Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

JARIMAH QISHASH - DIYAT

Makalah ini dibuat sebagai bahan diskusi mata kuliah Fiqih IV

Dosen Pengampu: Drs. H.A. Suhrowardi, M.Si.

Disusun Oleh: Kelompok 4 (Semester IV)

Laras Siti Masripah

Muhammad Don

Moch Said Agil

Neng Siti Ruhama

Neng Siti Marlina

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

AL-MASTURIYAH

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kelompok yang berjudul “Jarimah
Qishash-Diyat” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi sala satu tugas
Dosen Drs. H.A. Suhrowardi, M.Si. Pada mata kuliah Fiqih IV . Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Jarimah Qishash-Diyat bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada kang Drs. H.A. Suhrowardi, M.Si. selaku
dosen mata kuliah Fiqih IV yang telah memberikan arahan materi tentang tugas ini, sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada anggota kelompok-4 yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini serta pihak lain yang telah membantu sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Sukabumi, 03 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................2

A. Pengertian Qishash dan Diyat....................................................................................2


B. Macam-macam Qishash dan Diyat............................................................................5
C. Sanksi Qishash dan Diyat..........................................................................................8
D. Pembuktian Qishash dan Diyat..................................................................................11

BAB III PENUTUP..............................................................................................................13

A. Kesimpulan................................................................................................................13
B. Saran..........................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia
pastinya memiliki sebuah dasar yang paling penting yaitu keadilan. Ini terbukti
dengan adanya firman Allah SWT

َ ‫َّن اهَّلل َ يَْأ ُم ُر اِب لْ َعدْ لِ َوا ْح َس ِان َو ي َتا ِء ِذي الْ ُق ْرىَب َويَهْن َى َع ِن الْ َف ْحشَ ا ِء َوالْ ُم ْن َك ِر َوالْ َب ْغ ِي ي َ ِع ُظمُك ْ لَ َعلَّمُك ْ ت ََذكَّ ُر‬
‫ون‬
‫ِإ‬ ‫ِإْل‬ ‫ِإ‬
yang berarti “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran”.
Dalam hal ini, segala jenis kejahatan memang diharapkan pupus di dalam
dunia ini. Akan tetapi, terbukti dari mulai awal kehidupan makhluk bernama manusia
wujud kejahatan tetap ada dan tidak pernah luput di atas bumi. Kejahatan tersebut
berupa pembunuhan, penderaan, dan lain-lain.
Oleh karena itu, ketika Islam turun, ia sudah mensiapkan paket-paket hukum
dan hukuman bagi pelaku kejahatan-kejahatan ini. Walaupun kenyataan kejahatan ini
tidak bisa 100% hilang di muka bumi, minimal pengaturan hukum Islam bertujuan
menurunkan kadar statistik kejahatan yang melanda di negara Islam. Dalam hal ini,
hukuman kejahatan tersebut dikategorikan dengan nama Qishas dan diyat.

B. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian Qishash dan Diyat?
b. Apa Saja Macam-macam Qishash dan Diyat?
c. Apa Sanksi Qishash dan Diyat?
d. Apa pembuktian Qishash dan Diyat?

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui Pengertian Qishash dan Diyat
b. Untukmengetahui Macam-macam Qishash dan Diyat
c. Untuk mengetahui Sanksi Qishash dan Diyat
d. Untuk mengetahui pembuktian Qishash dan Diyat

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qishas dan Diyat
Kata Qishash (qishâsh) yang dalam bahasa Arab “‫ ”قص اص‬secara bahasa
memiliki arti “mengikuti jejaknya/kesannya” (‫ )تتبع األثر‬seperti “‫ ”قصصت األثر‬berarti:
“aku mengikuti jejaknya” (‫)تتبعته‬. Akan tetapi, menurut al-Fayûmî kata Qishash lebih
sering dimaknai dengan menghukum pembunuh dengan membunuh, mencederakan
pencedera, memotong tangan orang yang memotong tangan.
Secara istilah kata Qishash memiliki arti:
‫الْ ِق َص ُاص َأ ْن يُ ْف َع َل اِب لْ َفا ِعلِ الْ َجايِن ِمث ُْل َما فَ َع َل‬
berarti: “Qishash adalah diperlakukan pada yang melakukan jinayah seperti apa
ia lakukan”.
Dalam hal ini, gambaran kisas adalah ketika X yang melakukan sebuah
jarimah terhadap Y, maka Y atau ahli warisnya memiliki hak untuk memperlakukan
pada X sesuai dengan jarimah apa yang X lakukan. Seperti contoh X membunuh Y
maka ahli waris Y (Y atau ahli warisnya disebut mustahiq al-qishâsh) berhak
menuntut agar X juga diperlakukan sama yaitu dibunuh.
Qishash adalah pembalasan yang serupa dengan perbuatan atas pembunuhan
atau melukai atau merusakkan anggota badan atau menghilangkan manfaatnya sesuai
dengan pelanggaran yang dibuatnya. Qishash bisa juga diartikan sebagai hukum yang
berupa pembalasan yang setompal dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh
seseorang terhadap tubuh dan jiwa secara sengaja.
Hukum Qishash adalah wajib dijalankan oleh pemerintah ketika kasus tersebut
diangkat oleh mustahiq al-qishâsh. Dari sisi mustahiq al-qishâsh pula di perkenankan
(mubâh) untuk meminta dihukum kisas ketika mencukupi syarat-syaratnya. Mustahiq
al-qishâsh juga diperkenan untuk melakukan perdamaian atau malah permaafan.
Sedangkan yang paling afdal adalah permaafan, baru perdamaian.
1. Dalil Dasar Qishash adalah dari beberapa nash:
 Dalam Al - Qur'an Allah berfirman
‫ ِد َواُأْلنْىَث اِب ُأْلنْىَث فَ َم ْن ُع ِف َي هَل ُ ِم ْن‬D‫دُ اِب لْ َع ْب‬DD‫ر اِب لْ ُح ّ ِر َوالْ َع ْب‬Dُّ D‫ ُاص يِف الْ َق ْتىَل الْ ُح‬D‫وا ُك ِت َب عَلَ ْيمُك ُ الْ ِق َص‬DDُ‫ا اذَّل ِ َين َآ َمن‬DDَ ‫اَي َأهُّي‬
ُ ‫دَ َذكِل َ فَهَل‬DD‫دَ ى ب َ ْع‬DD‫ ٌة فَ َم ِن ا ْع َت‬D َ ‫ف ِم ْن َر ِبّمُك ْ َو َرمْح‬Dٌ D‫ ٍان َذكِل َ خَت ْ ِفي‬D ‫ ِه ْح َس‬D‫وف َوَأدَا ٌء لَ ْي‬ ِ ‫ا ٌع اِب لْ َم ْع ُر‬DD‫ ِه يَش ْ ٌء فَا ِت ّ َب‬D ‫َأ ِخي‬
‫ِإ ِإِب‬
‫اب َأ ِل ٌمي‬
ٌ ‫عَ َذ‬
2
berarti: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat
suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”.
 Dalam ayat yang lain Allah berfiman
‫لِ ن َّ ُه‬DD‫لْ َطااًن فَاَل يُرْس ِ ْف يِف الْ َق ْت‬D‫َواَل تَ ْق ُتلُوا النَّ ْف َس الَّيِت َح َّر َم اهَّلل ُ اَّل اِب لْ َح ّ ِق َو َم ْن قُ ِت َل َم ْظلُو ًما فَ َقدْ َج َعلْنَا ِل َو ِل ِ ّي ِه ُس‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫اَك َن َم ْن ُص ًورا‬
berarti: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar dan Barangsiapa
dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada
ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.
 Dan juga dalam ayat yang lain Allah berfirman

َ ‫ر‬Dُ D‫ ِّن َوالْ ُج‬D ‫ َّن اِب ِ ّلس‬D ‫الس‬


‫وح‬ ّ ِ ‫ف اِب َأْلن ِْف َواُأْل ُذ َن اِب ُأْل ُذ ِن َو‬Dَ Dْ‫ا َأ َّن النَّ ْف َس اِب لنَّ ْف ِس َوالْ َعنْي َ اِب لْ َعنْي ِ َواَأْلن‬DDَ‫ا عَلَهْي ِ ْم ِفهي‬DDَ‫َو َك َت ْبن‬
َّ ُ ‫ك مُه‬Dَ ‫ِق َص ٌاص فَ َم ْن ت ََصدَّ َق ِب ِه فَه َُو َكفَّ َار ٌة هَل ُ َو َم ْن لَ ْم حَي ْ مُك ْ ِب َما َأ ْن َز َل اهَّلل ُ فَُأولَِئ‬
َ ‫الظا ِل ُم‬
‫ون‬
berarti: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya.
Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.
 Dan juga dalam Hadis Nabi Muhammad SAW bersabda :

َّ ‫ول اهَّلل ِ اَّل ْحدَ ى ثَاَل ٍث الث َّ ِي ّ ُب‬


‫زايِن َوالنَّ ْف ُس اِب لنَّ ْف ِس‬DD‫ال‬ ُ ‫اَل حَي ِ ُّل َد ُم ا ْم ِرٍئ ُم ْسمِل ٍ ي َْشهَدُ َأ ْن اَل هَل َ اَّل اهَّلل ُ َوَأيِّن َر ُس‬
‫ِإ ِإِب‬ ‫ِإ ِإ‬
,‫َوالتَّا ِركُ دِل ِ ي ِن ِه الْ ُم َف ِار ُق ِللْ َج َماعَ ِة‬
yang berarti: “Tidak halal darah seorang muslim yang bersyahadah bahwa
tidak ada tuhan kecuali Allah sesungguhnya aku adalah rasulullah kecuali dengan

