebagai prinsip kehidupan,
merupakan sebuah pancaran (emanasi) dari akal kecerdasan aktif4. Definisi yang umum tentang
jiwa adalah “kesempurnaan yang pertama dalam tubuh organik”, baik ketika ia dibentuk tumbuh
dan diberi makan (seperti dalam kasus jiwa hewani), atau ketika ia memahami hal-hal universal
dan bertindak berdasarkan pertumbuhan yang mendalam (seperti kasus dalam jiwa insani)5. Ibn
Sina sama dengan al-Farabi ia membagi daya makan, tumbuh dan berkembang biak. Kedua, jiwa
binatang (ruh Haywani) yang mempunyai daya gerak pindah dari satu tempat ketempat yang lain
dan daya menangkap dengan panca indra, misal; pendengaran, penglihatan, perasa, peraba, juga
indra yang ada diotak, misal: menerima pesan indra, pengingat (memory) yang mengkode

1
Psiko-spiritual adalah istilah Hanna Dhumhana Bastaman yang ia analisis dari pandangan Al-Ghozali tentang
wilayah peralihan dari dimensi akal dan kesadaran dengan dimensi keruhanian (dzawq dan alam supra- sadar)
2
Javad Nurbakhsyi, Psyichology of Sufism, terj. Arief Rahmat, Psikologi Sufi, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2000), cet. ke-2, hlm. 1
3
Ibn Sina, Al-Najat, hlm. 184,278-280, Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya), 1986, cet.
ke-1. 204.
4
Ibid, hlm. 204
5
M. Sa’id Syaikh, A Dictionary of Moslem Philosophi, terj. Machun Husein, Kamus Filsafat Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 1991), edisi ke-1, cet, ke-1, hlm. 93
(menyimpan) arti-arti. Ketiga, Jiwa manusia (ruh Insani), mempunyai satu daya, yaitu berpikir
yang disebut akal, akal terbagi dua: Akal praktis (al-Aql al-Fa’al) yang menerima arti-arti yang
berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dari jiwa binatang. Akal teoritis (al-aql al-
Nadhari) yang menangkap arti-arti murni yang tak ada dalam materi seperti Tuhan, ruh dan
Malaikat. Akal yang memungkinkan kita membentuk konsep-konsep universal, memahami
berbagai macam makna dan saling hubungan antara berbagai hal, melibatkan diri dalam diskusi
argumentatif dan memiliki pemikiran abstak secara umum. Sebagai bahan komparasi dalam
Piaget’s Cognitive-Stage Theory (teori tingkatan kognitif Jean Piaget) dikenal dengan istilah
“formal operational period” yaitu periode manusia yang sudah mampu menggunakan akalnya
untuk berpikir logis, sistimatis dan berpikir abstrak (akal teoritis)6.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedangkan akal teoritis kepada
alam metafisik. Akal teoritis ini terdiri dari, akal potensial (al-‘aqlu al-hayulani), akal manusia
dalam bentuknya yang belum diaktifkan. Akal aktual (al-‘aqlu bil-fi’li) akal aktif yang melalui
pancaran yang diterimanya dari akal pendorong (al-‘aqlul-fa’al) diaktifkan menjadi pemikiran
terhadap bentuk-bentuk dan objek-objek universal maupun konsep tertinggi 7. Akal aktual lebih
banyak menangkap arti-arti murni8. Akal perolehan (al-‘aqlu al-mustafad), akal tetap atau
disebut juga al-aqlu bil-malakah, yaitu akal yang memiliki pemahaman terhadap bentuk
universal, akal tertinggi dan telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni. Akal
tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki failosof. Akal inilah yang dapat menangkap
arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui akal ke-10 ke bumi9.
Karakter dan sifat seseorang banyak tergantung kepada jiwa mana yang berpengaruh
pada dirinya. Jika jiwa nabati dan hewani yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa insani yang berpengaruh terhadap dirinya ia menyerupai
malaikat10. Oleh karena itu, dalam dunia ini (alam tubuh spiritual), manusia bisa menjadi
Malaikat, syaitan, binatang-binatang yang makan sesama binatang. Jika pengetahuan dan rasa
hormat lebih mendominasinya, ia akan menjadi Malaikat. Jika kemunafikan, kelicikan dan

