Anda di halaman 1dari 55

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM

SOLVING TERHADAP HASIL BELAJAR


MATEMATIKA MATERI BANGUN RUANG SISI
LENGKUNG KELAS IX SMP NEGERI
WIDYAKRAMA

PROPOSAL SEMINAR
Diajukan sebagai tugas dari mata kuliah seminar matematika

OLEH :
ADE FITRAWAN IBRAHIM
4114 14 103

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Matematika merupakan salah satu bidang yang memiliki peranan penting

dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dengan ditetapkannya matematika

sebagai salah satu mata pelajaran pokok / wajib dalam setiap Ujian Akhir

Nasional (UAN) serta dilihat dari jumlah jam mata pelajaran matematika yang

lebih banyak.

Pembelajaran matematika adalah suatu aktivitas mental untuk memahami

arti dan hubungan-hubungan serta simbol-simbol kemudian diterapkan pada

situasi nyata. Belajar matematika berkaitan dengan apa dan bagaimana

menggunakannya dalam membuat keputusan dalam menyelesaikan masalah.

Peran guru disekolah sangat dibutuhkan dalam tercapainya tujuan

pembelajaran matematika serta proses belajar mengajar untuk membantu

siswa mencapai hasil belajar yang optimal. Berdasarkan hasil observasi

peneliti di Sekolah Menengah Pertama Negeri Widyakrama Kec. Telaga Biru

Kab. Gorontalo , menunjukkan bahwa masih banyak siswa yang mengalami

kesulitan dalam memahami soal-soal khususnya pada mata pelajaran

matematika. Hal ini terlihat dari beberapa hasil ulangan mereka khususnya

soal pemecahan masalah dan hasil ulangan tengah semester. Selama ini guru

lebih sering menggunakan metode ceramah dalam proses pembelajaran.

Selama proses pembelajaran di kelas dengan metode ceramah, hanya beberapa


siswa yang tampak aktif dan sebagian lagi pasif. Agar proses belajar mengajar

dapat lebih efektif diperlukan suatu metode pembelajaran yang dapat

melibatkan siswa aktif dalam belajar. Joshua (2003:24) mengatakan bahwa

“guru hendaknya memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang

melibatkan siswa aktif dalam belajar”.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut sangat perlu diupayakan pola-pola

pembelajaran yang dapat membantu meningkatkan aktivitas belajar siswa di

dalam proses pembelajaran di kelas. Adapun pola-pola pembelajaran yang

melatihkan bentuk kemampuan proses yang dapat mengembangkan hasil

belajar siswa salah satunya adalah Model Problem Solving .

Model Problem Solving (pemecahan masalah) adalah salah satu model

mengajar yang mengandung aktivitas belajar siswa cukup tinggi dan termasuk

model yang disarankan dalam GBPP 1994. Pendekatan model ini termasuk

kepada pendekatan interaksi sosial yang menitik beratkan kepada aktivitas

memecahkan masalah baik individu maupun kelompok.

Polya (dalam Aisyah, 2007:5-10) menyatakan solusi soal pemecahan

masalah memuat empat langkah penyelesaian, sebagai berikut. ”1) memahami

masalah, 2) merencanakan penyelesaian, 3)menyelesaikan masalah sesuai

dengan rencana, dan 4) melakukan pengecekan kembali terhadap semua

langkah yang telah dikerjakan”. Fase pertama adalah memahami masalah,

tanpa memahami masalah yang diberikan siswa tidak mungkin mampu

menyelesaikan masalah tersebut dengan benar. Setelah siswa memahami

masalah dengan benar, selanjutnya mereka harus mampu menyusun rencana


penyelesaian masalah. Kemampuan fase ke dua ini sangat tergantung pada

pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Jika rencana penyelesaian

masalah telah dibuat, baik secara tertulis maupun tidak selanjutnya dilakukan

penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang dianggap paling tepat.

Adapun langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah menurut Polya

adalah melakukan pengecekan atas apa yang telah dilakukan mulai dari fase

pertama sampai fase terakhir.

Terkait dengan penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian eksperimen pada pembelajaran matematika dengan menerapkan Model

Pembelajaran Problem Solving, Peneliti ingin melakukan penelitan dengan judul

” PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM

SOLVING TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, masalah yang dapat

di identifikasi adalah sebagai berikut :

1. Rendahnya hasil belajar siswa khususnya dalam matematika

2. Guru masih menggunakan model pembelajaran langsung

3. Siswa memiliki rasa bosan, malas, serta tidak memiliki ketertarikan untuk

belajar.
1.3 Batasan Masalah

Agar pembahasan tidak meluas dan karena keterbatasan waktu, tenaga dan

pikiran kiranya peneliti perlu membatasi masalah yang ada. Peneliti

membatasi permasalahan pada : Pengaruh model pembelajaran problem

solving terhadap hasil belajar siswa materi bangun ruang sisi lengkung di

kelas ix SMP Negeri Widyakrama.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah hasil belajar matematika

siswa yang di belajarkan menggunakan model pembelajaran problem

solving lebih tinggi dari hasil belajar siswa daripada yang dibelajarkan

menggunakan model pembelajaran langsung ?”.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah hasil belajar

matematika siswa yang di belajarkan dengan menggunakan Model

Pembelajaran problem solving lebih tinggi dari hasil belajar matematika siswa

yang di belajarkan dengan menggunakan Model Pembelajaran Langsung pada

materi bangun ruang sisi lengkung.


1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi :

1. Bagi Guru

Sebagi bahan masukan dalam pembelajaran matematika untuk

meningkatkan hasil belajar.

2. Bagi Siswa

Dapat memberikan sumbangsih yang bermanfaat agar dapat meningkatkan

mutu pembelajaran khususnya matematika.

3. Bagi Peneliti

Sebagai pengalaman menulis dan melakukan penelitian serta mengetahui

sejauh mana hasil belajar matematika siswa khususnya dalam

menyelesaikan soal cerita setelah diterapkan model pembelajaran problem

solving.
BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Hakikat Belajar

Belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam

kompetensi, keterampilan, dan sikap. Belajar dimulai sejak manusia lahir sampai

akhir hayat. Pada waktu bayi, seorang bayi menguasai keterampilan-keterampilan

yang sederhana, seperti memegang botol dan mengenal orang-orang di

sekelilingnya. Ketika menginjak masa anak-anak dan remaja, sejumlah sikap, nilai

dan keterampilan berinteraksi sosial dicapai sebagai kompetensi. Pada saat

dewasa, individu diharapkan telah mahir dengan tugas-tugas kerja tertentu dan

keterampilan-keterampilan fungsional lainnya, seperti mengendarai mobil,

berwiraswasta, dan menjalin kerja sama dengan orang lain.

Kemampuan manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang

membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Belajar mempunyai

keuntungan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Bagi individu,

kemampuan untuk belajar secara terus-menerus akan memberikan kontribusi

terhadap pengembangan kualitas hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat, belajar

mempunyai peran yang penting dalam mentransmisikan budaya dan pengetahuan

dari generasi ke generasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara etimologis belajar memilik

arti “berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu”. Definisi ini memiliki

pengertian bahwa belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau
ilmu. Di sini, usaha untuk mencapai kepandaian atau ilmu merupakan usaha

manusia untuk memenuhi kebutuhannya mendapatkan ilmu atau kepandaian yang

belum dipunyai sebelumnya. Sehingga dengan belajar itu manusia menjadi tahu,

memahami, mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki tentang sesuatu.

Belajar sebagai proses yang kompleks, dikemukakan oleh Gredler (2011)

dalam bukunya Learning and Instruction: Teori dan Aplikasi dalam Baharuddin

dan Esa (2015 : 17), Ia menyatakan bahwa belajar (learning) adalah proses

multisegi yang biasanya dianggap sesuatu yang biasa saja oleh individu sampai

mereka mengalami kesulitan saat menghadapi tugas yang kompleks. Akan tetapi,

kapasitas belajar ini menjadi karakteristik yang membedakan manusia dari

makhluk lainnya. Hanya manusia yang memiliki otak untuk berkembang baik

untuk digunakan melakukan tindakan yang memiliki tujuan. Di antara

kemampuan itu adalah mengidentifikasi objek, merancang tujuan, menyusun

rencana, mengorganisasikan sumber daya dan memonitor konsekuensi.

Jihad dan Abdul (2013 : 4), belajar tidak efektif jika anak duduk dengan

manis di kelas sementara guru menjejali anak dengan berbagai hal, namun belajar

saat ini memiliki kecenderungan dengan istilah belajar aktif (sering dikenal

sebagai “cara belajar siswa aktif") merupakan suatu pendekatan daalam

pengelolaan sistem pembelajaran melalui cara-cara belajar yang aktif menuju

belajar yang mandiri. Kemampuan belajar mandiri merupakan tujuan akhir dari

belajar aktif. Untuk dapat mencapai hal tersebut, kegiatan pembelajaran dirancang

sedemikian rupa agar bermakna bagi siswa. Belajar yang bermakna terjadi bila
siswa berperan secara aktif dalam proses belajar dan akhirnya mampu

memutuskan apa yang akan dipelajarinya.

Menurut Sardiman (2016 : 20), belajar itu senantiasa merupakan

perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya

dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya.

Yamin (2015 : 6), belajar adalah upaya mewujudkan diri dalam bentuk-

bentuk nyata yang diharapkan dapat mengubah keadaan dari tertutup menjadi

esensial.

Dari pendapat para ahli diatas, dapat di tarik kesimpulan bahwa belajar

adalah perubahan tingkah laku seseorang sebagai hasil dari pengalaman individu

yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan,

nilai dan sikap.

2.1.2 Hasil Belajar Matematika

2.1.2.1. Pengertian Hasil Belajar

Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dari pembelajaran yang

dilakukan oleh guru baik dirumah, di sekolah atau belajar dimanapun adalah agar

dapat memperoleh hasil belajar yang dianggap baik yaitu telah memenuhi standar

hasil belajar yang telah ditetapkan atau melebihinya sehingga dapat digolongkan

menjadi hasil belajar yang baik.

Setiap proses belajar yang dihasilkan oleh peserta didik akan

menghasilkan hasil belajar. Di dalam proses pembelajaran, guru sebagai pengajar


sekaligus pendidik memegang peranan dan tanggung jawab yang besar dalam

rangka meningkatkan keberhasilan peserta didik dipengaruhi oleh kualitas

pengajaran dan faktor intern dari siswa itu sendiri.

Hasil belajar adalah kemampuan siswa dalam memenuhi suatu tahapan

pencapaian pengalaman belajar dalam satu kompetensi dasar. Hasil belajar dalam

silabus berfungsi sebagai petunjuk tentang perubahan perilaku yang akan dicapai

oleh siswa sehubungan dengan kegiatan belajar yang dilakukan, sesuai dengan

kompetensi dasar dan materi standar yang dikaji. Hasil belajar bisa berbentuk

pengetahuan, keterampilan, maupun sikap (Kunandar, 2014 : 229).

Hasil belajar merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran. Menurut

Uno (2016: 213) Hasil Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap

dalam diri seseorang sebagai akibat dari interaksi seseorang dengan

lingkungannya. Purwanto (2009 : 42), hasil belajar adalah terbentuknya konsep,

yaitu kategori yang kita berikan pada stimulus yang ada dilingkungan, yang

menyediakan skema yang terorganisasi untuk mengasimilasi stimulus-stimulus

baru dan menentukan hubungan di dalam dan di antara kategori-kategori.

Menurut Susanto (2016 : 5), yang dimaksud dengan hasil belajar siswa

adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Karena

belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk

memperoleh suatu bntuk perubahan perilaku relatif menetap. Dalam kegiatan

pembelajaran, biasanya guru menetapkan tujuan belajar.


Arikunto (2015 : 130), secara garis besar, Bloom bersama kawan-kawan

merumuskan tujuan-tujuan pendidikan pada tiga tingkatan yaitu kategori tingkah

laku yang masih verbal, perluasan kategori menjadi sederetan tujuan, dan tingkah

laku konkret yang terdiri dari tugas-tugas (task) dalam pertanyaan-pertanyaan

sebaagai ujian dan butir-butir soal. Ada tiga ranah atau domain besar, yang

terletak pada tingkatan kedua yang selanjutnya disebut takosonomi, yaitu ranah

kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah

psikomotorik (psychomotor domain).

Sudjana (2016: 22), ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar

intelektual yang terdiri dari 6 aspek, yakni pengetahuan, pemahaman, aplikasi,

análisis, síntesis, dan evaluasi. Ranah afektif berkenaan dengan dengan sikap yang

terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian,

organisasi, dan internalisasi. Sedangkan ranah psikomotoris berkenaan dengan

hasil belajar keterampilan dan pengetahuan bertindak. Ada enam aspek ranah

psikomotoris, yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan

perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan

gerakan ekspresif dan interpretatif.

Menurut Sudjana (2016 : 23-28), Ketiga ranah tersebut menjadi objek

penilaian hasil belajar. Di antara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling

banyak dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan kemampuan para

siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Berikut penjelasan hasil belajar dari

tiap ranah kognitif.


a. Tipe hasil belajar : Pengetahuan

Istilah pengetahuan dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata knowledge

dalam taksonomi Bloom. Di mana bahwa tipe hasil belajar pengetahuan

merupakan kemampuan seseorang dalam menghafal atau mengingat kembali atau

mengulang kembali pengetahuan yang pernah diterimanya. Tipe hasil belajar

pengetahuan termaksud kognitif tingkat rendah yang paling rendah. Namun, tipe

hasil belajar ini menjadi prasyarat bagi tipe hasil belajar berikutnya. Hafal

menjadi prasarat bagi pemahaman.

b. Tipe hasil belajar : Pemahaman

Tipe hasil belajar yang lebih tinggi dari pada pengetahuan adalah

pemahaman. Misalnya menjelaskan dengan susunan kalimatnya sendiri sesuatu

yang dibaca atau didengarnya, memberi contoh lain dari yang telah dicontohkan,

atau menggunakan petunjuk penerapan pada kasus lain. Dalam taksonomi Bloom,

kesanggupan memahami setingkat lebih tinggi dari pada pengetahuan. Namun,

tidaklah berarti bahwa pengertian tidak perlu ditanyakan sebab, untuk dapat

memahami, perlu terlebih dahulu mengetahui atau mengenal.

c. Tipe hasil belajar : Aplikasi

Tipe hasil belajar aplikasi dapat diartikan sebagai suatu kemampuan yang

dimiliki oleh seseorang dalam menggunakan pengetahuan yang diperolehnya

dalam memecahkan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.

d. Tipe hasil belajar : Analisis

Analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjadi unsur-unsur atau

bagian-bagian sehingga jelas hierarki dan atau susunannya. Análisis merupakan


kecakapan yang kompleks, yang memanfaatkan kecakapan dari tiga tipe

sebelumnya. Dengan analisis diharapkan seseorang mempunyai pemahaman yang

komprehensif dan dapat memilahkan integritas menjadi bagian-bagian yang tetap

terpadu, untuk beberapa hal memahami prosesnya, untuk hal lain memahami cara

bekerjanya, untuk hal lain lagi memahami sistematikanya.

e. Tipe hasil belajar : Sintesis

Tipe hasil belajar síntesis dapat diartikan sebagai suatu kemampuan yang

diperoleh seseorang dalam menyatukan ataupun mengaitkan unsur-unsur atau

bagian-bagian ke dalam bentuk yang menyeluruh.

f. Tipe hasil belajar : Evaluasi

Evaluasi adalah pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin

dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara kerja, pemecahan, metode, materil, dll.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan hasil

belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah proses

pembelajaran berlangsung yang meliputi kemampuan intelektual (kognitif), sikap

(afektif) dan keterampilan (psikomotorik).

2.1.2.2. Hasil Belajar Matematika

Hasil belajar peserta didik biasanya ditunjukkan dengan nilai

hasil evaluasi. Jika hasil evaluasi dibawah kriteria ketuntasan minimal yang telah

ditentukan, berarti peserta didik tersebut belum berhasil dalam pembelajaran.

Yang perlu diperhatikan adalah minimal setiap warga belajar memperoleh nilai

Ketuntasan Minimal yang telah ditetapkan, jika masih ada yang memiliki nilai

dibawah KKM, maka pendidik perlu melakukan perbaikan pembelajaran.


Pendidik hendaknya lebih selektif dalam memilih strategi guna mencapai tujuan

pembelajaran.

Dalam proses belajar mengajar, hasil belajar yang diharapkan dapat

dicapai peserta didik penting diketahui oleh guru, agar guru dapat merancang /

mendesain pembelajaran secara tepat. Setiap proses belajar mengajar,

keberhasilannya diukur, seberapa jauh hasil belajar yang dicapai peserta didik,

disamping diukur dari segi prosesnya.

Menurut Manurung (2013 : 14) hasil belajar matematika adalah hasil dari

peserta didik dalam mengikuti proses pengajaran matematika pada jenjang

pendidikan sekolah yang diukur dari kemampuan peserta didik tersebut dalam

menyelesaikan suatu permasalahan matematika sehingga hasil belajar matematika

itu merupakan suatu tolak ukur atau patokan yang menentukan tingkat

keberhasilan siswa dalam mengetahui dan memahami suatu materi pelajaran

matematika setelah mengalami pengalaman belajar yang dapat dilihat pada

nilai/skor akhir pelajaran matematika baik yang diperoleh melalui tes maupun

observasi.

Sedangkan Menurut Ngau (2015:14) hasil belajar matematika merupakan

perubahan tingkah laku peserta didik dalam bentuk peningkatan kecakapan dan

kemampuan dalam mempelajari materi matematika.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar

matematika adalah kemampuan yang dimiliki siswa terhadap pelajaran

matematika yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman dan latihan-latihan


selama proses belajar mengajar yang menggambarkan penguasaan siswa terhadap

materi pelajaran matematika yang dapat dilihat dari nilai matematika.

Hasil belajar matematika yang diharapkan dalam penelitian ini adalah kemampuan

yang diperoleh dan dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran matematika

disekolah, yakni berupa perubahan tingkah laku yang dicirikan dengan ranah

kognitif.

2.1.3. Model Pembelajaran Problem Solving

2.1.3.1. Pengertian Model Pembelajaran Problem Solving

Metode problem solving adalah suatu metode bcrpikir dan

memecahkan masalah. Dalam hal ini siswa dihadapkan pada suatu masalah,

kemudian diminta untuk memecahkannya. Dalam 'bahasa perencanaan', masalah

adalah perbedaan antara kondisi yang ada (objektif) dengan kondisi yang

diharapkan. Dalam pembelajaran matematika di sekolah, suatu masalah (seal)

menjadi tantangan yang tidak dapat segera diselesaikan dengan prosedur rutin

yang diketahui oleh siswa.

Problem solving adalah suatu proses belajar mengajar yang

berupa penghilangan perbedaan atau ketidaksesuaian yang terjadi antara hasil

yang di peroleh dengan yang diinginkan, (Pranata, 2005 : 3). Sejalan dengan

pendapat tersebut Prawiro (1986 : 36) mengatakan bahwa problem solving adalah

metode mengajar dengan jalan menghadapkan siswa pada suatu masalah yang

harus dipecahkan oleh siswa sendiri dengan mengarahkan segala kemampuan

yang ada pada diri siswa tersebut. Menurut Hudoyo (2007 : 26), dalam
pengajaran matematika, bahwa masalah (soal) matematika dibedakan menjadi dua

bagian yaitu :

1. Latihan yang diberikan pada waktu belajar matematika yang bersifat latihan

agar terampil atau sebagai aplikasi dari pengertian yang baru diajarkan.

2. Masalah yang tidak seperti halnya latihan melainkan menghendaki siswa untuk

menggunakan sintesa atau analisa. Untuk menyelesaikan suatu masalah, siswa

tersebut harus menguasai hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya, yaitu

mengenai pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman, tetapi dalam hal ini ia

menggunakannya di dalam situasi baru. Berdasarkan penjelasan para ahli di atas,

peneliti dapat menyimpulkan bahwa model pembelajaran problem solving adalah

suatu model pembelajaran dimana siswa dihadapkan dengan suatu masalah yang

kemudian diminta untuk memecahkannya.

2.1.3.2. Langkah – Langkah Model Pembelajaran Problem Solving

Menurut Polya (2002 : 27) memberi empat langkah pokok cara

pemecahan masalah, yaitu :

1. memahami masalahnya, Masing-masing siswa mengerjakan lathan yang

berbeda denga teman sebelahnya.

2. menyusun rencana penyelesaian, Pada tahap ini siswa diarahkan untuk dapat

mengidentifikasi masalah, kemudian mencari cara yang tepat untuk

menyelesaikan masalah tersebut.


3. melaksanakan rencana penyelesaian itu, Langkah yang ketiga, siswa dapat

menyelesaikan masalah dengan melihat contoh atau dari buku, dan bertanya

pada guru.

4. memeriksa kembali penyelesaian yang telah dilaksanakan Terakhir siswa

mengulang kembali atau memeriksa jawabab yang telah dikerjakan,

kemudian siswa bersama guru dapat menyimpulkan dan dapat

mempresentasikan di depan kelas.

Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam metode problem solving menurut

Abdul Majid. 2009.142-143 adalah sebagai berikut :

1. Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh

dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.

2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan

masalah tersebut. Misalnya dengan jalan membaca buku-buku, meneliti,

bertanya, berdikusi, dan lain-lain.

3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban itu

tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh.

4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini siswa

harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa

jawaban tersebut itu betul-betul cocok.

5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan

terakhir tentang jawaban dari masalah tadi.

2.1.3.3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Problem

Solving
Setiap pendekatan tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan Problem Solving merangsang perkembangan anak untuk berpikir

seperti yang dikemukakan Muhsetyo (2007:127) yaitu:

1)  Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.

2)  Berpikir dan bertindak kreatif

3)  Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis.

4)  Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.

5)  Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.

6) Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan

maslah yang dihadapi dengan tepat.

7)  Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan.

Kemudian pemecahan masalah dapat membiasakan para siswa

menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, seperti yang

dikemukakan Djamarah dan Zain (2006:93) mengemukakan bahwa

Kelebihan Problem Solving yaitu :

1)  Dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan

kehidupan, khususnya dengan dunia kerja.

2)  Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan para

siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, apabila menghadapi

permasalahan di dalam kehidupan dalam keluarga, bermasyarakat, dan bekerja

kelak, suatu kemampuan yang sangat bermakna bagi kehidupan manusia.

3)  Metode ini merangsang pengembangan kemampuan berpikir siswa secara

kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan
mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari

pemecahan.

Senada dengan pendapat di atas, Kelebihan Problem Solving merangsang

pengembangan kemampuan berpikir siswa secara kreatif dan menyeluruh, seperti

yang dikemukakan Heryawan (2007:127) mengemukakan Kelebihan Problem

Solving yaitu :

1)  Membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan,

khususnya dengan dunia kerja.

2)  Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan para

siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, apabila menghadapi

permasalahan di dalam kehidupan dalam keluarga, bermasyarakat, dan bekerja

kelak, suatu kemampuan yang sangat bermakna bagi kehidupan manusia.

3)  Metode ini merangsang pengembangan kemampuan berpikir siswa secara

kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan

mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari

pemecahannya.

Adapun kelemahan Problem Solving Menentukan suatu masalah yang

tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah dan

kelasnya serta pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa, sangat

memerlukan kemampuan dan keterampilan guru. Kurangnya pengetahuan dan

keahlian guru seperti yang dikemukakan Mutadi (2010) yaitu :

1)  Kurangnya pengetahuan dan keahlian guru dalam menerapkan Problem

Solving.
2)  Isi dari kurikulum sangat padat dan tidak memberikan celah untuk Problem

Solving.

3)  Sistem pengujian masih disentralkan dan tidak relevan dengan Problem

Solving

Kemudian Djamaran dan Zain (2006:92) mengemukakan

bahwakelemahan Problem Solving yaitu :

1)  Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat

berpikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pengalaman

yang telah dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru.

2)  Proses belajar mengajar dengan menggunakan pendekatan ini sering

memerlukan waktu yang cukup banyak.

3)  Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima

informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berpikir memecahkan

permasalahan sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang memerlukan berbagai

sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa.

Kelemahan Problem Solving  guru menjadi belajar dengan banyak berpikir

memecahkan permasalahan sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang

memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi

siswa seperti yang dikemukakan, Heryawan (2007:127) kelemahan Problem

Solving yaitu :

1)  Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat

berpikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pengalaman

yang telah dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru.
2)  Proses belajar mengajar dengan menggunakan pendekatan ini sering

memerlukan waktu yang cukup banyak.

2.1.4 Model Pembelajaran Langsung

2.1.4.1. Pengertian Model Pembelajaran Langsung

Model pembelajaran langsung didesain bagi siswa dalam

mempelajari pengetahuan yang terstruktur dan dapat dipelajari melalui tahap demi

tahap, Arends (dalam Suprihatiningrum, 2013 : 229). Model ini berpusat pada

guru (teacher centered) dan melandaskan pada tiga ciri: (1) tipe siswa yang

dihasilkan, (2) alur atau sintaks dalam proses pembelajarannya, dan (3)

lingkungan (suasana) belajarnya.

Pembelajaran langsung memiliki tujuan seperti berikut: direct

instructions aims at accomplishing two major learner outcomes: mastery of well

structured academic content and acquisition of all kinds of skill, Arends (dalam

Suprihatiningrum, 2013 : 229). Artinya, pembelajaran langsung memiliki dua

tujuan utama, yaitu agar siswa menguasai bahan pelajaran dan memiliki berbagai

keterampilan.

Fathurrohman (2015 : 167), model pembelajaran langsung merupakan

suatu model pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa di dalam

mempelajari dan menguasai keterampilan dasar serta memperoleh informasi

selngkah demi selangkah. Dalam model pembelajaran langsung dibutuhkan


keaktifan, kelihaian, keterampilan dan kreativitas guru tanpa menghilangkan

peran siswa sebagai peserta didik. Memang dalam model pembelajaran ini peran

guru lebih menonjol daripada peran siswa.

Suprihatiningrum (2013 : 230 – 231), mengemukakan bahwa model

pembelajaran langsung berpusat pada guru, sistem pengelolahan pembelajaran

yang dilakukan oleh guru harus menjamin terjadinya keterlibatan siswa, terutama

melalui memerhatikan, mendengarkan, dan resitasi (tanya jawab) yang terencana.

Dari pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa model

pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang berpusat pada guru yang

membutuhkan kelihaian guru dalam menyampaikan urutan materi kepada siswa.

2.1.4.2. Tahap-Tahap Model Pembelajaran Langsung

Alur atau sintaks model pembelajaran langsung ini memiliki

lima tahap, yaitu menentukan tujuan, menjelaskan atau mendemonstrasikan

pengetahuan, memberikan latihan terbimbing, memberikan umpan balik, dan

memberikan latihan lanjutan, Arends (dalam Suprihatiningrum, 2013 : 232).

Secara rinci, sintaks dari model pembelajaran langsung tersaji dalam tabel berikut

Tabel Sintaks Model Pembelajaran Langsung

Fase Aktivitas Guru

Fase 1

Clarify goal and establishet Memberikan tujuan secara keseluruhan,

Menjelaskan dan menetapkan tujuan memberikan informasi latar belakang dan

pentingnya pelajaran, mempersiapkan


siswa untuk belajar.

Fase 2

Demonstrate knowledge or skill Mendemonstrasikan dengan jelas tahap

Mendemonstrasikan pengetahuan demi tahap suatu pengetahuan atau

atau keterampilan keterampilan baru.

Fase 3

Provide guided pracite Menyediakan kesempatan bagi siswa

Memberikan latihan dan untuk melatih pengetahuan atau

memberikan bimbingan keterampilan baru.

Fase 4

Check for understanding and Memeriksa kebenaran pemahaman siswa

provide feedback dan kinerja siswa. Memberikan umpan

Memeriksa pemahaman dan balik sesegera mungkin dan disampaikan

memberikan umpan balik dengan jelas.

Fase 5

Provide extended practice and Menyiapkan latihan lanjutan pada situasi

transfer yang lebih kompleks dan memberikan

Memberikan latihan lanjutan perhatian pada proses transfer.

Dari tabel di atas secara terperinci diuraikan fase-fase dari model

pembelajaran langsung sebagai berikut :

1. Menyampaikan dan Menetapkan Tujuan Pembelajaran

1) Menyampaikan Tujuan
Pengajar memberikan penjelasan tujuan pembelajaran serta

mempersiapkan siswa untuk belajar. Tujuan langkah ini untuk menarik

perhatian dan memusatkan perhatian siswa, serta memotivasi siswa agar

berperan dalam pembelajaran.

2) Menyiapkan Siswa

Kegiatan ini bertujuan untuk menarik perhatian siswa, memusatkan

perhatian siswa pada pokok pembicaraan, dan mengingatkan kembali pada

hasil belajar yang telah dimilikinya, yang relevan dengan pokok

pembicaraan yang akan dipelajari. Menyiapkan siswa dapat dilakukan

dengan cara menyampaikan pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan

awal siswa yang mungkin akan mendukung pada pemahaman konsep atau

pengetahuan prosedural yang akan diberikan.

2. Mendemonstrasikan Pengetahuan atau Keterampilan

Saat mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan oleh guru,

yang perlu diperhatikan adalah kejelasan dalam melakukan dan

menjelaskannya. Kunci untuk berhasil ialah mempresentasikan informasi

sejelas mungkin dan mengikuti langkah-langkah demonstrasi yang efektif.

Kejelasan dicapai melalui perencanaan dan pengorganisasian materi

dengan struktur yang baik. Agar kejelasan tahap demi tahap dicapai,

sebaiknya guru membuat analisis tugas. Tujuan yang akan dicapai dipecah

menjadi tujuan-tujuan langkah-langkah yang lebih kecil dan

mengurutkannya mulai dari tugas akhir kemudian mundur selangkah demi

selangkah.
3. Memberikan Latihan Terbimbing

Dalam tahap ini perlu diperhatikan adalah cara guru

mempersiapkan dan melaksanakan “pelatihan terbimbing” beberapa poin

yang dapat dijadikan acuan, sebagai berikut :

1) Berikan siswa kesempatan untuk melakukan latihan singkat dan

bermakna. Jika keterampilannya kompleks, pada awal pelatihan perlu

disederhanakan.

2) Berikan pelatihan sampai benar-benar menguasai konsep /

keterampilan yang dipelajari. Penguasaan demikian ditandai oleh

kemampuan siswa melakukan keterampilan secara otomatis.

4. Mengecek Pemahaman dan Memberikan Umpan Balik

Fase ini mirip dengan apa yang disebut resitasi. Fase ini ditandai

dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh guru kepada siswa

dan siswa memberikan jawaban yang menurut pendapat mereka benar,

Arends (dalam Suprihatiningnrum, 2013 : 234). Tugas paling penting bagi

guru dalam menggunakan model pembelajaran langsung adalah

memberikan siswa umpan balik yang bermakna dan pengetahuan tentang

hasil latihan yang diperoleh siswa. Tanpa umpan balik spesifik, siswa tak

mungkin dapat memperbaiki kekurangan atau kesalahannya, dan tidak

dapat mencapai tingkat penguasaan keterampilan yang mantap.

Dalam memberikan umpan balik, berikan bantuan agar focus

perhatian siswa pada proses bukan pada hasil. Dengan demikian, siswa

akan memahami bahwa hasil yang baik akan diperoleh bila proses yang
ditempuh telah dilakukan dengan benar. Umpan balik negatif sebaiknya

diiringi dengan demonstrasi cara melakukan prosedur dengan benar.

Misalnya, kita mengatakan “cara menimbangmu salah!”. Perkataan

demikian maknanya masih kurang jelas bagi siswa. Sebaiknya dalam

menimbang ada beberapa langkah yang harus dilakukan siswa. Tahapan

langkah ini yang haris dijelaskan guru pada tahapan mana siswa masih

salah. Selanjutnya, guru mendemonstrasikan tahap atau langkah yang

salah.

5. Memberikan Perluasan Latihan Terbimbing

Bentuk latihan mandiri dapat berupa pekerjaan rumah atau latihan

mandiri yang digunakan untuk memperpanjang waktu belajar. Beberapa

hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam memberikan tugas mandiri di

antaranya: a) pilih tugas mandiri yang dapat dikerjakan oleh siswa di

rumah secara mandiri; b) tugas kelanjutan dari proses pembelajaran, tetapi

merupakan pelatihan atau persiapan untuk pertemuan berikutnya.

Sedangkan menurut Fathurrohman (2015 : 170), sintaks model pembelajaran

langsung disajikan dalam lima tahap, seperti ditunjukkan pada tabel berikut :

Fase Peran Guru

Fase 1

Menyampaikan tujuan dan Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,

mempersiapkan siswa informasi latar belakang pelajaran,

pentingnya pelajaran, mempersiapkan

siswa untuk belajar.


Fase 2

Mendemosntrasikan pengetahuan Guru mendemonstrasikan keterampilan

dan keterampilan dengan benar, atau menyajikan

informasi tahap demi tahap.

Fase 3

Membimbing pelatihan Guru merencanakan dan memberi

bimbingan pelatihan awal.

Fase 4

Mengecek pemahaman dan Mengecek apakah siswa telah berhasil

memberikan umpan balik melakukan tugas dengan baik, memberi

umpan balik.

Fase 5

Memberikan kesempatan untuk Guru mempersiapkan kesempatan

pelatihan lanjutan dan penerapan melakukan pelatihan lanjutan, dengan

perhatian khusus pada penerapan kepada

situasi lebih kompleks dan kehidupan

sehari-hari.

Pada fase persiapan, guru memotivasi siswa agar siap menerima presentasi

materi pelajaran yang dilakukan melalui demonstrasi tentang keterampilan

tertentu. Pembelajaran diakhiri dengan pemberian kesempatan kepada siswa untuk

melakukan pelatihan dan pemberian umpan balik terhadap keberhasilan siswa.


Pada fase pelatihan dan pemberian umpan balik tersebut, guru perlu selalu

mencoba memberikan kesempatan pada siswa untuk menerapkan pengetahuan

atau keterampilan yang dipelajari ke dalam situasi kehidupan nyata. Pengajaran

langsung memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang sangat hati-hati di pihak

guru agar efektif, pengajaran langsung mensyaratkan tiap detail keterampilan atau

isi didefinisikan secara saksama dan demonstrasi serta jadwal pelatihan

direncanakan secara saksama.

Di lain pihak, Slavin (dalam Suprihatiningrum, 2013 : 235) mengemukakan

tujuh langkah dalam sintaks pembelajaran langsung, sebagai berikut:

1) guru memaparkan tujuan pembelaajaran serta hal apa saja yang harus

dipelajari siswa;

2) guru memberikan apersepsi dalam bentuk review pengetahuan dan

keterampilan prasyarat, hal ini dilakukan untuk mengungkap pengetahuan dan

keterampilan yang telah dikuasai siswa;

3) guru menyampaikan materi pelajaran secara langsung dengan menyajikan

informasi, memberikan contoh maupun mendemonstrasikan konsep;

4) guru melakukan pembimbingan, baik dengan memberikan pertanyaan

untuk menguji pemahaman siswa maupun mengoreksi kesalah konsep yang

dilakukan siswa;

5) guru memberikan kesemapatan kepada siswa untuk berlatih secara individu

atau kelompok berdasarkan pengetahuan baru yang telah diperoleh termasuk

melalui pembimbingan;
6) guru menilai kinerja siswwa dan memberikan umpan balik positif terhadap

keberhasilan siswa, jika siswa belum berhasil, guru perlu memberikan bimbingan

kembali;

7) guru memerikan latihan secara mandiri untuk meningkatkan pemahaman

siswa akan materi yang telah dipelajari.

2.1.4.3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Langsung

Kelebihan model pembelajaran langsung, Suprihatiningrum (2013 :

236 – 237) antara lain sebagai berikut :

1. Guru dapat mengendalikan isi materi dan urutan materi yang akan

disajikan.

2. Model ini memungkinkan untuk diterapkan secara efektif dalam kelas

yang besar maupun kecil.

3. Melalui pembimbingan, guru dapat menekankan hal-hal penting atu

kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi siswa.

4. Merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan konsep dan

keterampilan-keterampilan yang eksplisit kepada siswa yang berprestasi

rendah karena guru memberikan bimbingan secara individual.

5. Informasi yang banyak dapat tersampaikan dalam waktu yang relatif

singkat yang dapat diakses secara setara oleh seluruh siswa.

6. Salah satu metode yang dipakai dalam model ini adalah ceramah. Metode

ceramah merupakan cara yang bermanfaat untuk menyampaikan informasi

kepada siswa yang tidak suka membaca atau yang tidak memiliki

keterampilan dalam menyusun dan menafsirkan informasi.


7. Model pembelajaran langsung yang menekankan kegiatan mendengar

(misalnya, ceramah) dan mengamati (misalnya demonstrasi) dapat

membantu siswa yang cocok belajar dengan cara-cara ini.

8. Model pembelajaran langsung (terutama demonstrasi) dapat memberi

siswa tantangan untuk mempertimbangkan kesenjangan yang terdapat di

antara teori (yang harusnya terjadi) dan observasi (kenyataan yang mereka

lihat).

9. Model pembelajaran ini berguna bagi siswa yang tidak memiliki

kepercayaan diri atau keterampilan dalam melakukan tugas seperti yang

didemonstrasikan oleh guru.

Adapun Kekurangan model pembelajaran langsung, Suprihatiningrum (2013 :

237 – 238) sebagai berikut :

1. Tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk mendengarkan,

mengamati, dan mencatat dengan baik. Oleh karena itu, guru masih harus

mengajarkan dan membimbing siswa.

2. Guru kadang kesulitan untuk mengatasi perbedaan dalam hal kemampuan,

pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan pemahaman, gaya belajar,

atau ketertarikan siswa.

3. Kesempatan siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial dan

interpersonal terbatas karena partisipasi aktif lebih banyak dilakukan oleh

guru.
4. Kesuksesan pembelajaran ini sangat bergantung pada guru. Jika guru siap,

berpengetahuan, percaya diri, antusias, dan terstruktur, siswa dapat belajar

dengan baik.

5. Model pembelajaran ini dapat berdampak negative terhadap kemampuan

penyelesaian masalah, kemandirian, dan keingintahuan siswa karena

ketidaktahuan siswa akan selesai dengan pembimbingan guru.

6. Model pembelajaran langsung membutuhkan keterampilan komunikasi

yang baik dari guru. Jika komunikasi tidak berlangsung efektif, dapat

dipastikan pembelajaran tidak akan berhasil.

7. Guru sulit untuk mendapatkan umpan balik mengenai pemahaman siswa,

sehingga dapat berakibat pada ketidakpahaman siswa atau

kesalahpahaman siswa.

8. Model pembelajaran ini akan sulit diterapkan untuk materi-materi yang

abstrak dan kompleks.

9. Jika model pembelajaran langsung tidak banyak melibatkan siswa, siswa

akan kehilangan perhatian setelah 10-15 menit dan hanya akan mengingat

sedikit isi materi yang disampaikan.

10. Siswa menjadi tidak bertanggung jawab mengenai materi yang harus

dipelajari oleh dirinya karena menganggap materi akan diajarkan oleh

guru.

2.1.5 Tinjauan Materi

2.1.5.1. Bangun Ruang Sisi Lengkung


Bangun ruang sisi lengkung adalah kelompok bangun ruang yang

memiliki bagian-bagian yang berbentuk lengkungan. Biasanya bangun ruang

tersebut memiliki selimut ataupun permukaan bidang. Yang termasuk ke dalam

bangun ruang sisi lengkung adalah tabung, kerucut, dan bola.

2.1.5.1.1. Tabung

Tabung merupakan sebuah bangun ruang yang dibatas

oleh dua bidang berbentuk lingkaran pada bagian atas dan bawahnya. Kedua

lingkaran tersebut memiliki ukuran yang sama besar serta kongruen. Keduanya

saling berhadapan sejajar dan dihubungkan oleh garis lurus. unsur-unsur yang ada

pada tabung diantaranya adalah :

t = tinggi tabung

r = jari-jari

Rumus-Rumus Yang Berlaku untuk Tabung:

Luas Alas = Luas Lingkaran = πr2

Luas Tutup = Luas Alas = πr2

Luas Selimut = Keliling Alas × Tinggi = 2πr × t = 2πrt

Luas Permukaan Tabung = Luas Alas + Luas Tutup + Luas Selimut

Luas Permukaan Tabung = πr2 + πr2 + 2πrt

Luas Permukaan Tabung = 2πr2 + 2πrt

Luas Permukaan Tabung = 2πr(r + t )

Volume Tabung = Luas Alas × Tinggi

Volume Tabung = πr2 x t


Volume Tabung = πr2 t

2.1.5.1.2. Kerucut

kerucut merupakan sebuah bangun ruang yang

alasnya berbentuk lingkaran dan dibatasi oleh garis-garis pelukis yang

mengelilinginya membentuk sebuah titik puncak. unsur-unsur yang ada pada

kerucut adalah:

t = tingi kerucut
r = jari-jari alas kerucut
s = garis pelukis
Rumus-Rumus Yang Berlaku untuk Kerucut:

Luas alas = luas lingkaran = πr2

Luas selimut = Luas Juring

Luas selimut =     panjang busur    x luas lingkaran

                            keliling lingkaran

Luas Selimut = 2πr x πs2

                           2πs

Luas Selimut = πrs

Luas Permukaan Kerucut = Luas alas + Luas Selimut

Luas Permukaan Kerucut = πr2 + πrs

Luas Permukaan Kerucut = πr (r + s)

Volume Kerucut = 1/3 x volume tabung

Volume Kerucut = 1/3 x luas alas x tinggi


Volume Kerucut = 1/3 x πr2 x t

Volume Kerucut = 1/3πr2t

2.1.5.1.3. Bola

Bola merupakan sebuah bangun ruang yang memiliki

titik pusat dan membentuk titik-titik dengan jari-jari yang sama yang saling

berbatasan. unsur-unsur yang ada pada bola adalah:

r = jari-jari bola

Rumus-Rumus Yang Berlaku untuk Bola:

Luas Permukaan Bola = 2/3 x Luas Permukaan Tabung

Luas Permukaan Bola = 2/3 x 2πr (r + t)

Luas Permukaan Bola = 2/3 x 2πr (r + 2r)

Luas Permukaan Bola = 2/3 x 2πr (3r)

Luas Permukaan Bola = 4πr2

Volume Bola = 4/3πr3

Luas Belahan Bola Padat = Luas 1/2 Bola + Luas Penampang

Luas Belahan Bola Padat = 1/2 x 4πr2 + πr2

Luas Belahan Bola Padat = 2πr2 + πr2

Luas Belahan Bola Padat = 3πr2

2.2 Hasil Yang Relevan

Penelitian yang di lakukan oleh Septi Ayuningsih dengan judul

penelitian “PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN


PROBLEM SOLVING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF

MATEMATIKA SISWA SMA HANDAYANI PEKANBARU”. Pada

penelitian ini terbukti bahwa dengan menggunakan metode pembelajaran problem

solving selama pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan

berpikir kreatif siswa. Lain halnya dengan penelitian oleh Septi Ayuningsih,

dalam hal ini peneliti ingin meneliti hasil belajar siswa dengan penerapan Problem

Solving dengan menggunakan langkah polya.

Letak perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Septi

Ayuningsih adalah pada materi dan tingkat sekolah. Pada penelitian ini materi

yang digunakan adalah bangun ruang sisi lengkung sedangkan pada penelitian

yang dilakukan oleh Septi Ayuningsih materinya adalah persamaan kuadrat.

Adapun perbedaan dalam tingkat sekolah, penelitian ini di lakukan si sekolah

menengah pertama sedangkan pada penelitian Septi Ayuningsih di lakukan di

sekolah menengah atas. Adapun perbedaan lainnya terletak dalam jenis penelitian

yang di lakukan. Pada penelitian ini peneliti menggunakan desain penelitian

pretest-posttest control group design. Sedangkan pada penelitian Septi

Ayuningsih, desain yang digunakan adalah Posttest-only Design with

Nonequivalent Group.

2.3 Kerangka Berpikir

Matematika memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan,

dimana matematika diajarkan di setiap jenjang pendidikan. Kualitas pembelajaran

matematika selalu dikaitkan dengan pencapaian prestasi belajar matematika siswa.


Keberhasilan siswa dalam meraih prestasi belajar ditentukan oleh kualitas proses

pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Prestasi belajar siswa yang maksimal

dapat dicapai melalui peran aktif dari guru dan siswa. Sedangkan proses

pembelajaran dimana penyampaian materi dengan model pembelajaran langsung

dan tidak adanya kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengakibatkan siswa

kurang terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. Hal ini menyebabkan

tidak adanya keaktifan dalam proses belajar mengajar secara maksimal sehingga

hasil belajar menjadi rendah. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah

dengan menggunakan pendekatan yang membuat pembelajaran matematika lebih

bermakna. Salah satunya dengan menerapkan model pembelajaran Problem

Solving.

Pendekatan ini melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu

masalah pribadi atau peorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan

sendiri atau bersama-sama. Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan

penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah. Ketika dihadapkan

dengan situasi pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan pemecahan

masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya.

2.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian pada kajian teori dan kerangka berpikir di atas,

maka hipotesis penelitian ini adalah Hasil belajar siswa dengan model

pembelajaran problem solving lebih tinggi dari pada hasil belajar siswa

ketika menggunakan model pembelajaran langsung.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri Widyakrama, Kecamatan Telaga

Biru Kabupaten Gorontalo. Sasaran dari penelitian ini yaitu siswa kelas IX dalam

mata pelajaran matematika pada semester ganjil tahun ajaran 2017-2018.

3.2. Metode dan Desain Penelitian

Metode penelitian ini adalah eksperimen, dimana peneliti merancang dan

melaksanakan proses pembelajaran. Penelitian ini terdiri dari kelas control dan

kelas eksperimen. Pada kelas control diberikan perlakuan model pembelajaran

langsung dan pada kelas eksperimen diberikan perlakuan model pembelajaran

problem solving. Dalam penelitian ini digunakan desain penelitian pretest-posttest

control group design. (Sugiyono, 2013 : 112).

Tabel 3.1 Desain Penelitian

Kelas Pretest Perlakuan Post Test

Eksperimen O1 X1 O2

Kontrol O3 X2 O4
Keterangan :

X1 : Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran problem solving

X2 : Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran langsung

O1 : Pretest untuk kelas eksperimen.

O2 : Posttest untuk kelas eksperimen.

O3 : Pretest untuk kelas kontrol.

O4 : Posttest untuk kelas kontrol.

3.3. Variabel Penelitian


Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi

tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan, Sugiyono (2014:60). Variabel

dalam penelitian ini terdiri dari :

3.3.1. Variabel Bebas

Menurut Sugiyono (2015:61), variabel bebas adalah variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel

dependen (terikat). Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel bebasnya adalah

penggunaan Model Pembelajaran Problem Solving.

3.3.2. Variabel Terikat

Menurut Sugiyono (2015:61), variabel terikat adalah variabel yang

dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Dalam

penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah hasil belajar matematika.

3.4. Populasi Dan Sampel

3.4.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa SMP Negeri

Widyakrama kab. Gorontalo yang terdiri dari 2 kelas dengan kemampuan yang

homogen. Total populasi berjumlah 60 siswa, dengan rincian masing-masing

kelas adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2 Rincian Siswa Kelas IX SMP Negeri Widyakrama

Kelas Jumlah Siswa


IX-1 30
IX-2 30
Sumber Data : Daftar Hadir Kelas IX SMP Negeri Widyakrama tahun ajaran
2017/2018
3.4.2. Sampel

siswa di bagi menjadi 2 kelas lagi yaitu kelas A dan kelas B dengan

masing – masing perkelasnya 30 siswa. di kelas pertama di terapkan model

pembelajaran Problem Solving dan di kelas kedua di terapkan model

pembelajaran langsung. Dalam hal ini kelas B yang dibelajarkan dengan

menggunakan model pembelajaran langsung dan A yang dibelajarkan dengan

menggunakan model pembelajaran Problem Solving.

3.5 Tehnik Pengumpulan Data

` Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data kemampuan

awal matematika (pretest) dan data hasil belajar siswa yang menggunakan model

pembelajaran Problem Solving dan yang menggunakan model pembelajaran

langsung pada materi bangun ruang sisi lengkung. Sumber data tersebut adalah

seluruh siswa yang menjadi sampel. Data diperoleh dengan menggunakan

instrument berupa test essay yang diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Untuk memperoleh kelayakan instrument, dilakukan uji validitas dan uji

reliabilitas.

3.5.1. Pengembangan Instrumen

3.5.1.1. Definisi Konseptual

Hasil belajar adalah penguasaan siswa terhadap berbagai

pengetahuan atau kemampuan baik berupa sikap, nilai maupun keterampilan yang

dimiliki siswa setelah melalui proses pembelajaran. Kemampuan yang dimaksud

adalah kemampuan kognitif yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman,

penerapan, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Dalam penelitian ini,

kemampuan kognitif disesuaikan dengan kompetensi dasar dan indikator

pencapaian kompetensi yang ada.

3.5.1.2. Definisi Operasional

Hasil belajar siswa akan dilihat dari skor total yang diperoleh siswa

melalui tes hasil belajar siswa pada materi bangun ruang sisi lengkung yang

disusun berdasarkan indikator pencapaian kompetensi.