3
salah satu dari 3 orang yaitu seorang duda yang berzina, pembunuh disebabkan oleh
pembunuhannya, dan orang yang meninggalkan agamanya yang berpisah terhadap
jama’ah”.
2. Kewajiban Qishash merupakan ijmak umat Islam.
3. Rasional: Secara akal pasti menuntut adanya kisas. Dari segi keadilan dengan
gambaran diperlakukannya orang yang membunuh sesuai dengan cara dia melakukan
jinayah tersebut. Dari segi kemaslahatan yaitu demi menuntut keamanan orang awam,
menjaga jiwa, menahan pelaku jinayah dan semua ini tidak mungkin sukses kecuali
dengan kisas. Ini berdasarkan ayat
,‫َولَمُك ْ يِف الْ ِق َص ِاص َح َيا ٌة اَي ُأويِل اَأْللْ َب ِاب‬
yang berarti: “Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,
Hai orang-orang yang berakal”.
Kata diyât (‫ )ديات‬yang merupakan jamak dari diyat secara bahasa memiliki
arti: “harta yang wajib bagi jiwa”. Sedangkan secara istilah pula adalah “harta yang
wajib disebabkan jinayah terhadap orang yang merdeka dari segi jiwa atau pada apa
yang selainnya”.
Diyat adalah denda yang dibayarkan sebagai ganti rugi kepada korban atau
keluarga melalui keputusan hakim. Meskipun bersifat hukuman, diyat merupakan
harta yang diberikan kepada keluarga korban bukan pemerintah. Dari segi ini, diyat
lebih mirip ganti rugi.
Diyat ini pada dasarnya adalah bagian dari Qishash. Maksudnya, dalam
pembahasan Qishash yang telah lalu, dikatakan bahwa mustahiq al-qishâsh memiliki
hak untuk menentukan sama ada memilih Qishash, perdamaian, atau memaafkan.
Dengan ketentuan ini, diyat adalah pilihan kedua yaitu perdamaian. Ketika mustahiq
al-qishâsh memilih untuk berdamai, maka ia berhak mendapatkan diyat dalam arti si
pelaku kejahatan berkewajiban membayar diyat kepada mustahiq al-qishâsh.
Adapun dasar bagi konsep diyat di dalam fiqh Islam adalah nash sebagai
berikut:
‫َو َم ْن قَتَ َل مُْؤ ِمنًا خ ََطًأ فَتَ ْح ِر ُير َرقَ َب ٍة مُْؤ ِمنَ ٍة َو ِدي َ ٌة ُم َسل َّ َم ٌة ىَل َأ ْههِل ِ اَّل َأ ْن ي َ َّص َّدقُوا‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
berarti: “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar
diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah”. Ayat ini adalah diperuntukkan untuk pembunuhan

4
yang tidak sengaja. Walau bagaimanapun, ulama sepakat wajibnya membayar diyat
dalam pembunuhan yang sengaja ketika gugurnya kisas karena perdamaian.
Hadis Nabi ada banyak sekali tentang diyat hanya saja yang paling terkenal
ada sebuah tulisan tentang farâ`idl, beberapa sunnah dan diyyât yang dikirimkan Nabi
Muhammad SAW ke ahli Yaman. Sebagian tulisan tersebut adalah
‫ َة ِماَئ ًة ِم ْن‬DDَ ‫ َوَأ َّن يِف النَّ ْف ِس ّ ِادلي‬, ِ‫ول‬DD‫ا ُء الْ َم ْق ُت‬DD‫و ٌد إ اَّل َأ ْن يَ ْرىَض َأ ْو ِل َي‬DDَ َ‫ ٍة فَ ن َّ ُه ق‬DDَ‫طَ مُْؤ ِمنًا قَ ْتاًل َع ْن ب َ ِي ّن‬DD‫َّإن َم ْن ا ْع َت َب‬
‫ِإ‬
,”....... ِ‫ا بِل‬
‫ِإْل‬
Yang berarti “Sesungguhnya barangsiapa yang membunuh orang mukmin
dengan tanpa sebab yang sah dari pembuktian maka dia wajib dikisas kecuali yang
menjadi wali kepada si terbunuh meridhainya. Dan sesunggunya bagi nyawa 100
unta.
Jarimah Qishash -diyat adalah hukuman yang berupa pembalasan yang
setimpal atau pembayaran ganti rugi atas tindak pidana terhadap tubuh dan jiwa.
Hukuman qisas-diyat bagi orang yang membunuh atau menganiaya orang lain tanpa
hak adalah bukti bahwa Islam sangat membela dan memperhatikan keselamatan jiwa
seseorang.

