Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

ST SEGMENT ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTON

Dokter Pembimbing :

dr. Hj. Nurlaily Syamsuddin, Sp. JP

Oleh :

Tiffany Rachma Putri

2014730091

STASE ILMU PENYAKIT DALAM RSIJ PONDOK KOPI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum wr wb,

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa
karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
laporan kasus mengenai ST Segment Elevation Myocardial Infarcton.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan pernghargaan dan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan arahan demi
terselesaikannya laporan kasus ini khususnya kepada dr. Hj. Nurlaily Syamsuddin, Sp. JP
selaku pembimbing laporan kasus.

Penulis sangat menyadari dalam proses penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun metode penulisan. Namun demikian, kami telah
mengupayakan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Penulis dengan rendah
hati dan dengan tangan terbuka menerima segala bentuk masukan, saran dan usulan guna
menyempurnakan laporan kasus ini.

Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.

Wassalammu’alaikum wr wb.

Jakarta, Mei 2019

Penulis

1
1 Anamnesis
1. Identitas Pasien
 Nama : Tn S
 Usia : 56 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Pekerjaan : Karyawan
 Status Perkawinan : Menikah
 Pendidikan : SMP
 Agama : Islam
 Alamat : Kp. Rawa Domba, Duren Sawit
 Tanggal MRS : Rabu, 8 Mei 2019
 Ruangan : An Nas 2 kamar 107 – 1

2. Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri dada sejak 8 jam SMRS.

3. Keluhan Tambahan
Sesak nafas, batuk, lemas, kaki bengkak

4. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan nyeri dada yang
memberat sejak 8 jam SMRS.. Nyeri dada hilang timbul, terasa seperti terbakar, nyeri
dirasakan di dada bagian kiri menjalar hingga punggung. Pasien mengaku nyeri dada
semakin memberat dan dapat berlangsung selama lebih dari 20 menit saat terjadi
serangan dan disertai dengan keringat dingin. Nyeri dada memberat jika beraktivitas
dan berkurang ketika istirahat. Pasien mengatakan sulit tidur karena nyeri dada
sampai ia mengalami keringat dingin.
Pasien juga mengeluh sesak nafas sejak 2 hari SMRS. Sesak dirasakan saat
dan setelah beraktivitas saat pasien bekerja maupun saat membuka pakaian dan
berkurang dengan istirahat. Keluhan disertai jantung berdebar-debar. Pasien
mengeluh batuk sejak 2 hari SMRS, batuk dialami jarang, tidak berdahak namun
memberat pada malam hari. Pasien mengeluh riwayat kedua kaki bengkak 1 minggu

2
SMRS, selain itu pasien juga merasa lemas. Keluhan mual dan muntah disangkal.
Demam disangkal. Keluhan BAB dan BAK disangkal.

5. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Terdapat riwayat
hipertensi dan kolesterol. Riwayat diabetes mellitus disangkal.

6. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit jantung pada keluarga disangkal.

7. Riwayat Pengobatan
Pasien sempat datangi klinik namun tidak diberi obat-obatan dan hanya di rujuk ke
RSIJ Pondok Kopi. Pasien mengonsumsi amlodipine untuk hipertensi.

8. Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat-obatan, makanan, cuaca atau debu disangkal.

9. Riwayat Psikososial
Pasien makan teratur 3 kali sehari. Pasien sering mengonsumsi makanan berlemak
sebelum saki. Pasien merokok sebanyak 1 bungkus sehari.

2 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda Vital :
• Tekanan darah : 110/70 mmHg (dengan intervensi obat antihipertensi)
• Suhu : 37oC
• Nadi : 114 x/menit, reguler, kuat angkat
• Pernapasan : 20 x/menit

4. Status Antropometri :
• BB sebelum sakit : 68
• BB sesudah sakit : 65 kg
• TB : 170 cm
3
• IMT : 22,5 kg/m2 (Berat badan ideal)

5. Status Generalisata
• Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata
• Mata : CA (-/-), SI (-/-), refleks pupil (+/+)
• Hidung : Sekret (-/-), epistaksis (-/-), mukosa edem (-/-)
• Mulut : Mukosa bibir lembab, stomatitis (-), bibir sianosis (-)
• Tenggorokan : Tonsil T1-T1, hiperemis (-/-)
• Telinga : Normotia (+/+), Sekret (-/-), hiperemis (-/-)
• Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-/-), JVP 5 + 2 cm
H2O
6. Status Thoraks
• Inspeksi : Bentuk dan pergerakan dinding dada simetris, retraksi
dinding dada (-), penggunaan otot bantu napas (-)
• Palpasi : Vocal fremitus sama kanan dan kiri
• Perkusi : Sonor (+/+)
• Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

7. Status Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
• Perkusi : Batas atas : ICS III, linea parasternalis sinistra
Batas kanan : ICS V, linea parasternalis dextra
Batas kiri : ICS VI, linea aksilaris anterior sinistra
• Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler. Murmur (-),
gallop (-)

8. Status Abdomen
• Inspeksi : Bentuk abdomen tampak simetris
• Auskultasi : Bising usus normal (+) 8x/menit
• Palpasi : Supel (+), Nyeri tekan epigastrium (+), turgor kulit normal
• Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
• Hepar : Nyeri (-), hepatomegali (-)
• Limpa : Nyeri (-), splenomegali (-)
4
• Ginjal : Nyeri ketok (-/-).

9. Status Ekstremitas

Superior Inferior
Akral hangat (+/+) (+/+)
Edema (-/-) (-/-)
CRT < 2 detik (+/+) (+/+)
Sianosis (-/-) (-/-)

3 Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Darah Rutin tanggal 3 Maret 2019

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal


Hemoglobin 14,1 mg/dl 13,5 – 17,5
Leukosit 6,0 103/uL 5 – 10
Hematokrit 42 % 40 – 50
Trombosit 189 103/uL 150 – 400
GDS 125 mg/dl 70 - 200
Troponin I 0,19 ng/ml 0,00 – 0,02
Urea 33 mg/dl 10 – 50
Kreatinin 1,0 mg/dl 0,68 – 1,17
Natrium 132 mmol/L 132 – 145
Kalium 3,59 mmol/L 3,50 – 5,50
Chloride 103 mmol/L 98 – 110

5
2) Pemeriksaan EKG tanggal 8 Mei 2019

Interpretasi EKG :
• Irama : Sinus, Reguler
• QRS rate : 107 kali/menit
• Axis : Deviasi ke kiri
• P wave : 0,2 mv, 0,08 s
• PR interval : 0,12 s
• QRS duration : 0,08 s
• ST segment : ST elevasi lead V1, V2, V3, V4
• T wave : T normal
• U wave : Tampak pada lead V5
• Kesan : STEMI anteroseptal

6
3) Pemeriksaan Rotgen Thoraks tanggal 4 Maret 2019

Interpretasi rontgen thorax :


Thorax AP/PA
• Cor CTR > 50%;
• Tampak perselubungan basal paru kanan sampai sinus kanan, perihiler kanan
suram.
• Corakan kasar kedua parahiler, kiri tertutup jantung
• Kesan: Cardiomegali dengan pleuropneumonia kanan
DD/ Edema paru

4 Resume
Tn. S. usia 57 tahun, datang dengan chest pain sejak 8 jam SMRS, nyeri terasa
seperti terbakar di dada bagian kiri menjalar hingga punggung. Keluhan semakin
memberat dan dapat berlangsung selama lebih dari 20 menit saat terjadi serangan dan
disertai dengan keringat dingin. Keluhan membaik saat istirahat. Dyspneu on effort

7
sejak 2 hari SMRS. Batuk kering, jarang sejak 2 hari SMRS, riwayat edema tungkai,
dan malaise.. Riwayat hipertensi dan kolesterol.

