Abstrak :
The ideal green open space is 40% of the total area, besides that as an environmental facility
it can also work for the protection of certain habitats or agricultural cultivation and also to improve
the quality of the atmosphere and support the preservation of water and soil. Green open space is
an elongated area or path and grouping, whose use is more open, where plants grow, both those
that grow naturally or those that are intentionally planted. The process to realize the goals, spatial
planning is also a product development that has a legal basis (legal instrument). Based on Law
Number 26 of 2007, particularly Article 3, it contains the objectives of spatial planning, namely to
create a safe, comfortable, productive, and sustainable national space based on the Archipelago
Insight and National Resilience. So the authors are interested in conducting research using
qualitative research methods. The objectives of this research are, First to find out how the analysis of
the Green Open Space (RTH) development planning program in Medan City, Second to find out what
are the factors that affect the Green Open Space Development Planning Program (RTH) in Medan
City.
Keywords : Analysis , Development Planning, Green Open Space
PENDAHULUAN
Isu mengenai masalah lingkungan hidup semakin menjadi bahasan yang sangat menarik
dewasa ini. Salah satu permasalahan yang kini dihadapi oleh hampir seluruh perkotaan di
Indonesia adalah semakin berkurangnya lingkungan dan ruang publik. Terutama ruang terbuka
hijau, kota-kota besar pada umumnya memiliki ruang terbuka hijau dengan luas dibawah 10% dari
luas kota itu sendiri. Kondisi tersebut sangat jauh dibawah ketentuan pemerintah pada UU No.
26 Tahun 2007 tentang ruang terbuka hijau yang mewajibkan pengelola perkotaan yang
menyediakan ruang terbuka hijau publik dengan luas sekitar 20% dari luas kota tersebut.
Kurangnya proporsi ruang terbuka hijau dikawasan perkotaan disebabkan oleh lebih tingginya
permintaan lahan untuk kegiatan perkotaan.
Sementara banyak pihak menganggap ruang terbuka hijau memiliki nilai ekonomi yang lebih
rendah sehingga termarjinalkan. Dengan berlakunya undang-undang tentang penataan ruang,
banyak pemerintah daerah yang merasakan kesulitan dalam memenuhi ketentuan penyediaan
ruang terbuka hijau publik seluas 20% dari luas kawasan perkotaan. Kekurangan proporsi
ruang terbuka hijau yang ada di kota-kota di Indonesia disebabkan oleh pembangunan yang
tidak merata dan kian mempersempit ruang terbuka hijau yang ada. Berikut merupakan data
mengenai luas RTH kota-kota besar di Indonesia :
No Nama Kota Proporsi
1 Jakarta 9,97%
2 Bandung 8,76%
3 Bogor 19,32%
4 Surabaya 9%
5 Surakarta 16%
6 Malang 4%
7 Makassar 3%
8 Medan 8%
9 Jambi 4%
10 Palembang 5%
Rata–rata luas RTH di kota-kota besar 8,69%
Indonesia
Sumber : Nirwono Joga, Aspek Lingkungan dalam Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan,
Presentasi dalam Workshop Nasional Pembangunan Kota yang Berkelanjutan, Medan 13 Februari
2015
Berdasarkan Tabel 1. tentang proporsi ruang terbuka hijau di kota-kota yang ada di
Indonesia, kota-kota besar yang ada di Indonesia belum memenuhi syarat ruang terbuka hijau
seperti yang ditetapkan oleh UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kota Bogor menjadi
satu-satunya kota yang memiliki proporsi ruang terbuka hijau dengan luas 19,32% dari luas
keseluruhan kota. Pembenahan ruang terbuka hijau yang ada di kota-kota besar di Indonesia mutlak
diperlukan guna memenuhi ketentuan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam upaya
memenuhi kekurangan ruang terbuka hijau diperlukan kerja sama di setiap elemen. Upaya
pemenuhan ruang terbuka hijau bukan hanya menjadi tugas pemerintah, masyarakat pun dituntut
agar peduli dengan keberadaan ruang terbuka hijau dengan menjaga kelestarian ekologis yang ada
di dalamnya.
Pembangunan yang ada di kota-kota besar di Indonesia umumnya tidak memperhatikan
unsur Ruang Terbuka Hijau. Kesulitan dalam hal pemenuhan proporsi ruang terbuka hijau yang kini
dirasakan dikota-kota besar mulai tertular ke kota-kota kecil. Namun, pengelola perkotaan dan
masyarakat yang tidak menghargai nilai Ruang Terbuka Hijau juga masih terlihat banyak kota kecil
yang semakin gersang karena pepohonannya, ditebang untuk pelebaran jalan atau kegiatan
perkotaan lainnya. Perkembangan kota akhir-akhir ini sering kali hanya berorientasi pada
peningkatan aspek ekonomi tanpa mempertimbangkan unsur ekologi.
Pembangunan gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, serta industri- industri baik besar
maupun industri kecil sangat gencar dilakukan. Namun sebaliknya maraknya fenomena tersebut
tidak terjadi dalam hal pembangunan taman-taman, hutan kota, kawasan penyangga serta
pembangunan lain yang berorientasi pada keseimbangan lingkungan. Padahal keseimbangan
lingkungan merupakan faktor penting dalam menciptakan kondisi kota yang sehat dan nyaman.
Kejenuhan akibat maraknya pembangunan serta kompleksnya masalah perkotaan mengakibatkan
proses berpikir akan pentingnya pembangunan kota yang ekologis atau berwawasan lingkungan.
Suatu kota yang ekologis dapat menciptakan peristiwa dimana terjadi hubungan interaksi yang baik
dan saling menguntungkan antara manusia, hewan dan tumbuhan serta lingkungannya.
Meningkatkan kualitas ekologis suatu kota dapat dilakukan dengan membentuk Ruang
Terbuka Hijau pada kawasan perkotaan. Hal tersebut ditegaskan dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri No.1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, yang
menyatakan bahwa tujuan pembentukan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan antara lain
meningkatkan mutu lingkungan perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih dan sebagai sarana
penanganan Iingkungan perkotaan serta dapat menciptakan keserasian lingkungan alam dan
lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat.
Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan, yakni terwujudnya
ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan hal ini dapat juga dirasakan di kota Medan.
Menurunnya kualitas permukiman di kota Medan bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah,
berkembangnya kawasan kumuh yang rentan dengan bencana banjir serta semakin hilangnya ruang
terbuka (Openspace) untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat.
Selama ini keberadaan taman di Medan masih minim. Berdasarkan data Dinas Pertamanan
Pemerintah Kota Medan, hanya ada 19 taman di kota ini dengan luas keseluruhan sekitar 124.664
meter persegi dari luas kota Medan yang mencapai 26.510 hektare (ha). Selain itu, Medan hanya
memiliki 9 taman air mancur yang berada di Taman Beringin, Taman Soedirman, Taman Teladan,
Tugu Sister City, Tugu Adipura, Taman Kantor Pos,Taman Guru Patimpus,Taman Juanda,dan Taman
Majestic. Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Medan hanya berkisar 7,5%-10%. Keberadaan taman di kota
ini masih minim, akibatnya, masyarakat lebih banyak yang memilih mencari lokasi rekreasi bersama
keluarga dengan mengunjungi pusat perbelanjaan modern. Padahal, perkembangan anak yang selalu
mengunjungi mall-mall itu tidak baik.
Pemerintah Kota Medan berupaya memenuhi taman dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di
Medan dengan mengalokasikan dana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana ini
untuk membeli lahan sekitar 300- 400 meter per tahun sebagai upaya untuk menambah RTH. Saat
ini pemerintah sudah memiliki Perda Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) yang
mencantumkan adanya 30% RTH. Untuk bisa mewujudkan hal itu,maka setiap tahun akan
dianggarkan dana untuk membeli lahan sekitar 300- 400 meter dan memberikannya kepada
stakeholder untuk dijadikan RTH.
Sebagai wahana interaksi sosial, ruang terbuka diharapkan dapat mempertautkan seluruh
anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Aktivitas di
ruang publik dapat bercerita secara gamblang seberapa pesat dinamika kehidupan sosial suatu
masyarakat. Ruang terbuka menciptakan karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang publik
masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang nonkonformis- individualis-asosial,
yang anggota-anggotanya tidak mampu berinteraksi apalagi bekerja sama satu sama lain. Agar
efektif sebagai mimbar, ruang publik haruslah netral. Artinya, bisa dicapai (hampir) setiap penghuni
kota. Tidak ada satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan membatasi akses ke
ruang publik sebagai sebuah mimbar politik.
Ciri-ciri atau karakteristik sosial daerah perkotaan dalam konsentrasi penduduk dan berbagai
kegiatan ekonomi, sosial dan pemerintahan pada tata ruang perkotaan adalah esensial. Konsentrasi
spasial (tata ruang) adalah fakta utama, lahan perkotaan yang tersedia adalah terbatas, sedangkan
kegiatan perkotaan mengalami pertumbuuhan yang pesat, urbanisasi meningkat, menimbulkan
kecenderungan terjadinya kepadatan (dalam perumahan dan lalu lintas), dampaknya terhadap
perekonomian adalah ketidakefektivan dan ketidakefisienan, serta berpengaruh terhadap
kesejahteraan warga kota. Masalah- masalah perkotaan tersebut merupakan objek pembahasan
ilmiah secara terus- menerus dan cenderung bertambah semakin kompleks seiring dengan
pertumbuhan kota yang makin pesat dan makin luas. Masalah perkotaan yang dihadapi sangat luas,
baik masalah makro maupun masalah mikro. Masalah makro adalah yang berkaitan dengan fungsi
kota bagi wilayah sekitarnya, sedangkan masalah mikro meliputi masalah-masalah internal kota.
Bahwa sesuai Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 11 ayat (2),
pemerintah daerah kota mempunyai wewenang dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kota
yang meliputi perencanaan tata ruang wilayah kota, pemanfaatan ruang wilayah kota dan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota. Perencanaan tata ruang wilayah kota harus
dilakukan dengan berasaskan pada kaidah-kaidah perencanaan yang mencakup asas keselarasan,
keserasian, keterpaduan, kelestarian, keberlanjutan serta keterkaitan antar wilayah baik di dalam
kota itu sendiri maupun dengan kota sekitarnya. Untuk mendukung terwujudnya ruang yang aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan, dibutuhkan regulasi yang mampu melindungi hak dan
kewajiban stukeholders dalam menata ruang kota.
Beberapa peraturan perundang-undangan telah diterbitkan seperti Undang-Undang No 26
tahun 2007 tentang penataan ruang; Peraturan Pemerintah No 15 tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang; Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2010 tentang Bentuk dan
Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang, serta peraturan-peraturan tentang
penataan ruang lainnya merupakan regulasi yang saling mendukung dan perlu untuk diketahui,
dipahami, dan dijalankan oleh segenap warga negara. Untuk itu maka sesuai dengan kewajibannya,
pemerintah harus mensosialisasikan esensi, makna dan substansi peraturan yang terkait dengan
penataan ruang sehingga masyarakat dapat mengetahui dan mengerti peran mereka dalam
penataan ruang.
TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam. Ruang terbuka non hijau, adalah ruang terbuka di wilayah
perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras maupun yang
berupa badan air. Ruang terbuka hijau privat, adalah RTH milik institusi tertentu atau orang
perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau
halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Ruang terbuka hijau
publik, adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang
digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
Ruang terbuka hijau yang ideal adalah 40% dari luas wilayah, selain sebagai sarana
lingkungan juga dapat berfungsi untuk perlindungan habitat tertentu atau budidaya pertanian dan
juga untuk meningkatkan kualitas atmosfer serta menunjang kelestarian air dan tanah. Klasifikasi
bentuk RTH umumnya antara lain RTH Konservasi atau Lindung dan RTH Binaan. Ruang terbuka hijau
adalah area memanjang atau jalur dan mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka,
tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis.
Pengertian tata ruang, diambil dari buku Pengantar Hukum Tata Ruang (2016) karya Yunus
Wahid, merupakan ekspresi geografis yang merupakan cermin lingkup kebijakan yang dibuat
masyarakat terkait dengan ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Tata Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Kegiatan penyelenggaraan penataan ruang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang terdapat dalam Undang-undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Perencanaan wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan
untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas
masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah tertentu, dengan memanfaatkan atau
mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat
menyeluruh, lengkap, tetap berpegang pada azas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2003).
Haruo (2000), menyatakan bahwa regional development adalah suatu bidang ilmu yang
membutuhkan integrasi berbagai disiplin ilmu. Sedangkan Sukla (2000) menyatakan bahwa
pengembangan (development) bergantung pada suatu sistem perencanaan ilmiah. Sedang menurut
Rudiyanto (2008) pengembangan wilayah (regional development) merupakan cara pandang untuk
memahami kondisi, ciri dan hubungan sebab-akibat (causal effect) dari unsur-unsur pembentuk
ruang wilayah seperti penduduk, sumber daya alam, sumber daya buatan, sosial, ekonomi, budaya,
fisik dan lingkungan. Melalui cara pandang tersebut selanjutnya dirumuskan tujuan, sasaran, dan
target pengembangan wilayah.
METODE
A.Lokasi
Daerah penelitian sangat penting untuk memperoleh data dalam hal penyusunan, oleh
karena itu peneliti memiliki lokasi penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Dinas Perumahan ,
Kawasan Pemungkiman Dan Penataan Ruang Kota Medan,adapun alasan penelitian mengambil
objek pusat penelitian di wilayah tersebut adalah: Karena RTH di kota Medan merupakan salah satu
aset yang bisa di bermanfaat bagi masyarakat untuk berolah raga dan lain sebagainya.
Gambar : Peta Dinas Perumahan, Kawasan Pemungkiman Dan Penata Ruang Kota Medan
KESIMPULAN
A.Hasil
Kondisi pengelolaan RTH publik di Kota Administrasi kota Medan berdasarkan 3 (tiga) faktor
aspek (kondisi fisik, fungsi, dan manajerial), yaitu sebagai berikut:
a.) Potensi pengelolaan RTH public
1) Aspek Fisik: distribusi RTH publik sebagian besar tersebar di seluruh kecamatan,
penataan RTH publik sebagian besar sudah baik, RTH publik yang ada dilengkapi
dengan fasilitas penunjangnya.
2) Aspek Fungsional : kurangnya penyuluhan dan pemasangan slogan dalam
meningkatkan informasi aktif kepada masyarakat untuk mempertahankan fungsi
optimal.
3) Aspek Manajerial : adanya RTH publik yang dilindungi oleh undang undang, adanya
rencana rinci yang memuat program jangka pendek pengelolaan RTH publik, adanya
prosedur pelaksanaan teknis dalam pengelolaan RTH publik, tidak adanya tumpang
tindih tugas dalam pemeliharaan, adanya dana investasi dari swasta dan retribusi
masyarakat.
b.) Permasalahan Pengelolaan RTH Publik
1) Aspek Fisik : adanya sebaran yang tidak merata, tidak semua RTH memiliki kualitas yang
baik, tidak semua RTH publik memiliki kualitas dan kuantitas fasilitas yang baik.
2) Aspek Fungsional : belum semua fungsi RTH publik di tetapkan dalam rencana ,
pemanfaatan RTH publik menjadi belum optimal karena adanya peralihan fungsi RTH
atau penyalahgunaan fungsi RTH.
3) Aspek Manajerial : kebijakan yang ada masih menggunakan kebijakan nasional yang
lama dan sudah habis masa berlakunya, belum semua RTH publik dilindungi oleh
undang-undang khusus, penyusunan program di dalam rencana belum sesuai dengan
prosedurnya, koordinasi antar pemerintah dalam pengelolaan masih kurang,
banyaknya pelaksana teknis dalam pengelolaan RTH publik menjadi tidak optimal
pelaksanaanya, masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan, peran
swasta dalam pengelolaan RTH masih rendah, terbatasnya dana pemeliharaan yang
dialokasikan.
Dari hasil analisis SWOT yang di dapat berdasarkan potensi dan permasalahan kondisi
pengelolaan RTH publik di Kota Medan, maka dapat dirumuskan strategi pengelolaan RTH publik
Kota Medan berdasarkan 3 faktor (tiga) aspek (kondisi fisik, fungsi, dan manajerial), yaitu sebagai
berikut:
a. Strategi untuk aspek kondisi fisik, mempertahankan dan menata persebaran RTH
Publik secara merata, mempertahankan dan meningkatkan kuantitas (luasan) RTH
publik, mempertahankan dan meningkatkan kualitas RTH publik, serta
mempertahankan dan meningkatkan kualitas dan atau kuantitas fasilitas RTH publik.
b. Strategi untuk aspek fungsional, adalah mengoptimalan pemanfaatan RTH publik,
meningkatan komunikasi dan informasi aktif, sertamempertahankan dan
menetapkann fungsi RTH publik dalam rencana.
c. Strategi untuk aspek manajerial, adalah kebijakan pengelolaan RTH publik, menegakan
hukum yang tegas bagi pelaku pengalihfungsian RTH publik, penyusunan program-
program oleh pemerintah, meningkatan kinerja instansi yang berwenang dalam
pengelolaan RTH publik, meningkatan kerjasama terhadap pihak-pihak terkait, dan
meningkatan penambahan pendapatan dalam pengelolaan RTH.
Semua alternatif strategi yang dihasilkan sangat mungkin diterapkan, apabila ada kerjasama
yang baik dari pemerintah, masyarakat, dan swasta. Kerjasama dan koordinasi yang baik dalam
pengelolaan RTH publik akan menghasilkan hasil yang baik dengan kualitas lingkungan yang baik
pula khususnya di Kota Medan.
B.Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat diberikan terkait pembangunan, pengembangan, dan pengelolaan
RTH publik di Kota Medan, adalah sebagai berikut:
1. Pembaharuan dan pengadaan dokumen rencana RTH kota baik RTRW maupun masterplan
RTH dengan melibatkan para ahli di bidang ruang terbuka hijau khususnya RTH.
2. Pengendalian fungsi RTH publik oleh pemerintah dengan cara pemberian sanksi bagi
perubah fungsi RTH dan pemberian kompensasi bagi pihak-pihak yang membantu dalam
pemeliharaan RTH publik.
3. Peningkatan kualitas SDM dalam pelaksanaan pengelolaan RTH public dengan pengadaan
pelatihan dan mengkaji standar pendidikan minimum yang bekerja di instansi terkait.
4. Meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam proses perencanaan,
pemanfaatan, sampai dengan pengendalian RTH publik dengan melakukan informasi aktif
atau penyuluhan kepada masyarakat atau dengan pengadaan perlombaan penghijauan
dengan imbalan hadiah oleh pemerintah.
5. Peningkatan peran serta swasta dalam pemeliharaan , pengelolaan , pengadaan dengan
sistem insentif dengan kompensasi penempatan simbol perusahaan.
6. Peningkatan kinerja dan koordinasi antar instansi terkait kewajibannya dalam pengelolaan
RTH publik yang ada, baik secara vertikal (dinas, suku dinas, dan seksi kecamatan), maupun
horizontal (Bapeda, DTK, pertamanan dan pemakaman, kelautan dan pertanian bidang
kehutanan, dan dinas lainnya yang terkait) dengan membentuk 1 (satu) tim khusus dalam
pelaksanaan pengelolaan RTH.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah serta karunia-Nya kami dapat menyelesaikan hasil Laporan kami ini dengan judul “Analisis
Perencanaan Pembangunan Program Ruang Terbuka Hijau (RTH)” di Kota Medan
Penyusunan proposal PPL ini sebagai salah satu syarat untuk membuat tugas akhir dan mata
kuliah wajib yang harus ditempuh dalam meraih gelar sarjana di Program Studi SI Ilmu Administrasi
Publik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara serta sebagai wahana studi lapangan bagi
mahasiswa untuk dapat mengetahui secara langsung lingkungan kerja.
Kami juga menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dan membimbing yaitu kepada :
1. Bapak Dr.Arifin Saleh,S.Sos,MSP Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
2. Bapak Ananda Mahardika,S.Sos,M.SP Kaprodi Ilmu Administrasi Publik
3. Bapak Jehan Ridho Izharsyah,S.Sos.,M.SI Dosen Pembimbing Praktik Pengalaman Lapangan
(PPL)
4. Bapak Tondi Nasha Yusuf Nst ,ST,MT Sekretaris Kepala Dinas Perumahan Kawasan
Permukiman dan Penataan Ruang Kota Medan
Serta seluruh pihak yang bersangkutan, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua.
DAFTAR PUSTAKA
Muliana, R ., Astuti, P ., & Fadli, A. (2018). Kajian Pusat-Pusat Pelayanan di Kabupaten Kampar. Jurnal
Saintis Volume 18 Nomor 1.
Pane, Teguh Achmad. (2013). Kajian Pengembangan Pusat-pusat Pelayanan di Wilayah Kabupaten
Serdang Bedagai. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Detail Tata Ruang dan
Peraturan Zonasi Kota Medan Tahun 2015-2035.
Pontoh, Nia K dan Iwan Kustiawan. (2008). Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: ITB.
Putra, Dewa Raditya dan Wisnu Pradoto. (2016). Pola Dan Faktor Perkembangan Pemanfaatan Lahan
di Kecamatan Maranggen, Kabupaten Demak. Jurnal Pengembangan Kota (2016) Volume 4
No. 1
RDTR Kecamatan Medan Johor.
RTRW Kota Medan Tahun 2010-2030.
Setiawan, Bambang. (2004). Pengaruh Struktur Kota Terhadap Pola Pergerakan di Kota Semarang
dan Kota Surakarta. Semarang. Universitas Diponegoro
Sinulingga, B. D. (2005). Pembangunan Kota, Tinjauan Regional dan Lokal. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
SNI 03-1733-2004 Tentang Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan.
Adisasmita, Sakti Adjizahd. (2011). Jaringan Transportasi. Yogyakarta. Graha Ilmu. Apriana, M ., &
Iwan, R. (2020). Penentuan Pusat Pelayanan Perkotaan di Kota
Tanjungpinang. Jurnal Tunas Geografi Vol. 09 No. 01 2020.
Aryunto, Primus. (2012). Pengaruh Perkembangan Ekonomi Kota Terhadap Struktur Ruang Kota
(Studi Kasus Kabupaten Gresik). Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
BPS (2020) Statistik Daerah Kota Medan, Bapan Pusat Statistik Kota Medan.
Budiarto, Jerzi dan Suwandono, Djoko. (2014). Identifikasi Perubahan Struktur Ruang Pada Jalan
Utama Kecamatan Kraton D.I Yogyakarta. Jurnal Ruang Volume 2 Nomor 1 Tahun 2014. ISSN
1858-3881.
Burgess, E. W. (1925). The Growth of The City in R. E. Park; E.W Burgess and R.D McKenzie, The City.
Chicago, University of Chicago Press.
Dokumen Profil Kota Medan. BPS Kota Medan.
Dwiyanto, T. A., & Sariffuddin, S. (2013). Karakterisktik Belanja Warga Pinggiran Kota (Studi Kasus:
Kecamatan Banyumanik Kota Semarang). 2013, 1 (2) 118- 127.
Filipus, Theodorus ., Tondobala, Linda ., & Rengkung, Michael M. (2019). Analisis Struktur Ruang
Berdasarkan Pusat Pelayanan di Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Spasial Vol. 6 No. 1,
2019. ISSN 244-3262.
Ilma, Faradina dan Rakhmatulloh, Anita Ratnasari. (2014). Pembentuk Struktur Ruang Kompak di
Kawasan Banyumanik Kota Semarang. Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota. Volume 10 (2):
Juni 2014.
Lahagina, Jason J. Geovani P ., Poluan, R. J ., dan Mononimbar, Windy. (2015). Kajian Struktur Ruang
Kota Tomohon. Universitas Sam Ratulangi Manado.
M. Irzan Fausan. (2018). Kajian Struktur Ruang Kawasan Perdagangan Di Kota Makassar. Universitas
Islam Negeri Alaudin Makassar.
Malau, Febri Irwandi ., Mononimbar, Windy ., dan Rate, Johannes Van. (2018). Analisis Pemanfaatan
Ruang di Kawasan Sekitar Jalan Lingkar Kota Manado. Jurnal Spasial Vo. 5. No. 3, 2018. ISSN
2442-3262.
Masrianto ., Soetomo, Soegiono ., Poerwo, Poernomosidhi ., dan Riyanto, Bambang. (2012).
Pembangunan Jaringan Jalan Perkotaan Berdasarkan Kajian Struktur Ruang dan Aksesibilitas
Kota. Jurnal Transportasi Vol. 12 No 2 Agustus 2012.
Toriki, Pransiska Archivianti dan Nurini. (2012). Kajian Pola Ruang Kampung Berdasarkan Budaya
Lokal di Perkampungan Ke’Te Kesu, Kabupaten Toraja Utara. Jurnal Teknik PWK Volume 1
Nomor 1 2012.
Ullman, Harris. (1945). Graphic Repared. Department of Geography and Earth Sciens Charlotte:
University of North Carolina.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Utoyo, B . (2007). Geografi Membuka Cakrawala Dunia. Bandung: PT. Setia Purna.
Viduri, Vika, Badjuri dan Andjar Widjajanti. (2015). Analisis Pengembangan Wilayah Kecamatan
sebagai Pusat Pertumbuhan dan Pusat Pelayanan di Kabupaten Banyuwangi dalam Artikel
Ilmiah Mahasiswa 2015. Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi
Universitas Jember (UNEJ).
Wibowo, Awal. (2014). Studi Tentang Struktur Kota dan Sistem Transportasi Di Perkotaan
Purwokerto Tahun 2013. Geodukasi Volume III Nomor 1, Maret 2014.
Yunus, Hadi Sabari. (2014) Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.