NIM : 170610057
Tutor : dr. Rizka Sofia, MKT
LO 1. GANGGUAN NUTRISI
a. Malnutrisi Energi dan Protein
KEP (Kurang Energi Protein) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting di Indonesia
maupun di negara yang sedang berkembang lainnya. Prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak balita, ibu yang
sedang mengandung dan menyusui. Penderita KEP memiliki berbagai macam keadaan patologis yang disebabkan
oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam. Akibat kekurangan tersebut
timbul keadaan KEP pada derajat yang ringan sampai yang berat
Menurut Kemenkes RI, klasifikasi KEP didasarkan pada indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi
badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan indeks masa tubuh berdasarkan
umur (IMT/U). Kategori dan ambang batas status gizi anak adalah sebagaimana yang terdapat pada tabel dibawah
ini:
Etiologi
Faktor penyebab yang dapat menimbulkan kekurangan energi protein yaitu:
a. Sosial ekonomi yang rendah.
b. Sukar atau mahalnya makanan yang baik.
c. Kurangnya pengertian orang tua mengenai gizi.
d. Kurangnya faktor infeksi pada anak (misal: diare).
e. Kepercayaan dan kebiasaan yang salah terhadap makanan (missal: tidak makan daging atau telur disaat
luka).
Patofisiologi
Adapun energi dan protein yang diperoleh dari makanan kurang, padahal untuk kelangsungan hidup
jaringan, tubuh memerlukan energi yang didapat,dipengaruhi oleh makanan yang diberikan sehingga harus
didapat dari tubuh sendiri, sehingga cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi
tersebut.
Kekurangan energi protein dalam makanan yang dikonsumsi akan menimbulkan kekurangan berbagai
asam amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis, oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat,
maka produksi insulin akan meningkat dan sebagai asam amino di dalam serum yang jumlahnya sudah
kurang tersebut akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebab
kurangnya pembentukan alkomin oleh hepar, sehingga kemudian timbul edema perlemahan hati terjadi
karena gangguan pembentukan lipo protein beta sehingga transport lemak dari hati ke hati dapat lemak juga
terganggu dan akibatnya terjadi akumuasi lemak dalam hepar.
Manifestasi Klinis
Pertumbuhan terganggu meliputi berat badan dan tinggi badan.
Perubahan mental berupa cengeng dan apatis.
Adanya cederm ringan atau berat karena penurunan protein plasma.
Jaringan lemak dibawah kulit menghilang, kulit keriput dan tanus otot menurun
Kulit bersisik
Anemia
Carzy pavemen permatosisis (bercak-bercak putih dan merah muda dengan tepi hitam).
Pembesaran hati
Penatalaksanaan
a. Bila ada dehidrasi, atasi dulu
b. Pemberiaan diit TKTP 1.200 kal/hari.
c. Vitamin A 100.000 – 200.000 K1 1 M 1 kali,Vitamin B kompleks, C, AD tetes personal.
d. Bila perlu beri transfuse sel darah merah padat atau plasma.
e. Kontrol poliklinik gizi anak.
b. Defisiensi Vitamin dan Mineral
Vitamin larut Lemak
B12 pembelahan sel kekurangan darah kurang darah atau anemia, gampang
yang berlangsung (anemia), yang capek/lelah/lesu/lemes/lemas,
dengan cepat. sebenarnya penyakit pada kulit, dan sebagainya
memelihara disebabkan oleh
lapisan yang kekurangan folat.
mengelilingi dan sel-sel darah merah
melindungi serat menjadi belum
syaraf dan matang (immature),
mendorong hipersensitif pada
pertumbuhan kulit.
normalnya.
metabolisme sel-
sel tulang
Mikromineral
Makromineral
K
(kalium Pertumbuhan lambat Rakitis
) tungkai tidak tegap
kelemahan otot
diare
perut menegang
emasiasi (tonus hilang) dan
hipertropi jantung dan ginjal
Mg Otot pengkor Grass tetany
pernapasan cepat dan temperatur
tinggi.
LO 2. GANGGUAN METABOLIK
Gigantisme & Akromegali
Definisi
Gigantisme adalah pertumbuhan abnormal, terutama dalam tinggi badan yang disebabkan oleh karena
sekresi Growth Hormone (GH) yang berlebihan dan terjadi sebelum dewasa atau sebelum proses penutupan
epifisis.
Akromegali berasal dari bahasa Yunani, akros yang berarti ekstremitas, dan megas, yang berarti besar.
Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang ditandai oleh pertumbuhan tulang ekstremitas, muka, rahang,
dan jaringan lunak secara berlebihan dan kelainan metabolik sekunder akibat hipersekresi hormone
pertumbuhan yang berlebihan sesudah terjadi penutupan lempeng epifiseal.
Perbedaan antara akromegali dan gigantisme adalah akromegali timbul apabila hipersekresi Growth
Hormone terjadi pada masa dewasa dan mengenai pertumbuhan jaringan lunak dan struktur tulang, misalnya
hidung, bibir, rahang, dahi, tangan , dan kaki, karena pertumbuhan atau pembesaran berlangsung secara
progresif. Sedangkan gigantisme terjadi pada masa kanak-kanak dan masa pubertas sebelum lapisan epifisis
menutup, sehingga pertumbuhan tulang proporsional.
Etiologi
Gigantisme disebabkan oleh sekresi Growth Hormone yang berlebihan pada masa kanak-kanak sebelum
tertutupnya lempeng epifisis. Penyakit, kelainan, dan kondisi yang menyebabkan kelebihan sekresi Growth
Hormone adalah:
a. Tumor jinak pada kelenjar hipofisis : Tumor ini menekan kelenjar hipofisis dan menyebabkan sekresi
Growth Hormone yang berlebih. Inilah penyebab utama gigantisme.
b. Carney Complex : mutasi gen yang jarang ditemukan, dapat menyebabkan risiko tinggi tumor,
termasuk hipofisis adenoma.
c. Multiple endocrine neoplasia type 1 : Kelainan yang diturunkan yang dapat menyebabkan tumor di
kelenjar endokrin dan menyekresikan hormon secara hiperaktif, teemasuk Growth Hormone.
d. Neurofibromatosis : Kelainan genetis yang dapat menyebabkan tumor.
Sedangkan akromegali disebabkan oleh sekresi Growth Hormone berlebih oleh kelenjar hipofisis.