Pemeriksaan Fisik :
KU : Tampak sakit sedang, kesadaran : compos mentis
• Tekanan darah : 110/70 mmHg (dengan intervensi obat antihipertensi)
• Suhu : 37oC
• Nadi : 114 x/menit, reguler, kuat angkat
• Pernapasan : 20 x/menit
Perkusi jantung kesan kardiomegali, Nyeri tekan epigastrium (+)
Hasil laboratorium : Troponin I 0,19 ng/ml (meningkat)
Hasil EKG : STEMI anteroseptal

5 Daftar Masalah
1. STEMI
2. CHF

6 Assessment
1. STEMI
a. Subject : chest pain (terasa seperti terbakar, nyeri dirasakan di dada bagian kiri
menjalar hingga punggung dan leher), berlangsung > 20 menit disertai keringat
dingin, nyeri dada memberat jika beraktivitas dan menghilang saat istirahat
b. Object :
Tanda vital :
• Tekanan darah : 110/80 mmHg (dengan intervensi obat hipertensi)
• Suhu : 37oC
• Nadi : 114 x/menit, reguler, kuat angkat
• Pernapasan : 20 x/menit
Perkusi jantung kesan kardiomegali.

Hasil laboratorium : Troponin I 0,08 ng/ml (meningkat)

Hasil EKG : STEMI anteroseptal

Hasil Ro Thorax: Cardiomegali dengan pleuropneumonia kanan

8
c. Assesment : STEMI
d. Planning :
• Medikamentosa :
- O2 4 liter/menit
- Infus Asering 20 tpm
- Mini aspi 1 x 80 mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- ISDN 3 x 5 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg
• Non-medikamentosa :
- Tirah baring

2. CHF
a. Subject : Sesak dirasakan saat dan setelah beraktivitas saat bekerja maupun
saat membuka pakaian dan berkurang dengan istirahat. batuk kering,
memberat pada malam hari. Riwayat edema tungkai (+).
b. Object :
Tanda vital :
• Tekanan darah : 110/70 mmHg (dengan intervensi obat antihipertensi)
• Suhu : 37oC
• Nadi : 114 x/menit, reguler, kuat angkat
• Pernapasan : 20 x/menit

Perkusi jantung kesan Cardiomegali dengan pleuropneumonia kanan

Hasil laboratorium : Troponin I 0,19 ng/ml (meningkat)

Hasil EKG : STEMI anteroseptal

Hasil Ro Thorax: Cardiomegali dan pleuropneumonia kanan

9
c. Assesment : CHF
d. Planning :
 Medikamentosa :
 Furosemide 1 x 40 mg (bila edema)
 Laxadine 1 x 15cc
 Non-medikamentosa :
- Tirah baring

4.2 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Acute Coronary Syndrome


Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah suatu istilah yang digunakan untuk
memggambarkan spectrum keadaan atau kumpulan gejala penyakit yang meliput
Unstable Angina (UA), Non-ST elevasi Myocardium Infarction (NSTEMI) dan ST-
elevasi Myocardium Infarction (STEMI). Sindrom koroner akut adalah salah satu
manifestasi klinis penyakit jantung koroner yang utama dan sering mengakibatkan
kematian. Sindrom koroner akut terjadi karena terjadinya pengurangan oksigen akut atau
subakut dari miokardium. UA dan NSTEMI mempunyai pathogenesis dan presentasi
klinik yang sama, hanya beda dalam derajatnya. Bila ditemukan peningkatan enzim-
enzim jantung, maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila enzim-enzim jantung
tidak meninggi, maka diagnosis adalah UA.
Pada UA dan NSTEMI, pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total
sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, thrombisis dan
vasokonstriksi. Penentuan Troponin I/T adalah ciri paling sensitive dan specific untuk
nekrosis miosit dan penentuan pathogenesis dan alur pengobatan.UA dan NSTEMI
merupakan ACS yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen
miokardium.
1. Infak Miokard akut dengan elevasi segmen ST ( IMA-EST)
2. Infark miokard akut non-elevasi segmen ST (IMA-NEST)
3. Angina pectoris tidak stabil (APTS)
STEMI adalah terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium akibat sumbatan total.
Penyebab utama ACS adalah stenosis koroner akibat thrombus pada plak ateroscklerosis
yang mengalami erosi, fisur, dan/atau rupture dan menyumbat pada pumbuluh darah
yang sudah mengalami penyempitan oleh aterosklerosis. UA dan NSTEMI adalah bagian
dari sindrom koroner akut kontinum, di mana plak pecah dan terbentuk thrombosis
koroner aliran darah ke daerah miokardium.UA dan NSTEMI juga disebutkan sindrom
koroner akut non-ST elevasi. Untuk membedakan mereka dari STEMI, pemakaian EKG
dibutuhkan. Dalam UA dan NSTEMI, tidak ditemukan ST Elevasi dan gelombang Q
patologis pada EKG, pada pasien dengan STEMI, alasan mengapa ST elevasi dan
gelombang Q patologis ditemukan, kerana ada hubungan iskemic dari miokardium.
Durasi oklusi, sejauh mana daerah infark menjaga kelangsungan hidup selama oklusi,

11
serta letak pembuluh darah yang menentukan infark ada hubungan dengan munculnya
ST elevasi dan gelombang Q.

Epidemiologi STEMI

Sekitar 1,5 juta kasus infark miokard terjadi setiap tahun di Amerika Serikat.
Tingkat insiden tahunan adalah sekitar 600 kasus per 100.000 orang. Kebanyakan pasien
yang menderita infark miokard akut lebih tua dari 60 tahun. Orang tua juga cenderung
memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi akibat infark tersebut . Usia
(≥75 tahun) adalah prediktor terkuat dari 90-hari kematian pada pasien dengan STEMI
yang menjalani terapi intervensi koroner perkutan (IKP). Pada pasien STEMI didapatkan
mortalitas 30 hari sebesar 13% dengan medikamentosa dibandingkan dengan 6%-7% bila
menggunakan terapi fibrinolisis, dan sekitar 3%-5% pada pasien dengan IKP dalam 2
jam onset nyeri. Literatur lain menyebutkan mortalitas 30 hari STEMI sebesar 11.1%-
14%.

Etiologi STEMI

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang
sudah ada sebelumnya. Aterosklerosis adalah suatu proses kronis yang progresif dan
tiba-tiba muncul dengan karakteristik berupa penumpukan lemak, elemen fibrosa, dan
molekul inflamasi pada dinding arteri koroner. Aterosklerosis merupakan proses
etiopatogenesis utama penyebab PJK dan progresifitasnya berhubungan dengan faktor
lingkungan dan genetik dimana faktor tersebut akhirnya akan berubah menjadi faktor
risiko dari PJK. Walaupun kejadian PJK muncul di dekade ke-5 pada laki-laki dan
dekade ke-6 pada perempuan, namun proses aterosklerosis telah dimulai dari awal
kehidupan, bahkan dari masa perkembangan janin .

Faktor Risiko STEMI

Berdasarkan studi Framingham, faktor risiko STEMI dapat dibagi menjadi dua,
yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi.

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

12
1. Usia

Perubahan pada arteri koroner berkaitan erat dengan pertambahan usia.


Perubahan utama yang terjadi oleh penuaan adalah penebalan tunika intima disertai
tunika media yang mengalami fibrosis. Ketebalan dari tunika intima yang diamati
secara bertahap meningkat ketika dekade keempat dan kemudian menipis secara
bertahap. Umur berperan penting dalam terjadinya penyakit jantung koroner
karena dapat mempengaruhi faktor risiko lain, seperti tekanan darah tinggi, obesitas,
dan kadar lemak. Berat badan merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi
meningkat pada umur dewasa tua. Gangguan dalam profil lemak, seperti nilai total
kolesterol dan Low Density Lipoprotein (LDL) meningkat disertai nilai High Density
Lipoprotein (HDL) yang rendah, juga berhubungan dengan pertambahan umur.

2. Jenis kelamin

Pria mempunyai risiko lebih besar dari perempuan dan mendapat serangan
lebih awal dalam kehidupannya dibandingkan wanita. Itu dikarenakan kebanyakan
faktor risikonya tidak mau diubah oleh pria, seperti merokok, alkohol, dan kadar HDL
yang lebih rendah dari wanita dan sebelum menopause, estrogen memberikan
perlindungan kepada wanita dari penyakit jantung koroner.

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

1. Merokok

Rokok mengandung zat kimia, seperti nikotin, karbon monoksida,


ammonia, formaldehida, tar, dan lain-lain. Bahan aktif utamanya adalah nikotin
(efek akut) dan tars (efek kronis). Efek nikotin pada system kardiovaskuler adalah
efek simpatomimetik, seperti menyebabkan takikardi, kontraksi ventrikuler di luar
sistol, meningkatkan noradrenalin dalam plasma, tekanan darah, cardiac output,
dan konsumsi oksigen sehingga menyebabkan penyempitan aterosklerotik,
penempelan platelet, dan menurunkan HDL. LDL menjadi lebih mudah memasuki
dinding arteri yang berperan dalam patogenesis PJK. Merokok juga meningkatkan
oksidasi dari LDL dan meningkatkan berbagai faktor risiko lain, yaitu dislipidemia,
hipertensi, dan diabetes melitus.

13
2. Dislipidemia.
Salah satu komponen lemak tubuh adalah kolesterol. Kolesterol sangat
penting bagi sel yang sehat, tetapi bila tubuh mengakumulasikannya dalam jumlah
banyak, kolesterol akan berdeposit ke dinding pembuluh darah yang akan
menyebabkan kerusakan dan bisa menghambat aliran darah. Jika ini terjadi, risiko
serangan jantung akan meningkat. Kolesterol terdiri dari 2 bentuk utama, yaitu
HDL yang berperan dalam membawa kadar lemak yang tinggi dalam jaringan ke
hati untuk dimetabolisme dan dikeluarkan dari tubuh dan LDL yang berperan
membawa kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner. Nilai LDL yang tinggi
dan HDL yang rendah berperan dalam peningkatan risiko penyakit jantung,
terutama PJK.

3. Hipertensi

Hipertensi meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan dinding jantung


menjadi tebal dan kaku yang menyebabkan jantung tidak berkerja dengan baik. Ini
meningkatkan risiko kejadian stroke, serangan jantung, gagal ginjal, dan penyakit
jantung kongestif. Ketika tekanan darah tinggi ini bergabung dengan faktor risiko
yang lain, akan meningkatkan risiko penyakit jantung. Patofisiologi dari hipertensi
menyebabkan PJK melalui 2 cara. Pertama, hipertensi menyebabkan kerusakan
pada endotel yang akan menyebabkan senyawa vasodilator tidak dapat keluar dan
membuat penumpukan okigen reaktif serta penumpukan faktor-faktor inflamasi
yang mendukung perkembangan dari aterosklerosis, trombosis, dan penyumbatan
pembuluh darah. Kedua, hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang
menyebabkan hipertrofi dari ventrikel kiri. Itu menyebabkan meningkatnya
kebutuhan oksigen miokardium dan menurunnya aliran darah koroner. Semua hal
di atas mendukung terjadinya penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, dan
kematian jantung tiba-tiba.

4. Diabetes melitus

Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan peningkatan pembentukan


plak ateromatous pada arteri. Hiperglikemi pada orang diabetes menyebabkan
banyak perubahan pada biomolekuler tubuh, yaitu peningkatan reduksi

14
nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) menjadi NADH yang belum terbukti
sebagai stresor oksidatif seluler, peningkatan produksi uridine diphosphate (UDP)
N-acetyl glucosamine yang diperkirakan mengubah fungsi enzimatik seluler, dan
pembentukan advanced glycation end product (AGE) yang secara langsung
menganggu fungsi sel endotel dan mempercepat aterosklerosis, serta peningkatan
reactive oxygen species (ROS) yang menganggu produksi nitrit oksida endotel dan
menipiskan plak aterosklerosis sehingga mudah ruptur.

Patofisiologi STEMI

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini
dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid. Merokok,
hipertensi, kadar LDL, serta tingginya kadar gula darah pada penderita diabetes melitus
akan mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah. Lapisan endotel yang
rusak menjadi terganggu dan jaringan ikat pada pembuluh darah mengalami
thrombogenik sehingga terjadi primary hemostasis. Primary hemostasis merupakan tahap
awal pertahanan terhadap pendarahan.

Proses ini bermula hanya dalam beberapa saat setelah pembuluh rusak dan
dicegah oleh adanya sirkulasi platelet. Platelet akan menempel pada kolagen subendotel
pembuluh darah dan beragregasi untuk membentuk “Platelet plug”. Kerusakan lapisan
endotel pembuluh darah ini juga akan mengaktifkan cell molecule adhesion seperti
sitokin, TNF-α, growth factor, dan kemokin. Limfosit T dan monosit akan teraktivasi dan
masuk ke permukaan endotel lalu berpindah ke subendotel sebagai respon inflamasi.
Monosit berproliferasi menjadi makrofag dan mengikat LDL teroksidasi sehingga
makrofag membentuk sel busa. Akibat kerusakan endotel menyebabkan respon protektif
dan terbentuk lesi fibrous, plak aterosklerotik yang dipicu oleh inflamasi. Respon
tersebut mengaktifkan factor Va dan VIIIa yang akan membentuk klot pada pembuluh
darah. Teraktivasinya kedua faktor tersebut dapat dipicu karena tidak terbentuknya
protein C oleh liver sehingga thrombin mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin sehingga
terbentuk klot.

