Anda di halaman 1dari 109

PERAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM

MENANGGULANGI GAYA HIDUP HEDONISME


(KAJIAN PEMIKIRAN MUNIF CHATIB)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:
ANNISA SEPTIANA
NIM. 11113061

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018

i
ii
iii
iv
MOTTO

َ َ ‫ي‬ ۡ َ ۡ َ ُ َ َ َ ۡ َ ۡ ‫َ َٰ ُ َ ي ي َ ٓ َ ُ ۡ َ َ َ ي‬
َّ‫ت‬َِّ َٰ ‫َِّفَّٱلسمَٰو‬ ‫و‬
ِ ٍ ‫َّأ‬ ‫ة‬ َ
‫ر‬ ‫خ‬ ‫َّص‬ ‫نَِّف‬
ِ ‫ك‬ ‫ن َّإِنها َّإِنَّتك َّمِثقال َّحب ٖة َّمِن َّخرد ٖل َّفت‬ َّ ‫يب‬
ۡ ‫ن َّأَقِم َّ ي‬ َۡ َۡ َ
َّۡ‫ٱلصلَ َٰوَّةَ َّ َوأ ُمر‬ ‫ي‬ َ ٌ َ َ‫َ يُ ي ي‬
ََّ ‫ َّ َي َٰ ُب‬١٦َّ ٞ‫َّخبري‬ َّ ِ ‫َِّف َّٱۡل‬ ۡ
ِ ِ ‫ٱلل َّل ِطيف‬َّ َّ ‫ٱلله َّإِن‬ َّ َّ‫ت َّبِها‬
ِ ‫ۡرض َّيأ‬ ِ ‫أو‬
ُ ۡ ۡ َ ۡ َ َ ‫َ َۡ َ ُۡ َ َ ۡ ۡ ََ َ َٓ َ َ َ ي‬ ۡ
َّ١٧ِ‫ور‬ ُ
َّ ‫لَعَّماَّأصابكََّۖإِنَّذَٰل ِكَّمِنَّعز ِمَّٱۡلم‬ َٰ َّ‫ب‬ َّ ِ ‫َّب ِٱل َم ۡع ُر‬
َّ ِ ‫وفَّ َّوٱن َّهَّع ِنَّٱلمنك َِّرَّ َّوٱص‬

16. (Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya
Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus
lagi Maha Mengetahui. 17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Luqman: 16-17)

“Tidak ada hasil tanpa proses dan usaha”

v
PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil’alamin dengan rahmat dan izin Allah SWT skripsi

ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Kedua orang tua (Darmanto dan Mariyanah) yang yang senantiasa memberikan

nasehat dan telah mendidikku dari kecil sampai menikmati kuliah di perguruan

tinggi, serta tidak lelah mendoakan tanpa henti untuk menjadi pribadi yang

bermanfaat untuk sesama. Dan kepada keluarga yang selalu mendukung studi

perguruan tinggi ini.

2. Dosen pembimbing skripsi Prof. Dr. H. Zakiyuddin Baidhawy, M. Ag. yang

sabar dalam membimbing, mengarahkan, menghargai, memantapkan rasa

percaya diri saya dan mengerti akan keterlambatan saya dalam penyusunan

skripsi ini.

3. Tak lupa tentunya terimakasih kepada M. Nur Hidayat Rabbani Hasan yang telah

memotivasi dan memberikan arahan untuk segera menyelesaikan skripsi ini, dan

sahabat-sahabatku Nur Khasanah, Restu Wijayanti, Dea Prasmanita, Nurul

Faridah dan Murniyati, yang selalu mendukung dan mendengarkan ceritaku.

4. Keluarga besar LPM DinamikA mulai dari alumni, demisioner, teman-teman

seangkatan dan tidak lupa adik-adik angkatanku yang telah mendoakan dan

memberi dukungan. Terima kasih karena sudah diizinkan dan diberi kesempatan

untuk menjadi bagian dari LPM DinamikA. Tidak lupa juga untuk kawan persma

lainnya.

5. Keluarga besar LDK Fathir ar-Rasyid yang telah memberikan kesempatan untuk

berproses dan belajar dalam bingkai dakwah.

vi
6. Teman seperjuangan di kampus khususnya mahasiswa/i PAI Angkatan 2013.

7. Almamaterku IAIN Salatiga.

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini meski masih jauh dari kata sempurna. Sholawat serta salam selalu tercurahkan

pada junjungan Rasulullah Muhammad SAW sang revolusioner, semoga kelak

dapat berjumpa dan mendapat syafaatnya di hari akhir.

Penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari beberapa

pihak. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Suwardi, M.Pd. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.

3. Siti Rukhayati, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.

4. Prof. Dr. H. Zakiyuddin Baidhawy, M. Ag. Dosen Pembimbing Skripsi, yang

senantiasa membimbing dan mengarahkan dari awal hingga akhir sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Drs. Abdul Syukur, M. Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang

senantiasa membimbing dan mengarahkan dalam proses bimbingan akademik

selama kuliah.

6. Ayah, ibu, dan keluarga yang telah memberikan motivasi dan dukungan selama

masa studi.

7. Keluarga besar LPM DinamikA yang telah memberikan banyak ilmu dan

pengalaman serta tempat untuk menempa diri dalam berorganisasi.

8. Keluarga besar LDK Fathir ar-Rasyid baik alumni, demisioner, teman-teman

seperjuangan, maupun adik-adik angkatanku yang selalu mendukungku.

viii
9. Sahabat-sahabat ku yang selalu sabar mendampingi dan menyemangatiku.

10. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu

selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.

11. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Terselesainya tulisan ini selain sebagai bentuk tanggung jawab pengenyam

perguruan tinggi tentunya kelak akan menjadi salah satu referensi. Semoga dapat

menjadi sumbangan pemikiran dan kajian literasi dalam keberlangsungan

pendidikan khususnya Perguruan Tinggi Islam. Semoga bermanfaat.

Salatiga, 20 Febuari 2017


Penulis

ix
ABSTRAK

Septiana, Annisa. 2018. “Peran Pendidikan Karakter dalam Menanggulangi Gaya


Hidup Hedonisme (Kajian Pemikiran Munif Chatib”. Skripsi. Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. H.
Zakyuddin Baidhawy, M. Ag.
Kata kunci: Pendidikan Karakter, Hedonisme, Munif Chatib.
Salah satu penyebab yang melanggengkan degradasi moral yang
mengakibatkan gaya hidup hedonisme merajalela adalah pemahaman mengenai
pendidikan karakter. Perkembangan zaman yang telah memberikan kemudahan
dalam mengakses pengetahuan hal ini tidak hanya membawa dampak positif tetapi
juga membawa dampak negatif. Minimnya pengetahuan akan hakikat pendidikan
karakter tanpa disadari mengikis moral generasi penerus. Sehingga dengan begitu
perlu ditelaah kembali akan hakikat pendidikan karakter dalam menanggulangi
degdrasi moral terlebih gaya hidup hedonisme. Pertanyaan yang ingin dijawab
melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana konsep pendidikan karakter menurut
Munif Chatib; (2) Bagaimana cara pendidikan karakter menanggulangi hedonisme
menurut pemikiran Munif Chatib (3) Apa relevansi dan pemikiran Munif Chatib
dalam pendidikan Islam.
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu studi tokoh, suatu
penelitian dimana data-datanya diperoleh dari hasil pemikiran tokoh tersebut, baik
pemikiran tersebut dituangkan dalam karya-karyanya sebagai sumber pustaka,
jurnal, maupun artikel tentang pemikirannya sebagai sumber sekunder. Dalam
penelitian ini sumber data primernya menggunakan buku karya Munif Chatib yaitu
Sekolahnya Manusia, Gurunya Manusia, dan Orangtuanya Manusia. Adapun
sumber data sekunder meliputi: buku-buku, artikel dan jurnal yang menunjang
materi tentang pendidikan karakter dan hedonisme.
Temuan penulis berkaitan pertanyaan yang ada yaitu (1) Konsep Pendidikan
karakter menurut Munif Chatib suatu istilah yang luas yang digunakan untuk
menggambarkan kurikulum dan ciri-ciri organisasi sekolah yang mendorong
pengembangan nilai-nilai fundamental anak-anak di sekolah. (2) Cara pendidikan
karakter dalam menanggulangi hedonisme menurut Munif Chatib adalah melalui
proses pendidikan di dalam lembaga pendidikan (sekolah), guru dan orang tua. (3)
relevansi dan implikasi pemikiran Munif Chatib dalam pendidikan Islam yaitu
sama-sama mengemban misi memanusiakan manusia, menghargai fitrah manusia,
hal ini dapat diwujudkan dengan mengembangkan strategi pembelajaran melalui
pendekatan multiple intellegences (kecerdasan majemuk).

x
DAFTAR ISI

SAMPUL ................................................................................................................. i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................ ii

PERSETUJAN PEMBIMBING ......................................................................... iii

PENGESAHAN KELULUSAN .......................................................................... iv

MOTTO ..................................................................................................................v

PERSEMBAHAN ................................................................................................. vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii

ABSTRAK ..............................................................................................................x

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...............................................................................1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................6

C. Tujuan Penelitian .........................................................................................6

D. Kegunaan Penelitian.....................................................................................7

E. Kajian Pustaka............................................................................................. 8

F. Metode Penelitian.......................................................................................11

G. Kerangka Teori...........................................................................................13

H. Sistematika Penulisan ................................................................................19

BAB II BIOGRAFI DAN SKETSA KARYA MUNIF CHATIB

A. Biografi Munif Chatib ................................................................................21

B. Karya-Karya Munif Chatib ........................................................................22

C. Dasar Pemikiran Munif Chatib ..................................................................31

xi
BAB III FUNGSI PENDIDIKAN KARAKTER

A. Pendidikan Karakter Munif Chatib ............................................................35

B. Fungsi Pendidikan Karakter Menanggulangi Hedonisme .........................42

C. Pendekatan Multiple Intellegences dalam Pendidikan Karakter ................45

D. Implementasi Pendidikan Karakter ............................................................53

BAB IV RELEVANSI DAN IMPLIKASI PEMIKIRAN MUNIF CHATIB

DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendidikan Karakter Sebagai Solusi Hedonisme .......................................55

B. Relevansi Pemikiran Munif Chatib dalam Pendidikan Islam ....................64

C. Implikasi Pemikiran Munif Chatib dalam Pendidikan Islam .....................75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................82

B. Saran ...........................................................................................................83

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Abad 21 ditandai semakin kukuhnya filsafat hidup positivisme-

materialisme dan gaya hidup ekonomi-kapitalistik. Artinya, tingkah laku

manusia memiliki kecenderungan memperoleh kekayaan material

semaksimal mungkin yang ditempuh melalui jalur manapun sehingga setiap

individu menghalalkan segala cara demi mewujudkan keinginannya. Hal ini

mengakibatkan marak terjadi krisis moral dan krisis kejujuran di negeri ini.

Krisis moral contohnya gaya hidup hedonisme yang tanpa disadari banyak

terjadi di lingkungan kaum terpelajar.

Perkembangan zaman selain membawa dampak positif, tentunya

juga menimbulkan efek negatif. Contohnya adalah gaya hidup hedonisme.

Gaya hidup ini telah ada ratusan hingga ribuan tahun lamanya. Meskipun

dalam perkembangannya, terdapat pula efek positif dari gaya hidup

hedonisme. Tetapi, gaya hidup ini tentunya dipengaruhi oleh individu yang

mengaplikasikannya.

Kata hedonisme diambil dari bahasa Yunani yaitu hedonismos dari

akar kata hedone, artinya kesenangan (Napel, 2009: 158). Paham ini

berusaha menjelaskan adalah baik apa yang memuaskan kenginan manusia

dan apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan itu sendiri. Hedonisme

adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi

bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat

1
mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan (Suseno, 1987:

114). Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau

kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia (Bagus, 2000:

282). Biasanya, budaya hedonisme ditandai dengan konsumerisme yang

meningkat.

Gaya hidup hedonisme kini mulai merebak hingga di kalangan

pelajar. Bahkan gaya hidup ini seakan membudaya di wilayah perkotaan di

Indonesia. Salah satu contoh, berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan

Pusat Statistik, tercatat selama 5 tahun sejak 2007 hingga 2017 (Januari)

penjualan kendaraan bermotor meningkat hingga 200%. Pada tahun 2007,

penjualan kendaraan bermotor hanya menyentuh 4,5 juta unit, sedangkan

pada Januari 2017, telah tercatat sebanyak 2,1 juta unit terjual. Gaya hidup

ini semakin terlihat dari tim peneliti Kepolisian Republik Indonesia,

sebanyak 43% dari 100 orang anak usia dibawah umur, sudah diperbolehkan

mengendarai kendaraan bermotor. Sebagian besar sumber yang diteliti

mengatakan bahwa menggunakan kendaraan bermotor merupakan

pemenuhan atas gensi penggunanya.

Munculnya hedonisme di kalangan pelajar juga dipengaruhi oleh

arus media yang tidak terkendali. Tayangan di televisi yang selalu

menampakkan kehidupan dengan gaya hidup tinggi, sedikit banyak

memengaruhi psikologi remaja usia belajar. Hasil penelitian Komisi

Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah tahun 2016, lebih dari 12

sinetron di Indonesia tidak layak ditonton oleh kalangan pelajar. Efek dari

2
sinetron tersebut salah satunya adalah mempertontonkan gaya hidup mewah

kepada remaja usia pelajar, dan mempengaruhi mereka untuk mengikuti hal

tersebut bagaimanapun caranya.

Untuk mengatasi masalah tersebut pendidikan berkarakter menjadi

solusi dalam pemenuhannya. Dalam sebuah artikel yang ditulis Ima Azizah,

pendidikan karakter dalam Islam dapat dipahami sebagai bentuk penanaman

kecerdasan anak dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku. Hal ini

merupakan penyesuaian terhadap jatidiri dan perwujudan interaksi sifat

ketuhanan yang tersimpan dalam naluri manusia. Interaksi sifat ketuhanan

dalam diri manusia juga berimbas terhadap terbentuknya hubungan baik

antar sesama, lingkungan, dan makhuk lainnya. Tujuan pendidikan karakter

adalah menjadikan anak didik sebagai hamba dan khalifah Allah yang

berkualitas taqwa. Kualitas taqwa meliputi semua bidang mulai dari:

1. Keyakinan hidup, memiliki keyakinan yang membara dan kuat bahwa

Allah berkuasa atas segala sesuatu.

2. Ibadah, manusia diciptakan untuk beribadah kepada Tuhannya.

Berperilaku hanyalah untuk mencari ridha Allah.

3. Moralitas, manusia diberikan pilihan akan perbuatan baik dan buruk,

perilaku seseorang tergantung individu yang menerapkannya.

4. Aktifitas interaksi sosial, manuisa merupakan makhluk sosial yang tidak

dapat hidup sendiri.

5. Cara berfikir, memiliki perspektif jangka panjang. Kebiasaan yang

memandang jauh kedepan sehingga menjadi pribadi yang proaktif.

3
6. Gaya hidup, selalu berobsesi menjadi yang terdepan. Siap memasuki

medan kompetisi dalam kebaikan. Dunia dijadikan sebagai sarana

mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat baik terhadap sesama.

Pendidikan karakter meliputi tiga aspek seperti gagasan Munif

Chatib yaitu pendidikan yang dibutuhkan, pendidik (guru) dan pendidikan

orang tua. Maksud dari pendidikan yang dibutuhkan adalah sebuah wadah

atau sekolah yang dapat menghargai berbagai jenis kecerdasan siswa.

Faktanya sistem pendidikan (atau sekolah) di Indonesia masih cenderung

menyamaratakan kecerdasan satu siswa dengan siswa lainnya dengan

penilaian metode dan parameter yang sangat sempit, yaitu aspek kognitif

saja (Chatib, 2011: 12).

Dalam hal ini penulis memilih sosok Munif Chatib, karena beliau

seorang yang sangat peduli dengan pendidikan. Pemikirannya yang kreatif

menjadikan multiple intelligences sebagai senjata untuk mengatasi berbagai

persoalan pendidikan. Munif Chatib juga mensinergikan antara sekolah,

guru, dan orang tua dalam mengembangkan potensi anak. Bagi beliau

sekolah yang baik adalah sekolah yang menghargai berbagai jenis

kecerdasan siswa. Untuk mewujudkan hal tersebut maka perlu peran guru

yang andal, punya dedikasi dan kompetensi mengajar yang baik. Guru

dituntut mengajar dengan pola yang disesuaikan dengan karakter individu

maupun kelompok siswa. Orang tua tak luput dari perhatian dalam mendidik

seorang anak. Orang tua merupakan pendidikan pertama bagi

perkembangan anak. Untuk dapat melejitkan potensi dan kecerdasan anak

4
maka orang tua harus menghargai fitrahnya, memahami karakter sang anak

agar dapat membantu tumbuh kembang sesuai dengan kecerdasannya,

bukan dengan memaksakan kehendak sehingga mematikan potensi yang

dimiliki.

Adapun indikator anak berkarakter telah tercantum dalam sistem

pendidikan nasional (Chatib: 2012, 84) yaitu religius: sikap dan perilaku

patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut, jujur: perilaku

menjadikan diri orang yang selalu dapat dipercaya, toleransi: menghargai

perbedaan, disiplin: tertib dan patuh pada peraturan, kerja keras:

bersungguh-sungguh terhadap suatu tugas, kreatif: berpikir dan melakukan

sesuatu untuk menghasilkan cara baru dari sesuatu yang telah dimiliki,

mandiri: tidak mudah bergantung pada orang lain, demokratis: persamaan

derajat akan hak dan kewajiban dengan orang lain, rasa ingin tahu: upaya

untuk mengetahui secara mendalam terhadap hal yang dipelajari, semangat

kebangsaan: kepentingan negara di atas kepentingan individu maupun

kelompok, cinta tanah air: kesetiaan dan kepedulian terhadap negaranya,

menghargai prestasi: menghormati akan keberhasilan orang lain,

komunikatif: senang bekerjasama dengan orang lain, cinta damai: sikap dan

tindakan yang membuat orang lain merasa senang dan aman, gemar

membaca: menyediakan waktu untuk membaca, peduli lingkungan: upaya

untuk menjaga lingkungan, peduli sosial: memberikan bantuan kepada

orang lain, dan terakhir tanggung jawab: melaksanakan kewajiban.

5
Melalui pemikirannya tersebut Munif Chatib dapat mengantarkan

beberapa sekolah di Indonesia mulai dari titik nol hingga menuju sekolah

yang ideal, salah satunya sekolah SMP Yayasan Islam Malik Ibrahim di

Gresik. Berdasarkan pemikirannya tersebut penulis berkeinginan untuk

mengetahui lebih mendalam adakah korelasi antara pendidikan karakter

sebagai upaya penanggulangan gaya hidup hedonisme melalui konsep

pemikiran Munif Chatib.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep pendidikan karakter menurut Munif Chatib?

2. Bagaimana cara pendidikan karakter menanggulangi hedonisme

menurut pemikiran Munif Chatib?

3. Apa relevansi pemikiran Munif Chatib dalam pendidikan Islam?

4. Apa implikasi pemikiran Munif Chatib dalam pendidikan Islam?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui konsep pendidikan karakter menurut Munif Chatib.

2. Untuk mengetahui cara pendidikan karakter menanggulangi hedonisme

menurut pemikiran Munif Chatib.

3. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Munif Chatib dalam pendidikan

Islam.

4. Untuk mengetahui implikasi pemikiran Munif Chatib dalam pendidikan

Islam.

6
D. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap wacana pendidikan

yang berkarakter.

b. Memperbarui cara pandang yang selama ini mengakar menjadi

konstruksi pemikiran.

c. Membangun kerangka paradigmatik melalui kajian pendidikan

karakter dari kacamata Munif Chatib dan penerapannya dalam dunia

pendidikan.

d. Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter

sehingga mampu menjadi sarana untuk menanggulangi gaya hidup

hedonisme di lingkungan masyarakat.

2. Secara Praktis

a. Bagi peserta didik:

1) Dapat mengetahui bukti- bukti hedonisme.

2) Dapat mengetahui bentuk- bentuk hedonisme.

3) Dapat menanggulangi bentuk- bentuk hedonisme.

b. Bagi sekolah:

1) Dapat merumuskan metode terbaik guna menanggulangi budaya

hedonisme di sekolah.

2) Menjadi bahan pembelajaran dalam mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan.

3) Menaggulangi bentuk- bentuk budaya hedonisme di sekolah

7
E. Kajian Pustaka

Untuk menghindari terjadinya plagiasi, maka penulis memaparkan

beberapa karya ilmiah yang sudah ada. Selain itu kajian pustaka juga untuk

melihat orisinilitas skripsi. Setelah membaca dan mengamati penulis

menemukan beberapa skripsi dengan kajian tokoh yang sama namun ada

perbedaan dalam penelitian skripsi ini, diantaranya:

Pertama, Ni’matul Khasanah Kepala Sekolah SD Islam Terpadu

Top Kids dalam Jurnal Kependidikan Vol. II No. 2 November 2014 dengan

judul “Manajemen Guru Model Guardian Angel Menurut Munif Chatib”.

Konsep manajemen guru prespektif Munif Chatib sangat dekat dengan

manajemen humanis. Munif Chatib menggunakan landasan keilmuan

sumber daya manusia dalam me-manage guru model Guardian Angel.

Sedangkan landasan filosofinya adalah bahwa profesi guru mengemban

pekerjaan manajemen, yaitu membuat perencanaan pembelajaran, mengajar

sesuai dengan gaya belajar siswa, mengevaluasi hasil belajar siswa dan

belajar. Tiga hal pertama dipahami sebagai kewajiban, sedangkan belajar

dimaknai sebagai hak bagi seorang guru.

Kedua, Sigit Purnama dalam Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh

Kembang Anak Vol. 1 No. 1 Maret 2016 dengan judul “Materi-Materi

Pilihan dalam Parenting Education menurut Munif Chatib”. Jurnal ini

membahas tentang pemikiran Chatib yaitu materi-materi parenting

education dikembangkan dari cara pandangnya terhadap anak dan orang

tua. Anak semestinya dipandang sebagai individu yang lahir dengan

8
membawa fitrah. Sedangkan menjadi orang tua adalah sebuah anugrah yang

besar dari Allah untuk dapat membantu mengembangkan fitrah anak.

Berpijak dari paradigma terhadap anak dan orang tua tersebut Chatib

memberikan materi-materi yang relevan yang dapat dikembangkan lebih

lanjut dalam kegiatan parenting education, antara lain: merubah paradigma

tentang anak, menjelajahi kemampuan anak, menemukan bakat anak,

memilih sekolah yang tepat, dan menjadi guru bagi anak.

Ketiga, tesis Annisa Dwi Makrufi Progam Pascasarjana UIN Sunan

Kalijaga 2014 dengan judul “Konsep Pembelajaran Multiple Intelligences

Perspektif Munif chatib dalam Kajian Pendidikan Islam”. Tesis ini

membahas tentang desain konsep pembelajaran berbasis Multiple

Intelligences (prespektif Munif Chatib) di sekolah, secara global meliputi

tiga tahap yaitu: input, proses dan output. Pada tahap input, menggunakan

Multiple Intelligences Research (MIR) dalam penerimaan peserta didik

barunya. Tahapan kedua adalah tahapan pada proses pembelajaran, dimana

nanti gaya mengajar gurunya harus sama dengan gaya belajar peserta

didiknya. Pada tahap output, dalam pembelajaran berbasisi multiple

intelligences penilainnya menggunakan penilaian autentik.

Keempat, tesis Nurul Ulum Program Studi Magister Pendidikan

Islam Program Pascasarjana UMS 2015 dengan judul “Penyusunan Lesson

Plan Berbasis Multiple Intelligences Research Studi atas Karya Munif

Chatib”. Tesis ini membahas tentang lesson plan menurut Munif Chatib.

Lesson Plan adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang

9
akan diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas. Tanpa perencanaan yang

matang, target pembelajaran akan sulit tercapai secara maksimal. Oleh

karena itu, kemampuan membuat Lesson Plan merupakan langkah awal

yang harus dimiliki guru dan calon guru, serta sebagai muara dari segala

pengetahuan teori, keterampilan dasar, dan pemahaman yang mendalam

tentang objek belajar dan situasi pembelajaran.

Kelima, Zaenal Arifin Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan

Kalijaga dalam Jurnal Kependidikan 2013, dengan judul “Membangun

Sekolahnya Manusia Yang Berkarkter Multiple Intelligences”. Artikel

jurnal ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemikiran Munif Chatib tentang

konsep Sekolahnya Manusia. Analisis dari kajian pustaka menghasilkan

temuan bahwa Sekolahnya Manusia adalah sekolah berbasis Multiple

Intelligences (MI), yaitu sekolah yang menghargai berbagai jenis

kecerdasan siswa. Dengan pendekatan teori Multiple Intelligence (MI)

Howard Gardner, Munif Chatib mencoba membangun Sekolahnya Manusia

yang berkarakter dan humanis untuk mengenali dan melejitkan kecerdasan

setiap anak, yaitu menggunakan alat riset yang dinamakan Multiple

Intelligences Reseacrh (MIR) untuk mengetahui kecerdasan siswa yang

paling menonjol.

Dari kelima penelitian diatas, penelitian pertama konsep guru

Guardian Angel perspektif Munif Chatib, penelitian kedua mengenai

paradigma Munif Chatib terhadap anak dan orang tua, kemudian penelitian

ketiga, empat dan lima membahas tentang konsep multiple intelligence-nya

10
Munif Chatib. Sedangkan dalam skripsi ini penulis lebih memusatkan pada

pokok pembahasan pendidikan karakternya Munif Chatib dalam rangka

menanggulangi gaya hidup hedonisme yang kian marak.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu studi tokoh,

suatu penelitian dimana data-datanya diperoleh dari hasil pemikiran

tokoh tersebut, baik pemikiran tersebut dituangkan dalam karya-

karyanya sebagai sumber pustaka, jurnal, maupun artikel tentang

pemikirannya sebagai sumber sekunder.

2. Sumber Data

a. Sumber data primer

Yaitu sumber data yang secara langsung berkaitan dengan objek

riset (Dhahara, 1985: 60). Dalam penelitian ini sumber data

primernya menggunakan buku karya Munif Chatib yaitu

Sekolahnya Manusia, Gurunya Manusia, dan Orangtuanya Manusia

dan menggunakan kajian tentang pendidikan karakter.

b. Sumber Data Sekunder

Yaitu sumber data yang mengandung dan melengkapi sumber data

primer dalam penelitian ini dan merupakan bacaan yang ada

kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian. Adapun sumber

data sekunder meliputi: buku-buku, artikel dan jurnal yang

menunjang tentang hedonisme.

11
3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun bentuk pengumpulan data dalam proses penyusunan skripsi

ini yaitu kepustakaan. Teknik pengumpulan ini diperoleh melalui telaah

terhadap data-data tertulis seperti buku-buku, artikel ilmiah, dan sumber

tertulis lainya yang berkaitan dengan pokok bahasan. Adapun langkah-

langkah penelitian yang dilakukan penulis sebagai berikut:

a. Mencari buku-buku di perpustakaan yang ada hubungannya dengan

pokok masalah, baik primer sebagai sumber utama penelitian

maupun buku pendukung (sekunder) yang berkaitan dengan kajian

skripsi.

b. Menghimpun kumpulan tulisan yang membahas topik pembahasan

kemudian membandingkan antara satu sudut pandang dengan

gagasan lain.

c. Mengkonsultasikan hasil penemuan berupa tulisan ilmiah tokoh lain

dengan pandangan berbeda maupun pengalaman penulis yang

berkaitan dengan pokok bahasan skripsi.

4. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik deskriptif analitik yaitu

penelitian untuk menyelesaikan masalah dengan cara mendeskripsikan

masalah melalui pengumpulan, penyusunan, dan penganalisaan data

untuk kemudian dijelaskan dan selanjutnya diberi penilaian (Adi, 2004:

128). Memaparkan beberapa deskripsi pemikiran kemudian melakukan

12
analisis sehingga terjadi hubungan bermakna di antara berbagai

komponen penelitian.

G. Kerangka Teori

1. Pendidikan Karakter

a. Makna Pendidikan karakter

Pembahasan mengenai pendidikan karakter, menjadi wacana

yang ramai dibicarakan di dunia pendidikan maupun di kalangan

masyarakat umumnya. Pendidikan karakter adalah suatu istilah yang

luas yang digunakan untuk menggambarkan kurikulum dan ciri-ciri

organisasi sekolah yang mendorong pengembangan nilai-nilai

fundamental anak-anak di sekolah. Dikatakan istilah yang luas

karena mencakup berbagai sub komponen yang menjadi bagian dari

progam pendidikan karakter seperti pembelajaran dan kurikulum

tentang keterampilan-keterampilan sosial, pengembangan moral,

pendidikan nilai, dan berbagai progam yang mengarah pada

pendidikan karakter.

Berkowits dan Bier (dalam Yaumi, 2016: 9) menjabarkan

beberapa definisi tentang pendidikan karakter:

1) Pendidikan karakter adalah gerakan nasional dalam menciptakan

sekolah untuk mengembangkan peserta didik dalam memiliki

etika, tanggung jawab, dan kepedulian dengan menerapkan dan

mengajarkan karakter-kerakter yang baik melalui penekanan

pada nilai-nilai universal.

13
2) Pendidikan karakter adalah mengajar peserta didik tentang nilai-

nilai dasar kemanusiaan termasuk kejujuran, kebaikan,

kemurahan hati, keberanian, kebebasan, kesetaraan, dan

penghargaan kepada orang lain.

3) Pendidikan karakter adalah usaha yang disengaja untuk

mengembangkan karakter yang baik berdasarkan nilai-nilai inti

yang baik untuk individu dan baik untuk masyarakat.

4) Pendidikan karakter adalah pendekatan apa saja yang disengaja

oleh personel sekolah, yang sering berhubungan dengan orang

tua dan anggota masyarakat, membantu peserta didik dan remaja

menjadi peduli, penuh prinsip, dan bertanggung jawab.

Berdasarkan definisi diatas, terdapat beberapa nilai universal

yang menjadi tujuan untuk dikembangkan pada diri peserta didik

dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Nilai-nilai inti universal

yang dimaksud adalah beretika, bertanggung jawab, peduli, jujur,

adil, apresiatif, baik, murah hati, berani, bebas, setara, dan penuh

prinsip. Karakter-karakter seperti ini seharusnya menjadi bagian

yang terintergrasi dalam perwujudan diri peserta didik dalam

berpikir, berkehendak, dan bertindak.

b. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter

Lickno, Schaps, dan Lewis dalam CEP’s Eleven Principles

of Effective Character Education menguraikan sebelas prinsip dasar

14
dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter.

Kesebelas prinsip yang dimaksud adalah:

1) Komunitas sekolah mengembangkan nilai-nilai etika dan

kemampuan inti sebagai landasan karakter yang baik.

2) Sekolah mendefinisikan karakter secara komprehensif untuk

memasukkan pemikiran, perasaan, dan perbuatan.

3) Sekolah menggunakan pendekatan komprehensif, sengaja, dan

proaktif untuk pengembangan karakter.

4) Sekolah menciptakan masyarakat peduli karakter.

5) Sekolah memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

melakukan tindakan moral.

6) Sekolah menawarkan kurikulum akademik yang berarti dan

menantang yang menghargai semua peserta didik

mengembangkan karakter, dan membantu mereka untuk

menciptakan keberhasilan.

7) Sekolah mengembangkan motivasi diri peserta didik.

8) Staf sekolah adalah masyarakat belajar etika yang membagi

tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan karakter dan

memasukkan nilai-nilai inti yang mengerahkan peserta didik.

9) Sekolah mengembangkan kepemimpinan bersama dan dukungan

besar terhadap permulaan atau perbaikan pendidikan karakter.

10) Sekolah melibatkan anggota keluarga dan masyarakat sebagai

mitra dalam upaya pembangunan karakter

15
11) Sekolah secara teratur menilai dan mengukur budaya dan iklim,

fungsi-fungsi staf sebagai pendidik karakter serta sejauh mana

peserta didik mampu memanifestasikan karakter yang baik

dalam pergaulan sehari-hari (Yaumi: 2016, 11).

c. Jenis-Jenis Pendidikan Karakter

Ada empat jenis karakter yang selama ini dikenal dan

dilaksanakan dalam proses pendidikan, yaitu:

1) Pendidikan karakter berbasis nilai religius, yang merupakan

kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral).

2) Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara lain yang

berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan

tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa.

3) Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi

lingkungan).

4) Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi,

hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang

diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi

humanis) (Khan: 2010, 2).

d. Fungsi Pendidikan Karakter

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 7) fungsi

pendidikan karakter adalah:

1) Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk

menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang

16
telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya

dan karakter bangsa;

2) Perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk

bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik

yang lebih bermartabat; dan

3) Penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya

bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan

karakter bangsa yang bermartabat.

2. Hedonisme

a. Makna Hedonisme

Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam

manusia menurut kodratnya mencari kesenangan dan berupaya

menghindari ketidaksenangan. Bagi Aristippos (433-355 SM),

seorang murid Sokrates kesenangan itu bersifat badani belaka,

karena hakikatnya tidak lain daripada gerak dalam badan. Mengenai

gerak itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak yang kasar itulah

ketidaksenangan, misalnya rasa sakit; gerak yang halus dan itulah

kesenangan; sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan

netral, misal jika kita tidur (Bertens: 2013, 184). Tokoh lain yakni

Epikuros (341-270 SM) melihat kesenangan (hedone) tetap menjadi

sumber norma, tetapi tidak hanya meliputi pleasure jasmaniah saja

sebab pleasure seperti ini akan menimbulkan pain juga.