6
Patricia H. Miller, Theories of Developmental Psycology, (New York: W.H. Freeman & Company, 1983), edisi
ke-3, hlm. 42.
7
M. Sa’id Syaikh, A Dictionary of Moslem Philosophi, terj. Machun Husein, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), edisi
ke-1, cet, ke-1, hlm. 93
8
Harun Nasution, dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), cet. ke-
1, hlm. 152.
9
Ibid
10
Ibid
kebodohan yang berlipat ganda (ia sendiri tidak sadar akan kebodohan yang sebenarnya) lebih
mendominasinya, maka ia akan menjadi syaitan. Jika ia dikuasai oleh efek-efek nafsu
indrawiyah, ia akan menjadi binatang. Dan jika ia ditaklukan oleh efek-efek amarah dan
keagresifan, ia akan menjadi binatang yang memakan binatang yang lain. Sebab anjing menjadi
anjing karena bentuk kebinatangannya bukan karena materi tubuhnya. Diantara beragam
binatang banyak yang termasuk dalam sifat karakteristik jiwa yang ganas, seperti singa, serigala,
dan lain-lain11.
Maka, menurut kebisaan-kebiasaan dan keadaan-keadaan karakter yang mendominasi
jiwa manuisa, ia akan bangkit dengan sesuatu bentuk tertentu. Manusia akan menjadi bermacam-
macam spesies di hari akhir. Sebagaimana kitab suci telah mengatakan: “di hari itu mereka
(manusia) menjadi bergolong-golongan12. Mengenai metamorfosa yang telah diuraikan Qur’an
menyebutkan: “dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu13. Dan ayat lain: “pada hari
(ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu
mereka kerjakan”14. dan juga firman-Nya: “Hai golongan jin (syetan), sesungguhnya kamu telah
banyak (menyesatkan) manusia”15.
Imam ash-Shadiq (r.a) berkata: “Manusia akan dibangkitkan sesuai dengan bentuk-
bentuk amalnya”, atau sesuai dengan bentuk-bentuk niatnya”. Versi lain berkata: “Beberapa
manusia akan dihidupkan kembali sesuai dengan perilaku mereka, seperti laba-laba pengisap
darah manusia”. Inilah bagaimana seseorang bisa menafsirkan kata-kata Plato, Pythagoras dan
orang-orang zaman dulu yang bahasanya memberi gambaran simbolis dan mempunyai hikmah
yang diambil dari miskat kenabian para Nabi (‘alaihimu-salam)16.
Jiwa merupakan gerbang terbesar kepada Tuhan, yang dengan melewatinya seseorang
dapat dibawa ke kerajaan tertinggi, namun jiwa juga mempunyai suatu bagian tertentu dari
seluruh gerbang-gerbang neraka. Jiwa merupakan pembagi yang berada diantara dunia ini dan
dunia lain. Karena ia merupakan bentuk dari tiap potensi dalam dunia ini dan materi dari setiap
11
Mulla Shadra, Hikmah al-Arsyiah, terj. Dimitri Mahayana , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet. ke-1,
hlm.143.
12
QS. 30: 14
13
QS. 6:38
14
QS. 24:24
15
QS. 6:128.
16
Mulla Shadra, op. cit. hlm. 194. Lihat di catatan kaki no.105, dimana dinyatakan dalam buku the Philosophy Of
Plato karya al-Farabi: bahwa “kebangkitan” manusia dalam bentuk malakuti atau yang lebih rendah dari hewani,
diambil sebagai pernyataan alegori bagi keadaan sifat yng berbeda-beda dari jiwa-jiwa individu.
bentuk dunia lain. Maka jiwa merupakan pertemuan antara dua lautan. Yakni lautan jasmaniah
dan ruhaniah17. Kenyataan bahwa ia adalah akhir dari realitas jasmaniyah merupakan tanda
kenyataan bahwa ia adalah awal dari realitas ruhaniyah. Substansinya di dunia ini merupakan
prinsip dari seluruh daya (kekuatan-kekuatan) tubuh, yakni seluruh bentuk-bentuk kebinatangan,
ketumbuhan dalam aktifitas jiwa, sedangkan substansinya dalam dunia intelek pada mulanya
adalah “potensi murni” tanpa bentuk apapun di dunia tersebut; namun mempunyai kemampuan
untuk bergerak dari potensi keaktualitas (al-‘aqlu bi al-fi’li) awalnya dengan dunia intelek adalah
seperti benih dengan buahnya atau seperti embrio suatu binatang dengan binatang itu sendiri.
Yakni bahwa suatu embrio secara actual adalah sebuah embrio, dan suatu binatang hanya secara
potensial, maka (pada mulanya) jiwa dalam aktualitas tidak lebih dari manusia biasa18.
Mengenai hal ini, ayat Suci berseru, “Katakanlah: sesungguhnya aku ini hanyalah
seorang manusia (biasa) seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya Tuhan
kamu adalah Tuhan Yang Satu” 19. Penyerupaan jiwa Nabi (Saw.) dengan jiwa manusia biasa
merujuk kepada keadaan awal jiwa. Tetapi ketika melewati ilham Ilahiyah (emanasi), jiwanya
bergerak dari potensialitas (al-Aqlu al-Hayulani) menuju aktualitas (al-Aqlu bil-fi’li), ia menjadi
yang termulia dari seluruh makhluk dan lebih dekat kepada-Nya. Dibandingkan dengan Nabi-
nabi yang lain atau malaikat, sebagaimnana ditunjukkan dalam sabda beliau (Saw) yang mulia: “
Saya mempunyai waktu dengan Allah dimana aku tidak bersama-sama dengan malaikat-malaikat
tertinggi ataupun Nabi (lain)
Dalam pandangan dunia sufi, manusia terdiri atas dua dimensi: dimensi kasar (katsif) dan
materi lembut (lathif); yang pertama disebut dengan istilah “tabi’at” (thab/thabi’ah) dan
bermakna dimensi material; kedua, mengacu pada batin manusia atau organ-organ spiritual, yaitu
lathaif, sejenis psikologi batin. Organ-organ spiritual (lathaif) ini menjadi konsep dasar psikologi
sufi yang akan dianalisis dalam tulisan ini. Konsep dasar sufi tersebut adalah: Hati, Diri dan Jiwa
(Ruh). Shigeru Kamada dalam tulisannya menyebutnya dengan lathaif dasar, yaitu: Nafs, Qalb,
Ruh, Sirr al-Sirr (rahasia dari segala rahasia) 20. Kerangka pemikiran di atas nampaknya
meyakinkan penulis akan arti penting penelitian wacana spiritualitas yang terdapat dalam
perspektif hirarki perkembangan spiritual manusia, yang dalam kesempatan ini penulis batasi
pada persfektif rumusan Konsep Dasar Psikologi Sufi Robert Frager.
17
Ibid, hlm. 196
18
Ibid
19
QS. 18:110
20
Shigeru Kamada, Loc.Cit., hlm. 58.
E. Rangkuman
1. Objek formal Psikologi Tasawuf adalah mengkaji prilaku spiritual dan pengalaman suluk
para sufi dalam berinteraksi dengan Rob-nya dan relasi pelayanan kepada makhluk
Tuhan.
2. Tiga konsep dasar psikologi tasawuf yang menjadi objek kajiannya, yaitu : ruh, qalb, dan
nafs
3. Dalam pandangan dunia sufi, manusia terdiri atas dua dimensi: dimensi kasar (katsif) dan
materi lembut (lathif); yang pertama disebut dengan istilah “tabi’at” (thab/thabi’ah) dan
bermakna dimensi material; kedua, mengacu pada batin manusia atau organ-organ
spiritual, yaitu lathaif, sejenis psikologi batin
4. Shigeru Kamada dalam tulisannya menyebutnya dengan lathaif dasar, yaitu: Nafs, Qalb,
Ruh, Sirr al-Sirr (rahasia dari segala rahasia)

F. Tes Formatif
Untuk memperdalam pemahaman anda mengenai materi pada Satuan Bahasan III
dipersilahkan mengerjakan latihan berikut :

1. Buat rumusan tentang objek formal psikologi tasawuf!


2. Buat rumusan tentang objek kajian lapangan psikologi tasawuf!
3. Jelaskan pandangan dunia sufi tentang dua dimensi pada diri manusia!
4. Apa saja konsep dasar lathaif menurut para Sufi?

G. Kata-kata Kunci
Objek formal, objek kajian, nafs, qolb, ruh, lathaif, katsif, lathif.

Anda mungkin juga menyukai