15
Aterosklerosis berkontribusi dalam pembentukan trombus. Hal ini disebabkan
teraktivasinya faktor VII dan X yang mengakibatkan terpaparnya sirkulasi darah oleh
zat-zat trombogenik yang akan menyebakan rupturnya plak dan hilangnya respon
protektif seperti antitrombin dan vasodilator pada pembuluh darah. Penyebab gangguan
plak ini disebabkan faktor kimiawi yang tidak stabil pada lesi aterosklerosis dan faktor
stres fisik penderita. Disebakan adanya perkembangan klot pada pembuluh darah dan
tidak terstimulusnya produksi NO dan prostasiklin pada lapisan endotel sebagai
vasodilator sehingga terjadi disfungsi endotel. Dengan adanya ruptur plak dan disfungsi
endotel, teraktivasinya kaskade koagulasi oleh pajanan faktor jaringan dan terjadi
agregasi platelet yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga terjadi
trombosis koroner.

STEMI terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
trombus pada plak. Kematian sel-sel miokard yang disebakan infark miokard dapat
mengakibatkan kekurangan oksigen. Sel-sel miokard mulai mati setelah sekitar 20 menit
mengalami kekurangan oksigen. Akibat trombus tersebut, kebutuhan ATP pembuluh
darah untuk berkontraksi berkurang, hal ini disebabkan kurangnya suplai oksigen
sehingga pembentukan ATP berkurang. Keadaan ini berdampak pada metabolisme
mitokondria sehingga terjadi perubahan proses pembentukan ATP menjadi anaerob
glikolisis. Berkurangnya ATP menghambat proses, Na+ K+-ATPase, peningkatan Na+
dan Cl- intraselular, menyebakan sel menjadi bengkak dan mati.

Manifestasi Klinis STEMI

Keluhan pasien dengan iskemi miokard berupa nyeri dada typical (angina
typical) atau atypical (angina equivalen). Keluhan angina typical berupa rasa tertekan
atau berat daerah retrosternal, menjalar kelrngan kiri, leher, rahang, area intraskapular,
bahu atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermitten/beberapa menit atau
persisten (>20 menit). Keluhan angina typical sering disertai keluhan penyerta seperti
mual,muntah,nyeri abdominal, dan sinkop.

Gejala-gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri retrosternal.


Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada iskemik SKA adalah :

1. Lokasi nyeri; di daerah retrosternal dan pasien sulit melokalisasi rasa nyeri.
2. Onset nyeri : sejak kapan nyeri dada sudah dirasakan.

16
3. Karakteristik nyeri; pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit, ditekan,
diremas, panas atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut lebih dominan
dibandingkan rasa nyeri yang sifatnya tajam. Perlu diwaspadai juga bila pasien
mengeluh nyeri epigastrik, sinkope atau sesak napas (equivalent angina)
4. Penjalaran nyeri; penjalaran ke lengan kiri, bahu punggung, epigastrium, leher
rasa tercekik atau rasa ngilu pada rahang bawah dan penjalaran ke lengan kanan
atau kedua lengan
5. Lama nyeri; nyeri pada SKA berlangsung lama lebih dari 20 menit.
6. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
7. Gejala sistemik; disertai keluhan seperti mual, muntah atau keringat dingin.

Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum yang
terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher, rahang,
epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di dada. IMA sering
didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada
IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan
aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi
biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil
pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia
lanjut.

Namun harus dibedakan dengan nyeri dengan gambaran di bawah ini yang bukan
karakteristik iskemia miokard (nyeri dada nonkardiak) :

1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

Pemeriksaan Fisik

17
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi factor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronki basah halus dan hipotensi
hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukan
tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronki basah halus atau
edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena
pericarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi
aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritic disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.

Pemeriksaan Penunjang

a. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin dilakukan pada semua pasien
yang memiliki keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada
semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding
inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina
yang mempunyai EKG awal nondiagnostik.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk
pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pasien SKA dengan
elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi.
Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera
mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.

Gambar 2.1 Evolusi Gelombang EKG pada STEMI

18
b. Marka jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis
miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T
sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi
dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit,
namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut
(penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab
kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit
neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi
ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang
dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu
paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih
terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural.
Pemeriksaan troponin I/T adalah biomarker paling sensitif dan spesifik
sehingga menjadi standar baku emas dalam diagnosis NSTEMI/STEMI, di mana
peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam
setelah onset. Peningkatan kadar troponin biasanya menetap dalam 2 hingga 3 hari,
namun bisa tetap meningkat hingga 2 minggu bila terjadi nekrosis luas. Kadar
troponin bisa saja belum meningkat dalam 6 jam setelah onset gejala, sehingga jika
didapatkan hasil negatif pada pemeriksaan pertama, perlu dilakukan pemeriksaan
ulang dalam 8 hingga 12 jam setelah onset gejala.
Jika pemeriksaan troponin tidak dapat dilakukan, maka dapat digunakan
penilaian Musscle and Brain fraction of Creatinin Kinase (CK-MB) yang akan

19
meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan
menetap hingga 2 hari.

Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung

c. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis
banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi. Multislice
CardiacCT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab
nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika
pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.

d. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)


Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat
keparahan Penyakit Jantung Koroner, sehingga sebaiknya segera dilakukan untuk
tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak
jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat
penting pada pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun
tidak ditemukan perubahan EKG diagnostik.
Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka dengan stenosis
arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang
serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dengan abnormalitas gerakan
dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab.
Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi,
20
penampakkan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya trombus
intrakoroner.

e. Pemeriksaan Laboratorium
Selain pemeriksaan marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat
darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah,
tes fungsi ginjal, dan panel lipid.

f. Pemeriksaan Foto Polos Dada


Tujuan dilakukan pemeriksaan ini adalah untuk membuat diagnose banding,
identifikasi komplikasi, dan penyakit penyerta.

Diagnosis STEMI

Diagnosis infark miokard akut dengan elevasi segmen ST menurut European Society
Of Cardiology/ACCF/AHA/World Heart Federation Task Force for The Universal
Definition Of Myocardial Infarction ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST baru pada titik J ≥ 2 mm pada pria atau ≥ 1.5
mm pada wanita, minimal pada dua sadapan V2-V3 dan atau ≥ 1 mm pada sandapan dada
yang lain atau sadapan ekstremitas. Anamnesis: Rasa tertekan atau berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area intraskapular, bahu atau
epigastrium, keluhan berlangsung intermitten/beberapa menit atau persisten (>20 menit)
disertai keringat dingin, terdapat salah satu atau lebih faktor risiko: DM, Hipertensi,
Genetik
Jejas pada miokard dapat dideteksi dari biomarker spesifik jantung berupapeningkatan
kadar Cardiac Specific Troponin (cTn) dan Creatine Kinase MB (CKMB) dalam darah.
cTn memiliki sensitifitas yang tinggi serta cukup spesifik. Terdapat dua jenis troponin,
yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah dua jam bila terjadi infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10-24 jam. cTn T masih dapat dideteksi dalam kurun waktu
5-14 hari pasca infark, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Apabila pemeriksaan cTn tidak
tersedia, alternatif terbaik lainnya adalah pemeriksaan CKMB. CKMB meningkat setelah
tiga jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam waktu 10-24 jam dan
kembali normal dalam 2-4 hari.

21
Tatalaksana STEMI

Tatalaksana STEMI mengacu pada data-data dari evidence based berdasarkan


penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun konsensus dari para
ahli sesuai pedoman pada Gambar.

Tujuan utama tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis secara cepat,


menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang
mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang.
Terdapat beberapa pedoman dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari
ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2012, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada.

Pasien dengan STEMI harus segera dibawa ke pelayanan kesehatan dalam 1,5 – 2
jam setelah terjadinya gejala untuk mendapatkan medikamentosa sedini mungkin. Pasien
dengan STEMI harus dilakukan terapi reperfusi dalam 12 jam awal. Terapi fibrinolitik
diindikasikan sebagai terapi reperfusi awal yang dilakukan pada 30 menit awal dari
kedatangan di Rumah Sakit.

22
Berdasarkan ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients with ST-
Elevation Myocardial Infarction (2013), tatalaksana pasien STEMI dijabarkan sebagai
berikut :
1. Tirah baring
2. Pemberian Oksigen
Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri < 90% atau PaO2 < 60mmHg.
2. Nitrogliserin
Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin sublingual
0,4 mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3 dosis. Setelah melakukan penialaian
seharusnya dievaluasi akan kebutuhan nitrogliserin intravena. Dalam keadaan tidak
tersedia NTG, isosorbid dinitrat dapat dipakai sebagai pengganti.
3. Aspirin
Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah mendapatkan
aspirin pada kasus STEMI. Dosis awal yang diberikan 162 mg sampai 325 mg.
Selanjutnya aspirin diberikan secara oral dengan dosis 75-162 mg.
4. Penghambat reseptor adenosin difosfat (ADP)
 Pemberian Klopidogrel 600 mg sedini mungkin dan dilanjutkan dengan dosis
rumatan sebesar 75 mg per hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik0
 Ticagrelor dosis yang dianjurkan 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mh/hari kecuali pada pasien IMA-EST yang direncanakan
untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik
5. Antikoagulan intravena (untuk IKP primer)
 Heparin yang tidak terfraksi dengan atau tanpa penghambat reseptor GP
IIb/IIIa rutin, harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan
bivarlirudin atau enoxaparin
 Enoxaparin IV (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP IIb/IIIa) dapat
lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi
 Fondaparinux tidak disarankan untuk IKP primer
 Tidak disaraknakn menggunakan fibrinolysis pada pasien yang direncanakan
untuk IKP Primer
6. Analgesik

23
Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2 –
8 mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama untuk
manajemen nyeri yang disebabkan STEMI.

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Terapi Reperfusi

24
Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi reperfusi.
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle atau
medical contact to balloon time untuk IKP dapat dicapai dalam 90 menit7.
Reperfusi, dengan fibrinolisis atau IKP primer, diindikasikan dalam waktu kurang
dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk semua pasien infark miokard yang juga
memenuhi salah satu kriteria berikut :
 ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor EKG di dada yang berturutan,
 ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berurutan,
 Left bundle branch block baru.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung
pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik
rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari 2
jam. Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah
fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat
dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP

Terapi Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu
yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam
sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer
tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon
lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.

Jenis obat fibrinolotik sebagai terapi reperfusi adalah:

a. Streptokinase

25
 Dosis awal 1,5 juta U/100ml Dextrose 5% atau larutan saline 0,9%
dalam waktu 30-60 menit.
 Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam
b. Alteptase
 Dosis awal bolus 15 mg intravena 0,75 mg/kg selama 30 menit,
kemudian 0,5mg / kg selama 60 menit, dosis total tidak lebih dari
100mg
 Koterapi Heparin i.v selama 24-48 jam.

Prognosis

Prognosis infark miokard berhubungan dengan lokasi infark dan luas perubahan
EKG. Infark inferior memilki mortalitas 30 hari sebesar 4,5 % dan moratalitas 12 bulan

26
sebesar 6,7 %. Determinan utama prognosis setelah infark miokard adalah usia, tekanan
darah sistolik, denyut jantung, lokasi infark, dan kelas Killip.

2. Congestive Heart Failure

Definisi CHF

Definisi gagal jantung Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang kompleks
yang disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi gangguan
pada ejeksi dan pengisian. Pada keadaan ini jantung tidak lagi mampu memompa darah
secara cukup ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung
kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan
adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri.

Etiologi CHF

Ada beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu. Yang paling sering
menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah kerusakan atau berkurangnya
kontraktilitas otot jantung, iskemik akut atau kronik, meningkatnya resistensi vaskuler
dengan hipertensi, atau adanya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF). Penyakit jantung
koroner adalah yang paling sering menyebabkan penyakit miokard, dan 70% akan
berkembang menjadi gagal jantung. Masing -masing 10% dari penyakit jantung katup
dan kardiomiopati akan menjadi gagal jantung juga. Penyebab dari gagal jantung dapat
diklasifikasikan berdasarkan gagal jantung kiri atau gagal jantung kanan dan gagal low
output atau high output.

27
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :

1. Kelainan otot jantung


Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab
kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan
penyakit degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke
otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat).
Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung
menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung (peningkatan afterload), mengakibatkan hipertropi
serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertropi miokard) dianggap sebagai
kompensasi karena meningkatkan kontraktilitas jantung, karena alasan yg tidak
jelas hipertropi otot jantung dapat berfungsi secara normal, akhirnya terjadi gagal
jantung.
4. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif

28
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
5. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme yang
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis
katup semiluner), ketidak mampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade,
perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak
after load.
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal : demam,
tirotoksikosis ), hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung
untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat
menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan
abnormalitas elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung.

Klasifikasi CHF

Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA).

Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal jantung akut dan
gagal jantung kronik.
29
 Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau tanda
akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya
penyakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa disfungsi sistolik
atau disfungsi diastolik. Irama jantung yang abnormal, atau ketidakseimbangan
preload dan afterload dan memerlukan pengobatan segera. Gagal jantung akut
dapat berupa serangan baru tanpa ada kelainan jantung sebelumnya atau
dekompensasi akut dari gagal jantung kronis.
 Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang
disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, lelah, baik dalam keadaan
istirahat atau aktivitas, edema serta tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam
keadaan istirahat.

Patofisiologi CHF

Gagal jantung dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu :


(1) gangguan kontraktilitas ventrikel,
(2) meningkatnya afterload, atau
(3) gangguan pengisian ventrikel.
Gagal jantung yang dihasilkan dari abnormalitas pengosongan ventrikel (karena
gangguan kontraktilitas atau kelebihan afterload) disebut disfungsi sistolik, sedangkan
gagal jantung yang dikarenakan oleh abnormalitas relaksasi diastol atau pengisian
ventrikel disebut disfungsi diastolik. Pada dasarnya terdapat perbedaan antara gagal
jantung sistolik dengan gagal jantung diastolik. Gagal jantung sistolik disebabkan oleh
meningkatnya volume, gangguan pada miokard, serta meningkatnya tekanan. Sehingga
pada gagal jantung sistolik, stroke volume dan cardiac output tidak mampu memenuhi
kebutuhan tubuh secara adekuat. Sementara itu gagal jantung diastolik dikarenakan
meningkatnya kekakuan pada dinding ventrikel.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaankeadaan
yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas
miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi: regurgitasi
aorta dan cacat septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana
terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun
pada infark miokardium dan kardiomiopati.

30
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanan
sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru
dan emboli paru-paru. Penanganan yang efektif terhadap gagal jantung membutuhkan
pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis dan penyakit yang
mendasarinya, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung
akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang
efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup dan
meningkatkan volume residu ventrikel.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap peningkatan
kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonal meningkatkan tahanan terhadap ejeksi
ventrikel kanan. Serentetan kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan
terjadi pada jantung kanan, dimana akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Jantung mengkompensasi dengan cara meningkatkan kekuatan kontraksi,
meningkatkan ukuran, memompa lebih kuat, dan menstimulasi ginjal untuk mengambil
natrium dan air. Penggunaan sistem secara berlebihan untuk mengkompensasi tersebut
menyebabkan kerusakkan pada ventrikel dan terjadi remodeling.
Pada pasien CHF terjadi peningkatan level norefinefrine, angiotengsin II, aldosteron,
endotelin, dan vasopressin. Kesemuanya ini adalah faktor neurohormonal yang
meningkatkan stres hemodinamik pada ventrikel yang menyebabkan retensi natrium dan
vasokonstriksi periferal. Simptom yang ketiga terjadi kelelahan, nafas pendek, dan
retensi air. Nafas pendek (dyspnea) menjadi lebih parah dan terjadi saat istirahat
(orthopnea) atau pada malam hari (proxymal nocturnal dyspnea). Retensi air terjadi pada
paru-paru (kongesti) atau odema periferal.
Beberapa mekanisme kompensasi alami terjadi pada pasien gagal jantung untuk
membantu mempertahankan tekanan darah yang adekuat untuk memompakan darah ke
organ – organ vital. Mekanisme tersebut adalah (1) mekanisme Frank-Straling, (2)
neurohormonal, dan (3) remodeling dan hipertrofi ventrikular.
 Mekanisme Frank-Starling
Meningkatkan stroke volume berarti terjadi peningkatan volume ventricular
end-diastolik. Bila terjadi peningkatan pengisian diastolik, berarti ada
peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal pada filamen aktin
dan miosin, dan resultannya meningkatkan tekanan pada kontraksi berikutnya.

31
Pada keadaan normal, mekanisme Frank-Starling mencocokan output dari dua
ventrikel. Pada gagal jantung, mekanisme Frank-Starling membantu mendukung
cardiac output. Cardiac output mungkin akan normal pada penderita gagal
jantung yang sedang beristirahat, dikarenakan terjadinya peningkatan volume
ventricular enddiastolic dan mekanisme Frank-Starling. Mekanisme ini menjadi
tidak efektif ketika jantung mengalami pengisian yang berlebihan dan serat otot
mengalami peregangan yang berlebihan Hal penting yang menentukan konsumsi
energi otot jantung adalah ketegangan dari dinding ventrikular. Pengisian
ventrikel yang berlebihan menurunkan ketebalan dinding pembuluh darah dan
meningkatkan ketegangan dinding pembuluh darah. Peningkatan ketegangan
dinding pembuluh darah akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung
yang menyebabkan iskemia dan lebih lanjut lagi adanya gangguan fungsi jantung.

 Neurohumeral
- Sistem saraf adrenergik Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah
jantung dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcusaorta,
kemudian dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X, kemudian
mengaktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi sistem saraf simpatis ini akan
menaikkan kadar norepinefrin (NE). Hal iniakan meningkatkan frekuensi
denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri
dan vena sistemik.
- Sistem renin angiotensin aldosteron Curah jantung yang menurun, akan
terjadi aktivasi sistem renin- angiotensin aldosteron berkurangnya natrium
terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal, dan meningkatnya
stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan renin dari apparatus
juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino dari angiotensinogen I,
dan Angiotensin -converting enzyme akan melepaskan dua asam amino dari
angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II berikatan dengan 2
protein G menjadi angiotensin tipe 1, aktivasi reseptor angiotensin I akan
mengakibatkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan
pelepasan katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi,
inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradykinin

32
- Stres oksidatif Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar
reactive oxygen species (ROS).Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh
rangsangan dari ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal
(angiotensin II, aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun
sitokin inflamasi (tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini
memicu stimulasi hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis
collagen. ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara
menurunkan bioavailabilitas NO.

 Remodelling dan hipertrofi ventrikular


Model neurohormonal yang telah dijelaskan diatas gagal menjelaskan
progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif
berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel kiri di
kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting pada miosit
jantung, perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit pada miokard serta
geometridan arsitektur ruangan ventrikel kiri. Remodeling berawal dari adanya
beban jantung yang mengakibatkan meningkatkan rangsangan pada otot
jantung. Keadaan jantung yang overload dengan tekanan yang tinggi, misalnya
pada hipertensi atau stenosis aorta, mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik
yang secara parallel menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada
miosit jantung, yang menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban jantung
didominasi dengan peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan

33
tekanan pada diastolik, yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian
terjadi pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang
mengakibatkan hipertrofi eksentrik. Homeostasis kalsium merupakan hal yang
penting dalam perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi
dan relaksasi jantung.

Manifestasi Klinis
Tempat kongestif tergantung dari ventrikel yang terlibat:
a. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun
dengan akibat tekanan akhir diastolik dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastolik
dalam ventrikel kiri meningkat.

Tanda dan gejala:

 Dispnea: akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran


gas, dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau
sedang.
 Ortopnea: kesulitan bernapas saat berbaring
 Paroximal nokturna dispnea (terjadi bila pasien sebelumnya duduk lama dengan
posisi kaki dan tangan dibawah, pergi berbaring ke tempat tidur)

34
 Batuk: biasa batuk kering dan basah yang menghasilkan sputum berbusa dalam
jumlah banyak kadang disertai banyak darah.
 Mudah lelah: akibat cairan jantung yang kurang, yang menghambat cairan dari
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme.
 Kegelisahan: akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan
bernafas, dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
b. Disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan Gagal jantung kanan karena
gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup
ventrikel kanan menurun tanpa didahului oleh adanya gagal jantung kiri.

Tanda dan gejala:

 Edema ekstremitas bawah atau edema dependen.


 Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan batas abdomen.
 Anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan status vena didalam
rongga abdomen.
 Nokturna: rasa ingin kencing pada malam hari, terjadi karena perfusi renal
didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring.
 Lemah: akibat menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan pembuangan
produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan.
 Bendungan pada vena perifer (jugularis)
 Gangguan gastrointestinal (perut kembung, anoreksia dan nausea) dan asites.
 Perasaan tidak enak pada epigastrium.

Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
a. Anamnesis
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara
luas. Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal dua kriteria mayor
atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor, kriteria minor dapat diterima jika
kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti
hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik.

35
Kriteria mayor
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali (rontgent)
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekanan vena jugularis (>16 cm H2O pada atrium kanan)
8. Refluks hepatojugular
9. Penurunan BB > 4,5 kg dalam 5 hari respon terapi

Kriteria minor

1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea on effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi (>120/menit)
8. Penurunan BB > 4,5 kg dalam 5 hari respon terapi

b. Pemeriksaan Fisik
1. Tekanan darah dan Nadi
Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan, namun
biasanya berkurang pada HF berat, karena adanya disfungsi LV berat. Tekanan
nadi dapat berkurang atau menghilang, menandakan adanya penurunan stroke
volume. Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh
peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan
dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku juga
disebabkan oleh aktivitas adrenergik berlebih. Pernapasan Cheyne-Stokes
disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan
PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial
dan PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan
memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan

36
hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat
dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak napas parah (berat) atau napas
berhenti sementara
2. Jugular Vein Pressure
Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan
atrium kanan. Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring
dengan kepala membentuk sudut 300. Tekanan vena jugularis dinilai dalam
satuan cm H2O (normalnya 5-2 cm) dengan memperkirakan jarak vena jugularis
dari bidang diatas sudut sternal. Pada HF stadium dini, tekanan vena jugularis
dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara abnormal
seiring dengan peningkatan tekanan abdomen (abdominojugular reflux positif).
Gelombang v besar mengindikasikan keberadaan regurgitasi trikuspid.
3. Ictus cordis
Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak memberikan
informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan. Jika kardiomegali
ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi dibawah ICS V
(interkostal V) dan/atau sebelah lateral dari midclavicular line, dan denyut dapat
dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex.
4. Suara jantung tambahan
Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan
dipalpasi pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel
kanan dapat memiliki denyut Parasternal yang berkepanjangan meluas hingga
systole. S3 (atau prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada pasien
dengan volume overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan
seringkali menandakan gangguan hemodinamika. Suara jantung keempat (S4)
bukan indicator spesifik namun biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi
diastolic. Bising pada regurgitasi mitral dan tricuspid biasa ditemukan pada
pasien.
5. Pemeriksaan paru Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi)
Merupakan akibat dari transudasi cairan dari ruang intravaskuler kedalam
alveoli. Pada pasien dengan edema pulmoner, rales dapat terdengar jelas pada
kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti dengan wheezing pada ekspirasi
(cardiac asthma). Jika ditemukan pada pasien yang tidak memiliki penyakit paru
sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk CHF. Perlu diketahui bahwa rales

37
seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan CHF kronis, bahkan dengan
tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat, hal ini disebabkan adanya
peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi karena
adanya peningkatan tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan transudasi cairan
kedalam rongga pleura. Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan
pulmoner, efusi pleura paling sering terjadi dengan kegagalan biventrikuler.
Walaupun pada efusi pleura seringkali bilateral, namun pada efusi pleura
unilateral yang sering terkena adalah rongga pleura kanan.
6. Pemeriksaan hepar dan hepatojugular reflux Hepatomegali
Merupakan tanda penting pada pasien CHF. Jika ditemukan, pembesaran
hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama systole jika
regurgitasi trikuspida terjadi. Ascites sebagai tanda lajut, terjadi sebagai
konsekuensi peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena pada
peritoneum. Jaundice, juga merupakan tanda lanjut pada CHF, diakibatkan dari
gangguan fungsi hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan
terkait dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.
7. Edema tungkai
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada CHF, namun namun
tidak spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan
diuretic. Edema perifer biasanya sistemik dan dependen pada CHF dan terjadi
terutama pada daerah Achilles dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan.
Pada pasien yang melakukan tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah
sacral (edema presacral) dan skrotum. Edema berkepanjangan dapat
menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada kulit.
8. Cardiac Cachexia
Pada kasus HF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat
badan dan cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari cachexia pada
HF tidak diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor dan termasuk
peningkatan resting metabolic rate; anorexia, nausea, dan muntah akibat
hepatomegali kongestif dan perasaan penuh pada perut; peningkatan konsentrasi
sitokin yang bersirkulasi seperti TNF, dan gangguan absorbsi intestinal akibat
kongesti pada vena di usus. Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis
keseluruhan yang buruk.

38
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana gagal
jantung telah mengganggu fungsi-fungsi organ lain seperti : hati, ginjal dan lain-lain.
Pemeriksaan hitung darah dapat menunjukan anemia, karena anemia ini merupakan
suatu penyebab gagal jantung output tinggi dan sebagai faktor eksaserbasi untuk
bentuk disfungsi jantung lainnya.
d. Pemeriksaan Penunjang
- Radiologi/Rontgen
Pada pemeriksaan rontgen dada ini biasanya yang didapatkan bayangan
hilus paru yang tebal dan melebar, kepadatan makin ke pinggir berkurang,
lapangan paru bercak-bercak karena edema paru, pembesaran jantung, cardio-
thoragic ratio (CTR) meningkat, distensi vena paru.
- Pemeriksaan EKG
Dari hasil rekaman EKG ini dapat ditemukan kelainan primer jantung (
iskemik, hipertrofi ventrikel, gangguan irama ) dan tanda-tanda faktor
pencetus akut ( infark miocard, emboli paru ).
- Echokardiografi
Pemeriksaan ini untuk mendeteksi gangguan fungsional serta anatomis
yang menjadi penyebab gagal jantung

3.7 Penatalaksanaan CHF


Terapi non farmakologi
- Diet : Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi
diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan berat badannya.
Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hari untuk gagal
jantung sedang sampai berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/hari hanya untuk
gagal jantung berat.
- Merokok : Harus dihentikan.
- Aktivitas fisik olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan
untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang
nyaman bagi pasien.
- Istirahat : dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil.
- Bepergian : hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas
atau lembab

39
Terapi farmakologi

a. Algoritme

b. Jenis dan tempat obat


- Diuretik

- Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors


ACE-Inhibitors sekarang dipakai sebagai dasar (cornerstone) terapi untuk
penderita dis-fungsi sistolik, dengan tidak memandang beratnya

40
gejala.Tetapi,dengan pertimbangkan side effects seperti simtomatik hipotensi,
perburukan fungsi ginjal, batuk dan angioedema, maka terdapat hambatan pada
pemakaiannya baik underprescribing maupun underdosing obat tersebut,
khususnya pada orang-orang tua. Pada penelitian klinik menunjukkan bahwa hal
yang menimbulkan ketakutan-ketakutan tersebut tidak ditemui, dikarenakan obat
tersebut diberikan dengan dosis yang rendah dan dititrasi pelahan sampai
mencapai dosis target memberi hasil yang efektif sehingga ACE-inhibitor
umumnya dapat ditolerir dengan baik.