17
Sedangkan menurut Jhon Stuart Mill (dalam Graham: 2015,

61), hedonisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa

kenikmatan merupakan kebaikan alamiah dan satu-satunya

kebaikan, sedangkan rasa sakit adalah keburukan alamiah. Jadi,

pada intinya hedonisme merupakan pandangan hidup yang

menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari

kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari

pearasaan-perasaan yang menyakitkan. Dalam arti lain hedonisme

adalah ajaraan atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan

merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.

b. Ciri-ciri dan bentuk hedonisme

Ada banyak tanda ciri-ciri sifat orang yang menganut paham

hedonisme, selama mereka masih menganggap bahwa materi adalah

tujuan akhir untuk mendapatkan kesenangan, entah dengan cara

bagaimana mendapatkan materi baik halal ataupun haram yang

dilarang agama dan hukum. Adapun ciri-ciri gaya hidup hedonis

menurut Rahardjo dan Silalahi (2007: 34) yaitu:

1) Memiliki pandangan gaya instan, melihat sesuatu perolehan

harta dari hasil akhir bukan proses untuk membuat hasil akhir.

Hal ini membawa ke arah sikap selanjutnya yaitu, melakukan

rasionalisasi atau pembenaran dalam memenuhi kesenangan

tersebut.

18
2) Menjadi pengejar modernitas fisik. Orang tersebut

berpandangan bahwa memiliki barang-barang berteknologi

tinggi adalah kebanggaan.

3) Memiliki relativitas kenikmatan di atas rata-rata yang tinggi.

Relativitas ini berarti sesuatu yang bagi masyarakat umum sudah

masuk ke tataran kenikmatan atau dapat disebut enak, namun

baginya itu tidak enak.

4) Memenuhi banyak keinginan- keinginan spontan yang muncul.

Dalam penjabaran benteng penahan kesenangan yang sangat

sedikit sehingga ketika orang menginginkan sesuatu harus

segera dipenuhi.

5) Ketika mendapat masalah yang dia anggap berat muncul

anggapan bahwa dunia begitu membencinya.

6) Berapa uang yang dimiliki akan habis dan atau tersisa sedikit

dengan skala uang yang dimiliki berada di hidup orang

menengah dan tidak ada musibah selama memegang uang

tersebut. Untuk masalah makanan saja begitu kompleks dan

jenisnya banyak belum termasuk pakaian, rumah, barang-barang

mewah, dsb.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini akan memberikan gambaran terkait dengan

susunan laporan penelitian:

19
BAB I merupakan pendahuluan, berisi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka,

metode penelitian, kerangka teori, dan sistematika penulisan.

BAB II memaparkan konsep pendidikan karakter menurut Munif

Chatib, adapun isinya meliputi biografi pribadi dan keluarga, latar belakang

pendidikan, kemudian dasar pemikirannya beserta karya yang

dihasilkannya.

BAB III memaparkan cara pendidikan karakter dalam menaggulangi

gaya hidup hedonisme menurut pemikiran Munif Chatib

BAB IV memaparkan relevansi dan implikasi pemikiran Munif

Chatib dalam Pendidikan Islam.

BAB V berupa penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.

20
BAB II

BIOGRAFI DAN SKETSA KARYA MUNIF CHATIB

A. Biografi Munif Chatib

Kajian mengenai setting sosial-historis seorang tokoh merupakan

hal yang sangat penting dilakukan. Sebab ide dan gagasan pemikiran tidak

pernah lepas dari konteks sosio historisitas pencetus ide. Sebuah gagasan

pemikiran selalu based on historical problems. Munif Chatib, lahir di

Surabaya 5 Juli 1969, adalah seorang yang sangat commited dengan

pengembangan pendidikan melalui konsep Multiple Intelligences yang

dikembangkannya. Munif dikenal sebagai konsultan pendidikan dan penulis

buku-buku best seller. Lembaga konsultannya bernama Next Wordview

yang berkantor di Surabaya. Lembaga ini memberikan pelayanan kepada

perusahaan dan sekolah tentang pembelajaran. Beliau juga pernah dipercaya

menjadi salah satu trainer Pengajar Muda Program Indonesia Mengajar dari

Anis Baswedan.

Ketertarikan mantan direktur lembaga pendidikan Yayasan Islam

Malik Ibrahim (YIMI) Gresik ini pada dunia pendidikan berawal di SMA

saat ikut membantu gurunya memberikan bimbingan belajar kepada teman-

temannya. Sayangnya, karena tak ada yang mengarahkan, beliau masuk

fakultas hukum Universitas Brawijaya Malang, “Tahun pertama seperti

masuk ke dunia lain,” kenang bapak yang senang menulis ini. Karena itulah

beliau tidak begitu tertarik pada dunia hukum meskipun profesi pengacara

pernah dijalaninya pada tahun pertama menjadi sarjana hukum.

21
Sebelum lulus dari pendidikan sarjananya, Munif Chatib pernah

menjadi asisten dosen di fakultas hukum sebuah universitas di Sidoarjo.

Mantan pengacara ini, sempat pula memimpin sebuah lembaga pendidikan

komputer dan bahasa Inggris di Jakarta, akhirnya diminta oleh Universitas

Nasional di Jakarta untuk menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik.

Semakin memantapkan langkahnya di dunia pendidikan, pada 1998-

1999, bapak yang senang menulis puisi ini menyelesaikan studi Distance

Learning di Supercamp Oceanside California USA yang dipimpin oleh

Bobbi DePorter. Dari 73 alumni pertama tersebut, beliau menduduki

peringkat ke-5 dan satu-satunya lulusan dari Indonesia. Selain itu pada

tahun 2009, beliau juga kuliah pascasarjana dengan mengambil progam

jurusan pendidikan anak usia dini di Universitas Negeri Jakarta.

B. Karya-Karya Munif Chatib

Sampai saat ini Munif Chatib telah menulis sepuluh buku dan telah

diterbitkaan dalam skala nasional. Buku-buku tersebut mendapatkan

apresiasi yang baik dari masyarakat, bahkan sebagian buku-bukunya dari

sisi marketing telah memperoleh predikat best seller. Disamping itu, buku-

buku tersebut mendapat apresiasi yang mendalam dari pakar dan tokoh

pendidikan.

1. Sekolahnya Manusia

Buku ini terbit pada April 2009 dan telah mengalami beberapa kali

cetak ulang sampai saat ini. Buku ini mengulas bagaimana membangun

22
sekolah yang pada hakikatnya adalah membangun keunggulan sumber

daya manusia. Keunggulan tersebut menurutnya dapat dibangun apabila

pembangunan sekolah didasarkan pada multiple intellegnces, yaitu

sekolah yang menghargai berbagai kecerdasan siswa. Beberapa materi

yang ditawarkan dalam buku tersebut anatara lain: penerapan multiple

intellegences, penerimaan siswa baru tanpa tes tetapi melalui metode

multiple intellegences research (MIR), bagaimana melejitkan siswa

sesuai kecerdasan uniknya, bagaimana menjadikan pembelajaran yang

menyenangkan, dan menarik. Membuat guru semakin kreatif dengan

lesson plan, bagaimana mengubah orang tua semakin memahami anak-

anaknya, bagaimana membuat sekolah benar-benar unggul, dan terdapat

kisah-kisah nyata para siswa yang mengalami pencerahan dari multiple

intellegences.

2. Gurunya Manusia

Pada Mei 2011 Munif Chatib menerbitkan buku lanjutan dari

Sekolahnya Manusia, yaitu Gurunya Manusia. Menurutnya, jika buku

Sekolahnya Manusia ibarat sebuah piring, maka isi piring tersebut

adalah Gurunya Manusia. Buku ini mengungkapkan bagaimana profil

guru yang sebenarnya. Gurunya Manusia adalah guru yang fokus

kepada kondisi peserta didik. Semakin banyak data dan informasi

tentang kondisi peserta didik, akan semakin memudahkan guru masuk

ke dalam dunia siswa. Gurunya Manusia senantiasa memandang setiap

peserta didik adalah juara, mengajar dengan hati, mengartikan

23
kemampuan peserta didik dalam arti yang luas, dan menjadi sosok yang

menyenangkan bagi siswanya. Semuanya itu merupakan anak-anak

tangga yang harus dilalui oleh seorang gurunya manusia.

3. Orangtuanya Manusia

Mei 2012 Munif menerbitkan buku yaitu Orangtuanya Manusia.

Buku ini mendapat sambutan luar biasa dari para orang tua di seluruh

Indonesia yang mengulas cara orang tua bersikap dalam proses

pendidikan anaknya. Orangtuanya Manusia adalah semacam

sekolahnya orang tua untuk mengetahui sosok anak-anak sejatinya.

Kebanyakan orang tua mengharapkan anaknya menjadi sesuai harapaan

mereka tanpa mempertimbangkan kondisi potensi dan karakter pada

anaknya. Buku ini mampu menjadi guide bagi orang tua untuk

memberikan stimulus dan lingkungan yang tepat sesuai bakat dan minat

setiap anak.

4. Sekolah Anak-Anak Juara

Tahun 2012 bersama Alamsyah Said, Munif juga menerbitkan buku

Sekolah Anak-Anak Juara. Buku ini menunjukkan bagaimana proses

pengajaran berkualitas, yaitu bukan sebesar apa kecerdasan seseorang,

melainkan bagaimana seseorang menjadi cerdas menjadi cerdas. Buku

ini menjadi semacam kritik, dimana saat ini banyak sekolah yang

berlomba-lomba mengadakan seleksi siswa baru dengan tujuan

mendapatkan siswa yang cerdas dengan basis nilai-nilai mata pelajaran

atau nilai ujian nasional. Seakan-akan sekolah yang demikian hanya

24
mau menerima siswa dengan patokan nilai tertinggi saja. Namun,

semestinya sekolah harus menunjukkan bagaimana proses pembelajaran

yang berkualitas. Sehingga sekolah tersebut dapat membawa siswanya

dengan the best output.

Secara praktis dalam buku Sekolah Anak-Anak Juara dibahas

beberapa hal penting tentang bagaimana menjadi sekolah the best

output, proses belajar terbaik belajar efektif dan menyenangkan,

mengenali dan melejitkan kecerdasan anak, serta bagaimana

menemukan kondisi akhir terbaik.

5. Kelasnya Manusia

Pada April 2013 Munif berasama Irma Nurul Fatimah menerbitkan

buku Kelasnya Manusia. Fokus bahasan dalam bukunya ini adalah

tentang ruangan kelas yang seharusnya memilki daya dukung yang luar

biasa terhadap tumbuh kembang anak jika didesain dan dikelola dengan

baik. Hadirnya buku kelasnya manusia, bukan bermaksud menambah

beban pekerjaan guru untuk menampilkan display kelas. Namun, hal

demikian justru membantu guru agar mempunyai kemampuan dan

keterampilan mendesain kelasnya, karena display kelas adalah bagian

dari sebuah perencanaan mengajar. Dalam hal ini, guru tidak harus

punya bakat seni. Dengan mengetahui dan memahami materi display,

kemudian memasangnya di tempat yang tepat, itu sudah cukup. Pada

akhirnya, bahkan banyak guru yang mulai menikmati pekerjaan

mendesain kelas bersama siswanya.

25
6. Romantika Guardian Angel Membangun Sekolahnya Manusia

Kembali tahun 2013 Munif bersama 70 orang pengelola sekolah

anak berkebutuhan khusus se-Indonesia menulis buku ini. Buku tersebut

berisi tentang ide-ide kreatif yang bisa dijadikan sumber ide bagi para

guru di sekolahnya masing-masing. Guardian angel di sini maksudnya

sebuah perkuliahan unik yakni sebuah sistem pendidikan internal

sekolah yang berbasis multiple intelligence, sekolah yang mengubah

siswa bermasalah menjadi berpotensi. Berisi kumpulan cerita romantika

sebuah perjalanan seseorang dalam membangun sebuah sekolahnya

manusia, ide-ide kreatif peserta guardian angel di sekolah masing-

masing, suka duka hubungan dengan orangtua/wali murid, murid, rekan

guru, juga tantangan dan hambatan dari berbagai sisi, serta strategi para

guardian angel dalam membangun sekolahnya manusia.

7. Bella, Sekolah Tak Perlu Air Mata

Buku ini terbit Juli 2015, yang merupakan novel pertama dari Munif,

padahal beliau biasanya menulis tentang teori-teori pendidikan. Namun

kali ini Munif mengemasnya dalam bentuk novel pendidikan agar

pembaca tidak mudah bosan dalam membaca buku ini. Novel yang

berkisah tentang sepasang suami istri yang mempunyai anak dengan

memiliki hambatan disleksia dan diskalkulia.

Dalam buku ini juga selintas di ceritakan tentang seorang guru muda

yang mempunyai pemikiran dan konsep sekolah yang berbeda dari

kebanyakan, ide-idenya seringkali bersebarangan dengan kepala

26
sekolah yang hanya memikirkan keuntungan semata. Guru muda

tersebut mempunyai pemikiran bahwa sekolah harusnya untuk semua

anak tanpa terkecuali, apakah anaknya pinter, baik atau nakal bahkan

yang mempunyai hambatan juga harus diterima. Jadi tidak ada

serangkaian tes penerimaan saat masuk sekolah tetapi hanya observasi.

8. Parents Learn: Biarkan Anak Bertanya

Parents Learn; Biarkan Anak Bertanya, buku yang terbit Januari

2016 ini disajikan dengan sederhana dan istimewa. Buku ini bergambar

dan sehingga mudah diserap otak, tidak butuh waktu lama membaca

buku ini yaitu kurang lebih 30 menit bisa selesai membacanya.

Buku ini berisi lima sub bab yaitu: guru kehidupan, orang tuanya

manusia, usia emas, masa remaja, dan belajarnya manusia. Untuk yang

memiliki anak, mempunyai siswa atau murid analoginya bahwa

seseorang harus mendaki gunung terjal, melakukan pendakian di abad

ke-21. Dibutuhkan kaki yang kuat untuk mendaki dan sebagai orang tua

tugasnya ialah membekali. Kalau di sekolah mereka memiliki guru, di

rumah mereka memiliki ayah dan ibu. Saat orangtua dan guru sudah

menjadi sahabat sejati, ketika dalam pendakian mereka memiliki

masalah, misalnya jatuh, kakinya harus bertahan agar tegak berdiri

hingga puncak. Orang tua dan guru harus menjadi figur yang benar-

benar menjadi teladan, yang bisa menyejukkan, dimana mereka ingin

diakui kemampuannya. Buku ini benar-benar mengajari pendidik

27
memperhatikan proses belajar anak, agar kebiasaan yang dilakukan

bermanfaat untuk dirinya dan orang banyak.

9. Parents Learn 2: Menikah itu Ibadah

Buku yang terbit Januari 2017 ini menguraikan kalimat-kalimat

pencerahan tentang konsep menikah muda yang dalam pemikiran mayor

dianggap konsepsi yang salah. Munif menghidangkan sebuah pemikiran

yang menurut beliau bersumber dari kegelisahan hati orang tua yang

juga pernah mengalami masa muda. Kutipan-kutipan beliau dalam buku

ini menyodorkan paradigma pemikiran yang justru bisa menjadi

alternatif cara orang tua untuk menjaga buah hati mereka dari pengaruh

zaman yang terkontaminasi pergaulan bebas.

Munif memulainya dengan penjelasan sederhana mengenai hakikat

remaja, dan cinta hingga ajakan untuk para orang tua menikahkan putra-

putri mereka justru ketika anak-anak remaja berada dipuncak gelora

asmara sebagai jalur terbaik melampiaskan gelora perasaan mereka.

Munif kemudian menutupnya dengan membuka berbagai kamuflase

data tentang menikah muda yang selama ini menjadi momok serta

diterima begitu saja sebagai sebuah kebenaran yang tidak

dipertanyakan.

Harus diakui ini bukan buku pertama yang mengungkapkan tentang

menikah muda, sudah ada beberapa buku lain yang bahkan membahas

lebih detail faedah menikah muda. Namun bila dibandingkan dengan

yang lainnya, karya Munif ini ditulis dengan rangkaian kalimat yang

28
lebih mudah dicerna, gaya bahasa yang lebih menarik dan tentu saja

dengan design yang atraktif dengan penggunaan ilustrasi yang penuh

warna. Meskipun buku ini ditujukan untuk para orang tua, buku ini juga

sangat mungkin untuk dibaca kepada para remaja, sehingga menjadi

bahan diskusi bagi orang tua dan anak remajanya.

10. Semua Anak Bintang

Juli 2017 Munif menerbitkan buku yang berjudul Semua Anak

Bintang. Buku ini menawarkan suatu metode untuk mengetahui jenis

kecerdasan anak dengan sebuah metode yang disebut Multiple

Intelligencers Research (MIR). MIR merupakan hasil dari

pengembangan teori Multiple Intelligences yang dikembangkan oleh

Howard Gardner. Dijelaskan dalam buku ini bahwa MIR terdiri dari

dua bagian besar, yaitu:

a. Melaporkan kondisi kecenderungan kecerdasan seseorang, mulai

yang dominan sampai yang rendah. Laporan ini didesain dalam

bentuk tabel dan grafik dengan poin skala 1 sampai 5.

b. Menunjukkan aktivitas yang disarankan, baik untuk siswa sendiri,

guru, maupun orang tua.

