Hukum Pidana
Hukum Pidana
OLEH
MURNI 12020123910
DOSEN PEMBIMBING :
RIKO CANDRA, SH., MH
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada ALLAH SWT yang maha pengasih
dan maha penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada penulis,
sehingga makalah dengan judul “Reformasi Hukum Pidana" ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Penyusunan makalah ini merupakan tugas untuk memenuhi mata kuliah Hukum
Pidana pada Program Studi Hukum Keluarga di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari
sumbangan pikiran dan bantuan bimbingan dari berbagai pihak yang terkait.
Semoga Allah SWT memberikan pahala kepada semua pihak yang telah
membantu hingga selesainya penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah
ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, segala kritik dan saran penulis
harapkan dalam kesempurnaan makalah ini dan penulis ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya. Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi yang membaca dan memerlukannya.
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I: PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN MASALAH 2
C. TUJUAN 2
A. KESIMPULAN 8
DAFTAR PUSTAKA 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
KUHP atau dalam Bahasa Belanda disebut Wetboek van Strafrecht merupakan
bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia dan terbagi menjadi dua bagian,
yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Semua hal yang berkaitan
dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku tindak pidana
dan pidana (sanksi), sedangkan hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur
tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Menurut Kansil, KUHP merupakan
segala peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan
(misdrijven), dan sebagainya, diatur oleh Hukum Pidana (Strafrecht) dan dimuat
dalam satu Kitab Undang-Undang.1
Hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia merupakan hukum warisan
penjajahan Belanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia.
Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang
dimana merupakan penegasan negara Indonesia untuk memberlakukan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942
sebagai hukum pidana yang berlaku di Indonesia.
Upaya untuk menekan kejahatan secara garis besar dapat dilalui dengan 2 (dua)
cara yaitu, upaya penal (hukum pidana) dan non penal (di luar hukum pidana).
Penanggulangan kejahatan melalui jalur penal, lebih menitik beratkan pada sifat
represif (merupakan tindakan yang diambil setelah kejahatan terjadi). Pada upaya non
penal menitik beratkan pada sifat preventif (menciptakan kebijaksanaan sebelum
terjadinya tindak pidana).2
1
CST. Kansil, 1976, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, (selanjutnya disebut
CST. Kansil I) h. 257.
2
Barda Nawawi, 1991, Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, h. 1-2.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ruang lingkup reformasi hukum pidana?
2. Bagaimana paradigma kejahatan dalam suasana reformasi?
C. Tujuan
1. Mengetahui ruang lingkup reformasi hukum pidana.
2. Mengetahui paradigma kejahatan dalam suasana reformasi.
BAB II
PEMBAHASAN
3
Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar
Baru, Bandung, 1983, h. 66
Berbicara mengenai struktur hukum ini, berarti di Indonesia termasuk di dalamnya
struktur institusi penegak hukum. Dengan kata lain, struktur hukum adalah
diibaratkan sebagai mesin penggerak bagi majunya roda-roda yang berhak
digerakkan. Banyak yang harus dibenahi dalam kerangka reformasi terhadap struktur
hukum., misalnya menyangkut pembenahan kedudukan Hakim, Jaksa, dan
Pengacara. Meskipun hanya menyangkut soal gaji dan tunjangan yang perlu
dinaikkan. Adapula yang mengusulkan untuk memulainya dari institusi hukum yang
paling tinggi, yaitu Mahkamah Agung.
Selain itu, sistem hukum mempunyai substansi dan yang dimaksudkan dengan
substansi adalah aturan, norma, dan perilaku manusia yang nyata dalam sistem
hukum. Substansi hukum dapat juga berupa produk yang dihasilkan oleh orang yang
berada dalam sistem tersebut, mencakupi keputusan yang mereka keluarkan, aturan
baru yang mereka susun. Substansi juga mencakupi living law (hukum yang hidup),
dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang.
Unsur ketiga dalam sistem hukum adalah kultur (budaya hukum). Kultur atau
budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, di
dalamnya terdapat kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapan.
Dalam budaya hukum ini,pemikiran dan pendapat sedikit banyak menjadi penentu
jalannya proses hukum. Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran sosial
dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari,
atau disalah gunakan. Tanpa kultur hukum, sistem hukum itu tidak berdaya. Kultur
hukum juga dapat dikatakan sebagai apa saja atau siapa saja yang memustuskan
untuk menghidupkan dan mematikan struktur hukum itu.
4
Samuel Gulom, Mengamati Korban: Praktek Pembenaran terhadap Kekerasan. Negaratham. Jakarta 2003. h. 131
5
Yesmi Anwar, Peranan Budaya Hukum dan Budaya Malu dalam meningkatan Kesadaran diri Kepatuhan Hukum
Masyarakat jurnal itigasi hukum unpad Bandung, 2007. h. 206
dari sudut pandang politik periode tersebut adalah fase awal pemfungsian lembaga
peradion sebagai instrumen pembenar simulakrum kejahatan.
Peristiwa ini berawal dari pertentangan politik yang semakin menajam di
penghujung tahun 1965 sekelompok orang yang menamakan darinya Dewan
Revolusi menuduh ada sejumlah perwira Angkatan Darat (AD) yang secara diam-
diam membentuk sebuah dewan, yakni Dewan Jenderal yang bertugas menial
kebijakan-kebijakan politik Presiden Soekamo. Selanjutnya, muncul su yang
berkembang sangat luas dan diyakini Dewan Revolusi bahwa Dewan Jenderal akan
melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekamo, dengan memanfaatkan
momentum Hari Angkatan Bersenjata 05 Oktober 1965.
Oleh karena itu, pihak-pihak yang tergabung dalam Dewan Revolusi yang
bermaksud menyelamation presiden dan pemerintahan dan rencana kudeta tersebut,
melakukan sebuah tindakan prefentif dengan prinsip sebih bak mendahului darpada
didahulu,
Sedangkan di era orde baru, masyarakat mempunyai tekad untuk mengembalikan
tatonian dengan pembangunan Negara Indonesia, yang telah dibinasakan oleh
pemberontakan PKL Demikianlah orde baru yang sering menyebut dinnya dengan
Orde Pembangunan yang dipelopori oleh Soeharto Namun yang hendak dibicarakan
bukan pembangunannya, melainkan apa yang terjadi selama 33 Tahun pemerintahan
Orde Baru (1965-1996), telah banyak dicatat berbagai pelanggaran hak-hak asasi
manusia yang dikaitkan dengan masalah keamanan negara. Walaupun hidup di
pertengahan tahun 1998. belum ada undang-undang khusus yang mengatur masalah
keamanan negara, tidak ayal sepanjang lebih dari 30 tahun ini sudah banyak korban
yang jatuh karena pericku negara dan aparat keamanan yang mengatasnamakan
keamanan negara.
Selain itu, orde baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di
Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang menujuk pada era
pemerintahan Soekamo Orde Baru hadir dengan semangat karena totalitas
penyimpangan yang dilakukan Orde Lama. Orde baru berlangsung dari tahun 1968-
1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesor, meski hal
ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan
antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.6
Setelah masa arde baru selesai, munculiah era reformasi Kejahatan di era
reformasi ini jauh berbeda dan Orde Lama ataupun Orde Baru, Jika pada kedua orde
yang sudah terlewati berimplikasi kepada hukum, kekuasaan, serta kekerasan. Pada
orde reformasi, kejahatan diperlihatkan dalam bentuk lain, kejahatan mempunyai
wujud yang tidak asli.
Kesimpulan sementara, kejahatan yang ada pada era reformasi adalah White
Collar Crime yaitu salah satu bentuk kejahatan dimana hukum sudah tidak ada dan
Sidak bisa menghadapinya. Pada era Reformasi, dalam menentukan siapakah
penjahat, apa itu kejahatan, ternyata tidak cukup dengan memakai Teori positivt
belako. Disini, di ruang ini kita mencoba untuk berpiks kritis berpikir jauh kedepan
dalam memahami apa itu kejahatan sehingga ia menjadi kejahatan sempurna.
Kejahatan pada era Reformasi ini sudah melampaul arti dan pada kejahatan itu
sendiri. Kejahatan sudah mempunyai bentuk yang bisa dipalsukan yang bisa di copy
berulang kali, kejahatan sudah berada di dunia cyber. Pada era Reformasi ini,
masyarakat sedang berada dalam ruang yang terbebaskan dari digma dan digma
kejahatan tradisional, Konteks kita berada di luar semua itu, namun lebih dekat
kepada ruang sosial yang lebih besar atau dengan meminjam istilah Jurgen Harbemas
yaitu ruang Publik.
Pemikiran ini dilandas dengan suasana yang serba tidak teratur, yang serba
berantakan, atau dengan Charles Samprad, yang menyebutnya dengan istilah chaos,
Dunia kejahatan paradigma, studi, pengajaran benar benar oda dalam keadaan chaos,
yang berfluktuasi, berterbangan tidak menentu, sementara kajiannya masih
menentukan bahwa kejahatan adalah apa yang sudah ditawarkan.
6
Soedjono Disrdjosisworo, Sinopsis kriminologi Indonesia. Mandiri Maju Bandung 1994, h. 40.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Reformasi hukum merupakan suatu amanat penting dalam rangka pelaksaan
agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup agenda penataan kembali institusi
hukum dan politik. Dengan kata lain, dalam agenda reformasi hukum tercakup
pengertian reformasi kelembagaan, reformasi undang-undang, dan reformasi budaya
hukum.
Selain hukum mempunyai struktur dan terus berubah, namun bagian-bagian sistem
itu berubah dalam kecepatan yang berbeda dan setiap bagian berubah tidak secepat
bagian lainnya. Ada pola jangka panjang yang berkesinambungan. Dengan kata lain,
adanya kerangka atau rangkaian bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
CST. Kansil, 1976, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Samuel Gulom, 2003. Mengamati Korban: Praktek Pembenaran terhadap Kekerasan. Jakarta:
Negaratham
Soedarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan
Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru