Anda di halaman 1dari 4

Shima Aqila Nur Iswahyudi

Komunikasi Gender 7
14040119130072

RESUME MINGGU KE-1


“MENGURAI TEORI FEMINIS”

Studi Perempuan & Perdebatan Mengenai Teori.


Istilah “teori feminis” berarti pengetahuan yang menjelaskan secara kritis mengenai
subordinasi perempuan. ‘Kritis’ dalam penjelasan tersebut bukan berarti mempekuat atau
melegitimasi, namun bagaimana subordinasi perempuan dapat ditentang dan diekspos. Teori
feminis menyuguhkan analisis dan penjelasan tentang mengapa kedudukan wanita di masyarakat
lebih rendah daripada laki-laki, juga bagaimana kedudukan yang tidak seimbang tersebut dapat
ditantang dan dirombak.
Menciptakan teori feminis dapat dilakukan dengan memilih beberapa teks kunci, atau ahli
teori yang kontribusinya berpengaruh bagi teori feminis. Pemilihan penulis seperti itu juga akan
membangun cerita individualistik ahli teori feminis, menggantikan 'Pria Hebat' dengan 'Wanita
Hebat'. Pemilihan berulang dari teks feminis tertentu dapat menjadi bagian dari proses akademis
yang memvalidasi penulis tertentu, dan telah menyebabkan marginalisasi misalnya, tulisan feminis
lesbian dan kulit hitam. Dilihat dari perspektif kritik feminis, pembentukan pengetahuan akademis
yang menelantarkan aspek perempuan menjadi sebuah hal yang ironis.
Posisi feminis klasik dibagi menjadi 3 posisi, cirinya sebagai berikut: feminisme radikal
membahas tentang kekerasan laki-laki terhadap perempuan dan kontrol laki-laki atas seksualitas
serta reproduksi perempuan. Posisi ini memandang bahwa laki-laki merupakan pihak yang
bertanggungjawab atas penindasan perempuan. Kedua yaitu feminisme marxis. Posisi ini
mengerucutkan pembahasannya pada penindasan perempuan akibat eksploitasi kapitalis atas
tenaga kerja. Feminisme liberal berfokus memperbaiki ketidakadilan yang membatasi hak-hak dan
pilihan perempuan dengan hukum dan pendidikan. Feminisme sosial sendiri memiliki sudut
pandang bahwa pembebasan dan sosialisme adalah tujuan bersama meskipun ada otonomi yang
meloloskan penindasan terhadap perempuan.
Perdebatan Patriaki
Salah satu peran teori feminis adalah untuk menjelaskan subordinasi perempuan pada
masyarakat. Perdebatan mengenai patriarki menjadi fokus pada pembahasan ini karena topik
tersebut menjadi hal utama pada banyak usaha para feminis. Konsep ‘patriarki’ banyak menuai
perdebatan. Beberapa feminis berfikir bahwa definisi patriarki telah tersebar dan menjadi tidak
membantu (Barret, 1980). Ahli seperti Beechey dan Rowbotham berpendapat bahwa penyebutan
itu terlalu umum. Gayle Rubin (1975) lebih memilih istilah ‘sistem gender-jenis kelamin’ yang
memungkinkan untuk mencakup semua aspek kekhususan sejarah, tidak hanya bentuk-bentuk
penindasan perempuan. Namun bagi banyak feminis, istilah patriarki telah memberikan konsep
penting untuk teori tentang bagaimana dan mengapa perempuan ditindas (Millett, 1970; Daly,
1978; Hartmann, 1979; Delphy, 1984b; dan Walby, 1990). Patriarki bagi mereka mewakili
pemikiran mereka untuk menganalisis sistem penindasan perempuan dimana istilah tersebut akan
membantu memberikan bentuk konseptual pada sifat dominasi laki-laki dalam masyarakat. Bagi
kaum feminis, ‘patriarki’ merupakan bentuk perjuangan mereka. Dalam menganalisis penindasan
perempuan, para feminis memiliki tujuannya masing-masing. Tiga diantaranya adalah: historis,
material, dan psikoanalitik. Menurut Mies, istilah ‘patriarki’ merupakan simbol dari kemunculan
bersejarah dari bentuk-bentuk ketimpangan tertentu antara perempuan dan laki-laki, berbeda
dengan pandangan bahwa ketidaksetaraan gender itu wajar. Feminis yang tidak menerima
jusfiikasi dominasi laki-laki berusaha untuk mengungkapkan bahwa masyarakat patriarkal berbeda
dengan masyarakat egaliter yang muncul lebih dahulu. Feminis kemudian mencari asal-usul
patriarki melalui karya Friedrich Engels yang karyanya menjelaskan ‘kekalahan bersejarah dunia
dari jenis kelamin perempuan’. Menurut Delphy, ada dua mode produksi: mode produksi industri,
yaitu arena eksploitasi kapitalis; dan cara produksi keluarga, di mana tenaga kerja perempuan
dieksploitasi oleh laki-laki. Laki-laki mendapatkan keuntungan dari penyediaan rumah tangga bagi
perempuan layanan dan pengasuhan anak yang tidak dibayar dalam keluarga, ibarat mereka
produksi barang tertentu untuk digunakan dan ditukar. Eksploitasi yang dilakukan pria dalam
kegiatan reproduksi dan produktivitas perempuan di rumah tangga merupakan bentuk utama
penindasan perempuan. Patriarkhal eksploitasi oleh karena itu dipandang sebagai 'penindasan
umum, spesifik dan utama perempuan' (Delphy, 1984b, hal 74). Namun, meski menekankan akar
budaya patriarki (Sayers, 1986) gagasan tentang alam bawah sadar juga dianggap dapat membantu
menggagalkan tindakan patriarki. Ini memberikan harapan untuk mereka yang pesimis akan
ketiadaan dominasi patriarki. Penggunaan psikoanalisis untuk menghasilkan teori feminis patriarki
menuai kritikan karena historisisme dan universalismenya. Banyak feminis menemukan beberapa
asumsi dasar (seperti yang ditemukan dalam teori kompleks Oedipus, patologis dari
homoseksualitas atau konstruksi frigiditas wanita) dalam pemikiran Freudian sangat bermasalah
sehingga mereka yakin semua itu harus dihentikan. (Jeffreys, 1985, 1990.)
Teori Universal dan Perbedaan Politik
Perdebatan tentang patriarki melahirkan satu pertanyaan penting mengenai sejauh mana
subordinasi perempuan bersifat universal. Dalam antropologi feminis misalnya, ada
ketidaksepakatan yang kuat antara universalis, yang mencari kesamaan lintas budaya, dan relativis
budaya, yang berfokus pada kekhususan makna budaya dan organisasi internasional untuk satu
perangkat tertentu (MacCormack dan Strathern (eds), 1980; Rosaldo dan Lamphere (eds), 1974;
dan Moore, 1988).
Topik mengenai posisi perempuan kulit putih dalam masyarakat telah sering menjadi
pembahasan teori feminis Pekerjaan feminis kulit hitam telah sering dilakukan terpinggirkan
dalam Studi Wanita, dan feminis kulit hitam telah menentang keputusan yang ada dengan lasan
bahwa banyak hal yang disetujui pada debat feminis yang membuat hak feminis kulit hitam lebih
sering tidak seimbang Dari mempertanyakan penerapan umum kategori tertentu seperti
'reproduksi', 'patriarki' dan 'keluarga' hingga memikirkan kembali teori feminis tentang pekerjaan,
kekerasan, seksualitas dan pengasuhan.
Selain menantang teori feminis kulit putih, feminis kulit hitam juga menyimpan banyak
kekecewaan tersendiri mengenai rasisme, kolonialisme, dan imperialisme yang menghasilkan cara
hidup yang sangat berbeda dengan masyarakat lain. Perbedaan kekuatan antara wanita dan pria
terpotong oleh perbedaan kekuatan antara yang dikenakan tergantung pada bagaimana mereka
diposisikan dalam sejarah ini. Fokus pada perbedaan antara yang dipakai menjadi hal yang tidak
penting, ganti rugi di pemerintahan yang membangun momentumnya di atas universalistik
pemahaman yang salah tentang penindasan usang. Ada ketegangan dan kecemasan seputar
pertanyaan tentang siapa memiliki hak untuk berbicara.
The Category Woman
Pembahasan mengenai pertanyaan politik tentang berbagai perbedaan diantara wanita,
teori sosial dan budaya telah mengalami perkembangan yang menyebabkan terbukanya debat
mengenai makna dari kategori ‘wanita’. Wanita yang awalnya diasumsikan sebagai kategori
analisis feminis tertentu dan dianggap sebagai bentuk esensialisme problematis, para feminis ini
menyoroti fluiditas makna kategori itu melintasi waktu, tempat, dan konteks. Istilah 'subjektivitas'
digunakan bukan untuk merujuk pada perasaan, melainkan untuk merujuk pada cara-cara dalam
yang kita pahami sebagai subjek yang diposisikan oleh wacana atau ideologi. Subjektivitas
kemudian akan menjadi konfigurasi khusus dari identitas sosial dan budaya itu dalam satu
orang.Istilah 'individu' sengaja dihindari di kerangka ini, karena cenderung dikaitkan dengan
keyakinan agak liberal bahwa kita adalah makhluk otonom, tidak dibatasi oleh struktur dan
institusi kekuasaan, yang dapat memilih 'nasib' kita dalam hidup.
Dalam artikel yang berpengaruh dan buku selanjutnya, Am I that Name, Denise Riley
(1988) telah melihat kategori wanita yang digunakan dalam sejarah feminis. Dia menantang
penggunaan kategori di berbagai periode sejarah yang berbeda seolah-olah itu memiliki arti yang
sama sepanjang sejarah. Riley berpendapat bahwa penggunaan kategori dalam berbagai periode
sejarah yang berbeda merupakan hal yang sama. Sebaliknya, dia membantah untuk posisi
dekonstruksionis yang mengakui kategori itu 'wanita' berarti hal-hal yang berbeda dalam periode
sejarah yang berbeda, dan dengan demikian daripada menganggap kita tahu, belum lagi berbagi,
pengalaman 'Menjadi seorang wanita', Riley menganjurkan analisis tentang bagaimana kategori
itu mengatribusikan makna dalam konteks sejarah yang berbeda. Feminis yang menggunakan teori
post-strukturalis telah dikritik mendekonstruksi kategori sentral untuk feminis akademis dan
politik aktivitas. Penolakan dan penolakan feminitas oleh wanita dapat dijelaskan melalui gagasan
tentang ketidaksadaran, dan gagasan bahwa maskulinitas tidak secara eksklusif merupakan hak
istimewa laki-laki.
Konstruksinisme dan esensialisme sosial: Dikotomi yang salah?
Istilah ‘konstruksionis sosial’ dan ‘esensialis’ menjadi dua konsep untuk perbedaan teoritis
dan politik yang penting dalam banyak karya feminis. Dalam kaitannya dengan analisis gender
dan seksualitas, esensialisme mengacu pada argumen yang menarik bagi determinisme biologis
atau genetik, universalisme atau penjelasan berdasarkan gagasan 'alam' atau 'sifat manusia'.
Konstruksionisme sosial, di sisi lain, menarik gagasan bahwa ini tidak alami, tetap atau universal
tetapi spesifik untuk konteks sosial, budaya dan sejarahnya. Sedangkan penjelasan esensialis
cenderung menyarankan bahwa perubahan sulit dicapai, konstruksionisme sosial menekankan
perubahan, diskontinuitas dan kontradiksi (Franklin dan Stacey, 1988).
Membedakan contoh untuk tiap masalah esensialisme dalam teori feminis memiliki tujuan
sendiri: pertama, penting untuk sorot berbagai arti berbeda yang telah diberikan untuk istilah
tersebut 'esensialisme', melampaui konotasi biologisnya yang biasa; dan kedua, untuk
menunjukkan bagaimana label 'esensialisme' itu sendiri adalah relatif. Dengan kata lain,
konstruksionisme sosial dan esensialisme bukanlah dua hal yang pasti posisi melainkan ada
kontinum di mana semua ahli teori dapat diberi label satu sama lain dengan cara yang berbeda.
Apakah seorang ahli teori tertentu akan diberi label sebagai esensialis, atau konstruksionis sosial,
akan bergantung, sampai taraf tertentu, atas keyakinan orang yang melakukan positioning.
Komentar:
Saya ingin memberikan komentar mengenai salah satu materi pada bab kali ini, yaitu Teori
Universal dan Perbedaan Politik, spesifiknya mengenai hak-hak wanita kulit hitam. Kita tahu
bahwa subordinasi perempuan telah berlangsung sejak bertahun-tahun lamanya dan hal ini bahkan
telah menjadi nilai pada beberapa kelompok masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan juga
telah banyak menuai perhatian. Masalah gender berkaitan erat dengan ras. Patriarkisme berakar
dari adanya bentuk penjajahan oleh kaum terdahulu. Tekanan untuk perempuan dari ras yang
bukan kulit putih lebih berat karena mereka dianggap minoritas. Mereka memili agenda yang lebih
banyak karena hak-hak yang dirampas lebih banyak daripada wanita kulit putih. Feminis kulit
hitam berusaha untuk menegakkan hak-hak kaumnya dalam mendapatkan kesetaraan di bidang
pekerjaan dan berusaha untuk menumpas pemikiran-pemikiran masyarakat mengenai subordinasi
perempuan kulit hitam karena menganggap kaum kulit putih lebih superior. Hal ini juga
sebagaimana yang diungkapkan oleh Barker (2000:282) bahwa gender bersinggungan dengan ras,
etnik dan nasionalitas yang pada akhirnya memberikan pengalaman yang berbeda akan bagaimana
rasanya menjadi perempuan.

Anda mungkin juga menyukai