Dua hal tersebut kemudian menunjukkan manfaat yang bisa

didapatkan, baik oleh orang tua, guru, atau anak sendiri. Bagi guru,

metode tersebut akan membantu untuk mengetahui gaya belajar siswa,

melakukan pembagian kelas, juga mendesain metode mengajar dalam

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Kecenderungan

29
kecerdasan yang dipunyai oleh setiap anak akan menunjukkan

bagaimana gaya belajar anak tersebut. Jika guru mengetahui gaya

belajar siswa, maka guru akan mudah menyamakan gaya mengajarnya

dengan gaya belajar siswa tersebut. Jika keduanya sudah sesuai, tak

ada pelajaran yang terasa sulit oleh siswa, sebab disampaikan se suai

dengan gaya belajar anak

Kemudian, hasil MIR juga dapat digunakan sebagai pedoman

untuk melakukan pembagian kelas, terutama pada sekolah yang

memiliki pararel lebih dari satu kelas. Selama ini, kebanyakan

pedoman pembagian kelas berdasarkan peringkat nilai kognitif atau

bahkan urutan alfabet. Ini tentu pembagian yang kurang tepat karena

tidak efektif sesuai dengan apa yang menjadi kecenderungan belajar

siswa. Di sinilah, lewat hasil MIR, guru akan bisa mendapatkan

gambaran untuk melakukan pembagian kelas berdasarkan gaya

belajar siswa-siswanya, sehingga guru akan mudah memilih metode

mengajar sesuai gaya belajar siswanya dalam sebuah kelas (Chatib:

2017, 13)

Di samping itu buku ini juga memaparkan berbagai gaya belajar

yang dimiliki seorang anak berdasarkan teori atau model Multiple

Intelligences Howard Gardner. Misalnya, untuk anak yang memiliki

jenis kecerdasan linguistik (bahasa), maka gaya belajar yang cocok

adalah belajar dengan cara mengenal huruf, kata, dan kalimat,

membaca, menulis, bercerita, mendengar, menghafal, bertanya, dan

30
sebagainya. Sedangkan untuk anak yang memiliki jenis kecerdasan

matematis-logis, gaya belajar yang cocok adalah dengan contoh,

dengan menghitung angka-angka, dan sebagainya.

Selain buku-buku karyanya di atas, ada beberapa karya tulis Munif

Chatib lainnya, yaitu:

1. Islamic Quantum Learning

2. Multiple Intelligence System

3. Riset Pendidikan dengan Multiple Intelligence

4. Reformasi Sekolah

5. KBK, masalah dan solusinya

6. Kritik sertifikasi pra kinerja pada UU Guru dan Dosen

7. Competence and Benefit System, solusi polemik UNAS

8. Character Building sebagai bidang studi

9. Doors Curriculum System

C. Dasar Pemikiran Munif Chatib

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap fenomena yang terjadi

disekitarnya, Munif Chatib berpendapat masalah pendidikan di Indonesia

sangat kompleks. Menurutnya ada dua faktor yang mempengaruhi yaitu

sistem dan kualitas sumber daya manusia. Banyak masalah yang terkait

dengan sistem penididikan yang masih sentralistik, terutama dalam wilayah

output yaitu standar kelulusan siswa ditentukan oleh alat tes yang dibuat

pemerintah pusat, bukan dibuat oleh guru. Pada wilayah akhir yang salah

inilah, yang akhirnya menjadi orientasi pendidikan mulai dari wilayah yang

31
pertama yaitu input, dan diikuti oleh prosesnya. Jika sistem di ouput ini

diperbaiki, maka input dan prosesnya akan mengikuti. Betapa banyak guru

yang terhenti akibat kondisi output yang academic minded.

Berdasarkan wawancara dengan Hernowo tentang buku Sekolahnya

Manusia, Munif Chatib berpendapat tentang academic oriented inilah yang

menjadikan anak didik kita seperti robot. Segalanya dirancang agar lulus tes

akhir. Pengalamannya sebagai peneliti, kualitas soal ujian nasional yang

menjadi standar kelulusan siswa termasuk dalam kualitas soal yang paling

rendah. Dengan multiple choise murni peserta didik pemikirannya dibatasi.

Artinya kalau siswa tidak tahu jawaban mana yang benar, maka mereka

menggunakan insting keberuntungan, yang terpenting semua soal

terlingkari. Menurut Taksonomi Bloom, jenis soal semacam ini mestinya

tidak dapat menilai standar kelulusan dari sebuah materi atau bidang studi.

Hilang sudah wilayah kemampuan pemahaman, aplikasi, analisa, sintesa

dan evaluasi. Padahal ketika mereka terjun ke masyarakat untuk

mengaplikasikan ilmunya, yang dibutuhkan adalah sumber daya manusia

yang cerdas.

Kualitas sumber daya manusia inilah yang juga menjadi pokok

permasalahan. Terutama tenaga pengajar yang berperan penting dalam

proses pemberian pengetahuan. Maka peningkatan kualitas dengan

pelatihan dan pengembangan adalah hal yang terpenting dalam posting dana

pendidikan. Negara yang maju pendidikannya mempunyai ciri-ciri yang

hampir sama, yaitu posting dana yang cukup besar dan diprioritaskan untuk

32
pengembangan sumber daya manusianya. Jadi intinya memperbaiki sistem

mulai dari input, proses, output. Sistem tersebut harus diisi oleh sumber

daya manusia yang berkualitas.

Munif Chatib memiliki ketertarikan dengan dunia pendidikan,

meskipun beliau awalnya mendalami bidang hukum. Ketertarikannya di

bidang pendidikan berawal dari ketika ia menjadi pengajar dan belajar

tentang multiple intellegences. Beliau juga prihatin melihat kondisi

pendidikan di Indonesia yang kecepatan majunya terkesan sangat rendah.

Melalui multiple intellegences inilah Munif Chatib mulai

menggeluti dunia pendidikan. Di tangan beliau, pemahaman multiple

intellegence yang diperkenalkan oleh Howard Gardner, berhasil

ditransformasikan menjadi proses pembelajaran yang manusiawi dan

aplikatif. Baginya Multiple Intellegences adalah sebuah teori yang sangat

terbuka dan menghargai potensi individu sekecil apapun. Seseorang

mempunyai multiple intellegences jika dalam aktivitasnya sudah

memunculkan prestasi yang mempunyai benefit (daya manfaat) sekecil

apapun itu. Baginya teori ini sangat menghargai manusia sebagai ciptaan

Tuhan yang tidak pernah memproduksi produk-produk gagal. Dia

mendapatkan banyak bukti di lapangan sebagai fakta, banyak anak yang

mempunyai hambatan, ketika multiple intellegences dihargai dan terus

digali, maka anak tersebut menjadi juara di bidangnya masing-masing.

Pada saat Munif belajar di Supercamp Oceanside California USA

yang dipimpin Bobbi De Porter, ia menulis tesis tentang Islamic Quantum

33
Learning. Islamic Quantum Learning adalah strategi pembelajaran dengan

menghadirkan tokoh. Materi-materi belajar yang terkait dengan character

building diajarkan dengan menghadirkan tokoh yang terkait.

Bagi Munif Chatib, Character Building di dalam setiap sekolah

harus disajikan dalam bentuk praktis dan menarik. Character building ini

disajikan dalam bentuk mata pelajaran pendidikan akhlak atau pendidikan

karakter. Isi materinya disusun dalam lesson plan yang penuh dengan

aktivitas, games, riset sampai siswa merasakan mengapa seseorang harus

berbuat baik, dan meninggalkan perbuatan buruk. Character building tidak

disajikan dalam bentuk definitif, tetapi disajikan dalam perilaku sehari-hari.

Dengan bidang studi Character building, karakter siswa yang nakal dapat

berkurang.

Munif Chatib juga berpendapat bidang studi Character building,

wajib ada pada setiap jenjang pendidikan yang menerapkan multiple

intelligences, karena pada bulan pertama siswa sekolah kebanyakan siswa

mengalami kebebasan belajar. Character building mampu mereduksi hal ini

secara efektif dan mengembalikan tanggung jawab keberhasilan belajar

pada diri siswa, bukan pada guru.

34
BAB III

FUNGSI PENDIDIKAN KARAKTER

A. Pendidikan Karakter Menurut Munif Chatib

Berdasarkan data yang telah berhasil Munif Chatib susun, pasang

surut kualitas pendidikan Indonesia dapat diwakili oleh hasil penelitian dua

lembaga yang peduli terhadap pendidikan di Indonesia. Pertama, penelitian

yang dilakukan oleh Universitas Paramadina Jakarta, sebagai lembaga

pendidikan nasional yang dipublikasikan dalam majalah Mossaik, edisi Mei

2004. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kualitas pendidikan di

Indonesia menduduki peringkat ke empat dari bawah (peringkat 102 dari

106 negara).

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Organization for Economic

Co-Operation and Development (OECD), sebagai lembaga pendidikan

internasional. Progam unggulan mereka adalah Programme for

International Student Assessment (PISA). Pada 2006-2007 lembaga tersebut

telah merilis urutan kualitas negara-negara di dunia.

Dari hasil penelitian kedua lembaga tersebut, kita dapat melihat

kualitas pendidikan di Indonesia memang berada pada urutan kedua paling

rendah. Walaupun demikian masyarakat Indonesia tidak boleh pesimis.

Justru data ini harus jadi pemicu untuk bekerja lebih kreatif dan cerdas

(Chatib: 2011, 23).

Melihat kondisi pendidikan Indonesia, perlu upaya kreatif untuk

membuat sistem pendidikan di Indonesia menjadi lebih maju, pendidikan

35
yang tidak hanya fokus pada masalah kognitif namun aspek afektif dan

psikomotorik juga harus mendapatkan perhatian. Salah satunya dengan

menanamkan pendidikan karakter. Namun, dalam lingkungan akademis di

sekolah, sering terjadi kesalahpahaman perspektif mengenai pendidikan

karakter. Pendidikan karakter sering diposisikan seperti dua hal yang

berbeda dengan apa yang ada dan dipelajari di kelas. Pelajaran di kelas

melatih kemampuan berfikir, sementara pendidikan karakter melatih sikap

dan kemampuan baik yang ditunjang oleh kaidah-kaidah moral. Padahal

keduanya haruslah berjalan berdampingan dan bukan menjadi dua bagian

terpisah. Sehingga, dalam memandang suatu prioritas, siswa akan

memandang bahwa dalam belajar membutuhkan karakter, dan karakter

harus diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pelajaran.

Melihat dari buku Munif yaitu Sekolahnya Manusia, Gurunya

Manusia, dan Orangtuanya Manusia, maka agar pendidikan karakter dapat

tercapai maka harus memperhatikan tiga aspek yaitu lembaga pendidikan

(sekolah), pendidik (guru) dan orang tua. Ketiga hal tersebut sangat

berpengaruh dalam membentuk karakter anak. Apabila salah satunya tidak

tercapai maka akan sulit dalam mencapai tujuan dari pendidikan karakter.

1. Aspek yang pertama yaitu pada lembaga pendidikan, dalam bukunya

Sekolahnya Manusia ada beberapa poin yang yang harus diperhatikan:

a. Pendidikan di dalamnya mengintegrasi jasmani dan ruhani dengan

agama dan akhlak, memiliki 60% muatan agama dalam koridor

character building, yang masuk bersama-sama materi umum.

36
Agama bukan sebagai pelajaran bermuatan kognitif tapi lebih ke

pengelolaan akhlak lewat character building.

b. Sekolah berperan sebagai agent of change, mampu merubah kondisi

awal siswa yang negatif menjadi positif (Chatib: 2011, 93). Cirinya

sekolah ini tidak akan memakai perangkat serentetan tes masuk.

Melainkan memakai Multiple Intelegence Research. Siapa saja

diterima di sekolah ini, bukan hanya yang ‘dianggap’ bodoh dan

nakal, tetapi juga yang dianggap memiliki keterbatasan fisik atau

kemampuan otak seperti cacat fisik, celebral palsy, autis, dsb.

c. Sekolah memiliki the best process dalam aktivitas kelas. Belajar

dengan cara yang menyenangkan, 30% teacher talking time, sisanya

70% siswa belajar dengan active learning. Learning style = teaching

style, hasilnya pelajaran jadi mudah dan menyenangkan. Jauhkan

kesan kelas sebagai penjara terkejam, yang hanya mampu

menghasilkan manusia bermental robot (Chatib: 2011, 74).

d. Sekolah memiliki the best teachers. Guru menjadi katalisator dan

fasilitator proses transfer knowledge yang kreatif dan bagaimana

seorang guru mengajak siswanya menanamkan nilai-nilai positif

dari materi yang telah dipelajari untuk diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari.

e. Terjadi active learning. Siswa belajar dengan aktif bukan pasif yang

dengan keterpaksaan mendengarkan materi yang dijelaskan oleh

37
guru. Hasilnya siswa tidak hanya mengetahui, namun juga tahu

bagaimana ilmu itu harus digunakan.

f. Ada applied learning, sekolah mengaitkan materi belajar dengan

kehidupan sehari-hari, sehingga siswa tidak hanya belajar konsep

abstrak tapi juga pembelajaran langsung diaplikasikan pada

kehidupan sehari-hari.

g. Mengaplikasikan pendekatan multiple intelegences dan penggunaan

multiple intellegences reseach, sebagai pemantik kreativitas anak,

fasilitator tentang kebiasaan yang perlu dikembangkan orang tua dan

mempercepat anak menemukan kondisi akhir terbaik bagi dirinya.

Bagi guru multiple intellegences reseach juga dapat dijadikan

pijakan dalam pembuatan lesson plan. Indikasi guru yang

mengaplikasikan pendekatan multiple intellegences yaitu:

1) Guru yang tidak pernah berhenti belajar. Dunia pendidikan dan

sekolah adalah bidang ilmu yang terus berkembang (dinamis).

Seorang guru profesional tidak boleh tertinggal dalam dinamika

perkembangan ilmu pendidikan tersebut. Progam pembelajaran

untuk guru yang harus dilakukan dan diikuti adalah pelatihan

umum dan khusus yang terkait dengan pendidikan secara

kontinu dan mengikuti progam bedah buku.

2) Membuat rencana pembelajaran. Rencana pembelajaran (lesson

plan) adalah perencanaan yang dibuat oleh guru sebelum

mengajar. Kesalahan yang umum dilakukan guru adalah tidak

38
pernah membuat rencana pembelajaran terlebih dahulu pada saat

akan mengajar (Chatib: 2011, 150). Sehingga guru yang tidak

menyusun lesson plan terlebih dahulu proses pembelajaran tidak

akan tersistem dengan baik.

h. Menerapkan penilaian autentik (Chatib: 2011, 153) dalam setiap

pengambilan nilai evaluasi hasil belajar. Ciri penilaian autentik

adalah: soal berkualitas dan bisa dikerjakan siswa, sifatnya ability

test bukan disability test, penilaian dapat digunakan untuk

discovering ability, kemampuan anak dinilai berdasar

perkembangannya dari waktu ke waktu, dan tidak

membandingkannya dengan siswa lain, Penilaian berbasis proses,

bukan pada akhir pembelajaran seperta ujian akhir yang ada.

2. Pendidik merupakan salah satu komponen penting dalam menciptakan

karakter seorang anak, karena anak beraktifitas di sekolah sebagian

besar waktunya digunakan untuk berinteraksi dengan gurunya. Menurut

Munif ada beberapa poin sehingga seorang guru bisa dikatakan sebagai

gurunya manusia:

a. Pola pikir guru terhadap siswa bahwa setiap anak adalah juara. Tidak

ada siswa bodoh semua siswa pintar dalam bidangnya masing-

masing, tugas seorang guru adalah mengarahkan agar potensi siswa

dapat muncul, dengan memahami karakter anak.

b. Mamahami kemampuan dalam arti luas (Chatib: 2011, 70). Masalah

yang sering terjadi sebagai tenaga pendidik adalah terjebak

39
memahami kemampuan dalam arti yang sempit yaitu kemampuan

siswa hanya dalam satu ranah berupa kemampuan kognitif.

Faktanya kemampuan anak di sekolah menjadi tereduksi menjadi

kemampuan anak saat mengerjakan soal atau tes. Pendidik harusnya

bisa memandang kompetensi siswa lebih luas berdasarkan tiga

kemampuan yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif.

c. Terus menjelajah kemampuan siswa. Bagi Munif pendidik harus

melakukan discovery ability, yaitu menjelajah kemampuan anak

sekecil apapun. Aktivitas ini harus terus menerus dilakukan hingga

menemukan kemampuan anak tersebut. Dengan begitu ketika sudah

menemukan pendidik akan lebih mudah untuk masuk ke dunia anak.

Pendidik harus menjadi katalisator yaitu pemantik kemampuan

siswanya.

d. Guru yang mengajar dengan cara yang menyenangkan. Seorang

guru harus bisa menciptakan suasana pembelajaran yang

menyenangkan. Untuk menciptakan suasana yang menyenangkan

maka seorang guru dituntut kreatif dalam menyampaikan materi

yang tidak hanya menggunakan metode ceramah, tetapi juga bisa

langsung belajar sambil bereksplorasi secara langsung.

e. Guru adalah fasilitator. Fasilitator bagaikan teko yang penuh air,

yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir. Siswa

diibaratkan tanaman sehingga jika diberi air, akan tumbuh dan

berkembang. Sedangkan cangkir adalah benda mati. Siswa bukan

40
benda mati karena mereka hidup dan punya kehidupan. Jadi, jangan

lagi guru mengajar dengan metode ceramah terus menerus, seperti

teko yang penuh air lalu menuangkan ke dalam cangkir hingga

tumpah. Namun, jadikanlah siswa itu tanaman yang dapat menyerap

air dan mengembangkannya untuk tumbuh (Chatib: 2011, 75).