Adanya hukuman yang setimpal dan berat tersebut, membuat orang akan
berpikir beberapa kali lagi bila akan melakukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa
terhadap orang lain, baik yang disebabkan rasa dendam ataupun karena ada maksud
lainnya. Tegasnya sebuah hukuman dalam Islam seperti qisas dan diyat dimaksudkan
sebagai suatu pernyataan bahwa sesungguhnya perbuatan membunuh dan menganiaya
sebagai perbuatan yang tidak adil, sehingga dengan demikian, siapapun yang
melakukan perbuatan tersebut harus mempertanggung jawabkannya di depan hukum.
Hal tersebut sesuai dengan tujuan pokok pemidanaan dalam syariat Islam yaitu
pencegahan serta balasan (ar-radu waz-zahru), perbaikan dan pengajaran (al-islah wat-
tahdzib).

B. Macam-Macam Qishas dan Diyat


Maksud dari macam-macam Qishash dan Qishash adalah jenis-jenis dari
kejahatan atau pidana yang dihukum dengan cara Qishash atau diyat. Seorang ulama
kontemporer yaitu Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah menjelaskan secara global ada 5
jenis kejahatan yang masuk di dalam akibat hukum Qishash atau diyat.
Lima kejahatan tersebut adalah

5
1. Pembunuhan sengaja (‫;)القتل العمد‬
2. Pembunuhan yang menyamai sengaja (‫;)القتل شبه العمد‬
3. Pembunuhan yang tidak sengaja (‫;)القتل الخطأ‬
4. Pencederaan sengaja (‫;)الجرح العمد‬
5. Pencederaan yang tidak sengaja (‫)الجرح الخطأ‬.
Pengertian pembunuhan adalah sebuah pekerjaan yang melenyapkan nyawa
yaitu pembunuh jiwa. Pengertian lainnya adalah sebuah pekerjaan hamba yang
menyebabkan hilangnya nyawa. Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah menjelaskan bahwa
pembunuhan itu adalah melenyapkan ruh anak Adam dengan perbuatan anak Adam
yang lain.
Pengertian tersebut didatangkan karena makna “‫ ”العمد‬adalah sengaja. Sengaja
adalah perkara yang samar yang tidak mungkin untuk diketahui kecuali dengan bukti
yang menunjukkan kepadanya. Bukti tersebut bisa berupa penggunaan alat untuk
membunuh. Maka alat tersebut dijadikan sebagai bukti kesengajaan. Secara
kesimpulan alat pembunuhan tersebut menempati tempatnya pembunuhan dengan
sengaja sebagai tempat persangkaan wujudnya niat untuk membunuh.
Bagian kedua (pembunuhan yang menyamai sengaja), menurut mazhab Hanafi
adalah sesuatu pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan alat yang secara
umumnya tidak menyebabkan kematian seperti batu kecil, kayu kecil, tongkat kecil,
atau sebuah tamparan.
Dari pengertian ini, maka gambarannya adalah ketika ada orang melakukan
sebuah pukulan yang secara umumnya tidak menyebabkan kematian seperti sekali
tamparan, atau dengan menumbuk satu kali; akan tetapi mangsa mati, karena seperti
ia memiliki sakit jantung atau lainnya, maka perbuatan ini digolongkan sebagai
pembunuhan yang menyamai sengaja.
Adapun pembunuhan yang dilakukan dengan memakai batu yang besar,
tongkat besar atau yang menyamainya dan bukan merupakan senjata, maka terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanafi. Menurut Imam Abu Hanifah, ia
termasuk dalam pembunuhan yang menyamai sengaja (‫ )شبه العمد‬sedangkan menurut
dua murid Mazhab Hanafi adalah termasuk dari pembunuhan sengaja (‫)العمد‬.
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i; pembunuhan yang menyerupai sengaja
adalah setiap perbuatan yang disengaja akan tetapi keliru dalam membunuh; yaitu
setiap perbuatan yang tidak diniatkan untuk membunuh, namun menyebabkan
kematian. Sebagian ulama Syafi’I mendefinisikan sebagai perbuatan dengan niat
6
melukai dengan sesuatu yang biasanya tidak mematikan, tetapi menyebabkan
kematian.
Menurut Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah, yang juga termasuk pembunuhan
menyerupai sengaja adalah pembunuhan dengan cara dipukul, dilukai, diracun,
ditenggelamkan, dibakar, dibenturkan, dicekik, dan setiap perbuatan yang termasuk
pembunuhan disengaja jika pelaku tidak berniat membunuh walaupun berniat
menyerang.
Bagian ketiga (Pembunuhan yang tidak sengaja/tersalah) adalah sebuah
pembunuhan yang tidak ada niat membunuh atau memukul sama sekali. Seperti
tersalah di dalam niat atau dzann pelaku: melempar sesuatu yang ia sangka haiwan
buruan, ternyata manusia. Atau sangka ia kafir harbî ternyata muslim. Maksud di sini
adalah kesalahan tersebut dikembalikan hati itu sendiri yaitu niat.
Termasuk di dalam pembunuhan tersalah adalah pembunuhan karena uzur
syar’î yang diterima seperti orang yang tidur dengan tidak sengaja bergerak dan
menjatuhi orang yang lain yang tidur di sebelahnya sehingga menyebabkan orang
tadi mati.
Bagian keempat (pencederaan sengaja) adalah segala jenis penyerangan
terhadap jasad manusia seperti memotong anggota badan, melukai, memukul, akan
tetapi nyawa orang tersebut masih tetap dan perbuatan tersebut dilakukan dengan
sengaja.
Bagian kelima (pencederaan tidak sengaja) adalah si pelaku berniat untuk
melakukan pekerjaan tersebut tapi tidak dengan niat permusuhan, seperti orang
meletakkan batu di jendela, tanpa sengaja batu jatuh terkena kepala orang sehingga
pecah dan terlihat tulang kepala. Atau seperti orang yang terjatuh di atas orang yang
tidur dan menyebabkan tulang rusuk orang tadi patah.
Dalam pencederaan (‫ )الج رح‬tidak ada “‫ ”ش به العمد‬adalah karena makna dari
menyamai sengaja adalah pukulan dengan sesuatu yang bukan senjata. Maka
wujudnya konsep “‫ ”ش به العمد‬adalah dianggap dari segi alat memukul itu. Konsep
membunuh di sini itu kasus hukumnya akan berbeda sesuai dengan alatnya.
Sedanglan kerusakan pada selain jiwa (‫ )الج رح‬itu hukumnya tidak menjadi beda
dengan berbedanya alat (sama). Hanya saja dilihat dari segi hasil pencederaan
tersebut yaitu sengaja atau tidak sengaja. Maka menurut mazhab Hanafi, pencederaan
yang memiliki kriteria “‫ ”ش به العمد‬dimasukkan ke dalam konsep pencederaan yang
sengaja.
7
Menurut mazhab Syafi’I dan Hanbali pula, pencederaan yang memiliki kriteria
pembunuhan “‫ ”شبه العمد‬adalah termasuk pencederaan yang tersalah/tidak sengaja (
‫)الخطأ‬. Ini dikarenakan menurut mereka “tidak kisas kecuali ketika sengaja tidak pada
tersalah dan yang menyamai sengaja”
‫ال قصاص إال يف اخلطأ وشبه العمد‬

C. Sanksi Qishas dan Diyat


Bagi pembunuhan sengaja (‫ )القتل العمد‬maka sanksinya ada 3 yaitu asal, gantian
dari asal, dan yang mengikuti. Secara global pembunuh dengan sengaja wajib terkena
3 perkara: 1) dosa besar karena ada ayat Alquran yang menyatakan ia akan tetap di
neraka jahanam; 2) diQishash karena ada ayat Qishash; 3) terhalang menerima warisan
karena ada hadis “orang yang membunuh tidak mendapat waris apapun”.
Sanksi asal pertama adalah Qishash. Qishash di sini adalah dihukum bunuh
sama seperti apa yang dia lakukan pada mangsa tersebut. Ketika mustahiq al-qishâsh
memaafkan dengan tanpa meminta diyat, maka menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan
Syafi’I dalam sebuah pendapat; maka tidak wajib bagi pembunuh tadi membayar
diyat secara paksa. Hanya saja baginya ia boleh memberinya sebagai gantian dari
pemaafan dari mustahiq al-qishâsh tadi. Secara hukum si mustahiq al-qishâsh berhak
untuk memaafkan secara gratis tanpa ada tuntutan diyat.
Mustahiq al-qishâsh juga berhak untuk memberi kemaafan dengan tuntutan
diyat, banyak dan sedikitnya sesuai dengan kesepakatan pembunuh. Diyat di sini
dianggap sebagai gantian dari Qishash. Dalam hal ini, hakim tidak boleh menetapkan
hukuman asal dengan gantiannya secara bersamaan bagi sebuah pekerjaan. Dalam
arti, ia tidak boleh diQishash dan sekaligus membayar diyat.
Sedangkan cara Qishash pula terjadi khilâf; menurut mazhab Hanafi, qishâsh
hanya boleh dilaksanakan dengan menggunakan senjata seperti pedang. Maksudnya,
hukuman qishâsh dilaksanakan hanya dengan memakai senjata, tidak dengan
membalas seperti cara pembunuh tersebut membunuh atau lainnya.Hukum ini juga
ditetapkan menurut sebuah riwayat yang paling `ashah menurut mazhab Hanbali.
Cara pancung ini berlaku mutlak, baik orang tersebut
(pembunuh/penjinayah/terpidana/‫ )الج اني‬dalam melakukan jinayah pembunuhan
tersebut dengan senjata, ataupun tidak. Ia juga berlaku walaupun pembunuhan

8
tersebut adalah hasil dari pemenggalan leher, terus-menerusnya luka, mencekik,
melemaskan dalam air, membakar, atau selainnya.
Menurut mazhab Syafi’I dan Maliki pula, pembunuh haruslah dibunuh
(qishâsh) dengan cara seperti apa ia melakukan pembunuhan tersebut. Contohnya
dengan memukul menggunakan sesuatu alat yang tajam seperti besi atau pedang; atau
dengan alat berat seperti batu; atau dengan mencampakannya dari suatu tempat tinggi;
atau mencekik lehernya; atau melemparkannya; atau melemaskannya; menahan
makanan, merejam dalam air, membakar, atau dengan cara-cara lain. Konsep ini
disebut dengan mutslah atau mumâtsalah. Akan tetapi seumpama mustahiq al-qishâsh
memindahnya ke hukuman pancung dengan pedang, maka diperbolehkan malah ia
lebih utama.
Sanksi asal kedua membayar kafârah. Ini berdasarkan qiyas kepada ayat
bunuh tersalah
‫ال‬DD‫ َّدقُوا – إىل أن ق‬D‫ل َّ َم ٌة ىَل َأ ْههِل ِ اَّل َأ ْن ي َ َّص‬D‫ ٌة ُم َس‬Dَ ‫ ٍة َو ِدي‬Dَ‫ َو َم ْن قَتَ َل مُْؤ ِمنًا خ ََطًأ فَتَ ْح ِر ُير َرقَ َب ٍة مُْؤ ِمن‬:)‫القتل اخلطأ‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫– فَ َم ْن لَ ْم جَي ِدْ فَ ِص َيا ُم َشه َْر ْي ِن ُمتَ َتا ِب َعنْي ِ ت َْوب َ ًة ِم َن اهَّلل ِ َواَك َن اهَّلل ُ عَ ِلميًا َح ِكميًا‬
Oleh karena itu, kafârahnya adalah memerdekakan hamba muslim kalau
ditemukan, seumpama tidak maka puasa 2 bulan terus menerus.
Akan tetapi, pendapat ini adalah pendapat mazhab Syafi’i. menurut mereka,
kewajiban kafârah itu ketika pembunuh dimaafkan, atau direlakan dengan membayar
diyat. Maka ketika ia dikisas, maka kafârahnya adalah kisas itu sendiri.
Sanksi gantian dari asal yang pertama adalah membayar diyat mughalladzah.
Menurut Imam al-Syafi’I sebagai qaul jadîd diyat tersebut adalah 100 unta bagi
pembunuh lelaki yang merdeka. Jumlah 100 itu dibagi 3: 30 berupa unta hiqqah, 30
unta jadza’ah, dan 40 unta khalifah. Ketika tidak dapat ditemukan maka berpindah
pada harga unta-unta tersebut. Sedangkan menurut qaul qadîm jika tidak ada maka
boleh membayar 100 dinar atau 12000 dirham.
Seumpama pembunuhnya perempuan merdeka maka ia adalah separuhnya
diyat lelaki; yaitu 50 unta. 15 berupa unta hiqqah, 15 unta jadza’ah, dan 20 unta
khalifah.
Sanksi gantian dari asal yang kedua adalah ta’zîr. Menurut mayoritas ulama,
ta’zîr ini tidak wajib. Ia hanya diserahkan kepada kebijakan imam dalam melakukan
apa yang dianggap munasabah dengan kemaslahatan. Maka Imam dapat memenjara
atau memukul atau al-ta`dîb yang sesamanya.

9
Sanksi yang mengikuti kejahatan pembunuhan adalah terhalang untuk
menerima waris dan wasiat. Dalam hal waris ulama sepakat, sedangkan untuk wasiat
masih terjadi perbedaan pendapat.
Bagi pembunuhan yang menyamai sengaja (‫ )القتل شبه العمد‬maka sanksinya ada
3 yaitu asal, gantian dari asal, dan yang mengikuti.
Sanksi asal pertama bagi pembunuhan yang menyamai sengaja adalah
membayar diyat mughalladzah. Diyat ini sama dengan membunuh dengan sengaja.
Hanya saja bedanya berada pada penangung jawab dan waktu membayarnya.
Sanksi asal kedua bagi pembunuhan yang menyamai sengaja adalah
membayar kafârah yaitu memerdekakan hamba muslim kalau ditemukan, seumpama
tidak maka puasa 2 bulan terus menerus. Sanksi gantian bagi pembunuhan yang
menyamai sengaja adalah ta’zîr. Sanksi yang mengikuti pembunuhan yang menyamai
sengaja adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah lewat.
Bagi pembunuhan yang tersalah (‫ )القتل الخطأ‬maka sanksinya ada 2 saja yaitu
asal dan yang mengikuti. Sanksi asalnya adalah diyat dan ta’zîr.
Diyat bagi pembunuhan ini adalah diyat mukhaffafah. Kadarnya dalah 100
unta dengan perinciang: 20 berupa unta jadza’ah, 20 unta hiqqah, 20 unta bintu labûn,
20 `ibn labûn dan 20 unta bintu makhâdl. Sanksi yang mengikuti adalah terhalang
untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah lewat.
Bagi pencederaan sengaja (‫ )الجرح العمد‬ini terbagi menjadi 4 kategori;
1. pencederaan terhadap anggota dengan terputusnya,
2. pencederaan terhadap anggota dengan hilang kemanfaatannya,
3. pencederaan luka terhadap selain kepala dan disebut sebagai “‫”الجرح‬,
4. pencederaan luka terhadap kepala atau wajah yang disebut dengan “‫”الشجاع‬.
Sanksi bagi kategori 1 adalah kisas atau membayar diyat dan ta’zîr. Kategori 2
adalah membayar diyat atau ganti rugi (‫)األرش‬. Kategori 3 dan 4 adalah dikisas atau
ganti rugi, atau hukum keadilan (‫)حكومة العدل‬
Adapun diyat pada selain jiwa sama ada hilangnya anggota, atau makna dari
kegunaan anggota dan luka itu terkadang sama dengan diyat hilangnya jiwa yaitu
dalam hal memotong lisan, hilangnya akal, dan pecahnya tulang punggung (igo
wekas) untuk berjalan atau jimak. Dan terkadang 1/2nya diyat jiwa bagi pemotongan
sebelah tangan dan sebelah kaki (kalau kedua tangan berarti seluruh diyat jiwa).
Kadangkala 1/3 bagi jinayah terhadap perut bagian dalam. kadangkala ¼ pada

10
pelapuk mata, 1/10 pada setiap satu jari dan 1/20 (‫ )نصف عُشر‬bagi setiap mûdlihah
kepala dan wajah.
Bagi pencederaan yang tersalah (‫ )الج رح الخطأ‬ia adalah diyat atau al-`Arsy.
Maksud diyat di sini adalah diyat sempurna seperti yang telah diterangkan. Sedangkan
al-`Arsy adalah lebih sedikit dibandingkan diyat. Pencederaan jenis ini tidak ada
ketentuan gantian lainnya. Sedangkan kadarnya telah dijelaskan diketerangan
pencederaan sengaja (‫)الجرح العمد‬.

D. Pembuktian Qishash dan Diyat


Setiap ketetapan hukum yang dijatuhkan kepada terpidana, ia haruslah melalui
proses peradilan. Ini merupakan konsep hukum umum dan konsep hukum Islam.
Sedangkan proses membuktikan sebuah perbuatan itu benar-benar terjadi tentunya
memerlukan aturan. Aturan ini disebut dengan hukum acara atau “‫”أحكام المرافعات‬.
Dalam konsep hukum acara ini, fiqh Islam sudah mengatur secara jelas konsep
menetapkan suatu hukum. Sesuatu itu harus dikuatkan dengan alat-alat bukti yang
valid agar memudahkan dan menyakinkan hakim dalam memberi putusan.
Alat-alat bukti dalam menetapkan sebuah kejahatan yang mengakibatkan
Qishash atau diyat adalah sebagai berikut:
1. Pengakuan (‫)اإلق رار‬: syarat dalam pengakuan bagi kasus pidana yang akan
berakibatkan kisas atau diyat adalah harus jelas dan terperinci. Tidak sah pengakuan
yang umum dan masih terdapat syubhat.
2. Persaksian (‫)الشهادة‬: Dalam kasus pidana selain zina, syarat minimal adalah 2 orang
saksi lelaki yang adil.
3. Qarînah: Segala tanda-tanda yang zahir yang bersamaan dengan sesuatu yang masih
samar, maka tanda itu menunjukkan kepada itu. Syarat dalam qarînah ada 2: (1)
Ditemukannya perkara yang zahir yang diketahui dan patut menjadi asas untuk
dipercayai (2) Ditemukan persambungan (hubungan) yang menyambung antara
perkara yang zahir dengan yang samar tadi. Akan tetapi alat bukti ini tidak dapat
dijadikan alat bukti untuk kasus pidana hudud dan kisas kecuali qasâmah menurut
mayoritas ulama.
4. Menarik diri dari Bersumpah (‫)النك ول عن اليمين‬: Ketika terdakwa menarik diri
(mengelak) dari bersumpah yang diajukan kepada terdakwa melalui hakim. Akan
tetapi, alat ini hanya dipakai oleh mazhab Hanbali. Sedangkan mazhab Hanafi hanya
terbatas pada kisas anggota dengan keadaan sengaja dan diyat ketika tersalah.
11
Sedangkan kisas jiwa dan lainnya tidak boleh, akan tetapi terdakwa dipenjara sampai
ia bersumpah atau mengaku.
5. Al-Qasâmah: Sebuah sumpah yang diulang-ulang bagi kasus pidana pembunuhan. Ia
dilakukan 50 kali sumpah dari 50 lelaki. Menurut mayoritas ulama; orang-orang yang
bersumpah ialah ahli waris mangsa untuk menetapkan tuduhan bunuh terhadap
terdakwa. Setiap orang perlu menyebut dalam sumpahnya: “Demi Allah yang tiada
tuhan yang disembah melainkan-Nya, sesungguhnya orang ini telah memukulnya lalu
dia mati” atau “Dia telah dibunuh oleh orang ini”. Jika sebagian pewaris tidak mau
bersumpah, maka waris yang lain akan diminta bersumpah untuk bilangan sumpahan
yang tertinggal dan mengambil diyat masing-masing. Jika mereka tidak mau sumpah,
atau tidak terdapat qarînah yang menandakan pembunuhan atau permusuhan nyata,
sumpahan itu dipindahkan ke atas orang yang didakwa yang akan ditunaikannya oleh
penjamin (‫ )العاقلة‬sebanyak 50 kali. Tetapi jika orang yang didakwa tidak mempunyai
penjamin, orang yang dituduh sendiri akan dimintai bersumpah sebanyak 50 kali,
kemudian dia akan bebas.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Qishash secara istilah adalah “diperlakukan pada yang melakukan
jinayah seperti apa ia lakukan”, sedangkan pengertian diyat adalah “harta yang wajib
disebabkan jinayah terhadap orang yang merdeka dari segi jiwa atau pada apa yang
selainnya”.
Macam-macam kejahatan yang berakibat Qishash dan diyat adalah
pembunuhan sengaja (‫)القتل العمد‬, pembunuhan yang menyamai sengaja (‫)القتل شبه العمد‬,
pembunuhan yang tidak sengaja (‫)القت ل الخطأ‬, pencederaan sengaja (‫)الج رح العمد‬,
pencederaan yang tidak sengaja (‫)الجرح الخطأ‬.
Sanksi dari kejahatan tersebut adalah dengan diQishash bagi pembunuhan
sengaja. Ketika dimaafkan maka gugurlah kisas dan wajib bayar diyat. Ketika
direlakan diyat maka ia dimaafkan tapi bagi pemerintah boleh menghukum dengan
ta`zîr.
Alat bukti untuk penetapan perkara pidana ini ada 5 yaitu 1) pengakuan, 2)
persaksian, 3) qarînah, 4) menarik diri dari bersumpah, 5) sumpah qasâmah.

B. Saran
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sakali kesalahan
dan sangat jauh dari kata sempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki
makalah dengan mengacu pada sumber yang tepat yang di pertanggung jawabkan
nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran makalah
diatas.

13
DAFTAR PUSTAKA
‘Âbidîn, Ibn. Radd al-Muhtâr ‘alâ al-Durr al-Mukhtâr. Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî,
1987.
‘Audah, ‘Abd al-Qâdir. al-Tasyrî’ al-Janâ`î al-`Islâmî. Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1992.
al-Bahûtî, Manshûr bin Yûnus. Kasyâf al-Qinâ’. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t..
al-Himâm, Kamâl al-Dîn bin ‘Abd al-Wâhid `ibn. Fath al-Qadîr. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t..
al-Juwainî, ‘Abd al-Mâlik bin ‘Abd `Allah bin Yûsuf. Nihâyat al-Mathlab fî Dirâyat al-
Madzhab. Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2007.
al-Syarwânî, ‘Abd al-Hamîd. Hawâsyai ‘alâ Tuhfah al-Muhtâj. Beirut: Dâr al-Fikr, 1997.
al-Syâthirî, Muhammad bin `Ahmad bin ‘Umar. Syarh al-Yâqût al-Nafîs. Jeddah: Dâr al-
Minhâj, 2007.
al-Zuhaylî, Wahbah. al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004.
Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah.
Kuwait: Wuzârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t..

14
AKTIVITAS PENYUSUNAN NILAI MAKALAH

JUMLA
NO NAMA TUGAS 1 2 3 4
H
1 Muhammad Don 25
2 Laras Siti Masripah 50
3 Moch Said Agil 75
4 Neng Siti Ruhama 100
5 Neng Siti Marlina

15

Anda mungkin juga menyukai