Sekresi yang berlebih ini menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases
(NIDDK), 95 % disebabkan karena adanya hipofisis adenoma, yaitu tumor jinak di kelenjar hipofisis.
Tumor di luar kelenjar hipofisis juga dapat menyebabkan akromegali, namun hal ini jarang ditemukan.
Manifestasi Klinis
Klien dengan gigantisme dapat memiliki manifestasi klinis sebagai berikut.
a. Berperawakan tinggi lebih dari 2 meter, dengan proporsi tubuh yang normal. Hal ini terjadi karena
jaringan lunak seperti otot tetap tumbuh.
b. Memiliki gangguan penglihatan, seperti diplopia atau penglihatan ganda apabila tumor pada kelenjar
hipofisis menekan chiasma opticum yang merupakan jalur saraf mata.
c. Hiperhidrosis adalah keadaaan dimana terjadi pengeluaran keringat yang berlebih
d. Jadwal menstruasi yang tidak teratur pada usia remaja.
e. Rahang yang membesar, tulang dahi yang menonjol, dan penampakan wajah yang kasar.
f. Kelemahan dan sensasi kesemutan di lengan dan kaki akibat perbesaran jaringan dan saraf yang
tertekan
g. Sakit kepala akibat tekanan dari tumor yang menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial
h. Galacthorrea, atau keluarnya air susu secara spontan saat kanak- kanak.
i. . Endocrinopathies (misalnya, hipogonadisme, diabetes dan / atau toleransi glukosa,
hiperprolaktinemia)\
j. Ditemukan juga manifestasi klinis sesuai dengan pembesaran tumor, yaitu:
1. Pembesaran keatas (Superior) : Sakit kepala & Gangguan penglihatan
2. Pembesaran ke lateral : Kelumpuhan saraf ( saraf III, IV, V, dan VI), Penyumbatan pembuluh darah
(sinus kavenosus), DAN Kejang (temporal lobe seizures)
3. Pertumbuhan ke inferior (dasar sella), menimbulkan CSF Rinorea
4. Pertumbuhan ke anterior, menyebabkan perubahan kepribadian
Manifestasi klinis akromegali dapat muncul selama 5-10 tahun menyebabkan terdapatnya rentang
waktu yang lama antara diagnosis dan waktu awal terjadinya penyakit. Pada hampir 70% kasus saat
diagnosis akromegali ditegakkan, ukuran tumor telah mencapai >10 mm (makro adenoma) . Manifestasi
klinis akromegali yaitu sebagai berikut.
a. Perubahan pada bentuk wajah: hidung, bibir, dahi, rahang, serta lipatan kulit menjadi besar dan kasar
secara progresif. Rahang bawah menjadi besar dan menonjol ke depan sehingga gigi renggang.
Jaringan lunak juga tumbuh sehingga wajah nampak seperti edema.
b. Tangan dan kaki yang membesar secara progresif.
c. Lidah, kelenjar ludah, limpa, jantung, ginjal, hepar, dan organ lainnya juga membesar.
d. Gangguan toleransi glukosa bisa berkembang hingga diabetes mellitus.
e. Gangguan metabolisme lemak dengan akibat hiperlipidemia.
f. Rambut di tubuh menjadi kasar
g. Warna kulit menggelap
h. Hiperhidrasi dan bau badan
i. Suara menjadi lebih dalam
j. Tulang rusuk menjadi lebih tebal, menunjukkan adanya barrel chest
k. Nyeri pada persendian
l. Snoring
m. Sakit kepala
n. Impoten pada pasien akromegali laki-laki, apabila tumor menggeser sel penyekresi gonadotropin di
hipofisis anterior.
o. Penyakit kardiovaskuler mencakup hipertensi, LVH dan kardiomiopati. Kardiomiopati ditandai oleh
disfungsi diastolik dan aritmia.
Patofisiologi
Gigantisme dapat terjadi bila keadaan kelebihan Growth Hormone terjadi sebelum lempeng
epifisis tulang menutup atau masih dalam masa pertumbuhan. Penyebab kelebihan produksi Growth
Hormone terutama adalah tumor pada sel-sel somatrotop yang menghasilkan Growth Hormone. Neoplasma
penghasil GH, termasuk tumor yang menghasilkan campuran GH dan hormon lain, misalnya prolaktin
merupakan tipe adenoma hipofisis fungsional kedua tersering.
Sekitar 40% adenoma sel somatotrof memperlihatkan mutasi mutasi pengaktifan pada gen GNAS1 di
kromosom 20q13, yang mengkode sebuah subunit α protein G heterodimerik stimulatorik yang dikenal sebagai
G . Protein G berperan penting dalam transduksi sinyal , dan pengaktifan protein G dikaitkan dengan
peningkatan enzim intrasel adenil-siklase dan produknya, adenosine monofosfat siklik (cAMP). AMP siklik
bekerja sebagai stimulant mitogenik kuat bagi somatotrof hipofisis.
Jika adenoma penghasil GH terjadi sebelum epifisis menutup, seperti pada anak prapubertas menutup,
seperti pada anak prapubertas, kadar GH yang berkelibahan menyebabkan gigantisme. Hal ini ditandai dengan
peningkatan umum ukuran tubuh serta lengan dan tungkai yang memanjang berlebihan. Jika peningkatan kadar
GH, atau terdapat setelah penutupan epifisis, pasien mengalami akromegali, yang pertumbuhannya terutama
terjadi pada jaringan lunak, kulit, dan visera, serta pada tulang wajah, tangan, dan kaki.
Sekresi GH oleh sel-sel somatotrop hipofisis anterior dikendalikan oleh 2 faktor dari hipotalamus, yaitu :
1. GHRH, yang merangsang sekresi GH
2. Somatostatin yang menghambat sekresi GH.
Lebih dari 95% kasus akromegali disebabkan oleh adenoma hipofisis yang menghasilkan GH secara
berlebihan. Pada saat diagnosis ditegakkan, 75% pasien akromegali menunjukkan adanya makroadenoma
(diameter tumor > 1 cm) dan sebagiannya telah meluas ke daerah paraselar dan supraselar. Amat jarang
akromegali disebabkan oleh GH/GHRH ektopik yang diproduksi oleh tumor-tumor ganas. Peningkatan kadar
GH dalam darah pada penderita akromegali semata-mata akibat produksi GH yang berlebihan, bukan akibat
gangguan distribusi atau klirens GH.
Efek patologis dari kelebihan GH antara lain pertumbuhan berlebihan di daerah acral (macrognathia,
pembesaran struktur tulang muka, pembesaran tangan dan kaki, pertumbuhan berlebihan alat-alat viseral,
(seperti makroglosia, pembesaran otot jantung, thyroid, hati, ginjal), antagonisme insulin, retensi nitrogen dan
peningkatan risiko polip / tumor kolon.
Melihat besarnya tumor, adenoma hipofisis dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yakni; mikroadenoma
dengan diameter lebih kecil dari 10 mm dan makroadenoma kalau diameternya lebih dari 10 mm.
Adenoma hipofisis merupakan penyebab yang paling sering. Tumor pada umumnya dijumpai di sayap
lateral sella tursica. Kadang – kadang tumor ektopik dapat pula dijumpai di garis rathke’s pouch yaitu di sinus
sfenoidalis, dan di daerah parafarings.
Kadar GH mempunyai korelasi dengan besarnya tumor pada saat diagnosis ditegakkan. Kebanyakan
(75%) kasus adenoma somatotrofik berupa makroadenoma, di antaranya 70% dengan ukuran kurang dari 20
mm.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan akromegali dan gigantisme ditekankan pada pengembalian fungsi hormon
pertumbuhan pada kondisi yang normal dan mengembalikan fungsi normal hipofisis. Terapi hiperekskresi
growth hormone dapat dilakukan dengan cara:
1. Eksisi Tumor
Eksisi tumor dilakukan untuk mengangkat tumor pada hipofisis yang mengekskresikan hormon
pertumbuhan
2. Radiasi
Eksisi paling umum yakni bedah trans-sfenoidal yang dapat memberikan respon cepat, yaitu
membuang jaringan hiperekskresi. Radiasi hipofisis yang besar yang tidak seluruh tumor bisa
diangkat. Delapan puluh persen dari pasien dengan akromegali dapat disembuhkan dengan radiasi.
Selain mual dan muntah, efek samping radiasi yang paling sering ditemukan adalah hipopitutarisme.
3. Medikamentosa
Selain pembedahan dan radiasi, terapi medikamentosa pada akromegali terdiri atas tiga golongan,
yakni agonis dopamin, analog somatostatin dan antagonis reseptor hormon pertumbuhan.
a. Agonis Dopamin
Terdiri dari bromokriptin dan cabergoline. Pasien yang menolak menggunakan tindakan
operasi dapat memilih tindakan medikamentosa. Bromokriptin dapat menurunkan kadar growth
hormone dalam 60 sampai 80 persen pasien, tetapi hanya pada sekitar 40% kadarnya menjadi
normal.
b. Analog Somatostatin
Bekerja menyerupai hormon somatostatin yakni menghambat sekresi growth hormone. Obat
ini memiliki kemampuan 70% dalam menormalisasi GH. Selain itu analog somatostatin juga
dapat mengecilkan ukuran tumor (80%), perbaikan fungsi jantung, tekanan darah, serta profil
lipid.
c. Antagonis Reseptor
Dapat digunakan dalam kasus akromegali yang tidak dapat dikontrol dengan terapi
pembedahan, penggunaan obat agonis dopamin dan analog somatostatin.
LO 3. GANGGUAN ENDOKRIN
a. Addison Disease
Definisi
Penyakit Addison disebut juga dengan insufisiensi adrenal yaitu kelainan endokrin atau hormonal yang
terjadi apabila kelenjar adrenal tidak dapat menghasilkan hormon tertentu dengan cukup.
Epidemiologi
Penyakit Adison merupakan penyakit yang jarang terjadi di dunia. Di Amerika Serikat tercatat 0,4 per
100.000 populasi. Frekuensi pada laki-laki dan wanita hampir sama. laki-laki 56% dan wanita 44%
penyakit Addison dapat dijumpai pada semua umur, tetapi lebih banyak terdapat pada umur 30 – 50
tahun. 50% pasien dengan penyakit addison, kerusakan korteks adrenalnya merupakan manifestasi dari
proses autoimun. Di Amerika Serikat, penyakit addison terjadi pada 40-60 kasus per satu juta penduduk.
Secara global, penyakit addison jarang terjadi. Bahkan hanya negara-negara tertentu yang memiliki data
prevalensi dari penyakit ini. Prevalensi di Inggris Raya adalah 39 kasus per satu juta populasi dan di
Denmark mencapai 60 kasus per satu juta populasi.
Mortalitas/morbiditas terkait dengan penyakit addison biasanya karena kegagalan atau keterlambatan
dalam penegakkan diagnosis atau kegagalan untuk melakukan terapi pengganti glukokortikoid dan
mineralokortikoid yang adekuat. Jika tidak tertangani dengan cepat, krisis addison akut dapat
mengakibatkan kematian. Ini mungkin terprovokasi baik secara de novo, seperti oleh perdarahan kelenjar
adrenal, maupun keadaan yang menjadi penyerta pada insufisiensi adenokortikal kronis atau yang tidak
terobati secara adekuat.
Dengan onset lambat penyakit addison kronik, kadar yang rendah signifikan, non spesifik, tapi
melemahkan, maka gejala dapat terjadi. Bahkan setelah diagnosis dan terapi, risiko kematian lebih dari 2
kali lipat lebih tinggi dengan penyakit addison. Penyakit kardiovaskuler, keganasan dan penyakit infeksi
bertanggung jawab atas tingginya angka kematian. Penyakit addison predileksinya tidak berkaitan dengan
ras tertentu. Sedangkan penyakit addison idiopatik autoimun cenderung lebih sering pada wanita dan
anak-anak.
Usia paling sering pada penderita addison disease adalah orang dewasa antara 30-50 tahun. Tapi,
penyakit ini tidak dapat timbul lebih awal pada pasien dengan sindroma polyglanduler autoimun,
congenital adrenal hyperplasia (CAH), atau jika onset karena kelainan metabolisme rantai panjang asam
lemak.
Patofisiologi
Hipofungsi adrenokortikal menghasilkan penurunan level mineralokortikoid (aldosteron),
glukokortikoid (cortisol), dan androgen. Penurunan aldosteron menyebabkan kebanyakan cairan dan
ketidakseimbangan elektrolit. Secara normal, aldosteron mendorong penyerapan Sodium (Na+) dan
mengeluarkan potassium (K+). Penurunan aldosteron menyebabkan peningkatan ekskresi sodium,
sehingga hasil dari rantai dari peristiwa tersebut antara lain: ekskresi air meningkat, volume ekstraseluler
menjadi habis (dehidrasi), hipotensi, penurunan kardiak output, dan jantung menjadi mengecil sebagai
hasil berkurangnya beban kerja. Akhirnya, hipotensi menjadi memberat dan aktivitas kardiovaskular
melemah, mengawali kolaps sirkulasi, shock, dan kematian. Meskipun tubuh mengeluarkan sodium
berlebih, ini mempertahankan kelebihan potassium. Level potassium lebih dari 7 mEq/L hasil pada
aritmia, memungkinkan terjadinya kardiak arrest.
Penurunan glukokortikoid menyebabkan meluasnya gangguan metabolic. Ingat bahwa
glukokortikoid memicu glukoneogenesis dan memiliki efek anti-insulin. Sehingga, ketika glukokortikoid
menurun, glukoneogenesis menurun, sehingga hasilnya hipoglikemia dan penurunan glikogen hati. Klien
menjadi lemah, lelah, anorexia, penurunan BB, mual, dan muntah. Gangguan emosional dapat terjadi,
mulai dari gejala neurosis ringan hingga depresi berat. Di samping itu, penurunan glukokortikoid
mengurangi resistensi terhadap stress. Pembedahan, kehamilan, luka, infeksi, atau kehilangan garam
karena diaphoresis berlebih dapat menyebabkan krisi Addison (insufisiensi adrenal akut). Akhirnya,
penurunan kortisol menghasilkan kegagalan untuk menghambat sekresi ACTH dari pituitary anterior.
Melanosit Stimulating Hormone (MSH) menstimulasi melanosit epidermal, yang menghasilkan
melanin, pigmen warna gelap. Penurunan sekresi ACTH menyebabkan peningkatan pigmentasi kulit dan
membrane mukosa. Sehingga pasien dengan penyakit Addison memiliki peningkatan level ACTH dan
warna keperakan atau kecokelatan pun muncul. Defisiensi androgen gagal untuk menghasilkan beberapa
macam gejala pada laki-laki karena testes menyuplai adekuat jumlah hormone seksual. Namun, pada
perempuan tergantung pada korteks adrenal untuk mensekresi androgen secara adekuat. Hormon-hormon
tersebut disekresi oleh korteks adrenal yang penting bagi kehidupan. Orang dengan penyakit Addison
yang tidak diobati akan berakhir fatal.
Penyakit addison, atau insufisiensi adrenokortikal, terjadi bila fungsi korteks adrenal tidak adekuat
untuk memenuhi kebutuhan pasien akan hormon-hormon korteks adrenal. Atrofi otoimun atau idiopatik
pada kelenjar adrenal merupakan penyebab pada 75% kasus penyakit Addison.Penyebab lainnya
mencakup operasi pengangkatan kedua kelenjar adrenal atau infeksi pada kedua kelenjar tersebut.
Tuberkolosis(TB) dan histoplamosis merupakan infeksi yang paling sering ditemukan dan menyebabkan
kerusakan pada kedua kelenjar adrenal. Meskipun kerusakan adrenal akibat proses otoimun telah
menggantikan tuberkolosis sebagai penyebab penyakit Addison, namun peningkatan insidens tuberkolosis
yang terjadi akhir-akhir ini harus mempertimbangkan pencantuman penyakit infeksi ini ke dalam daftar
diagnosis. Sekresi ACTH yang tidak adekuat dari kelenjar hipopisis juga akan menimbulkan insufiensi
adrenal akibat penurunan stimulasi korteks adrenal.
Gejala Addison dapat pula terjadi akibat penghentian mendadak terapi hormon adrenokortikal yang
akan menekan respon normal tubuh terhadap keadaan stres dan mengganggu mekanisme umpan balik
normal. Terapi dengan pemberian kortikosteroid setiap hari selama 2 hingga 4 minggu dapat menekan
fungsi korteks adrenal, oleh sebab itu kemungkinan penyakit Addison harus diantifasi pada pasien yang
mendapat pengobatan kostikosteroid.
Manifestasi Klinis
Penderita biasanya merasa lemah, lelah, dan pusing terutama jika berdiri sesudah duduk atau
berbaring. Gejala penyakit Addison mungkin berkembang secra perlahan-lahan dan tak kentara biasanya
dalam waktu beberapa bulan.
Gejala penyakit Addison kadang dapat terjadi secara tiba-tiba dan berat. Kondisi ini diseut krisis
Addisonian meliputi: rasa nyeri menusuk pada punggung bagian bawah, perut, atau kaki yang tiba-tiba,
muntah-muntah dan diare hebat, dehidrasi, tekanan darah yang rendah, kadar kalium yang tinggi
(hiperkalemia), dan hilangnya kesadaran. Jika krisis Addisonian tidak ditanggani, maka dapat berakibat
fatal.
Pada penyakit Addison, kelenjar hipofise menghasilkan lebih banyak kortikotropin sebagai usaha
untuk merangsang pembentukan hormon-hormon oleh kelenjar adrenal. Namun kortikotropin juga
merangsang produksi melanin, sehingga pada kulit dan mukosa penderita sering terbentuk pigmentasi
yang gelap (hiperpigmentasi). Kulit yang lebih gelap mungkin nampak seperti akibat sinar matahari.
Tetapi terdapat area yang tidak merata. Hiperpigmentai paling jelas terlihat pada jaringan parut kulit,
lipatan-lipatan kulit, tempat-tempat yang sering mendapat penekanan, seperti siku, lutut, ibu jari, bibir,
dan membran mukosa.
Diagnosis
Evaluasi pasien dengan penyakit Addison yang diduga melibatkan diagnosis insufisiensi adrenal dan
kemudian identifikasi defek pada hipotalamus-hipofisis axis. Penyakit Addison adalah insufisiensi adrenal
primer dengan defek pada glandula adrenal. Setelah insufisiensi adrenal diidentifikasi, etiologi dari
insufisiensi adrenal harus di temukan. Awalnya, elektrolit serum harus diperiksa tetapi tingkat kalium
normal tidak menyingkirkan penyakit Addison. Akibat aldosteron tidak ada, inbalance elektrolit seperti
hiponatremia, dengan klorida rendah dan hiperkalemia sering dijumpai. Hiponatremia adalah yang paling
sering terjadi pada 90% pasien. Hyperkalemia ditemukan pada 60-70% pasien. Hypercalcemia jarang
terjadi dan ditemukan pada sekitar 5-10% pasien.