- Angiotensin Receptor Blockers


Indikasi pemakaian angiotensin II receptor antagonists (ARAs) pada CHF
yang telah diterima saat ini adalah pada pasien-pasien yang intolerans terhadap
ACE inhibitor yang menyebabkan batuk. Manfaat ARAs pada populasi ini telah
dikembangkan CHARM-Alternative study (Candesartan in Heart failure
Assessment of reduction in Mortality and Morbidity- Alternative study). Pada
penelitian ini, ARA candesartan secara signifikan menurunkan ‘combined
endpoint’ kematian kardiovaskular ataupun hospitalisasi pasien-pasien CHF yang
sebelumnya diketahui intolerans terhadap ACE inhibitor.
Dua perbandingan langsung antara ARA dan ACE inhibitor yang dilaksanakan
pada pasien CHF. Penelitian yang lebih besar, ELITE II (the Evaluation of
Losartan in the Elderly II) melaporkan bahwa tidak ditemukan perbedaan antara

41
pemakaian losartan dan captopril, tetapi ’survival curve’ menunjukkan
kecenderungan ‘survival’ yang lebih baik pada pemakaian ACE inhibitor.
Penelitian yang di-design serupa pada pasien gagal jantung setelah miokard infark
akut OPTIMAAL (the Optimal Trial in Myocardial Infarction with the
Angiotensin II Antagonist Losartan) melaporkan outcome yang serupa.
VALIANT (the Valsartan in Acute Myocardial Infarction Trial), salah satu
penelitian besar pada pasien Gagal Jantung post-AMI melaporkan terdapat
‘survival outcome’ yang identik antar 3 group pengobatan :”Valsartan (suatu
ARA) dosis tinggi”, ”Captopril dosis tinggi” dan ”Kombinasi keduanya”.
Dua penelitian besar lain (the CHARM Added Trial and the Valsartan Heart
Failure Trial [Val-Heft]) meneliti impact ‘penambahan suatu ARA pada ACE
inhibitor pada pasien CHF’. Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa
penambahan suatu ARA dengan signifikan menurunkan risiko hospitalisasi CHF
selanjutnya; tetapi impact-nya pada mortality tidak tegas.
Kesimpulan dari penelitian-penelitian diatas bersama-sama, menunjukkan
bahwa ARAs dan ACE inhibitor bilamana dipakai dengan dosis yang ekuivalent,
akan memberi outcome yang sama, bila dipakai sebagai terapi alternatif pada
pasien CHF. Manfaat utama yang didapat dengan penggabungan terapi ini pada
pasien CHF tampaknya dalam ”penurunan hospitalisasi”

- β Receptor Blockers
Hampir semua pengobatan ’standard’ penderita gagal jantung, mempunyai
mekanisme kerja memperbaiki hemodinamika dan simptomatik secara akut. Efek
segera dari β-bloker sebaliknya dapat memperburuk hemodinamik, kadang-
kadang menyebabkan peburukan gejala yang berat, makanya sudah sejak lama
pemakaian obat ini di-kontra-indikasikan pada pasien-pasien CHF. Meskipun
demikian, buktibukti bahwa pemberian secara kronik dari β-bloker memperbaiki
fungsi jantung dan menurunkan morbiditas serta mortalitas pasien CHF.
Sesungguhnya bukti-bukti pemakaian β-bloker pada pasien CHF yang
ditunjukkan pada banyak randomized controlled trials jauh lebih banyak daripada
dengan trial-trial ACE inhibitor.
Tiga β-bloker yang akhir-akhir ini di-approved untuk pengobatan gagal
jantung di Australia, yaitu bisoprolol, carvedilol dan slow-release metoprolol
succinate. Setiap jenis obat tersebut telah menunjukkan penurunan mortalitas dan

42
hospitalisasi pasien CHF seperti ditunjukkan pada suatu trial besar placebo-
controlled. Manfaat seperti ini tidak selalu ditampakkan pada pemakaian β-bloker
lain. Cardevilol atau Metoprolol European Trial (COMET), membandingkan
carvedilol dan standard-release metoprolol tartrate, didapat hasil survival yang
lebih baik pada pasien-pasien yang mendapat carvedilol.

- Additional Therapies
 Digitalis
Faktor keamanan dan efektifitas digoxin yang telah dipakai dalam
pengobatan gagal jantung selama 300 tahun, baru akhir-akhir ini diketahui.
Penelitian The Digitalis Investigation Group (DIG) menunjukkan bahwa
digoxin secara signifikan menurunkan hospitalisasi pada pasien CHF yang
sinus rhythm sejak awalnya dan pada pasien-pasien CHF yang telah dengan
maintenans ACE inhibitor dan diuretik. Pada penelitian ini Digoxin
mempunyai efek netral(tidak mempengaruhi) terhadap mortalitas.Maka
penelitian berdasarkan evidence based mengindikasikan pemakaian digoxin
pada pasien CHF adalah sebagai pereda simptom-simptom yang masih tetap
ada walau sudah memakai ACE inhibitor dan diuretika.
Dosis median harian adalah 0,25 mg/hari dan trough blood level
digoxin pada DIG study adalah 0,9 ng/mL. Terdapat bukti bahwa

43
peningkatan risiko intiksikasi digoxin (termasuk kematian) meningkat
dengan cepat bilamana dosis harian rata-rata melebihi 0,25 mg/hari atau bila
trough serum digoxin level melebihi 1,0 ng/mL. Pemakaian dosis maintenans
digoxin yang rendah (0,125 sampai 0,25 mg/hari) kususnya penting pada
pasien wanita dan pasien usia lanjut, dikarenakan terdapatnya penurunan
fungsi ginjal semakin bertambahnya umur. Hal ini menjadi penting
dikarenakan pada praktek klinik pasien populasi gagal jantung usia lanjut
merupakan porsi yang terbesar. Selain itu, intoksikasi digoxin pada usia
lanjut sukar dikenali. Adanya obat-obat lain yang dipakai bersamaan (misal
amiodarone, verapamil) yang dapat meningkatkan kadar serum digoxin
menyebabkan perlunya penurunan dosis maintenans.
Digoxin dapat juga dipakai untuk meng-kontrol atrial fibrillasi, yang
terdapat pada sampai sepertiga pasien CHF. Perlunya pemakaian digoxin
untuk meng-kontrol heart rate pada pasien-pasien atrial fibrilasi telah
dipertanyakan sejak ditemukannya b-bloker; tetapi pada penelitian pada
pasien CHF dan atrial fibrilasi kronis baru-baru ini menunjukkan outcome
yang lebih baik didapat pada pemakaian digoxin bersama carvedilol
dibandingkan dengan terapi obat tersebut sendiri-sendiri.
Komplikasi kardiovaskuler umumnya jarang terjadi, namun ini
merupakan jenis komplikasi yang sangat serius. Komplikasi yang paling
serius adalah kematian tiba-tiba (sudden death). Kematian tiba-tiba selama
latihan biasanya berhubungan dengan penyakit jantung struktural dan
mekanisme yang paling umum adalah fibrilasi ventrikel. Kebanyakan
kematian karena latihan pada pasien jantung terjadi pada saat aktivitas yang
melebihi latihan normal karena kurangnya perhatian akan gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh latihan

4.3 Prognosis CHF

44
DAFTAR PUSTAKA

PAPDI. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: InternaPublishing

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Centra Communications

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Centra


Communications

PERKI. 2018. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Centra


Communications

45

Anda mungkin juga menyukai