3. Orang tua merupakan pendidikan pertama setelah anak dilahirkan.

Orang tua menjadi peran utama dalam membentuk karakter seorang

anak, oleh karena itu orang tua perlu mengetahui potensi yang dimiliki

anak, agar tidak salah dalam menentukan arah jalan hidup untuk

anaknya. Menurut Munif untuk membentuk karakter anak ada beberapa

yang harus diperhatikan oleh orang tua:

a. Persepsi terhadap anak bahwa setiap anak adalah bintang, Setiap

anak mempunyai kelebihan dan kekurangan, tinggal bagaimana cara

orang tua menggali analisa diri yang ada pada anak tersebut.

b. Memandang kemampuan anak yang seluas samudera. Banyak orang

tua yang terjebak dengan menilai kemampuan anak dari sudut

pandang yang sempit, yaitu hanya pada kemampuan kognitif,

sedangkan kemampuan afektif dan psikomotorik sering diabaikan.

Oleh karena itu, wajib bagi orang tua untuk menghargai dan

memberikan kesempatan kepada anak untuk berkarya.

c. Setiap anak punya potensi dan punya multiple intellegences.

Hakikatnya tidak ada anak yang bodoh karena setiap anak cerdas di

bidangnya masing-masing. Yang terpenting adalah cara orang tua

41
dan lingkungan memberikan stimulus yang tepat. Ketika seorang

anak diberikan stimulus yang tepat, bakat dan kemampuannya akan

berkembang.

d. Orang tua menjadi penyelam bagi dunia anak yang tak pernah

berhenti menjelajah kemampuan anak. Memberikan apresiasi atas

kemampuan anak sekecil apapun. Anak yang selalu dihargai

kemampuanya akan percaya diri karena percaya diri pada seorang

anak diibaratkan pengait yang akan mengangkat dan menarik

ketidakmampuanya untuk diubah menjadi sebuah kemampuan

(Chatib: 2012, 123).

B. Fungsi Pendidikan Karakter Menanggulangi Hedonisme

Pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan

yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional, dan

pengembangan etik para peserta didik. Merupakan suatu upaya proaktif

yang dilakukan baik oleh sekolah dan pemerintah untuk membantu siswa

mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-nilai kinerja.

Sedangkan pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntutan

kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter

dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter

dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,

pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan

kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk,

42
memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan

sehari-hari dengan sepenuh hati (Samani dan Hariyanto: 2014, 46).

Hedonisme mengajarkan bahwa kenikmatan atau kesenangan

merupakan tujuan hidup dan acuan berperilaku dalam sebuah anggota

masyarakat. Dalam paham hedonisme, kesenangan pribadi atau

kelompoknya merupakan yang utama, mereka tidak peduli dengan perasaan

atau kesenangan orang lain. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa

hedonisme merupakan pandangan hidup yang berdasarkan atas hawa nafsu.

Penganut paham hedonisme disebut hedonis. Hedonisme sangat

berhubungan dengan kekayaan, kenikmatan batin, kenikmatan seksual,

kekuasaan dan kebebasan.

Jika perilaku hedonisme dibiarkan, hal ini akan menjadi rusaknya

dunia pendidikan. Dengan membiarkan hedonisme bersarang di lembaga

pendidikan sama halnya menyediakan pembunuh karakter intelektual

generasi muda. Budaya negatif ini telah mengikis nalar kritis generasi muda

terhadap persoalan yang ada. Misalnya yang terjadi pada lingkungan

perguruan tinggi yang penghuninya merupakan mahasiswa yang seharusnya

dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan positif. Namun

faktanya, mahasiswa era ini cenderung apatis menanggapi isu-isu yang

sedang terjadi baik itu di lingkungan sekitarnya terlebih dalam tataran

negara.

Perilaku hedonisme tidak lain juga disebabkan dari faktor orang tua

yang merupakan pendidikan pertama untuk anak, kesalahan dalam

43
mendidik anak bisa berakibat fatal. Jadi orang tua harus jeli dalam mendidik

anak dengan menyesuaikan perkembangan zaman. Selain itu pengaruh

lingkungan seperti di sekolah yang dapat terpengaruh dengan teman-

temannya, sehingga sekolah wajib membekali dengan yang namanya

pendidikan karakter. Faktor bacaan juga tak luput dari perhatian, karena

pergeseran pemahaman juga dapat membawa seseorang terjerumus dalam

hal-hal yang tidak diinginkan, seperti pergeseran pemahaman mengenai

hedonisme, disinilah seorang guru sangat dibutuhkan untuk meluruskan

kesalahpahaman. Pengaruh tontonan yang menyebabkan seseorang menjadi

konsumtif, gaya hidup instan, hal-hal yang berbau pornografi ini juga

menjadi sebab gaya hidup hedonisme.

Pada tahun 2016 saja Penelitian Yayasan Pengembangan Media

Anak (YPMA) menunjukkan bahwa jumlah jam menonton televisi pada

anak-anak usia SD berkisar 30-35 jam seminggu (sekitar 4,5 jam sehari).

Belum lagi, angka ini masih ditambah dengan sekitar 10 jam untuk bermain

video game. Sebuah angka yang terlalu besar untuk waktu hiburan yang

kurang sehat bagi anak. Padahal, batas maksimal yang diperbolehkan para

ahli, yaitu waktu anak menonton, adalah 2 jam per hari. Dari data tersebut

dapat diamati bahwa televisi telah mengambil porsi jam aktivitas anak yang

sangat besar. Ditambah lagi konten progam televisi yang menyuguhkan

acara tidak bermakna, hiburan tidak mendidik, dan gaya hidup hedonis serta

konsumtif (Chatib: 2012, 90). Maka perlu penanaman sejak dini prinsip-

44
prinsip pendidikan karakter. Agar perilaku ini tidak menjadi budaya dan

merusak karakter generasi penerus.

Melalui pendidikan karakter inilah peserta didik ditanamkan nilai-

nilai etika, akhlak sehingga dapat membedakan perbuatan yang baik dan

buruk. Tidak hanya membedakannya saja namun juga dapat

mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari bahwa perbuatan buruk

akan menimbulkan dampak negatif. Gaya hedonisme misalnya yang hanya

mencari kesenangan belaka tanpa mempertimbangkan cara untuk

memperoleh kebahagiaan tersebut, halal atau haram ditempuh demi

tercapainya kesenangan yang bersifat sementara.

Pendidikan karakter juga mampu menemukan bakat anak, sehingga

anak dapat berkembang sesuai dengan potensinya. Dengan demikian

seorang anak akan tahu arah jalan yang harus ia tempuh. Karena pendidikan

karakter juga melihat aspek afektif maka seorang anak akan

mengedepankan nilai-nilai karakter. Sehingga kemungkinan kecil seorang

anak melakukan penyimpangan dalam berperikalu

C. Pendekatan Multiple Intellegences dalam Pendidikan Karakter

Multiple intelligences merupakan teori kecerdasan yang

dikemukakan oleh Howard Gardner, seorang psikolog dari Harvard

University, bahwa setiap anak punya kecenderungan kecerdasan,

kecerdasan tersebut anatara lain:

1. Kecerdasan linguistik adalah kemampuan menyusun pikiran dengan

jelas dan mampu menggunakan ini secara kompeten melalui kata-kata

45
untuk mengungkapkan pikiran-pikiran dalam bicara, membaca, dan

menulis.

2. Kecerdasan matematis-logis adalah kemampuan menangani bilangan

perhitungan, pola, serta pemikiran logis dan ilmiah.

3. Kecerdasan visual-spasial adalah kemampuan melihat secara detail

sehingga bisa menggunakan kemampuan ini untuk melihat segala objek

yang diamati.

4. Kecerdasan musikal adalah kemampuan menyimpan nada atau irama

musik dalam memori.

5. Kecerdasan kinestetis adalah kemampuan menggunakan anggota tubuh

untuk segala kebutuhan atau kepentingan hidup.

6. Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan seseorang untuk

berhubungan dengan orang-orang disekitarnya sehingga dia bisa

merasakan secara emosional.

7. Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan mengenali dan memahami

diri sendiri serta berani bertanggung jawab atas perbuatan sendiri.

8. Kecerdasan naturalis adalah kemampuan mengenali lingkungan dan

memperlakukannya secara proporsional

9. Kecerdasan eksistensial adalah kemampuan merasakan dan menghayati

berbagai pengalaman ruhani atas pelajaran atau pemahaman sesuai

keyakinan kepada Tuhan (Chatib: 2012, 89).

Berangkat dari teori tersebut Munif Chatib mulai mempelajari

multiple intelligences lebih mendalam. Baginya Multiple intelligences

46
adalah strategi pembelajaran berupa rangkaian aktivitas belajar yang

merujuk pada indikator hasil belajar dan menuju pada kemampuan

seseorang dalam membiasakan dirinya dengan bergerak membuat produk-

produk atau karya-karya baru dan mampu menyelesaikan masalah yang

dihadapi.

Multiple intellegences tidak hanya mencakup pada aspek kognitif

dan psikomotorik saja, namun aspek afektif juga termasuk di dalamnya.

Dalam arti yang lebih luas Munif menyebut aspek afektif juga disebut

sebagai karakter atau akhlak. Pada dasarnya kemampuan afektif sangat

penting untuk membawa dua kemampuan yang lain, yaitu kognitif dan

psikomotorik yang dapat bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.

Secara sederhana kemampuan afektif punya empat dimensi utama, yaitu

berupa:

1. Respons dan kemampuan membangun relasi dengan diri sendiri.

2. Respons dan kemampuan membangun relasi dengan diri orang lain.

3. Respons dan kemampuan membangun relasi dengan lingkungan yang

berubah.

4. Respons dan kemampuan membangun relasi dengan Tuhan sebagai sang

Pencipta dan tujuan perjalanan kehidupan (Chatib: 2012, 84).

Melihat keempat dimensi kemampuan afektif, dalam kaitannya

pendekatan multiple intellegences dengan pendidikan karakter yang

berfungsi menanggulangi hedonisme dari kesembilan kecerdasan majemuk,

ada tiga kecerdasan yang harus dikembangkan, yaitu:

47
1. Kecerdasan interpersonal

Orang dengan kecerdasan ini memiliki kemampuan sosial yang

tinggi. Mudah berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain.

Kemampuan membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang

menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar sesama.

Keterampilan berkomunikasi merupakan kemampuan daar dalam

keberhasilan membina hubungan. Terkadang manusia sulit

mendapatkan yang diinginkan dan juga sulit memahami keinginan serta

kemamuan orang lain (Chatib: 2012, 96). .Selain itu, orang dengan

kecerdasan ini sanggup menempatkan diri dan membaca situasi orang-

orang di sekitarnya. Ia bisa dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan

yang baru. Kegiatan-kegiatan berkelompok akan lebih disukai.

Ciri-ciri dari kecerdasan ini antara lain: mudah berteman, suka

bertemu dengan orang-orang atau kenalan baru, suka bekerja dalam

kelompok, suka kegiatan sosial, berusaha hadir apabila dibutuhkan

orang lain, tidak betah berada di rumah sendirian, banyak berbicara,

dalam menghadapi masalah cenderung meminta bantuan orang lain,

suka memotivasi orang lain, senang berada dalam keramaian, bisa

mengatur atau memimpin sekelompok orang, menyukai permainan yang

dilakukan bersama.

Untuk mengembangkan kecerdasan interpersonal dapat dilakukan

dengan: bergaul atau bersosialisasi dengan berbagai macam orang

sehingga dapat mempelajari berbagai macam karakter mereka; belajar

48
melihat apa yang mereka sukai dan apa yang tidak mereka sukai, hal ini

akan membantu membangun hubungan dengan orang-orang baru; ikut

dalam berbagai organisasi dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang

bermanfaat; memperluas wawasan, sehingga ketika bertemu dengan

banyak orang, punya banyak bahan untuk didiskusikan dan diceritakan.

Dengan pengolahan kata-kata yang baik, kemampuan sosial akan

semakin efektif.

Dengan mengembangkan kecerdasan interpersonal yang sifatnya

tidak merugikan orang lain dan diri sendiri akan membentuk pribadi

yang berkarakter. Dan ketika anak beranjak dewasa, dia mampu

menyelesaikan masalah secara kreatif, terutama pandangan yang

berbeda dengan orang lain terhadap masalah yang sama. Sehingga orang

dengan kecerdasan ini cenderung menjauhi perbuatan buruk yang dapat

merugikan orang lain, seperti gaya hidup hedonisme.

2. Kecerdasan intrapersonal

Seorang self smart adalah orang yang bisa memahami diri sendiri.

Ia tahu tujuan hidupnya, punya target-target yang ingin dicapai,

mengerti apa potensi dan kelemahan-kelemahan yang ia miliki. Selain

itu, orang dengan kecerdasan ini akan selalu mengintrospeksi diri dan

menarik pelajaran dari berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.

Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh para ahli bidang tertentu, filsuf,

trainer, atau motivator (Chatib: 2012, 89). Sebenarnya ini adalah jenis

kecerdasan yang harus dikembangkan oleh semua orang hingga

49
maksimal. Kecerdasan ini sangat diperlukan untuk mengambil berbagai

keputusan penting dalam hidup dan untuk menghadapi berbagai masalah

yang timbul.

Ciri-ciri kecerdasan ini adalah suka bekerja seorang diri, bisa

memegang teguh pendirian meski banyak yang melawan, cenderung

masa bodoh (cuek), sering mengintrospeksi diri, mengerti kekuatan dan

kelemahan diri sendiri, secara berkala suka memikirkan masa depan dan

rencana-rencana hidup, realistis, bisa menghadapi kegagalan dan

kemunduran dengan tabah, biasanya dianggap orang yang bijaksana,

suka membaca buku-buku pengembangan diri, bisa mengambil

pelajaran dari berbagai peristiwa yang terjadi, lebih suka berwiraswasta

(usaha sendiri) daripada kerja ikut orang.

Untuk mengembangkan kecerdasan ini membutuhkan kondisi yang

nyaman dan tenang adalah hal yang sangat efektif untuk

mengembangkan self smart. Secara berkala mengevaluasi diri tentang

hal-hal yang pernah dilakukan. Menganalisa diri terkait potensi yang

dimiliki, serta kelebihan dan kekurangan diri sendiri, sehingga dapat

berkembang dengan semestinya. Menyediakan waktu untuk merenung,

kemudian mencatat hasil perenungan, untuk bisa dijadikan pijakan

dalam melangkah kedepan.. Cara lain untuk mengembangkan self smart

adalah dengan memotivasi diri sendiri, pretasi harus dilalui dengan

motivasi yang dimiliki setiap individu, yang berati memiliki ketekunan

untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan

50
hati, serta memiliki perasaan motivaai positif, yaitu antusiasme, gairah,

optimisme, dan keyakinan diri (Chatib: 2012, 96).

Dalam rangka menanggulangi hedonisme kecerdasan ini perlu

dikembangkan karena dengan seseorang memiliki self smart maka

perilakunya tidak akan membahayakan diri sendiri dan dapat

bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Dengan

memahami potensi diri seseorang menjadi tahu apa yang terbaik untuk

dirinya. Jadi kecerdasan intrapersonal dapat membentengi seseorang

untuk menghindari perilaku yang tidak bermanfaat seperti halnya gaya

hidup hedonisme.

3. Kecerdasan eksistensial

Kecerdasan eksistensial adalah kemampuan untuk menempatkan

diri dalam hubungannya dengan suatu kosmos yang tak terbatas dan

sangat kecil serta kapasitas untuk menempatkan diri dalam

hubungannya dengan fitur-fitur eksistensial dari suatu kondisi manusia

seperti makna kehidupan, arti kematian, perjalanan akhir dari dunia fisik

dan psikologis, dan pengalaman mendalam tentang cinta kepada orang

lain atau perendaman diri secara total. Biasanya kecerdasan ini dimiliki

oleh para ahli spiritual (sufi), ruhaniawan (tokoh agama), atau filsuf

(Chatib: 2012, 89).

Karakteristik yang dimiliki oleh orang yang memiliki kecerdasan

eksistensial antara lain: senang berdikusi tentang kehidupan;

berkeyakinan bahwa beragama dan menjalankan ajarannya sangat

51
penting bagi kehidupan; berzikir, bermeditasi, berkonsentrasi

merupakan dari aktivitas yag ditekuni; senang membaca biografi filsuf

klasik dan modern; belajar sesuatu yang baru menjadi mudah ketika

memahami nilai yang terkandung di dalamnya; selalu ingin tahu jika

terdapat bentuk kehidupan lain di alam.

Banyak membaca buku agama, filsafat, dan buku-buku rohani dapat

membantu mengembangkan kecerdasan eksistensial. Memperbanyak

diskusi dengan ahli agama dan ahli filsafat. Melatih kepekaan memaknai

hidup, memahami kematian, memahami nilai ibadah hal ini juga dapat

mengembangkan kecerdasan ini. Sehingga seseorang dapat memahami

karakter apa yang ada pada dirinya dan lingkungan sekitar. Sebelum

berbuat, seseorang akan memahami dulu perbuatanya apakah benar atau

salah. Dengan demikian, dalam berperilaku akan menuju ke arah yang

positif.