Tes awal untuk insufisiensi adrenal adalah pengukuran kadar kortisol serum dari sampel darah yang
diperoleh di pagi hari, meskipun beberapa lebih memilih untuk memeriksa tingkat kortikotropin. Ini
merupakan tes skrining sensitif. Karena variasi dalam tingkat kortisol karena ritme sirkadian, darah harus
diambil ketika tingkat tertinggi, biasanya 6:00-8:00 Pagi. Pada pagi hari kadar kortisol lebih besar dari 19
mcg / dL (referensi kisaran, 5-25 mcg / dL) dianggap normal, dan tidak ada pemeriksaan lebih lanjut
diperlukan. Nilai kurang dari 3 mcg / dL adalah diagnostik penyakit Addison. Nilai dalam kisaran 3-19
mcg / dL yang tak tentu, dan pemeriksaan lebih lanjut diperlukan. Hipotalamus-hipofisis axis dapat
dievaluasi dengan menggunakan 3 tes: dengan rangsangan kortikotropin (Cortrosyn), uji toleransi insulin,
dan tes metyrapone. Sintetis adrenocorticotropin 124 dengan dosis 250 mcg bekerja sebagai uji dinamis.
Peningkatan kadar renin dan adrenocorticotropin memverifikasi keberadaan penyakit. Cortrosyn adalah
kortikotropin sintetis, melalui jalur intravena dengan dosis 350 mg. Kadar kortisol serum diukur dari
sampel darah diambil setelah 30 dan 60 menit. Puncak tingkat kortisol serum lebih dari 18 mcg / dL
mengecualikan diagnosis insufisiensi adrenal karena respon terhadap rangsangan dianggap memadai pada
tingkat ini. Kortisol tingkat 13-17 mcg / dL yang tak tentu.Kadar kortisol kurang dari 13 mcg / dL
menunjukkan insufisiensi adrenal.
Tes toleransi insulin adalah sensitif untuk insufisiensi adrenal. Tes ini melibatkan stres hipoglikemik
untuk menginduksi produksi kortisol. Tes memerlukan pemantauan ketat pasien dan merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan riwayat kejang atau penyakit kardiovaskular. Tanggapan kortisol
serum diukur puncak setelah tantangan insulin 0,1-0,15 U / kg. Tingkat kortisol kurang dari 18 mcg / dL
dan tingkat glukosa serum kurang dari 40 mg / dL menunjukkan insufisiensi adrenal. Tes metyrapone
melibatkan gangguan jalur produksi kortisol dengan menghambat 11 hidroksilase B-, enzim yang
mengkonversi 11-deoxycortisol (11-s) untuk kortisol. Metyrapone (30 mg / kg) disuntikkan intravena
pada tengah malam, dan kortisol dan 11-s tingkat diukur 8 jam sesudahnya. Sebuah respon normal adalah
peningkatan dalam serum 11-s tingkatan untuk lebih dari 7 mg / dL. Tingkat 11-s yang kurang dari 7 mg /
dL adalah diagnostik dari ketidakcukupan adrenal.
Setelah diagnosis insufisiensi adrenal dikonfirmasi, bagian dari defek dalam hipotalamushipofisis axis
harus ditentukan dengan menggunakan sampel kortikotropin, melalui pemeriksaan yang disebut
corticotropin provocation testing, atau corticotrophin-releasing hormone (CRH) provocative test. Tingkat
kortikotropin serum lebih besar dari 100 pg / mL merupakan diagnostik dari insufisiensi adrenal primer.
Setelah insufisiensi adrenal didiagnosa dan defek pada hipotalamus-hipofisis-adrenal axis diidentifikasi,
penyebab insufisiensi adrenal dapat dievaluasi. Karena insufisiensi adrenal primer telah menyebabkan
banyak, pemeriksaan harus diarahkan pada temuan klinis. Etiologi penyakit autoimun dan infeksi adalah
penyebab dominan 2, sehingga hasil pemeriksaan untuk antibodi adrenal dan TB harus menjadi bagian
dari evaluasi diagnostik awal. Autoantibodi terhadap 21-hidroksilase dapat dideteksi pada pasien dengan
sindrom polyglandular autoimun. Pasien ini juga mungkin memiliki diabetes mellitus tipe 1, penyakit
tiroid autoimun, gastritis autoimun, penyakit celiac, dan / atau vitiligo.
Jika diagnosis penyakit Addison telah dibuat, maka dapat dilakukan pemeriksaan radiologi seperti X-
ray atau USG perut, untuk melihat apakah terdapat tanda-tanda penumpukan kalsium pada kelenjar
adrenal atau TB. Selain itu pemeriksaan darah dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi yang berkaitan
dengan penyakit Addison karena autoimun. Jika diagnosis adrenal sekunder telah dibuat, maka dapat
dilakukan pemeriksaan radiologis untuk melihat ukuran dan bentuk kelenjar hipofise. Pemeriksaan yang
paling sering diakukan adaah CT scan dan MRI. Selain itu, pemeriksaan fungsi kelenjar hypofise dan
kemampuannya dalam memproduksi hormon juga perlu diperiksa dengan pemeriksaan darah
Penatalaksanaan
Pengobatan untuk penyakit Addison terdiri dari terapi hormon seumur hidup dengan glukokortikoid
dan mineralokortikoid. Sampai saat ini, tidak ada terapi yang tersedia untuk menghentikan perusakan
kekebalan yang mendasari korteks adrenal. Terapi pengganti hormon yang diberikan adalah:
Kortikosteroid
Hydrocortisone atau Prednison atau Dexamethasone dapat diberikan untuk mengganti kadar
kortisol yang rendah. Prednison dapat diminum sekali sehari, sedangkan hidrokortison dibagi
menjadi dua atau tiga dosis per hari, batas atas kisaran normal. Mineralokortikoid, seperti
Fludrocortisone acetate dapat diberikan untuk mengganti aldosteron. Biasanya, pengobatan dimulai
dengan pemberian hydrocortisone atau prednison secara per oral (melalui mulut). Tetapi, orang yang
sakitnya parah perlu diberikan pengobatan melaui suntikan pada awalnya kemudian dapat lanjutkan
secara per oral.
Pada krisis Addisonian, tekanan darah yang rendah, glukosa darah yang rendah, dan tingginya
kadar kalium dapat mengancam nyawa. Terapi standar yang tepat dilakukan adalah dengan
pemberian glukokortikod, cairan melalui pembuluh darah, dan larutan sejenis gula. Adapun
penyebabnya, penyakit Addison bisa berakibat fatal dan harus ditangani. Biasanya pengobatan bisa
dimulai dengan pemberian Prednson per-oral (ditelan).
Terapi pengganti androgen
Pria yang memiliki penyakit Addison tidak perlu diganti dengan androgen karena testis mereka
mampu menghasilkan kadar testosteron yang memadai; Namun, wanita bisa mendapat manfaat dari
penggantian androgen karena adrenal adalah sumber utama produksi androgen pada wanita. Terapi
pengganti dengan dehydroepiandrosterone (DHEA) dapat diberikan untuk wanita. Sebuah meta-
analisis dari 10 uji coba terkontrol plasebo acak menemukan bahwa suplementasi
dehydroepiandrosterone (DHEA) menghasilkan perbaikan kecil dalam kualitas hidup dan depresi
terkait kesehatan pada wanita dengan kekurangan adrenal.
Komplikasi
Hipotensi, syok, hipoglikemia, dan kematian adalah komplikasi utama insufisiensi adrenal. Terapi
glukokortikoid oral harian akan menyebabkan supressi iatrogenic pada hypothalamic-pituitary-adrena
(HPA) dalam waktu 2 minggu. Kesannya dapat bertahan dalam hitungan minggu kepada bulan tergantung
durasi pendedahan terhadap dosis farmakologikal glukokortikoid. Komplikasi penggunaan glukokortikoid
berlebihan adalah seperti berikut : Gagal tumbuh, Obesitas, Striae, Osteoporosis, Kelemahan otot,
Hipertensi, Hiperglikemia dan Katarak
Prognosis
Dengan perawatan dan kepatuhan yang tepat, pasien dengan insufisiensi adrenal (penyakit Addison)
dapat hidup normal tanpa batasan. Namun, prognosis untuk pasien yang tidak diobati dengan insufisiensi
adrenal (penyakit Addison) buruk. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa mereka dengan
konsentrasi kortisol yang sangat tinggi memiliki prognosis yang lebih buruk dan tingkat komplikasi sepsis
sekunder atau perforasi usus yang lebih tinggi. Kematian adalah hasil umum, biasanya dari hipotensi atau
aritmia jantung sekunder akibat hiperkalemia, kecuali terapi steroid pengganti dimulai
b. Pubertas Prekoks
Definisi
Pubertas prekoks adalah timbulnya tanda-tanda perkembangan seks sekunder pada usia kurang dari 8
tahun untuk anak perempuan dan usia kurang dari 9 tahun untuk anak laki- laki. Pada perempuan,
perkembangan seks sekunder ditandai dengan pertumbuhan payudara dan rambut pubis sedangkan pada
laki-laki ditandai dengan bertambahnya volume testis lebih dari 3 mL dan rambut pubis.
Epidemiologi
Insiden dari pubertas prekoks di negara-negara barat menurut WHO (World Health Organization)
mencapai 1 diantara 5000 hingga 10,000 anak, dan perempuan 5-10 kali lebih sering menderita pubertas
prekoks dibanding laki-laki. Negara-negara Eropa seperti di Denmark, prevalensi pubertas prekoks adalah
0,2% pada perempuan dan <0,005% pada laki- laki dengan insidens pertahun 15-29 per 100.000
perempuan. Data dari IDAI, berdasarkan Subbagian Endokrinologi Anak dan Remaja FKUI/RSCM, di
Indonesia tercatat dari 682 kasus baru endokrin ditemukan 53 (7,8%) kasus telars prematur.
Patofisiologi
Pubertas Prekoks Sentral
Pubertas prekoks sentral disebut juga dengan gonadotropin dependent atau true precocious
puberty yaitu pubertas prekoks yang disebabkan oleh aktivasi aksis hipotalamus-pituitari- gonadal
yang terlalu cepat, etiologi sentral biasanya terjadi karena adanya kelainan pada sistem syaraf pusat
secara struktural namun bisa juga terjadi secara idiopatik. Sekitar 90% perempuan dengan pubertas
prekoks mengalami hal ini namun 75% pasien laki-laki menderita kelainan pada sistem syaraf pusat.
Pubertas Prekoks Sentral yang dipengaruhi oleh faktor genetik, dimana terjadi delesi pada
kromosom 15q11 – q13 sehingga gen MKRN3 tidak terekspresi. Fungsi pasti masih belum dapat
dipastikan tetapi pada penelitian pada tikus, ditemukan bahwa ekspresi gen MKRN 3 memiliki efek
inhibisi pada inisiasi pubertas, sehingga apabila MKRN 3 terdelesi, akan terjadi pubertas prekoks.
Kondisi ini akan mengakibatkan pasien menderita Prader-Willi Syndrome dimana pasien akan
mengalami obesitas, developmental delay, dan ambang rasa sakit yang tinggi. Koeksistensi pubertas
prekoks dapat terjadi dalam satu keluarga karena etiologi genetiknya.
Penyebab-penyebab berupa neoplastik lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding dnegan
perempuan. Neoplasma sistem syaraf pusat akan menimbulkan gejala-gejala neurologis seperti
peningkatan tekanan intrakranial (dapat terjadi pula dalam kasus hidrosefalus), penurunan berat
badan, makrosefal, pertumbuhan yang terhambat, dan gejala neurologis fokal tergantung pada lokasi
massa. Efek adanya massa pada otak akan menekan hypothalamus dan meningkatkan produksi
GnRH. Pada pasien dengan hamartoma, terdapat trias klasik yaitu pubertas prekoks, pertumbuhan
yang terhambat, dan kejang berupa kejang gelastik yaitu gerakan seperti tertawa. Pubertas prekoks
ditemukan pada 33%-85% dari pasien hamartoma. Tumor non neoplastik ke dua adalah kista
araknoid. Kista ini dapat terbentuk setelah infeksi, trauma, atau perdarahan. Massa yang juga
menyebabkan pubertas prekoks adalah hCG-Producing Tumors yang biasa berada di otak,
mediastinum, atau gonad biasanya terjadi pada laki-laki karena reaksi silang dnegan reseptor LH,
sedangkan pada perempuan jarang terjadi pubertas prekoks karena membutuhkan LH dan FSH.
Diagnosis
Beberapa langkah dapat dilakukan untuk pendekatan diagnosis pubertas prekoks. Langkah yang
pertama dapat dilakukan adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan pemeriksaan
penunjang.
a. Anamnesis
Pada anamnesis, ditanyakan usia dimulainya pubertas pada pasien. Pada pasien dengan pubertas
prekoks, ditemukan bahwa pada perempuan usia dimulainya pubertas adalah kurang dari sebelum 8
tahun sedangkan pada laki-laki sebelum berusia 9 tahun. Dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai
progresifitas dari pubertas, kemudian ditanyakan juga tanda dan gejala lain yang dikeluhkan pasien,
contohnya adanya nyeri kepala, kejang, gangguan penglihatan, dan tanda-tanda gangguan pada
sistem syaraf pusat lainnya. Pertumbuhan pasien dapat di catat dalam grafik dan di observasi setiap 3
sampai 6 bulan dari usia 6 hingga 7 tahun untuk mencatat progresifitas.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis dapat dilakukan dengan komprehensif mulai dari kepala hingga kaki,
termasuk tinggi badan dan berat badan
NO Sistem Organ Penemuan Klinis
1 Kepala : Pemeriksaan lapang pandang: pada bilateral hemianopia dapat
Mata disebabkan karena tumor pituitari.
Pemeriksaan endoskopik untuk observasi apakah ada papil edema
indikasi dari peningkatan tekanan intrakranial.
Wajah Rambut di sekitar wajah yaitu kumis dan jenggot.
2 Toraks : Pemeriksaan payudara untuk menentukan staging thoraks.
Payudara Pada perempuan muda dan obesitas, pemeriksaan harus dilakukan
dengan lebih berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan berupa
“overestimating” pertumbuhan payudara karena jaringan adiposa.
Stage 1 Testis, skrotum, dan penis berukuran sama seperti masa awal kanak-
kanak
Stage 2 Pembesaran pada skrotum dan testis dan perubahan pada tekstur
kulit
skrotum, skrotum akan terlihat lebih merah.
Stage 3 Pertambahan panjang dan diameter penis, testis dan skrotum.
Stage 4 Glans penis akan bertambah besar, kulit skrotum akan semakin
gelap
Stage 5 Penis mencapai ukuran dewasa.
Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat dilakukan untuk pasien yang datang dengan tanda dan gejala pubertas
prekoks sebagai dokter layanan primer adalah harus dipastikan terlebih dahulu melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Karena kasus yang tidak terlalu banyak dalam praktek sehari-hari, maka terlebih
dahulu harus menyingkirkan kemungkinan lain seperti prematur telarke, prematur puberke, prematur
menarke atau lipomastia / ginekomastia. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah xray pada tangan dan
pemeriksaan kadar LH FSH.
Prinsip terapi pubertas prekoks diberikan berdasarkan pada etiologi nya. Tumor pada sistem syaraf
pusat, tumor gonad atau tumor adrenal harus diterapi dengan bedah, radiasi atau kemoterapi yang sesuai.
Pada pubertas prekoks sentral yang dikarenakan genetik dapat diberikan GnRH- agonis seperti
Leuprolide acetate yang diberikan tiap 1 bulan atau 3 bulan, memberikan efek negatif feedback agar
terjadi penurunan FSH dan LH setelah pemakaian 2-4 minggu. Pada hiperplasia adrenal kongenital maka
diberikan substitusi kortisol dengan hidrokortison suksinat.
Pasien dengan produksi hormon steroid otonom pada sindrom McCune Albright tujuan terapi adalah
mengurangi hormon steroid seksual. Obat yang dapat diberikan adalah inhibitor sintesis steroid
(ketoconazole), inhibitor aromatase (testolakton dan anastrazol), dan antagonis reseptor estrogen
(tamoksifen).
Hepatitis A
Proteksi terhadap infeksi virus Hepatitis A diindikasikan untuk wisatawan yang ingin bepergian ke
daerah dengan kualitas sanitasi dan higienitas yang sangat buruk dan pemberian vaksin ini
direkomendasikan kepada semua wisatawan (A-III). Risiko terinfeksi virus hepatitis A pada wisatawan
menunjukkan angka penurunan sejak mulai digunakannya vaksin hepatitis A baik berupa vaksin yang
dlemahkan maupun pemberian imunoseroglobulin (ISG). Meskipun direkomendasikan pada setiap
individu untuk mendapatkan 2 dosis penuh vaksin hepatitis A, pemberian dosis tunggal vaksin hepatitis A
monovalent juga terbukti memberikan efek proteksi yang sangat baik dalam waktu 14-28 hari. Pemberian
ISG yang secara luas digunakan sebagai proteksi pasif masih jarang diindikasikan, terkecuali pada
individu usia sangat muda dan imunocompromised yang mungkin tidak berespon terhadap pemberian
vaksin hepatitis A. Meskipun pemberian vaksin hepatitis A yang dilemahkan pada bayi tidak
direkomendasikan oleh FDA, vaksin ini sebenarnya cukup aman, memiliki sifat imunogenik, dan
memiliki beberapa sifat proteksi bahkan pada bayi yang masih memiliki antibodi dari ibunya. Durasi
proteksi dari pemberian dosis penuh vaksin hepatitis A kemungkinan seumur hidup dan saat ini
pemberian booster tidak direkomendasikan pada individu yang imunocompetent (A-II).
Japanese Encephalitis
Penyakit ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk. Prevalensi kasus ini banyak terdapat pada negara-negara di Asia, beberapa pulau pada regio
Pasifik Barat, dan kepulauan Torres di Australia. Meskipun vaksin Japanese Encephalitis (JE) terbukti
efektif, namun vaksin ini juga dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada 0,1-5 kasus per 1000
pemberian vaksin JE. Bahkan pada beberapa kasus dilaporkan reaksi hipersensitivitas yang sangat berat.
Reaksi adversi ini rentan terjadi pada individu yang alergi terhadap antigen dalam vaksin JE. Pemberian
vaksin JE disarankan pada wisatawan yang akan bepergian dalam jangka waktu lama pada daerah
endemis, maupun pada mereka yang tinggal sebentar namun terdapat risiko yang lebih intens terhadap
pajanan oleh nyamuk pada daerah endemis. Sawah merupakan tempat berkembang biak yang baik bagi
nyamuk penular virus JE dan babi adalah reservoir yang penting bagi virus JE. Pemberian vaksin
dilakukan sebanyak 3 dosis selama 1 bulan,namun dapat dipercepat sampai 14 hari. Sebaiknya setelah
pemberian vaksin JE, dilakukan observasi lebih dahulu selama 30 menit untuk mengantisipasi timbulnya
reaksi hipersensitivitas. Idealnya, wisatawan sebaiknya jangan bepergian 10 hari setelah pemberian
vaksin yang terakhir terkait reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang mungkin muncul belakangan.
Infeksi Meningococcal
Pemberian vaksin meningitis serotipe A/C/Y/W-135 untuk mencegah infeksi N. Meningitidis
disarankan pada wisatawan ataupun individu yang ingin bepergian ke Saudi Arabia untuk keperluan Haji
dan Umroh. Hal ini direkomendasikan oleh CDC. Lebih luas lagi pemberian vaksin meningitis disarankan
pada tempat tujuan bertanda “meningitis belt” pada daerah sub-Sahara Afrika yang membentang dari
Senegal hingga Ethiopia, khususnya bagi mereka yang bepergian selama musim kering antara bulan
Desember – Juni atau ada kemungkinan kontak dalam waktu lama dengan populasi sekitar. Pada tahun
2005, vaksin meningococcal quadrivalent terkonjugasi telah disetujui untuk digunakan pada individu usia
11-55 tahun. Vaksinasi rutin dengan pemberian vaksin quadrivalen terkonjugasi direkomendasikan pada
usia pra-remaja (11-12 tahun). Bagi mereka yang belum mendapatkan vaksinasi pada usia pra remaja,
ACIP merekomendasikan pemberian vaksin saat mulai masuk sekolah menengah pertama (usia 15 tahun).
Pemberian vaksin rutin juga direkomendasikan pada mahasiswa tahun pertama yang tinggal di asrama.
Ahli mikrobiologi dengan risiko sering terpajan terhadap bakteri N. Meningitidis, tentara, individu
dengan defisiensi komplemen tahap terminal, dan individu dengan asplenia fungsional maupun akibat
operatif sebaiknya juga mendapatkan vaksin meningitis. Vaksin meningococcal polisakarida yang tidak
terkonjugasi dikatakan memiliki efek imunogenik yang rendah pada anak-anak usia kurang dari 2 tahun.
Telah dilaporkan kasus Guillain-Barre sindrom post vaksinasi namun hal ini sedang dalam tahap evaluasi
lebih lanjut dan tidak menjadi penghalang dalam rekomendasi pemberian vaksin meningitis.
Measles Immunization
Potensi munculnya penyakit menular sangat erat kaitannya dengan faktor risiko, khususnya di lokasi
pengungsian dan masyarakat sekitar penampungan pengungsi, seperti campak, diare, pnemonia, malaria
dan penyakit menular lain spesifik local. Potensi munculnya penyakit menular campak sangat erat
kaitannya dengan faktor risiko, khususnya di lokasi pengungsian dan masyarakat sekitar penampungan
pengungsi.
Dalam situasi bencana/di lokasi pengungsian, upaya imunisasi harus dipersiapkan dalam mengantisipasi
terjadinya KLB PD3I terutama campak. Dalam melakukan imunisasi ini sebelumnya dilakukan penilaian
cepat untuk mengidentifikasi hal-hal sbb:
• dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat di wilayah bencana/lokasi pengungsian terutama
para pengungsi, lingkungan, sarana imunisasi, sumber daya menusia (petugas kesehatan/imunisasi)
• data cakupan imunisasi dan epidemiologi penyakit, sebelum bencana dalam 3 tahun terakhir, untuk
menentukan kebutuhan upaya imunisasi berdasarkan analisa situasi dalam rangka pencegahan klb
pd3i
Sasaran imunisasi untuk mencegah KLB PD3I di daerah bencana/lokasi pengungsian adalah :
1) Semua anak usia 9-59 bulan diberi imunisasi campak tambahan. Pemberian imunisasi campak
tambahan diberikan sebanyak 1 dosis atau satu kali pemberian. Pemberian imunisasi ini terintegrasi
dengan pemberian Vit A untuk memberikan peningkatan perlindungan pada anak. Apabila
ditemukan kasus campak pasca bencana, walaupun satu kasus, maka dinyatakan sebagai Kejadian
Luar Biasa pada daerah tersebut dan penanggulangannya mengacu pada Pedoman Penatalaksanaan
KLB (diterbitkan oleh Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan). Perkiraan jumlah anak usia 9-59
bulan adalah sekitar 11% x jumlah penduduk.
2) Kelompok populasi yang berisiko tinggi terhadap penyakit tertentu, berdasarkan hasil penilaian cepat
pasca bencana.
Pencegahan KLB
Pencegahan KLB merupakan bagian dari Public Health respons yang dilaksanakan pada tahap
berikutnya sesudah medical emergency yang dilaksanakansegera setelah bencana terjadi. Upaya
pengendalian PD3I di daerah bencana terutama ditujukan untuk mencegah terjadinya KLB campak.
Sedangkan pencegahan KLB penyakit lain dengan upaya imunisasi, dilakukan berdasarkan hasil dari
penilaian cepat pasca bencana.
Target sasaran pada imunisasi campak dilakukan terhadap anak berusia 5-59 bulan di lokasi
pengungsian. Perluasan sasaran imunisasi campak ke usia lebih tinggi, ditentukan berdasarkan analisis
epidemiologi dan kinerja program imunisasi di daerah tersebut sebelum terjadi bencana.
Apabila ditemukan kasus campak pasca bencana, walaupun hanya satu kasus, maka dinyatakan
terjadi keljadian luar biasa (KLB) pada daerah tersebut dan penanggulangannya mengacu pada pedoman
pelaksanaan KLB. Perkiraan jumlah anak usia 6-59 bulan adalah sekitar 11% x jumlah penduduk
Perkiraan kebutuhan logistik dalam kegiatan penanggulangan ini dilakukan dengan cara sebagi
berikut:
- Alat Suntik yang digunakan dalam pelayanan imunisasi adalah ADS (Auto Disable Syringe).
Perhitungan kebutuhan ADS untuk imunisasi campak:
- Kebutuhan ADS 5 ml = jumlah vaksin campak kemasan 10 dosis atau ADS 10 ml = jumlah
vaksin campak kemasan 20 dosis (vial)
- Kebutuhan ADS 0,5 ml = jumlah sasaran + 5% sasaran (sebagi cadangan)
Perhitungan kebutuhan ADS untuk imunisasi lain yang ditentukan berdasarkan hasil penilaian
cepat, sama dengan jumlah sasaran ditambah dengan 5% sebagai cadangan, atau berdasarkan
kekhususan vaksin tersebut.