3.5.1.3. Kisi – Kisi Pengembangan Instrumen

Tabel 3.3 kisi – kisi instrumen penelitian

Ranah kognitif / no. Soal


Jumlah
No Indikator
soal
C1 C2 C3 C4 C5 C6
Mengidentifika
1 si unsur – 1 2 - - - - 2
unsur tabung

Menentukan
hasil luas
2 - - 3,4 - - - 2
permukaan dan
volume tabung

Menyelesaikan
permasalahan
yang berkaitan
3 dengan tabung - - - 5,6 - - 2
dalam
kehidupan
sehari – hari

Mengidentifika
4 si unsur – 7 8 - - - - 2
unsur kerucut

Menentukan
hasil luas
5 permukaan dan - - 9,10 - - - 2
volume
kerucut

Menyelesaikan
permasalahan
yang berkaitan
6 dengan kerucut - - - 11,12 - - 2
dalam
kehidupan
sehari – hari

Mengidentifika
7 si unsur – 13 14 - - - - 2
unsur bola

8 Menentukan - - 15,16 - - - 2
hasil luas
permukaan dan
volume bola

Menyelesaikan
permasalahan
yang berkaitan
9 dengan bola - - - 17,18 - - 2
dalam
kehidupan
sehari – hari

Jumlah 3 3 6 6 - - 18

Keterangan :

C1 : Pengetahuan C2 : Pemahaman

C3 : Penerapan C4 : Analisis

C5 : Sistesis C6 : Evaluasi

3.6. Uji Instrumen Penilaian

3.6.1. Uji Validitas

Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat

kevalidan suatu instrumen. Jadi suatu soal dikatakan valid apabila soal itu dapat

mengukur apa yang hendak diukur. Dalam penelitian ini pengujian validitas tes

diujikan dengan 2 tahap. Tahap pertama adalah pengujian validitas konstruksi

dalam tahap ini peneliti lakukan melalui bimbingan dosen dan guru mitra

hasilnya, tahap kedua adalah pengujian validitas empirik dengan menggunakan uji

korelasi product moment yaitu korelasi antar skor butir tes dengan skor total tes.

Rumus yang digunakan sebagai berikut :


n ∑ X i Y i−(∑ X i )(∑Y i )
r xy =
√ {(n∑ X −( ∑ X ) )¿ ¿ ¿
2
i i
2

( sumber : Sudjana, 2005: 369 )

Keterangan :
r xy = Koefisien korelasi produck moment
∑X = Jumlah skor untuk tiap item
∑Y = Jumlah skor untuk keseluruhan item
n = Jumlah responden(banyaknya pesetra didik yang mengikuti tes)

Interpretasi Koefisien Korelasi

Validasi Butir Kriteria validasi butir


0,80<r ≤ 1,00 Validasi butir tes sangat tinggi
0,60<r ≤ 0,80 Validasi butir tes tertinggi
0,40<r ≤ 0,60 Validasi butir tes cukup
0,20<r ≤ 0,40 Validasi butir tes rendah
r xy ≤ 0,20 Sangat rendah

3.6.2. Uji Realibilitas

Menurut Arikunto (2013: 221) reliabilitas menunjukan pada suatu

pengertian bahwa suatu instrumen cukup dipercaya untuk digunakan sebagai alat

pengumpul data karena intrumen tersebut sudah baik, Instrumen yang sudah

dipercaya yang reliabilitas akan menhasilkan data yang dapat dipercaya.

Instrumen penelitian ini adalah dalam bentuk essay, maka rumus yang digunakan

untuk menguji reliabilitas tes adalah rumus Alpha, yakni :

[ ][ ]
2
k Σσ
r 11= 1− 2 b
k −1 σt

Keterangan :
r 11=¿ Reabilitas instrumen
k =¿ Banyaknya butir soal
Σ σ 2b=¿ Jumlah varians butir soal
2
σ t =¿ Varians soal

3.7 Tehnik Analisis Data

Data yang terkumpul berupa skor hasil belajar dianalisis dengan

menggunakan analisis deskriptif dan analisis inferensial, analisis deskriptif yang

digunakan mean median dan modus. Sedangkan untuk analisis inferensial untuk

menguji hipotesis dengan menggunakan analisis kovarian (ANKOVA). Hal ini

dilakukan karena dalam penelitian ini menggunakan variabel penyerta sebagai

variabel bebas yang sulit dikontrol tetapi dapat diukur bersama variabel terikat.

Adapun asumsi yang paling mendasar yang harus dipenuhi adar analisis kovarians

menjadih sahih adalah sebagai berikut (Kadir.2015:412-413)

Tabel 3.4 Desain Data ANAKOVA – 1 Jalan

KELOMPOK EKSPRIMEN KELOMPOK KONTROL


Pretest (O1) Posttest¿ ¿) Pretest¿ ¿) Posttest¿ ¿)
X 1.1 Y 1.1 X 2.1 Y 2.1
X 1.2 Y 1.2 X 2.2 Y 2.2
X 1.3 Y 1.3 X 2.3 Y 2.3
... ... ... ...
X 1. n Y 1.n X 2. n Y 2.n

yang dimaksud dengan X 1. = skor pretest pada kelas eksperimen


Y 1. = skor posttest pada kelas eksperimen

X 2 = skor pretest pada kelas kontrol

Y 2. = skor posttest pada kelas kontrol

Sebelum melakukan ANKOVA, dilakukan pengujian homogenitas dan normalitas


dari data yang diperoleh.

3.7.1. Uji Normalitas

Pengujian normalitas data untuk mengetahui apakah data yang

diperoleh peneliti berdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini uji

normalitas yang digunakan adalah uji lilefors (Sudjana, 2005: 466) dengan

prosedur sebagai berikut :

1. Pengamatan x 1, x 2,...¸ x n, dijadikan bilangan baku z 1, z 2,...¸ z n dengan


xi −x
menggunakan rumus z i=
s
Dimana :
x = rata-rata sampel yang diperoleh dengan rumus:

x=
∑ xi
n
s = standar deviasi yang diperoleh dengan rumus:

2
s=
∑ ( x i−x )
2

n−1
2. Untuk tiap bilangan baku menggunakan daftar distribusi normal baku,
kemudian dihitung peluang F ( z i ) =P ( z ≤ z i ).
3. Selanjutnya dihitung proporsi z 1, z 2,...¸ z n yang lebih kecil atau sama dengan z i.
Jika proporsi ini dinyatakan oleh S ( z i ), maka
banyaknya z 1 , z 2 , ... ¸ zn yang ≤ zi
S ( z i )=
n
4. Hitung selisih F ( z i ) - S ( z i ) kemudian tentukan harga mutlaknya
5. Ambil harga yang paling besar di antara harga-harga mutlak selisih tersebut.

3.7.2. Uji Homogenitas Varians


Pengujian homogenitas varians bertujuan untuk menguji kesamaan
rata-rata dari beberapa varians. Karena dalam penelitian ini hanya menggunakan
dua kelas maka rumus yang digunakan adalah uji kesamaan dua varians. Langkah-
langkah pengujian kesamaan dua varians (Sudjana, 2005: 250) adalah sebagai
berikut :
Akan diuji mengenai uji dua pihak untuk pasangan hipotesis nol H o
dan tandingannya H1 :
2 2
H 0 :σ 1=σ 2
2 2
H 1: σ1≠ σ 2
Keterangan :

2 2
H 0 : σ 1=σ 2 : kedua kelas memiliki kemampuan yang sama (homogen)

2 2
H 1: σ1≠ σ 2 :kedua kelas memiliki kemampuan yang tidak sama (tidak
homogen)

Berdasarkan sampel acak yang masing-masing secara independen diambil


dari populasi tersebut, maka statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis H 0
varians terbesar
adalah F=
varians terkecil

F≥ F F
Tolak H 0 hanya jika 1
α (V 1 .V 2 )
dengan 1
α (V 1 .V 2 )
didapat daftar distribusi F dengan
2 2

1
peluang α , sedangkan derajat kebebasan
V 1 dan V 2 masing – masing sesuai
2
dengan dk pembilang dan penyebut.