Ketiga kecerdasan tersebut sangatlah penting dalam

mengembangkan pendidikan karakter khususnya dalam rangka

menanggulangi hedonisme. Jadi tidaklah benar kalau pendidikan hanya

melihat kecerdasan kognitif saja. Melalui pendekatan multiple

intellegences inilah paradigma mengenai kecerdasan afektif dan

psikomotorik juga harus diperhatikan. Ketika hal tersebut sudah

dilaksanakan maka pendidikan karakter akan terwujud. Bagi Munif

Chatib pendidikan karakter adalah hal yang wajib diterapkan disekolah

yang menerapkan multiple intellegences.

52
D. Implementasi Pendidikan Karakter

a. Pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ekstra kurikuler di sekolah.

Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah

merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter

dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan ekstra

kurikuler yang mendukung pendidikan karakter antara lain

kepramukaan, PMI, rebana, tilawah, dan khitobah.

b. Pendidikan karakter dilakukan dengan pembiasaan perillaku dalam

kehidupan sehari-hari di sekolah. Kebiasaan mengucapkan salam

kepada guru, tamu, dan teman. Begitu pula kebiasaan membuang

sampah pada tempatnya, kebiasaan hidup bersih dan sehat menjadi hal

yang harus diterapkan di sekolah dalam rangka pembinaan karakter

peserta didik.

c. Menerapkan nilai kejujuran bagi peserta didik, salah satu alternatif

sekolah menyediakan fasilitas kantin kejujuran, hal tersebut akan

melatih sikap kejujuran bagi peserta didik.

d. Menerapkan nilai disiplin, dengan datang tepat waktu dan mentaati

peraturan yang ada di sekolah. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh

peserta didik, tetapi pendidik juga harus memberikan teladan yang baik

dengan menerapkan nilai-nilai displin.

e. Menerapkan nilai tanggung jawab, guru memberikan tugas dan siswa

harus menyelesaikannya sesuai dengan arahan yang benar.

53
f. Dalam setiap pembelajaran seorang guru tidak hanya memandang

kecerdasan dari segi kognitif saja, namun aspek psikomotrik dan afektif

turut menjadi perhatian. Nilai-nilai karakter disisipkan dalam

pembelajaran, baik secara tersirat maupun tersurat. Misal guru

menceritakan sebuah cerita rakyat, maka guru menyampaikan atau

bertanya pada siswa nilai-nilai karakter yang patut menjadi teladan atau

yang tidak patut untuk dijadikan keteladanan.

54
BAB IV

RELEVANSI DAN IMPLIKASI PEMIKIRAN MUNIF CHATIB DALAM

PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendidikan Karakter Sebagai Solusi Hedonisme

Banyak yang belum menyadari bahwa sistem pendidikan di

Indonesia hanya menyiapkan para siswa untuk masuk ke jenjang perguruan

tinggi atau hanya untuk mereka yang mempunyai bakat pada potensi

akademik. Tujuan pendidikan yang masih mengarah kepada mencetak anak

pandai secara kognitif. Hal ini terlihat dari bobot mata pelajaran yang

diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa yang sering

diukur dengan kemampuan logika matematika dan abstraksi (kemampuan

bahasa, menghafal, abstaraksi atau ukuran IQ). Padahal, banyak potensi

lainnya yang perlu dikembangkan (seperti kesenian, musik, imajinasi, dan

pengembangan karakter)

Pendekatan pembelajaran yang terlalu kognitif ini telah mengubah

orientasi belajar para siswa menjadi semata-mata untuk meraih nilai tinggi.

Hal ini dapat mendorong para siswa untuk mengejar nilai dengan cara yang

tidak jujur, seperti mencotek, menjiplak, dan sebagainya. Mata pelajaran

yang bersifat subject matter juga makin merumitkan permasalahan karena

para siswa tidak melihat bagaimana keterkaitan antara satu mata pelajaran

dengan yang lainnya, serta tidak relevan dalam kehidupan nyata. Akibatnya,

para siswa tidak mengerti manfaat dari materi yang dipelajarinya dalam

kehidupan sehari-hari (Muslich: 2011, 27).

55
Dunia pendidikan telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu

mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan

seimbang. Dunia pendidikan Indonesia telah memberikan porsi yang sangat

besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan sikap/nilai dan

perilaku dalam pembelajarannya.

Pada sisi yang lain era globalisasi juga membawa pengaruh dalam

dunia pendidikan. Kemudahan dalam belajar sekarang sudah didukung

dengan adanya ilmu pengetahuan teknologi dan komunikasi, yang bisa

mengakses berbagai referensi ilmu pengetahuan. Namun dengan kemajuan

ilmu teknologi dan komunikasi ini dapat merubah gaya hidup seseorang.

Seseorang mendengar, membaca, dan melihat berbagai informasi dan gaya

hidup dari luar terutama dari dunia barat, dan terjerumus ke dalamnya.

Sehingga mereka terpengaruh dan meniru serta mempraktekkannya pada

konteks kehidupannya. Walaupun, seringkali apa yang ditiru dan

dipraktekan tersebut tidak sesuai dengan kondisi sosial-budaya setempat.

Pada umumnya gaya hidup yang mudah ditiru ialah yang bersifat

senang-senang. Karena pada hakikatnya manusia menyukai kebahagiaan.

Hal semacam ini disebut gaya hidup hedonisme. Amstrong (dalam

Nugraheini, 2003: 15) mengatakan bahwa gaya hidup hedonis adalah suatu

pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih

banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak bermain, senang

pada keramaian kota, senang membeli barang mahal yang disenanginya,

serta selalu ingin menjadi pusat perhatian. Unsur-unsur gaya hidup hedonis,

56
seperti pesta pora, kemabukan, pesta seks dan penyimpangan seksual,

perjudian, tampilan diri memamerkan kemewahan. Bagi para pelaku gaya

hidup hedonis apa yang dilakukannya menjadi sesuatu yang wajar dan

normal. Hal itu justru di zaman sekarang perlu ditekankan dimana banyak

orang mencari kebahagiaaan dengan mengejar segala nikmat yang tersedia

dan mengelak dari pengorbanan. Mereka perlu diyakinkan bahwa dengan

cara itu mereka justru tidak dapat bahagia.

Gaya hidup hedonisme yang hanya mencari kesenangan duniawi

dan sementara ini tidak boleh dibiarkan tumbuh merajalela dalam kehidupan

ini. Apabila hedonisme ini dibiarkan maka menjadi sumber kemrosotan

moral atau karakter bagi generasi penerus. Oleh sebab itu, perlu diketahui

faktor-faktor penyebab dari kemrosotan moral atau karakter antara lain:

1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam

masyarakat.

2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari segi ekonomi, sosial,

politik.

3. Pendidikan moral tidak terlaksana menurut mestinya, baik keluarga,

sekolah maupun masyarakat.

4. Diperkenalkannya secara populer obat-obat dan alat-alat anti hamil.

5. Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-

kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar dan tuntutan moral.

6. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang dengan cara

yang baik dan yang membawa kepada pembinaan moral.

57
Menurut Kotler (1993) (dalam Trimartati: 2014, 22) secara garis besar

faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup hedonisme seseorang

dibedakan menjadi dua faktor yang berasal dari dalam diri individu

(internal) dan dari luar diri individu (eksternal).

1. Faktor Internal adalah faktor yang muncul dari dalam diri individu yang

didasarkan pada keyakinan diri sendiri untuk bergaya hidup sesuai

dengan keinginananya. Adapun faktor internal antara lain sikap

terhadap gaya hidup hedonisme, seseorang mengganggap bahwa sikap

yang harus ditunjukkan adalah mewah, megah, dan suka menjadi pusat

perhatian orang lain.

a. Pengamatan dan pengalaman, seseorang melakukan pengamatan

terhadap orang lain yang dianggap berkompeten dalam dirinya

untuk tampil lebih baik. Dari pengamatan tersebut direalisasikan

dari pengalaman yang telah dilaluinya sehingga seseorang ingin

bertingkah laku sama dengan apa yang diamati dan dari

pengalamannya tersebut. Misalnya kagum terhadap artis dan ingin

menirukan penampilan artis tersebut dan bergaya hidup hedonisme.

b. Kepribadian adalah karakteristik psikologis yang merupakan

perbedaan antara individu satu dengan yang lain. Kepribadian

seseorang akan mempengaruhi karakternya, jika seseorang

memandang gaya hidup hedonisme sesuai dengan kepribadian maka

individu akan mengikuti gaya hidup hedonisme. Lemahnya karakter

58
seseorang membuat dia ikut dalam pergaulan gaya hidup

hedonisme.

c. Motif, perilaku seseorang muncul karena adanya motif. Kebutuhan

untuk dapat merasakan dan kebutuhan terhadap sesuatu yang simple

merupakan beberapa contoh tentang motif. Dengan demikian

individu yang mengikuti gaya hidup hedonisme termotivasi agar

kebutuhan akan penghargaan dirinya terpenuhi.

d. Kontrol Diri, kontrol diri merupakan cara seseorang untuk

mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya.

Seseorang yang memiliki kontrol diri yang tinggi cenderung untuk

tidak mengikuti rangsangan-rangsangan dari luar, dalam hal ini

berperilaku gaya hidup hedonisme. Namun sebaliknya seseorang

yang memiliki kontrol diri yang rendah cenderung mudah untuk

mengikuti gaya hidup hedonisme.

2. Faktor eksternal, secara eksternal individu yang hedonis akan

mengarahkan aktivitasnya pada kesenangan, serta memilih kelompok

sosial menengah ke atas (bermewah-mewahan, borjuis). Gaya hidup

hedonisme yang berasal dari faktor eksternal yaitu muncul dari luar diri

individu yang dipengaruhi oleh:

a. Kelompok referensi merupakan kelompok yang memberikan

pengaruh secara langsung ataupun tidak langsung terhadap perilaku

dan sikap seorang individu. Pengaruh tersebut akan melandasi

perilaku dan gaya hidup hedonis dalam diri individu.

59
b. Keluarga, peran orang tua dalam keluarga sangat penting karena

sikap dan perilaku/karakter seseorang dipengaruhi oleh faktor

keluarga. Jika dalam lingkungan keluarga terbiasa dengan gaya

hidup hedonisme, maka secara tidak sadar akan membentuk sikap

hedonis dalam diri anggota keluarga. Hal ini dikarenakan pola asuh

keluarga akan membentuk kebiasaan anak yang secara tidak

langsung akan mempengaruhi gaya hidupnya sehingga menjadi

karakter bagi anak tersebut. Lemahnya pendidikan karakter dalam

keluarga akan membentuk gaya hidup hedonisme.

c. Informasi dapat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi.

Pengaruh teknologi saat ini sudah mulai merambah dari kalangan

dewasa hingga anak-anak. Teknologi informasi telah banyak

merubah gaya hidup kearah yang modern karena bukan sekedar

memenuhi kebutuhan hidup melainkan keinginan untuk mencapai

kepuasan. Individu cenderung mengikuti gaya hidup hedonisme

karena teknologi informasi yang semakin canggih baik dari media

cetak, media massa, media online yang mudah diterima oleh

individu menirukan gaya hidup orang lain yang mengarah kepada

gaya hidup hedonisme. Oleh sebab itu perlu ditanamkannya

pendidikan karakter sejak dini, mengembalikan pemahaman pada

karakter bangsa Indonesia agar anak tidak mudah terbawa arus

negatif oleh canggihnya teknologi.

60
d. Kelas sosial, di dalam masyarakat banyak ditemukan komunitas-

komunitas dikalangan individu khususnya mahasiswa. Komunitas

tersebut didasarkan pada tingkatan yang berbeda-beda sesuai

dengan kelas sosialnya, dalam hal ini kelompok sosial relatif

homogen dan bertahan lama dalam masyarakat yang tersususn

urutan jenjang. Para anggota dalam setiap jenjang tersebut memiliki

minat dan tingkah laku yang sama. Dalam kelas sosial yang

menganut paham hedonisme maka seseorang dalam komunitas

tersebut secara tidak sadar akan mengikuti gaya hidup hedonisme.

Berdasarkan dari uraian di atas, kecenderungan gaya hidup

hedonisme munculnya tingkah laku individu melalui interaksi sosial

seseorang yang berkaitan dengan penggunaan waktunya, keadaan yang

dianggap penting, serta pemikiran tentang dirinya yang bertujuan untuk

mendapatkan kenikmatan atau kegembiraan dengan mengabaikan norma.

Kecenderungan gaya hidup hedonis diukur dengan skala kecenderungan

gaya hidup hedonis dari aspek-aspek gaya hidup yang digabungkan dengan

karakteristik hedonisme. Karakteristik dari individu yang memiliki gaya

hidup hedonisme menurut Susanto (2001: 33) yaitu ditunjukkan dengan

lebih senang mengisi waktu luang di tempat yang santai seperti cafe.

Bersenang-senang di cafe tidak selalu identik dengan minum-minuman

beralkohol tetapi lebih pada menghabiskan waktu luang atau bersantai

namun dapat sekaligus menunjukkan simbol status. Dalam perkembangan,

setiap individu mempunyai gaya hidup hedonisme yang berbeda-beda.

61
Setiap anak memiliki karakteristik tersendiri dalam menuangkan kegemaran

bergaya hidup hedonisme.

Menanggapi krisis moral khususnya hedonisme perlu upaya

preventif menanggulangi gaya hidup hedonisme yaitu dengan pendidikan

karakter. Karena pendidikan karakter sangat berperan penting dalam

membentuk perilaku anak. Alasan pendidikan karakter sebagai solusi gaya

hidup hedonisme yaitu:

1. Kaum muda semakin merusak diri mereka dan orang lain, dan semakin

tidak peduli untuk berkontribusi terhadap kesejahteraan sesama manusia.

Dalam keadaan seperti ini mereka mencerminkan masyarakat yang

membutuhkan pembaharuan moral dan spiritual, pendidikan karakterlah

sebagai jawabannya.

2. Peran moral sebagai pendidik moral menjadi semakin vital pada saat

ketika jutaan anak hanya mendapatkan sedikit ajaran moral dari orang

tua mereka dan ketika pengaruh dari tempat-tempat yang menjadi pusat

nilai seperti rumah ibadah juga tidak hadir dalam hidup mereka.

Sekarang ini, ketika sekolah tidak memberikan pendidikan moral, maka

pengaruh-pengaruh yang menjadi musuh karakter yang baik akan segera

masuk mengisi kekosongan nilai-nilai tersebut (Lickona: 2014, 26).

3. Salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang berperilaku baik

meskipun telah memiliki pemahaman tentang kebaikan itu (moral

understanding) disebabkan karena tidak terlatih untuk melakukannya

(moral doing). Oleh karena itu, pendidikan karakter sebaiknya diajarkan

62
melalui berbagai tindakan praktik dalam proses pembelajaran, yang tidak

hanya menekankan teoritis, dan mengusahakan untuk tidak membatasi

aktivitas pembelajaran, apalagi hanya terbatas di kelas.

Pendidikan karakter hanya akan menjadi sekedar wacana jika tidak

dipahami secara lebih utuh dan menyuluruh. Oleh karena itu, pendidikan

karakter hendaknya menjadikan seorang anak terbiasa untuk berperilaku

baik sehingga ia menjadi terbiasa dan akan merasa bersalah kalau tidak

melakukkannya. Sebagai contoh, seorang anak yang terbiasa mandi dua kali

sehari, akan merasa tidak enak bila mandi hanya satu kali sehari. Dengan

demikian, kebiasaan baik yang menjadi naluri, otomatis akan membuat

seorang anak merasa bersalah bila tidak melakukan kebiasaan baik tersebut.

Yang perlu disadari mendidik kebiasaan baik saja tidak cukup. Oleh

karena itu anak perlu ditumbuhkan rasa atau keinginan berbuat baik melalui

pendidikan karakter sejak dini. Perbedaan kecepatan, urutan, dan profil

perkembangan karakter sangatlah teragantung pada kondisi internal dan

eksternal setiap individu sehingga dalam mengarahkan perkembangan

karakter yang efektif sangat diperlukan kemampuan mengakomodasikan

faktor-faktor yang menyertainya. Latar belakang kehidupan baik di rumah,

sekolah maupun masyarakat juga sangat mempengaruhi perkembangan

karakternya.

Untuk menjadikan individu yang berkarakter, pendekatan yang

strategis adalah pendidikan karakter tanpa mengabaikan upaya lainnya. Hal

63
ini diperkuat Thomas Lickona, pengarang Educating for Character (dalam

Zuchdi: 2011, 68) yang menyatakkan:

“Moral educating is not a new idea. It is, in fact, as old as education itself.
Down through history, in countries all over the world, education has had
two great goals: to help young people become smart and to help them
become good.” Good character is not formed automatically, it is developed
over time through a sustained process of teaching, example, learning, and
practice. It is developed through character education.
Semakin jelas, bahwa pendidikan karakter begitu penting bagi

pembentukan karakter yang baik. Tidaklah mungkin dapat dibentuk

karakter yang baik, jika proses pembelajaran itu hanya lebih ditekankan

pada kegiatan intelektual. Dengan ditanamkannya pendidikan karakter pada

seseorang diharapkan mampu menjadi solusi dalam menanggulangi

degadrasi moral termasuk gaya hidup hedonisme.

B. Relevansi Pendidikan Karakter Menurut Munif Chatib dalam

Pendidikan Islam

Dalam Islam pendidikan karakter juga dikenal dengan pendidikan

akhlak. Dalam perspektif Islam, karakter atau akhlak mulia merupakan buah

yang dihasilkan dari proses penerapan syariah (ibadah dan muamalah) yang

dilandasi oleh pondasi aqidah yang kokoh. Ibarat bangunan, karakter/akhlak

merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah pondasi dan

bangunannya kuat.

Menyadari akan luasnya cakupan pendidikan karakter yaitu aspek

kognitif, afektif, dan psikomotorik, maka baik sekolah, orang tua juga

bertanggung jawab dalam membentuk karakter anak. Pendidikan karakter

Munif Chatib yang mencakup pendidikan dari lembaga pendidikan

64
(sekolahnya manusia), dari pendidik (gurunya manusia), dan keluarga

(orang tuanya manusia) membawa peran utama dalam tercapainya tujuan

pendidikan karakter. Ketiga hal tersebut juga ada keterkaitannya dengan

pendidikan Islam.

1. Sekolahnya Manusia dalam pendidikan Islam.

Melihat pendidikan di Indonesia yang hingga sekarang masih

menyisakan banyak persoalan, baik dari segi kurikulum, manajemen,

maupun para pelaku dan pengguna pendidikan, maka pendidikan kita

perlu direkonstruksi ulang. Agar dapat menghasilkan lulusan yang lebih

berkualitas dan siap menghadapi dunia masa depan yang penuh dengan

problema dan tantangan serta dapat menghasilkan lulusan yang

bekarakter. Dengan kata lain pendidikan harus mengemban misi

pembentukan karakter sehingga para peserta didik dan para lulusannya

dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dengan baik dan

berhasil tanpa meninggalkan nilai-nilai karakter mulia.

Untuk membangun manusia yang memiliki nilai-nilai karakter yang

baik, dibutuhkan sistem pendidikan yang memilki materi yang

komprehensif serta ditopang oleh pengelolaan dan pelaksanaan yang

benar. Terkait dengan ini pendidikan Islam mengemban misi utama

memanusiakan manusia, yakni menjadikan manusia mampu

mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga berfungsi

maksimal sesuai dengan aturan-aturan yang digariskan oleh Allah Swt.

65
dan Rasulullah saw. yang pada akhirnya akan terwujud manusia yang

utuh (insan kamil) (Zuchdi: 2011, 468).

Konsep pendidikan Islam yang mengemban misi utama

memanusiakan manusia sesuai dengan sistem sekolahnya manusia.

Sekolahnya manusia yang digagas oleh Munif Chatib ini menerapkan

prinsip multiple intellegences. Metode pembelajaran multiple

intellegences memiliki relevansi dengan metode pembelajaran dalam

pendidikan Islam terutama dengan kedua sumber utama al-Qur’an dan

Hadis. Di dalam al-Qur’an maupun Hadis banyak didapatkan metode-

metode pembelajaran yang berdasarkan kecerdasan majemuk seperti

metode cerita, ceramah, dialog, dan membaca (kecerdasan linguistik).

Konsep multiple intellegences yang menunjukkan kecerdasan

majemuk sebenarnya sudah ada dalam diri manusia sejak dahulu, karena

kita dilahirkan dengan kecerdasan dan kelebihan dibidang masing-

masing. Hal ini dalam Islam juga dijelaskan bahwa kita harus

menghargai fitrah manusia. Terbukti dalam peradaban Islam telah

banyak menelurkan ilmuwa-ilmuwan muslim yang memiliki kecerdasan

dalam bidangnya masing-masing dan ilmuwan tersebut masih

membawa pengaruh bagi kehidupan di masa sekarang.

Sekolahnya manusia juga memandang bahwa setiap anak adalah

sama maksudnya tidak ada anak yang bodoh. Hal ini senada dengan

prinsip Islam yang tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya.

Oleh karena itu, sekolahnya manusia menerapkan the best proses, bukan

66
the best input. The best proses merupakan sekolah yang menghargai

setiap potensi yang ada pada diri siswa. Sekolah yang membuka

pintunya pada semua siswa, bukan dengan menyeleksinya dengan tes-

tes formal yang memiliki interval nilai berupa angka-angka untuk

menyatakan batasan diterima atau tidak (Chatib: 2011, 96). Sehingga

sekolahnya manusia adalah sekolah yang mendidik dengan gaya belajar

siswanya. Sehingga akan menghasilkan the best output.

2. Gurunya Manusia dalam pendidikan Islam.

Konsep pendidikan Islam dibangun atas dasar iman yang kokoh dan

adab yang agung. Bahkan konsep seseorang yang ingin mencari ilmu, ia

harus menghadirkan iman sebelum belajar al-Qur’an dan beradab

sebelum mencari ilmu. Karena adab gurunya disaksikan langsung

sebagai bentuk keteladanan bagi murid-muridnya.

Namun di Indonesia masih terdapat beberapa guu yang kurang

mencerminkan akhlaknya. Masih ditemukan guru yang melakukan

kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam penyelenggaraan

ujian nasional. Apabila perilaku seorang guru seperti itu, tidak heran jika

masih banyak anak didiknya yang melakukan kecurangan ketika

menghadapi ujian, berikap malas dan senang bermain, berhura-hura,

senang tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, hingga

terlibat narkoba dan tidak kriminal lainnya. Oleh karena itu untuk

mencegah perilaku buruk dan membentuk karakter seorang anak,

seorang guru harus bisa mencerminkan sebagai gurunya manusia seperti

67
yang digagas oleh Munif. Pendidikan Islam juga tak luput menyoroti

karakter seorang guru.

Bagi Munif gurunya manusia merupakan guru yang mempunyai

keikhlasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang mempunyai

keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa

berhasil dalam memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang

ikhlas, yang mengajar dengan hati, guru yang akan berintropeksi apabila

ada siswa yang tidak memahami materi yang telah diajarkannya. Guru

yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar, sebab mereka sadar

bahwa profesi guru adalah profesi yang tidak boleh berhenti untuk

belajar. Guru yang keinginannya kuat dan serius ketika mengikuti

pelatihan dan pengembangan kompetensi.

Dengan demikian seorang gurunya manusia harus bisa menggali

potensi siswa, dengan cara memandang siswa adalah:

a. Setiap anak adalah juara. Kita tahu bahwa dalam proses pembuahan,

jutaan sel sperma berusaha sekuat tenaga berlomba membuahi satu

sel telur. Hanya satu sel sperma yang berhasil, sedangkan yang

lainnya harus rela kalah. Ketika pembuahan selesai, telur yang telah

dibuahi akan membelah hingga akhirnya menjadi janin, hingga dia

berhasil dillahirkan dalam wujud seorang bayi, apapun kondisinya

saat dilahirkan (Chatib: 2011, 67). Dengan dasar tersebut seorang

guru harus bisa mengubah pola pikir bahwa setiap anak adalah

68
juara, sehingga paradigma positif akan mengantarkan anak

menemukan potensi yang dimilikinya.

b. Memahami kemampuan dalam arti luas (Chatib: 2011,

70). Kemampun seseorang adalah bahan bakar untuk

kesuksesannya. Masalah yang sering terjadi, sebagai tenaga

pendidik adalah sering terjebak memahami kemampuan dalam arti

sempit. Benjamin S. Bloom membagi tiga kemampuan seseorang,

yaitu kemampuan kognitif (menghasilkan keterampilan berpikir),

kemampuan psikomotorik (menghasilkan kemampuan berkarya),

kemampuan afektif (menghasilkan kemampuan bersikap). Sebagai

guru sering terjebak mengukur kemampuan anak hanya dalam satu

ranah, yaitu ranah kemampuan kognitif. Sebagai seorang guru

harusnya memandang kompetensi para siswa lebih luas,

berdasarkan tiga kemampuan tersebut.

c. Harta karun (Chatib: 2012, 87). Berbagai potensi terpendam

merupakan harta karun gurunya yang ada dalam diri siswa, yaitu

kecerdasan majemuk atau dinamakan pula multiple intelligences.

Setiap siswa memiliki variasi potensi kecerdasan masing-masing.

Ada yang punya satu kecerdasan yang dominan, sedangkan yang

lainnya rendah. Ada yang memiliki dua, tiga, bahkan semua

kecerdasannya dominan. Namun, tidak ada manusia yang bodoh,

terutama jika stimulus yang diberikan lingkungan tepat.

69
d. Penyelam (Chatib: 2012, 113). Discovering ability adalah aktivitas

guru untuk menjelajahi kemampuan siswa pada saat hasil tes siswa

di bawah standar ketuntasan. Discovering ability juga dapat

diartikan meminta peserta didik untuk menjawab soal yang sama

dengan cara yang lain. Apabila discovering ability ini tidak berhasil,

maka baru dilakukan remedial test (tes pengulangan). Banyak

sekali guru yang langsung melompat dengan memberikan remedial

test kepada peserta didik dengan nilai dibawah standar tanpa

melalui fase discovering ability. Upaya gurunya manusia saat dia

tak pernah berhenti menelusuri kemampuan siswa dapat dikatakan

sebagai aktivitas discovering ability, yaitu menjelajah kemampuan

siswa meskipun itu sekecil debu.

Senada dengan pemikiran Munif tentang guru, guru dalam Islam

adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak

didik dengan mengupayakan seluruh potensinya, baik potensi kognitif,

afektif maupun psikomotorik. Guru juga berarti orang dewasa yang

bertanggung jawab memberikan pertolongan pada anak didik dalam

perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai tingkat

kedewasaan serta mampu berdiri sendiri dalam memenuhi tugasnya

sebagai hamba Allah dan ia mampu sebagai mahluk sosial dan mahluk

individu yang mandiri (Nurdin: 2004, 156).

Allah berfirman dalam Q.S al-Imran (3): 164, sebagai berikut:

ََْ ُ ُ َ ‫ۡ َ ا‬ َ ۡ َ ۡ ُۡ ََ ُ‫ََ ۡ َ ي ي‬
َّ ‫س ِه ۡم ََّي ۡتلواعل ۡي ِه َّۡم‬
ِ ‫َّر ُسوٗلَّم ِۡنَّأنف‬‫ِيَّإِذ ََّب َعثَّفِي ِهم‬
َّ ‫للَّلَعَّٱلمؤ ِمن‬
َّ ‫لق َّدَّمنَّٱ‬

70
َٰ َ َ َ َُۡ ْ ُ َ َ َ ۡ ۡ َ َ َٰ َ ۡ ُ ُ ُ َ ُ َ ۡ َ ُ َ َٰ َ َ
َّ َّ‫بَّ َّوٱۡل ِكم َّةَِّإَونََّكنواَّمِنَّقبلَّل ِِفَّضل ٖل‬
َّ ‫َّءايت ِ َّهِۦَّويزك ِي ِهمَّويعل ِمهمَّٱلكِت‬

َّ ََّّ١٦٤َّ‫ي‬ ُّ
ٍ ِ ‫مب‬
Artinya:Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang
yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul
dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-
ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan
yang nyata
Dari ayat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Rasulullah selain

Nabi juga sebagai pendidik (guru). Oleh karena itu tugas utama guru

menurut ayat tersebut adalah:

a. Penyucian, yakni pengembangan, pembersihan dan pengangkatan

jiwa kepada pencipta-Nya, menjauhkan diri dari kejahatan dan

menjaga diri agar tetap pada fitrah.

b. Pengajaran, yakni pengalihan berbagai pengetahuan dan akidah

kepada akal dan hati agar merealisasikan dalam tingkah laku

kehidupan.

Jadi tugas guru dalam Islam tidak hanya mengajar dalam kelas,

tetapi juga sebagai norm drager (pembawa norma) agama di tengah-

tengah masyarakat. Jika manusia lahir membawa kebaikan-kebaikan

(fitrah) maka tugas pendidikan harus mengembangkan elemen-elemen

(baik) tersebut yang dibawanya sejak lahir. Dengan begitu apapun yang

diajarkan di sekolah jangan sampai bertentangan dengen prinsip-prinsip

fitrahnya tersebut. Oleh karena itu fitrah harus tetap dikembangkan dan

dilestarikan.

71
3. Orang tuannya manusia dalam pendidikan Islam.

Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak

mereka karena dari merekalah anak mulai menerima pendidikan. Pada

setiap anak terdapat suatu dorongan dan daya untuk meniru. Dengan

dorongan ini anak dapat mengerjakan sesuatu yang dikerjakan oleh

orang tuanya. Oleh karena itu orang tua harus menjadi teladan bagi

anak-anaknya. Apa saja yang didengarnya dan dilihat selalu ditirunya

tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya. Dalam hal ini sangat

diharapkan kewaspadaan serta perhatian yang besar dari orang tua.

Karena masa meniru ini secara tidak langsung turut membentuk karakter

anak.

Oleh karena itu dalam rangka mendukung perkembangan anak agar

menjadi manusia yang berkarakter, sudah seharusnya mendidik dengan

cara orang tuanya manusia, seperti gagasan Munif Chatib. Setiap orang

tuanya manusia seyogyanya selalu memperhatikan fase status setiap

perkembangan anak.

a. Tujuh tahun pertama, anak adalah raja yang usia antara 0-7 tahun

yang mempunyai ruang yaitu bermain (Chatib: 2012, 29). Pada

tahap ini, anak harus diberi kesempatan untuk melakukan eksplorasi

dan kebebasan beraktivitas, orang tua hanya menjaga agar

kebutuhan anak akan kebebasan senantiasa terpenuhi tanpa harus

melupakan keamanan dan keselamatannya. Pada usia 0-7 tahun,

sebagai orang tua, harus melakukan dua tahapan yaitu tahap

72
pemenuhan kebutuhan rasa ingin tahu dan tahap pengalaman belajar

menjadi kebiasaan. Orang tua harus memenuhi tahap pertama,

sedangkan pada tahap kedua, untuk membangun kebiasaan yang

baik dibutuhkan peraturan dan kedisiplinan untuk membangun

karakter positif anak.

b. Tujuh tahun kedua, menjadi pembantu (Chatib: 2012, 49).

Fase kedua, yaitu usia antara 7-14 tahun adalah anak disebut sebagai

pembantu, yang harus dididik dan dibimbing. Orang tua menjadi

tuan dan anak menjadi pembantu, maksudnya adalah masa

penanaman karakter atau akhlak dan masa belajar. Pada masa inilah

terdapat momen puber (akil-balig), yang diibaratkan anak

berhadapan dengan petunjuk arah. Jalan kehidupan yang dipilih

anak setelah masa puber sangat menentukan keberhasilannya di

masa mendatang. Pada masa ini, orang tua punya kewajiban

memberikan pendidikan, pengajaran, dan pengarahan kepada anak-

anaknya yang sudah memasuki usia pra remaja. Jika dalam masa

jenjang sekolah, masa ini berada pada jenjang SD dan awal

memasuki jenjang SMP. Sementara itu, status pembantu diartikan

sebagai masa ketaatan saat menjalani pendidikan atau juga disebut

dengan masa belajar.

c. Tujuh tahun ketiga (Chatib: 2012, 52), menjadi wazir yang

bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya. Wazir adalah jabatan

terhormat, yang biasanya berperan penting dalam kehidupan

73
bernegara. Sebagai wazir, remaja atau pemuda berada pada masa

terbaik untuk menunjukkan kualitas jati dirinya. Terutama menjadi

tempat bergantung orang tua yang secara alami sudah berusia lanjut

dan membutuhkan pendamping untuk bersama-sama menyelesaikan

masalah. Jika di dalam rumah ada anak yang berstatus wazir, tentu

akan sangat membantu, karena anak punya hak dan kewenangan

musyawarah dan bersama menjalankan tugas atau kerjasama.

Tentunya, dalam kehidupan berkeluarga banyak masalah yang

kompleks yang terjadi. Dalam status wazir, anak bisa jadi selalu

membantu untuk mencari jalan keluarnya, selalu memberikan

sumbangsih pikiran dan ikhlas membantu orang tua untuk bersama-

sama menghadapi dinamika masalah dalam keluarga.

Dengan mengetahui fase-fase perkembangan anak maka orang tua

dapat menentukan cara mendidik yang tepat. Sehingga orang tua dapat

membantu anak dalam menemukan bakatnya dan dapat memahami gaya

belajar anak. Dalam Islam pun sangat memperhatikan pendidikan orang

tua terhadap anaknya, sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S at-

Tahrim (66): 6 ;

ُ َ َ ۡ َ ُ ‫ُ ۡ َ ا َُ ُ َ ي‬ ۡ َ َ ۡ ُ َ ُ َ ْ ٓ ُ ْ ُ َ َ َ ‫َ َٰٓ َ ُّ َ ي‬
َّ ‫اسَّ َّوٱۡل ِجارَّة‬
َّ ‫ِينَّءامنواَّقواَّأنفسكمَّوأهل ِيكمَّناراَّوقودهاَّٱنل‬ َّ ‫يأيهاَّٱَّل‬
َ ۡ َ َ ُ َ ۡ َ َ ۡ ُ َ َ َ ٓ َ َ ‫ ي َ ۡ ُ َ ي‬ٞ َ ٞ َ ٌ َ َٰٓ َ َ َ ۡ َ َ
َّ َّ٦َّ‫َّمايُؤ َم ُرون‬ ‫ٱللَّمَّاَّأمرهمَّويفعلون‬
َّ َّ‫عليهاملئِكةَّغَِلظَّشِدادَّٗلَّيعصون‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan


keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak

74
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan
Seperti halnya ayat tersebut, bahwa orang tua mempunyai tanggung

jawab yang besar terhadap anaknya. Untuk mendukung terbentuknya

anak yang berarakter, maka orang tua turut mengambil peran yang

utama. Agar anak dapat berkembang sesuai dengan harapan orang tua

sudah seharusnya mendidik dengan pola asuh yang baik. Pola asuh yang

baik adalah pola asuh yang tidak memaksakan kehendak orang tua,

namun mendidik sesuai dengan potensi yang dimiliki anak.

C. Implikasi Pendidikan Karakter Menurut Munif Chatib dalam

Pendidikan Islam

Bagi Munif bahwa terlalu menekankan pendidikan akademik

(kognitif atau otak kiri) dan mengecilkan pentingnya pendidikan karakter

(kecerdasan emosi atau otak kanan), adalah penyebab utama gagalnya

membangun manusia yang berkualitas. Hal ini dibuktikan dari beberapa

studi yang menunjukkan bahwa keberhasilan manusia dalam dunia kerja

80% ditentukan oleh kualitas karakternya, dan hanya 20% ditentukan oleh

kemampuan akademiknya. Dalam pendidikan Islam juga demikian bahwa

pendidikan karakter meupakan pendidikan akhlak yang merupakan

penyempurna dalam agama Islam. Implikasi yang harus diterapkan agar

terwujudnya pendidikan karakter (Chatib: 2012, 84) antara lain:

1. Sekolah

Membangun sekolah hakikatnya adalah membangun keunggulan

sumber daya manusia. Namun, disadari atau tidak masih banyak sekolah

75
yang justru membunuh banyak potensi peserta didiknya. Oleh karena

itu, sudah seharusnya menjadikan sekolah yang prinsipnya

memanusiakan manusia bukan selayaknya menjadikan sekolah robot

yang sekolah itu adalah menghargai berbagai jenis kecerdasan manusia

sehingga akan terwujud siswa yang berkarakter (Chatib: 2011, 96).

Untuk mewujudkan hal tersebut sekolah sudah seharusnya melakukan,

antara lain:

a. Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid,

yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena

seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan

materi pelajaran yang konkrit, bermakna, serta relevan dalam

konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning,

inquiry-based learning, integrated learning).

b. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conducive learning

community) sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam

suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman,

dan memberikan semangat.

c. Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis,

dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good,

loving the good, and acting the good.

d. Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing

anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan multiple

intellegences.

76
Menghargai kecerdasan anak adalah hal yang wajib dalam

pendidikan Islam hal itu harus diwujudkan oleh sekolah yang

menerapkan pendekatan mutiple intellegences. Memanusiakan manusia

merupakan visi misi utama yang menghargai kondisi siswa tanpa

membeda-bedakan antara satu anak dengan yang lainnya, karena pada

hakikatnya tidak ada anak yang bodoh hanya saja faktor kecerdasan

siswa yang beraneka ragam. Sekolah juga harus menanamkan nilai-nilai

pendidikan karakter misalnya sifat jujur dengan membuat kantin

kejujuran di sekolah.

2. Pendidik atau guru

Guru merupakan pemegang peran yang amat sentral dalam proses

pendidikan. Upaya meningkatkan profesionalisme para pendidik adalah

suatu keniscayaan. Guru harus mendapatkan program-program

pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang

tinggi dan siap melakukan adopsi inovasi. Guru juga harus mendapatkan

tanda jasa, penghargaan dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian

dan jasanya, sehingga setiap inovasi dan pembaruan dalam bidang

pendidikan dapat diterima dan dijalaninya dengan baik (Chatib: 2011,

51). Di sinilah kemudian karakteristik pendidikan guru memiliki

kualitas ketika menyajikan bahan pengajaran kepada subjek didik.

Kualitas seorang guru dapat diukur dari segi moralitas, bijaksana, sabar

dan menguasai bahan pelajaran ketika beradaptasi dengan subjek didik.

Sejumlah faktor itu membuat dirinya mampu menghadapi masalah-

77
masalah sulit, tidak mudah frustasi, depresi atau stress secara positif,

dan tidak destruktif.

Dalam karakter pendidikan guru penting sekali dikembangkan nilai-

nilai etika dan estetika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan,

tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama

dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja

yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Guru harus

berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan

nilai-nilai yang dimaksud serta mendefinisikannya dalam bentuk

perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Yang

terpenting adalah semua komponen sekolah bertanggung jawab

terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-

nilai inti.

Sebagaimana dalam Islam bahwa seorang guru adalah teladan bagi

muridnya sudah saharusnya guru memberikan teladan yang baik,

dengan menjadi guru yang berkarakter Seseorang dapat dikatakan

berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang

dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam

hidupnya. Demikian juga seorang pendidik dikatakan berkarakter, jika

memiliki nilai dan keyakinan yang dilandasi hakikat dan tujuan

pendidikan serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam menjalankan

tugasnya sebagai pendidik. Dengan demikian pendidik yang

berkarakter, berarti telah memiliki kepribadian yang ditinjau dari titik

78
tolak etis atau moral, seperti sifat kejujuran, amanah, keteladanan,

ataupun sifat-sifat lain yang harus melekat pada diri pendidik. Pendidik

yang berkarakter kuat tidak hanya memiliki kemampuan mengajar

dalam arti sempit (transfer pengetahuan/ilmu), melainkan juga harus

memilki kemampuan mendidik dalam arti luas (keteladanan sehari-

hari).

3. Orang tua

Setiap orang tua tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang

berkembang secara sempurna. Mereka menginginkan anak yang

dilahirkannya kelak menjadi orang yang sehat, kuat, berketerampilan,

cerdas, pandai, dan beriman. Bagi orang Islam, beriman itu adalah yakin

kepada Tuhannya dan berkepribadian secara Islami. Untuk mencapai

tujuan itu, orang tualah yang mejadi pendidik utama dan bertanggung

jawab atas pola asuh terhadap anaknya.

Pola asuh yang baik adalah orang tua yang harus mengetahui fase-

fase perkembangan anaknya sehingga orangtua dapat mendidik anaknya

sesuai dengan usianya. Adapun usia anak ada beberapa fase yaitu

(Chatib: 2012, 29):

a. Pada saat anak berusia 0-7 tahun anak harus diberi kesempatan

untuk melakukan eksplorasi dan kebebasan beraktivitas. Pada fase

ini ada dua tahap penting yaitu tahap pemenuhan kebutuhan rasa

ingin tahu dan tahap pengalaman belajar dalam kebiasaan. Orang

tua harus memenuhi tahap pertama, sedangkan pada tahap kedua,

79
untuk membangun kebiasaan yang baik dibutuhkan peraturan dan

kedisiplinan uuntuk membangun karakter postif anak.

b. Selanjutnya pada saat anak berusia tujuh tahun kedua, orang tua

punya kewajiban memberikan pendidikan, pengajaran, dan

pengarahan kepada anak-anaknya yang sudah memasuki usia pra

remaja. Pada fase ini adalah masa penanaman karakter atau akhlak

dan masa belajar. Pada masa inilah, saat terbaik untuk mengajarkan

perilaku yang baik dan yang buruk kepada anak, mengenakan

peraturan dan adab, melatih kedisiplinan serta tanggung jawab.

c. Kemudian pada saat anak berada pada tujuh tahun ketiga

merupakan masa anak dewasa (pemuda/pemudi). Pada masa ini

adalah masa yang paling penting untuk menunjukkan eksistensi dan

nilai manfaat sebagai manusia yang berkualitas. Kehadiran orang

tua adalah untuk menasehati dan memberikan arahan agar anak

sesuai dalam norma dan etika sehingga tidak terjadi perilaku yang

menyimpang.

Dalam Islam sudah menjadi kewajiban bahwa orang tua harus

memenuhi kebutuhan anaknya dan mendidik anaknya dengan

membiasakan berperilaku positif. Membimbing dan memberikan

arahan agar sesuai dengan syariat Islam. Hal ini dilakukan agar

terhindar dari perilaku negatif seperti halnya hedonisme yang berusaha

mencari kesenangan pribadi tanpa mempertimbangkan aspek yang lain,

misalnya harta yang dimiliki seseungguhnya dalam Islam bukan

80
sepenuhnya milik pribadi tetapi ada sebagian harta yang harus

disedekahkan kepada orang lain, tetapi dia lebih memilih menggunakan

hartanya untuk memenuhi nafsu dunianya. Oleh karena itu orang tua

sudah seharusnya memberi benteng melalui pendidikan karakter agar

anak terhindar dari perilaku negatif terlebih gaya hidup hedonisme.

81
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Menurut Munif Chatib pendidikan karakter adalah suatu istilah yang

luas yang digunakan untuk menggambarkan kurikulum dan ciri-ciri

organisasi sekolah yang mendorong pengembangan nilai-nilai

fundamental anak-anak di sekolah. Dikatakan istilah yang luas karena

mencakup berbagai sub komponen yang menjadi bagian dari progam

pendidikan karakter seperti pembelajaran dan kurikulum tentang

keterampilan-keterampilan sosial, pengembangan moral, pendidikan

nilai, dan berbagai progam yang mengarah pada pendidikan karakter.

2. Cara pendidikan karakter dalam menanggulangi hedonisme menurut

Munif adalah melalui proses pendidikan pada sekolah, guru, dan orang

tua. Ketiga proses pendidikan karakter tersebut berlandaskan

memanusiakan manusia, yang berusaha menggali potensi anak, dan

menghargai apapun kemampuan anak. Apabila salah satunya tidak

terlaksana dengan baik, maka tujuan pendidikan karakter tidak akan

tercapai. Dengan demikian, rumah dan sekolah harus menjadi institusi

pengembang bakat dan minat anak, hingga akhirnya dia menemukan

kondisi terbaiknya. Jika hal itu terlaksana maka menjadikan anak yang

berkarakter bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.

82
3. Relevansi pemikiran Munif Chatib dalam pendidikan Islam yaitu

mengemban misi utama memanusiakan manusia. Islam menjelaskan

bahwa kita harus menghargai fitrah manusia, demikian juga dengan

pendidikan karakternya Munif melalui pendekatan multiple

intellegences, yang memandang tidak ada anak yang bodoh, pada

hakikatnya setiap manusia pasti mempunyai kemampuan kecerdasan

diantara kecerdasan majemuk tersebut, yang masing-masing kecerdasan

mempunyai spesifikasi tertentu. Adapun implikasinya dalam

pendidikan Islam bahwa dengan mengembangkan pendidikan karakter

melalui multiple intellegences, khususnya untuk menanggulangi gaya

hidup hedonisme dengan mengembangkan kecerdasan interpersonal,

kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan eksistensial. Untuk

mewujudkan hal tersebut sekolah, guru, dan orang tua harus bersinergi

dalam mengembangkan pendidikan karakter melalui pendekatan

multiple intellegnces.

B. Saran

Setelah memaparkan dan menarik kesimpulan, ada beberapa saran yang

penulis berikan. Diantaranya:

1. Mencantumkan pendidikan karakter sebagai kurikulum pembelajaran

pada lembaga pendidikan terutama di perguruan tinggi Islam. Sebagai

sarana pemanusiaan, lembaga pendidikan yang menjadi wadah untuk

pengembangan diri manusia memberi pengaruh besar terhadap

perkembangan individu salah satunya perkembangan berperilaku.

83
2. Menerapkan pendekatan multiple intellegences dalam proses

pendidikan yang pada dasarnya menghargai setiap kecerdasan yang

dimilki siswa. Hal ini bertujuan memanusiakan manusia dan mengubah

pola pikir bahwa kecerdasan tidak hanya dinilai dari aspek kognitif

namun aspek afektif dan psikomotorik juga merupakan salah satu dari

kecerdasan peserta didik. Sehingga peserta didik akan berkembang

sesuai dengan kemampuannya yang nantinya dapat membawa pada

manusia yang berkarakter dan punya potensi.

3. Melakukan telaah kritis dengan interpretasi ulang agar pendidikan

karakter tidak hanya menjadi sekedar wacana namun benar-benar

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendidikan karakter

akan berdampak pula dengan keberlangsungan hidup manusia, baik

sebagai pendidik di lembaga pendidikan, dalam keluarga maupun

masyarakat. Karena ketika seseorang hanya mempunyai ilmu tanpa

karakter maka sisi kemanusiaan akan hilang.

4. Lembaga pendidikan semestinya memberi tambahan pengetahuan

tentang ilmu nilai dan etika termasuk di dalamnya tentang gaya hidup

hedonisme kepada siswa melalui kajian atau seminar pendidikan agar

mereka tidak kehilangan jati dirinya. Hal ini juga sebagai salah satu

pencegahan terkikisnya moral generasi penerus yang seharusnya

menjadi agen perubahan ke arah positif.

84
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Rianto. 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.
Arifin, Zaenal. 2013. Membangun Sekolahnya Manusia yang Berbasis Multiple
Intellegences. Jurnal Kependidikan. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga (Suka Press).
Bagus. Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Bertens, K. 2013. Etika. Yogyakarta: PT Kanisius.
Chatib, Munif. 2011. Gurunya Manusia. Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka.
___________. 2012. Orangtuanya Manusia. Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka.
___________. 2011. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka.
___________ dan Irma Nurul Fatimah. 2013. Kelasnya Manusia. Bandung: Kaifa
PT Mizan Pustaka.
Departemen Pendidikan Nasional. 2010. Pendidikan Karakter Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Direktori Jenderal Manajemen Pendidikan dan Menengah
Kementrian Pendidikan Nasional.
Dhahara. Tahzidulum. 1985. Researh Theory, Metodologi Administrasi. Jakarta:
Bina Aksara
Graham, Gordon. 2015. Terj: Irfan M Zakkie. Teori-Teori Etika. Bandung: Nusa
Media
Instititut Agama Islam Negeri Salatiga. 2016. Pedoman Penulisan Skripsi dan
Tugas Akhir. Salatiga.
Khan, Yahya. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri: Mendongkrak
Kualitas Pendidikan. Yogyakarta: Pelangi Publishing.
Khasanah, Ni’matul. 2014. Manajemen Guru Model Guardian Angel Menurut
Munif Chatib. Jurnal Kependidikan. Vol. II. No. 2: 85-108.
Lickona, Thomas. 2014. Terj: Lita S. Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap
Mendidik Siswa Menjadi Baik dan Pintar. Bandung: Nusa Media.
Muslich, Mansur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara
Napel, Henk Ten. 2009. Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Nugraheni, P.N.A. 2003. Perbedaan Kecenderungan Gaya Hidup Hedonis Pada
Remaja Ditinjau dari Lokasi Tempat Tinggal. Skripsi (tidak diterbitkan).
Surakarta : Fakultas Psikologi UMS.
Nurdin, Muhammad. 2004. Kiat Menjadi Guru Profesional. Yogyakarta:
Primashopie
Purnama, Sigit. 2016. Materi-Materi Pilihan dalam Parenting Education Menurut
Munif Chatib. Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak. Vol. I.
No. 1: 1-16.
Raharjo, W dan Silalahi Y.B. 2007. Perilaku Hedonis pada Pria Metroseksual
Serta Pendekatan dan Strategi yang Digunakan untuk Mempengaruhinya.
Jakarta: Universitas Gunadarma.
Rofiah, Nurul Hidayati. 2016. Menerapkan Multiple Intelligences Dalam
Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jurnal Dinamika Pendidikan Dasar. Vol.
VIII No. 1: 68-79.
Samani, Muchlas, dan Hariyanto. 2014. Konsep dan Model Pendidikan Karakter.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Taubah, Mufatihatut. 2015. Pendidikan Anak Dalam Keluarga Perspektif Islam.
Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol. III No. 1: 110-136.
Trimartati, Novita. 2014. Studi Kasus Tentang Gaya Hidup Hedonisme
Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Ahmad Dahlan.
Psikopedagogia. Vol. III No.1: 20-28.
Tuloli, Jasin dan Dian Ekawati Ismail. 2016. Pendidikan Karakter: Menjadikan
Manusia Berkarakter Unggul. Yogyakarta: UII Press
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter Usia Dini: Strategi Membangun
Karakter di Usia Emas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yaumi, Muhammad. 2016. Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar, dan
Implementasi. Jakarta: Prenadamedia.
Yaumi, Muhammad dan Nurdin Ibrahim. 2013. Pembelajaran Berbasis
Kecerdasan Jamak (Multiple Intellegences): Mengidentifikasi dan
Mengembangkan Multitalenta Anak. Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group.
Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karater: Dalam Perspektif Teori dan
Praktik. Yogyakarta: UNY Press.

Anda mungkin juga menyukai