Bayangkan, jumlahnya bisa mencapai lima juta orang per tahun! “Prestasi” itu
menjadikan Indonesia pemegang peringkat teratas AKI melahirkan di Asia Tenggara.
Berdasarkan penelitian Woman Research Institute, AKI melahirkan saat ini mencapai
307 per 100 ribu.
Penelitian WRI menyebutkan sekitar 70 persen kematian ibu melahirkan disebabkan oleh
tiga faktor, yaitu perdarahan, eklamsia (sang ibu memiliki tekanan darah tinggi dan
mengalami kejang-kejang saat melahirkan), serta infeksi.
Adapun perdarahan pasca persalinan antara lain karena gangguan pada rahim, pelepasan
plasenta, dan gangguan faktor pembekuan darah.
“Risiko kematian akan meningkat apabila ibu hamil menderita anemia dan rahim
teregang terlalu besar karena bayi besar,” kata Biran.
Selain ketiga faktor utama tersebut, Kemenkes menengarai kematian ibu hamil sering kali
disebabkan tidak adanya akses bagi para ibu itu untuk pergi ke bidan maupun dokter.
Kondisi yang kerap dijumpai di pelosok-pelosok daerah di Indonesia biasanya erat
kaitannya dengan kemiskinan.
Di provinsi paling timur itu, faktor penyebab kematian pada ibu-ibu hamil ketika
melahirkan ialah minimnya sarana dan prasarana bersalin, termasuk tenaga medis yang
memadai. Kalaupun tersedia layanan kesehatan, masyarakat Papua masih kesulitan
menjangkaunya.
Kondisi itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat miskin yang berdomisili di pelosok
daerah. Selain minimnya ketersediaan fasilitas serta tenaga medis yang memadai,
pertolongan persalinan yang diberikan oleh petugas kesehatan terlatih, terutama bidan
yang belum merata, turut memengaruhi grafik AKI.
Gambaran rendahnya ketersediaan tenaga kesehatan tersebut bisa dilihat di Bogor, Jawa
Barat. Di wilayah itu terdapat 426 desa, namun hanya 224 desa yang telah memiliki
bidan. Itu pun tidak semua bidan desa tinggal di satu desa.
Komposisinya bisa mencapai seorang bidan melayani tiga desa. Persoalan tersebut
diperparah dengan kondisi demografi Bogor yang berbukit-bukit dengan lereng terjal
serta minimnya sarana angkutan di wilayah pelosok.
Tidak hanya itu, keterbatasan kemampuan ekonomi untuk membiayai persalinan juga
sangat memengaruhi seorang ibu mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
Karena pelbagai keterbatasan itulah sebagian ibu hamil tidak pernah memeriksakan
kandungan mereka ke petugas kesehatan. Kemenkes mencatat sekitar 10 persen ibu hamil
tidak pernah melakukan pemeriksaan.
Selain itu, sekitar 30 persen ibu hamil tidak menjalani persalinan dengan menggunakan
jasa dokter atau bidan.
Mereka lebih memilih melahirkan dengan bantuan dukun beranak. Kondisi yang berbeda
terjadi di kota-kota besar yang akses pelayanan kesehatannya lebih mudah, seperti
Jakarta.
Seorang ibu hamil bernama Gayatri Ratna, misalnya, mengaku rutin memeriksakan
kandungannya ke dokter kandungan di salah satu rumah sakit Ibu Kota.
Untuk keperluan tersebut, setiap bulannya, perempuan yang tengah hamil lima bulan itu
mesti merogoh kocek sebesar 100 sampai 300 ribu rupiah. “Biaya itu untuk membayar
pengecekan ultrasonografi dan konsultasi dokter kandungan,” ujar Gayatri.
Merujuk data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), grafik AKI
sebenarnya mengalami penurunan, dari 307 per 100 ribu pada 2002-2003 menjadi 228
per 100 ribu pada 2008.
Meski demikian, Bappenas memprediksi target penurunan AKI hingga 102 per 100 ribu
pada 2015 seperti yang tercantum dalam Millenium Developments Goals (MDGs) sulit
tercapai.
Paling banter, penurunan itu hanya mencapai 163 per 100 ribu kelahiran. Untuk menekan
AKI melahirkan di Indonesia, Kemenkes menggelar sejumlah program, salah satunya
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) atau Pelayanan Kesehatan Produksi
Terpadu (Yankespro) esensial di tiap tingkat layanan kesehatan.
Ada pula gerakan sayang ibu, desa siaga, polindes, dan posyandu dengan meningkatkan
partisipasi masyarakat.
Lebih lanjut, Sri menyatakan P4K bertujuan agar masyarakat waspada akan pentingnya
persiapan pemeriksaan kesehatan dan mendorong suami berpartisipasi aktif dalam
menyiapkan persalinan istrinya.
Sedangkan buku KIA berupa buku pengecekan kehamilan agar ibu hamil yang
memeriksakan diri ke Puskesmas bisa memantau perkembangan kehamilannya.
Pengamat kesehatan, Marius Widjajarta, mengatakan tingginya AKI disebabkan adanya
anggapan bahwa tanggung jawab untuk menurunkan AKI merupakan urusan perempuan
semata.
Padahal, persalinan juga menjadi tanggung jawab suami agar cepat mengambil keputusan
ketika sang istri mengalami kondisi genting.
Setiawati, Deputi Bidang Pening katan Kualitas Hidup Perem puan, Kementerian Negara
Pem berdayaan Perempuan, menambahkan penurunan AKI bukan hanya tanggung jawab
Kemenkes, melainkan juga instansi pemerintah lainnya, termasuk pemerintah daerah.
“Mengurangi AKI harus terpadu dengan memberdayakan perempuan dan peran suami
serta masyarakat,” papar Setiawati.
Dia memberi contoh Nusa Tenggara Barat yang masyarakatnya telah berinisiatif
memodifi kasi kereta kuda menjadi ambulans desa. Hal lain yang penting ialah
peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai kehamilan.
Seorang ibu juga diharuskan memperhatikan asupan makanan dan tekanan darahnya.
Agar berjalan efektif, idealnya semua program pemerintah itu tidak hanya dijalankan di
perkotaan, tetapi juga menyasar hingga wilayah pedalaman.
Dengan demikian, jumlah anak-anak Indonesia yang menjadi piatu sejak dilahirkan bisa
berkurang drastis.
vic/L-2