Setelah data homogen dan berdistribusi normal, selanjutnya dilakukan langkah –


langkah ANKOVA-1 jalan sebagai berikut (Kadir,2015:414-416)
1. Menentukan Jumlah Perkalian (JP)
JP (T) = ∑ X t Y t −¿ ¿
a a
JP(D) = ∑ ¿¿ =∑ X i Y i
i=1 i=1

a
JP(A) = ∑ ¿¿
i=1

dimana a = banyaknya kelompok

2. Menentukan Jumlah Kuadrat Kovariat X ( JK x )

(∑ X t )
2
JK x (T) =∑X − 2
t
nt

{∑ (∑ X i )
}
2
a a
JK x (D) =∑ X −
2
=¿ ∑ X i ¿
2

i=1
i ¿ i=1

∑{ }
(∑ )
2
(∑ X t )
2
JK x (A)
a
Xi
= −
i=1
¿ nt

3. Menentukan Jumlah Kuadrat Variabel Respon Y ( JK y )

(∑ Y t )
2
JK y (T) = ∑Y − 2
t
nt

{∑ (∑ Y i )
}
2
a a
JK y (D) =∑ Y − 2
=¿ ∑ Y 2i ¿
i=1
i ¿ i=1

{ (∑ Y i )
} (∑ Y t )
2 2
a
JK y (A) =∑ −
i=1
¿ nt

4. Menentukan JK y dikoreksi (disebut JK res ¿ , melalui langkah langkah


sebagai berikut :
a. Menentukan Koefisien regresi Y atas X (b xy )
JP(T )
b xy (T) =
JK x (T )
JP(D)
b xy (D) =
JK x (D)
JP( A)
b xy (A) =
JK x (A )
b. Menentukan JK reg untuk berbagai sumber varians :
JK reg(T) = b xy (T) . JP (T)
JK reg(D) = b xy (D) . JP (D)
JK reg(A) = JK reg(T) - JK reg(D)
c. Menentukan Jumlah Kuadrat Y Residu (JK res ) :
JK res(T) = JK y (T) - JK reg(T)
JK res(D) = JK y (D) - JK reg(D)
JK res(A) = JK y (A) - JK reg(A)
5. Menentukan derajar kebebasan (db)
db res(T)= nt – m – 1 ( m = banyaknya kovariat)
db res(A) = na – 1
db res(D) = nt – m – na (na = banaknya kelompok)
6. Menghitung Rata – Rata Jumlah Kuadrat Residu (JK residu)
JK res ( A)
RJK res ( A) =
db res ( A)
JK res (D)
RJK res ( D) =
db res (D)

7. Menentukan harga F-hitung atau ( F 0 ):


RJ res ( A)
F hit = bandingan dengan F tabel=F (0,05 ) , dbres ( A ) ,db res ( D )
RJ res ( D)
Jika F hit ≤ Ftabel maka H 0diterima atau tidak terdapat perbedaan
rata-rata Y diantara kelompok Ai setelah mengontrol Variabel X
Jika F hit > F tabel maka H 0ditolak atau terdapat perbedaan rata-rata Y
diantara kelompok Ai setelah mengontrol Variabel X.
8. Uji Lanjut
Selanjutnya jika H 0 ditolak atau terdapat perbedaan diantara
kelompok perlakuan setelah mengontrol kovariat (pretest), maka
dilakukan uji lanjut dengan statistik uji t-ANKOVA, dengan
formula sebagai beriku.
|Y res(i)−Y res( j)|
t 0= dan t tabel= t (0,05 ), dbres ( D)
√ RJK res ( D)¿ ¿ ¿
Y res(i)= Y ( i )−b xy { X ( i )−X (t ) }

Kriteria pengujian yaitu:

Jika t 0 ≤ t tabel maka H 0 diterima

Jika t 0 >t tabel maka H 0 ditolak

9. Efisiensi relatif dan ketepatan model


a) Efesiensi Relatif (ER)
Untuk melihat efisiensi relatif dari analis kovarians (setelah
mengontrol pre-test) terhadap varians (tidak mengontrol pre-
test), dapat digunakan rumus efiensi relatif (ER) berikut ini.
JRK y D ( tidak dikoreksi )
ER = × 100 %
RJK y D ( efektif setelah dikoreksi )
Dimana :
JRK y ( D)
JRK y D ( tidak dikoreksi )=
nt −na

RJK y D ( efektif setelah dikoreksi )= RJK res D 1+


{ JK x ( A)
( na−1)JK y (D) }
b) Pemeriksaan ketepatan model
Pengujian hipotesis dengan menggunakan model analisis
kovarians mansyaratka adanya ketetapan dari model tersebut,
adapun pemeriksaan ketetapan model meliputi sebagai berikut.
1) Pengujian ketetapan penggunaan kovariat X dalam model pengujian
koefisien regresi T atas X, melalui hipotesis berikut.
H 0 : β=0 ;pre-test tidak berpengaruh terhadap hasil belajar matematika
H 1 : β ≠ 0 ;pre-test berpengaruh terhadap hasil belajar matematika
Statistik uji yang digunakan adaelah sebagai berikut.
2
JP( D) /JK x ( D)
F 0=
JK res ( D)

F tabel=F ¿¿

Hal ini berarti terdapat pengaruh pretest (X) terhadap hasil belajar
matematika (Y) dengan demikian, pelibatan pretest dalam model
ANKOVA adalah tepat. Artinya efek pretest perlu dekendalikan
melalui ANKOVA karena ia mempengaruhi hasil Y, padahal tujuan
penenlitian adalah untuk mempelajari model pembelajaran terhadap Y.
Jadi penggunaan ANKOVA sangat tepat untuk menjamin bahwa hasil
Y memang dipengaruhi oleh model pembelajaran yang akan dicobakan.

2) Pengujian terhadap asumsi bahwa model pembelajaran tidak bekoreksi


(bebas) dengan pre-test X
H 0 : tidak ada hubungan antara perlakuan metode pembelajaran dengan
pre-test X yang dilibatkan dalam model

H 1: Bukan H 0

Statistik uji yang digunakan adalah sebgai berikut .

(JK x ( A ))/( na−1)


F 0=
(JK ¿¿ x ( D ) )/(nt−na) ¿

F tabel=F (0,05 ;na−1 ;nt−na) jika F 0 ≤ F tabel maka H 0 diterima

3) Pengujian kesejajaran atau kehomogenitas (sama) koefisien regresi


masing-masing perlakuan.
Uji homogenitas keofisien regresi adalah salah satu uji persyaratan
utama dalam ANKOVA, adapun hipotesis yang akan diuji.
H 0 : β=β
H 1 : bukan H 0
Langkah – langkah pengujian

1. Menentukan koefisien regresi, dengan rumus b i=


∑ XiY i
∑ X i2
2. Menentukan jumlah kuadrat regresi (JK reg )
Rumus yang digunakan JK reg ( A i) =bi ∑ X i Y i
3. Menentukan jumlah total kuadrat residu (JK res )
Rumus yang digunakan ¿
F tabel=F ¿¿
4. Menghitung F 0
( JK res ( D ) )−(∑ JK res (A i))/(na−1)
F 0=
¿¿
F 0 ≤ Ft maka H 0 diterima

c.8 Hipotesis Statistik


Hipotesis yang akan diuji dirumuskan sebagai berikut:
H0 : µ1 ≤ µ2
H1 : µ1> µ2
Keterangan:
H0 = Hipotesis Nol
H1 = Hipotesis Alternatif
µ1 = Rata-rata hasil belajar populasi yang diajarkan dengan
menggunakan model pembelajaran problem solving
µ2 = Rata-rata hasil belajar populasi yang diajarkan dengan
menggunakan model pembelajaran langsung.
( sumber : Sudjana. 2005: 243 )
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid (2008). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Ali, Muhammad. 2008. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar
Baru Algensindo
BSNP. (2007). Permendiknas RI No 20, Tahun 2007, tentang Standar Penilaian
Pendidikan.
Depdikbud. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua. Jakarta:
Depdikbud
BSNP. (2007). Permendiknas RI No 41, Tahun 2007, tentang Standar Proses
untuk Satuan Pendidikan dasar dan Menengah.
Depdiknas. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang sistem pendidikan Nasional. Jakarta.
Hamid Darmadi (2011). Metode penelitian pendidikan. Bandung. Alfa beta
Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : CV Pustaka Setia.
Hasan, Iqbal. 2010. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: Bumi
Aksara
Ismail. 2003. Media Pembelajaran (Model-Model Pembelajaran). Jakarta:
Direktorat Pendidikan Nasional.
Martinis Yamin (2008). Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan
Pendidikan. Bandung. Gaung Persada Press Jakarta
Murni. 2003. Pembelajaran Pemecahan Masalah Model Polya (Topik Keliling dan
Luas Lingkaran). Jurnal tidak diterbitkan.
Maifyanti, Isnaini. 2005. Pembelajaran Pemecahan Masalah Model Polya Pada
Sub Pokok Bahasan Penerapan Bangun Ruang Kelas VIID SMP Negeri 4 Jember
Semester Genap Tahun Ajaran 2004/2005. Jurnal tidak diterbitkan.
Nana Sudjana (2005). Penilaian Proses Hasil Belajar Mengajar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Nana Syaodih Sukmadinata (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Nurina Anggraeni (2009). Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Penerapan
Metode Problem Solving Di MTs Bantul Kota. Yogyakarta : UNY
Riduwan. 2008. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru-Karyawan Dan Peneliti
Pemula. Bandung : Alfabeta
Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada
Subana, dkk. 2005. Statistik Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia
Sudjana, D. (2000). “StrategiPembelajaran” Bandung: FalahProduction
Sugiyono (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Toeti Soekamto dan Udin Saripudin Winataputra (1997). Teori Dan Model-model
Pembelajaran. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai