Anda di halaman 1dari 24

PENDIDIKAN ISLAM DALAM KONTEKS INDONESIA

PENDIDIKAN NASIONAL

Muchtarom

Universitas Padjajaran Bandung Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21 40600

Email: muchtarom_2012@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pendidikan Agama Islam merupakan bagian dari Sistem Pendidikan


Nasional Indonesia, namun keberadaan dan kontribusinya kurang signifikan
terutama dalam memberdayakan bangsa. Padahal, Pendidikan Agama Islam
mungkin besar dalam membangun karakter. Tulisan ini bertujuan untuk
mengetahui dan menganalisis upaya pengembangan Pendidikan Agama Islam
dalam Sistem Pendidikan Nasional. Metode penelitian yang digunakan berupa
analisis deskriptif dengan melakukan kajian pustaka sebagai data sekunder.Hasil
analisis ini dapat mengatakan bahwa upaya pengembangan Pendidikan Agama
Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional harus menghapus dikotomi ilmu umum
dan ilmu agama yang berdiri sendiri,dan berubah menjadi keterpaduan kolaborasi
berupa pendidikan lainnya. Pendidikan AgamaIslam tidak hanya dilegitimasi
secara penuh sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional, tetapi Pendidikan
Agama Islam memerlukan perubahan kurikulum yang menggabungkan Sistem
Pendidikan Agama Islam dengan ilmu lainnya.

Kata Kunci: Pengembangan Pendidikan, Pendidikan Agama Islam, Sistem


Pendidikan

1
PENGANTAR

Tujuan pendidikan menjadi hal terpenting dalam pendidikan termasuk


dalam Pendidikan Agama Islam. Rumusan yang tidak jelas dalam pendidikan
objektif mengarah pada proses pembelajaran yang kabur dan target yang tidak
pasti. Parahnya, itu bisa mungkin menyebabkan cara yang salah yang tidak
seperti yang diharapkan. Dalam konteks Pendidikan nasional pada dasarnya
Pendidikan Agama Islam diarahkan pada tujuan Pendidikan Nasional, yaitu
mencerdaskan dan mengembangkan potensi Indonesia seutuhnya untuk menjadi
manusia yang memiliki mân dan taqwa untuk Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia yang memperoleh ilmu dan keterampilan, mendapatkan
kesehatan jasmani dan rohani, menjadi mandiri dan kuat berkepribadian serta
bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa” (UU RI No. 20 Thn. 2003
dalam Grafika, 2007: 5).

Tujuan yang telah dirumuskan di atas dalam bentuk Kisah Para Rasul tidak
tidak selalu berjalan dengan baik tanpa adanya hambatan. Bahkan dalam
pelaksanaannya ada seringkali merupakan bagian yang tidak tepat dan tidak
memuaskan antara keluaran pendidikan dan tujuan terutama tujuan untuk
membentuk karakter yang berharga. Kondisi ini dapat tercermin dalam beberapa
kasus asusila yang terjadi di masyarakat kita seperti korupsi, pelecehan seksual,
pelecehan keluarga dan tindakan kriminal lainnya. Kasus seperti itu menunjukkan
bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam belum tercapai sempurna. Namun,
sebagian besar dari mereka yang melakukan korupsi telah belajar atau
mendapatkan Islam Pendidikan Agama baik di sekolah formal maupun
universitas. Pada dasarnya, ada Tidak ada yang salah dengan kinerja Pendidikan
Agama Islam di Indonesia karena di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang
baik. Kekurangan implementasinya bukan karena agama yang mutlak benar tetapi
bisa jadi disebabkan oleh manusia kesalahan.

2
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah
utama Islam Pendidikan Agama dalam konteks Sistem Pendidikan Nasional,
untuk menganalisisnya dan memberikan solusi secara teoritis, metodologis, dan
praktis. Studi ini menggunakan deskriptif kualitatif yang mengedepankan analisis
studi kepustakaan yang berkaitan dengan keberadaan Pendidikan Agama Islam di
Indonesia.

ANALISIS

Pendidikan Islam di Indonesia memiliki sejarah yang panjang di


Nusantara. Telah dalam berbagai iterasinya, melayani komunitas Muslim sejak
awal masuknya Islam ke daerah tersebut. Menurut Saefuddin, pendidikan Islam di
Indonesia berawal dari sebuah forum pengajian Islam yang diadakan oleh
pembawa dan pendakwah Islam di masjid-masjid rumah warga. Forumnya waktu
itu dikonsolidasikan menjadi pesantren dan madrasah (Saefuddin, 1995: 237).

Semua kegiatan memiliki tujuan masing-masing (teleologi). Objektif


bersifat individual atau pencapaian target kelompok dalam melakukan suatu
kegiatan, termasuk Agama Islam Pendidikan. Zakiah Darajat menyatakan bahwa
tujuan adalah sesuatu yang diharapkan dicapai setelah menyelesaikan suatu
kegiatan. Dengan demikian, tujuan Agama Islam Pendidikan Islam di Pendidikan
adalah pencapaian target individu atau kelompok dalam menyelenggarakan
pendidikan Islam Pendidikan Agama (Ihsan dan Fuad, 2007:68).

Merumuskan tujuan pendidikan menjadi syarat mutlak mendefinisikan


pendidikan itu sendiri. Setidaknya, perumusannya harus mengandung dasar
konsep atau pengetahuan tentang manusia, alam dan Tuhan.Menurut Hitami
(2004: 34), tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari tujuan hidup manusia
yang dipengaruhi oleh berbagai budaya, sudut pandang dan keinginan. Sanky
(2003:5) menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam didasarkan pada visi dan
misi Islam, yaitu “rahmatan lil âlamîn”.

Dalam kajian Islam, manusia adalah makhluk Allah SWT yang memiliki
kewajiban dalam dunia untuk beribadah dan menjadi hamba yang sholeh karena

3
Allah SWT. Dengan demikian, Tujuan umum Pendidikan Agama Islam adalah
membentuk manusia sebagai Allah SWT hamba yang berdoa dengan patuh.
Dalam konteks Pendidikan Agama Islam di Indonesia, pendidikan harus berusaha
menjadikan semua warga negara tunduk kepada Allah SWT. Dengan kata lain,
mereka menjadi taat dan rajin berdoa kepada Allah dan dalam berbakti kepada
bangsanya. Namun demikian, tujuan akhir dari Agama Islam Pendidikan di
Indonesia berupaya mewujudkan umat Islam yang memiliki mân dan taqwa. serta
berilmu yang mampu menjadi hamba Allah dan bertakwa dalam segala hal aspek
kehidupan (termasuk hidup sebagai warga negara dan bangsa) untuk mencapai
kebahagiaan di akhirat (Uhbiati dan Ahmadi, 1995: 65).

Menurut al-Abrasyi (2006:138), tujuan utama Islam Pendidikan Agama


melakukan: a) pelatihan akhlaq; b) persiapan bagi siswa untuk hidup di dunia dan
setelah kehidupan; c) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; d)
keterampilan peningkatan interaksi dunia kerja dan masyarakat. Dengan
demikian, sifat Pendidikan Agama Islam di Indonesia pada dasarnya melakukan
proses kemanusiaan dan kemanusiaan bagi bangsa Indonesia. Sebenarnya,
kemanusiaan dan menjadi manusia memiliki makna untuk menciptakan dan
membentuk karakter positif bagi individu yang berperilaku normal dan berpikir
logis sebagai hamba Allah SWT. Ini karena merupakan suatu usaha atau proses
untuk menjadi manusia yang utuh. Keadaan ini menunjukkan bahwa secara
ideologis Pendidikan Agama Islam di Indonesia berupaya untuk menjadikan siswa
mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai manusia. Di dalam
singkatnya, ia mencoba untuk mewujudkan akhlaq mereka.

Tujuan Penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di Indonesia jelas tidak


lepas dari pendidikan kepala sekolah yang berlandaskan al-Qur’an dan nilai
hadits. Setidaknya, ada lima prinsip dalam Agama Islam Penyelenggaraan
pendidikan, antara lain:

1. Prinsip integrasi. Prinsip ini menekankan hubungan antara dunia dan akhirat.
Upaya Pendidikan Agama Islam untuk menyeimbangkan kebahagiaan di

4
dunia dan setelah kehidupan melalui mengembangkan ilmu pengetahuan
umum dan agama.
2. Prinsip keseimbangan. Prinsip ini muncul sebagai hasil integrasi prinsip.
Keseimbangannya mencakup unsur-unsur proporsional antara spiritual dan
fisik, antara ilmu murni dan terapan, antara teori dan praktik, serta nilai
proporsional antara aqidah, syari, dan akhlaq.
3. Prinsip kesamaan dan pembebasan. Prinsip ini dikembangkan dari nilai
tauhîd, yaitu Allah SWT adalah satu-satunya. Setiap individu atau siswa, pada
kenyataannya semua manusia diciptakan oleh pencipta yang sama, Allah
SWT dan mereka sama di hadapan-Nya. Perbedaannya terletak pada unsur
kreasi dan taqwa yang berpotensi memperkuat kesatuan alam semesta.
Pendidikan Islam merupakan salah satu upaya untuk membebaskan manusia
makhluk dari belenggu keinginan dunia menjadi tauhîd yang jelas dan
berharga nilai. Manusia melalui segala bentuk pendidikan diharapkan
menjadi dibebaskan dari kebodohan, kemiskinan, ketegaran, dan hayawâniat
an-nafs mereka.
4. Prinsip kontinuitas (istiqâmah). Artinya prinsip pendidikan umur panjang.
Dalam studi Islam, belajar menjadi kewajiban yang tidak akan berakhir
sampai mati. Perintah membaca isi al-Qurân adalah pesanan yang tidak
memiliki batas waktu. Dengan mempelajari pengetahuan secara terus
menerus, maka diharapkan akan muncul kesadaran eksistensial dalam diri
mereka, lingkungan, dan Tuhannya.
5. Asas manfaat dan keunggulan. Prinsip ini didapat dari tauhîd jiwa yang telah
ditanamkan dan dikembangkan dalam moral dan sistem akhlaq sehingga akan
membentuk qalb yang suci dan keimanan yang shahih, yaitu melindunginya
dari bentuk najis jiwa. Ini akan membuatnya memiliki perjuangan dan
perjuangan untuk membela kebenaran dan untuk mendapatkan manfaat dari
kehidupan. Meskipun demikian, nilai tauhîd hanya dapat dirasakan jika telah
diwujudkan dalam setiap gerak kehidupan manusia untuk mencapai manfaat
dan keunggulan semesta (Roqib, 2009: 32-33).

5
Kutipan di atas menunjukkan bahwa prinsip Pendidikan Agama Islam
identik dengan prinsip hidup setiap muslim, yaitu mân, taqwa, akhlaq mulia, dan
karakter yang kuat. Prinsip-prinsip itu, kemudian, ditentukan melalui beberapa
indikator sehingga mudah diterapkan dan dievaluasi.Selain itu, mereka harus
dijabarkan ke dalam beberapa langkah konseptual dan operasional untuk
diterapkan lebih mudah dalam segala bentuk pendidikan dalam keluarga, sekolah,
dan masyarakat. Dengan kata lain, Islam Pendidikan Agama tentunya bisa
menjadi spirit bagi pendidikan umum lainnya implementasi.

Karena sumber utama Pendidikan Agama Islam (IRE) adalah al-Qur’an


dan hadits, pelaksanaan pendidikan dasarnya mengacu pada aqidah, ibadah, dan
akhlaq. Dalam konteks aqidah, IRE dikembangkan berdasarkan pemahaman
keimanan tentang keberadaan Allah SWT. Dalam konteks ibadah, IRE harus
dibangun berdasarkan upaya untuk meyakinkan individu tentang Allah SWT
adanya. Secara khusus, IRE berupaya menjadikan ibadah kepada Allah SWT
sebagai satu-satunya proses untuk melakukan segala aspek kehidupan baik
jasmani maupun rohani, baik dalam kehidupan individu sebagai hamba Allah dan
dalam kehidupan bermasyarakat sebagai interaksi sosial atau bahkan di alam
semesta sebagai khalifah di bumi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan tujuan IRE
yang sempurna untuk kehidupan ini, salah satu dari penyelenggaraan pendidikan
dasarnya mengacu pada ibadah baik mahdlah maupun ghairu mahdlah. Berkaitan
dengan akhlaq, setidaknya IRE menyangkut proses Mereformasi peserta didik
menjadi manusia yang berakhlak mulia, berbudi pekerti, berbudi pekerti luhur
cara dan perilaku. Suatu masyarakat tidak akan berkembang jika warganya tidak
telah memuji akhlak yang dapat membimbing manusia untuk maju dalam
peradaban yang mulia kehidupan. Apalagi bimbingan akhlaq adalah jiwa dari
pendidikan Islam. NS Pencapaian akhlak mulia menjadi target utama Agama
Islam Pendidikan (Solihin dan Anwar, 2005: 17).

Dalam konteks hukum, IRE selalu didasarkan pada tiga unsur: al-Qurân,
hadits dan ijtihad. Al-Nahlawi (199:41) mengemukakan bahwa al-Qurân dan
hadits adalah sumber utama dan dasar hukum penyelenggaraan Pendidikan

6
Agama Islam. Rasul dan pengikutnya, sebagai pendidik masyarakat, sangat
menghormati al-Qurân. Aisyah membuktikan bahwa sesungguhnya akhlak Rasul
adalah al-Qurân. Selain itu, hadts juga merupakan dasar unsur Pendidikan Agama
Islam sejak dijelaskan. Yaljan (1992: 40) menyatakan bahwa implementasi dasar
atau IRE terdiri dari al-Qur‟ân dan sunnah diperpanjang to ijma, qiyâs, masâlih
al-mursalah, shadzdzu al-dzâri‟ah, urf dan istihsân. Berdasarkan Ali (2005:35),
ada enam elemen dasar implementasi IRE, antara lain: lainnya al-Qurân, hadits,
qaul al-shahâbat, masâlih al-mursalah, urf serta semua pemikiran sebagai hasil
ijtihâd dari intelektual muslim.

Pilar Pendidikan Islam Dilihat dari pemangku kepentingannya, setidaknya


ada lima Pilar pendidikan Islam di Indonesia dapat dicantumkan: Pesantren,
Madrasah, sekolah Islam di bawah organisasi Muslim, Sekolah Islam Terpadu,
dan Majelis Taklim. Sebelum abad kedua puluh, pesantren adalah satu-satunya
formal lembaga pendidikan Islam di Nusantara, terutama di Pulau Jawa (Lukens-
Bull, 2004: 299).

Setidaknya, penerapan IRE mengacu pada enam sila Islam, sebagai berikut:

1. Universalitas ajaran Islam Prinsip ini tidak diragukan lagi menunjukkan


bahwa Pendidikan Agama Islam harus bersifat universal antara jasmani
dan rohani spiritual, individu dan masyarakat, dan dunia dan setelah
kehidupan. Melalui ini Prinsipnya, IRE harus membuka, mengembangkan,
dan mendidik semua aspek yang terkait dengan kepribadian, keterampilan,
dan potensi manusia dengan mengembangkan segala aspek kehidupan
dalam masyarakat dan meningkatkan budaya, sosial, ekonomi dan politik
kondisi. Selain itu, dapat mengatasi beberapa masalah yang dihadapi oleh
masyarakat saat ini dan mempersiapkan mereka untuk menghadapi
tuntutan masa depan. Di dalam singkatnya, IRE mencakup semua
perkembangan individu dan masyarakat.
2. Menyeimbangkan. IRE mewujudkan keseimbangan antara aspek
pertumbuhan baik secara individu dan masyarakat. Ini berarti bahwa IRE
juga berusaha untuk mewujudkan keseimbangan antara budaya masa lalu,

7
permintaan saat ini, dan kebutuhan masa depan tanpa mengkhususkan
salah satunya. IRE tidak hanya menyoroti kejayaan masa lalu tanpa
mengabaikan persoalan-persoalan dalam masyarakat muslim akhir-akhir
ini tetapi juga memenuhi semuanya tuntutan perkembangan sosial budaya
saat ini dengan mempertimbangkan semua efek masa depan.
3. Kejelasan. IRE sebagai ajaran Islam yang jelas memiliki konsep yang
jelas termasuk dalam metodologi, kurikulum, sistem dan aspek lain dalam
pendidikan. Kejelasan akan mempengaruhi operasional Pendidikan Islam
untuk mencapai tujuannya objektif.
4. Harmoni. IRE diatur secara organik di antara bagian-bagiannya tanpa ada
kontradiksi. Karena didasarkan pada ajaran Islam, IRE harus melakukan
berdasarkan kehendak Allah. Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan
lain yang mengutamakan tujuan pendidikan tanpa mempertimbangkan
proses. Dalam IRE, tujuan harus dicapai berdasarkan syariat Islam.
5. Realistis dan aplikatif. IRE tampil dalam kerangka yang jelas dan realistis
kehidupan masyarakat. Namun, IRE menekankan pada idealisme Islam
bahwa terkadang disalahpahami oleh pelaksana IRE. Sebagai Akibatnya,
idealisme Pendidikan Islam dipandang sebagai lembaga yang
mengutamakan nilai-nilai ukhrawi dan tidak memperhatikan kenyataan.
Jelas, IRE tampil berdasarkan perkembangan di masyarakat dan
pelestarinya nilai-nilai Islam sebagai prinsipnya.
6. Dinamis dan responsif terhadap perubahan. IRE tidak beku di dalamnya
tujuan, kurikulum, dan metode tetapi selalu memperbaharui dan
berkembang serta memberikan respon positif terhadap kebutuhan dan
perkembangan zaman. Selain itu, ia menanggapi kepentingan individu dan
masyarakat. (Basri, 2009, 129-130).

Oleh karena itu, jelas bahwa IRE tidak menutup diri terhadap
perkembangan di masyarakat termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Namun demikian, IRE tidak tidak berbaur dengan perkembangan yang
bertentangan dengan syariat Islam.

8
Peran IRE adalah memberikan kontribusi terhadap upaya pengembangan
potensi mahasiswanya sebagai generasi penerus yang tidak hanya berkembang di
bidang intelektual tetapi juga dapat mewujudkan eksistensinya sebagai insân
kâmil berdasarkan potensi dan keterampilan spiritualnya. Sehingga dengan
potensi yang dimilikinya dapat mewarnai hidup dan masa depannya untuk meraih
kebahagiaan di dunia dan setelah kehidupan. Selain itu, ada beberapa fungsi IRE,
sebagai berikut:1) untuk mencapai tujuan; 2) untuk mengarahkan tujuan; 3)
Sebagai poin utama untuk mencapai tujuan lain, yaitu tujuan baru atau tujuan,
perluasan dari yang sebelumnya; 4) memberi nilai pada upaya; 5) untuk
memberikan kriteria untuk mengevaluasi proses pendidikan; 6) memberikan
fasilitasi dalam rangka terselenggaranya pendidikan proses berjalan dengan baik
(al-Rasyid dan Nizar, 2005: 32).

IRE memiliki ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan pendidikan


lainnya di umum. Jika pendidikan umum tidak memiliki unsur khusus, IRE
memilikinya sendiri aturan, yaitu mengacu pada al- Qurân dan hadts.
Selanjutnya, ada hal khusus dalam IRE, yaitu kiai kharismatik yang tidak dimiliki
oleh pendidik lain pada umumnya.

Berikut ini adalah ciri-ciri IRE:

1. Rabbâniyyah, segala aspek berlandaskan nilai rabbâniyah, dijabarkan pada


Kitâbullâh dan Sunnat ar-Rasl;
2. Syâmilah, pendidikan dibangun dengan memperhatikan semua aspek
kehidupanpikiran, tubuh dan jiwa serta hubungan antara individu dan
masyarakat, alam dan al-Khaliq, tanpa pemisahan;
3. Mutakâmilah, pendidikan tidak terbatas pada tempat tertentu. Itu bisa
diadakan
di sekolah, masjid, rumah, di jalan, di taman, di medan perang atau bahkan di
pasar.
4. Marhaliyah, semua alam terjadi dalam fase seperti halnya manusia tumbuh
fisik dan mental. Oleh karena itu, pendidikan harus dibangun secara bertahap
berdasarkan perkembangan kedewasaan manusia.

9
5. Murûnah, penerapan pendidikan berdasarkan situasi dan kondisi yang
meliputi objek dan subjek pendidikan untuk mengoptimalkan hasil.
6. Istimrâriyah, proses pendidikan selalu berkesinambungan. Setiap individu
belajar sepanjang hidupnya (Long Live Education).
7. Tanmawiyah, memberikan kesempatan untuk memperbaharui cara dan gay
enyampaian sesuai dengan inovasi dan perkembangan ilmu pengetahuan
selama masih ada berjalan di atas prinsip-prinsip Islam.
8. Fardiyah, Mempelajari ilmu itu wajib bagi setiap individu dalam Islam.
Akibatnya, melibatkan semua pihak untuk mempersiapkan semua pendidikan
fasilitas dengan sebaik-baiknya.
9. Tathbîqiyah, pendidikan yang praktis artinya setiap yang dicapai pengetahuan
harus berorientasi pada produktivitas.
10. Hurriyah, pendidikan didasarkan pada kebebasan. Islam tidak memaksa
untuk belajar apa dan bagaimana.Setiap individu bebas untuk belajar dan
memiliki pengetahuan dan batasannya.
11. Infitâh, pendidikan didasarkan pada keterbukaan.Setiap muslim menyerap
ilmu dari sumber manapun dan dapat bermanfaat turâts (warisan yang
bermanfaat dari peradaban manusia masa lalu).
12. Maslahah, pendidikan dibentuk untuk memberikan kemaslahatan bagi ummat,
nantinya bisa memberikan kontribusi bagi pendidikan, kemakmuran,
kejayaan, dan peradaban. Dengan demikian, IRE berorientasi pada nilai
manfaat bagi ummat.

Eksistensi IRE dalam Sistem Pendidikan Nasional

Semua bangsa di dunia memiliki sistem nasionalnya masing-masing.


Nasional pendidikan biasanya mewarnai nilai-nilai dan budaya mereka sendiri
yang tumbuh bersama dengan segala gerak hidup suatu bangsa. Sistem
pendidikan nasional harus diselenggarakan berdasarkan nilai dan budaya
Indonesia sebagai kristalisasi dari nilai kehidupan Indonesia. Penyelenggaraan
pendidikan nasional diatur sesuai dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia

10
secara geografis, demografis, secara historis dan budaya sebagai hal yang khas
dari Indonesia.

Ada hubungan yang kuat antara pendidikan dan budaya. Keduanya


mereka terhubung dengan nilai. Dengan demikian, pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari budaya dan itu hanya bisa diterapkan dalam masyarakat.
Pendidikan adalah proses pembudayaan masyarakat. Pada dasarnya kebudayaan
memiliki tiga aspek penting, yaitu kebudayaan sebagai tatanan kehidupan, budaya
sebagai suatu proses, budaya dengan visi dan tujuan tertentu. Dengan kata lain,
Proses pendidikan tidak akan terjadi tanpa budaya dan masyarakat.

Dengan demikian, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan


masyarakat di sekitarnya. John Dewey (1916: 296) menyatakan: “Dapatkah kita
menghubungkan “Pendidikan Baru” ini dengan yang umum? pawai acara? Jika
kita bisa, itu akan kehilangan karakternya yang terisolasi, itu akan berhenti
menjadi urusan yang hanya berasal dari pikiran jenius para pendidik yang
berurusan dengan murid-murid tertentu". NS Para pendidik dan antropolog
sepakat bahwa budaya adalah elemen dasar yang terbentuk kepribadian manusia.
Berdasarkan budaya dapat membentuk individu, masyarakat dan bangsa
identitas.Dewasa ini, seseorang dapat dipengaruhi oleh budaya global.
Sebenarnya, manusia modern hidup secara global, yaitu di dunia yang realistis
tanpa batasan dan dengan dunia maya informasi dan teknologi di muka. Budaya
tidak statis tetapi merupakan proses. Dengan demikian, budaya selalu dalam
proses transformasi. Budaya tanpa transformasi melalui proses pendidikan
mengacu pada budaya mati.

Sejak tahun 2003, Indonesia memiliki Undang-Undang Sistem Pendidikan


Nasional yang baru. NS keputusan UU tersebut didasarkan pada pertimbangan
bahwa UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah tidak
sesuai lagi dan perlu diubah atau direvisi sehingga sesuai dengan perubahan
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

11
Dalam UU Sisdiknas, pendidikan berarti sebagai kesadaran dan upaya
terencana untuk mewujudkan proses dan suasana belajar agar siswa aktif
mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian
diri, keterampilan kebutuhan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sementara itu, tujuan dari pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi
peserta didik menjadi manusia yang memiliki iman dan taqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, akhlak yang mulia, kesehatan, baik berpengetahuan, terampil,
kreatif, mandiri, dan demokratis serta bertanggung jawab warga negara.

Selain itu, sistem pendidikan nasional berarti seluruh komponen


pendidikan berkaitan satu sama lain secara kohesif untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional. Ada kasus seseorang melanjutkan studinya karena alasan
ekonomi dan itu adalah dianggap sebagai investasi, yaitu, gelar diperoleh tanpa
mempertimbangkan miliknya sendiri kualitas. Gelar menjadi target utama yang
harus diwujudkan demi mendapatkan kembali nya keuangan dan mendapatkan
keuntungan dari itu. Tujuan pendidikan semacam ini tidak dapat membuat
individu memiliki akhlak yang mulia meskipun mencapai derajat yang lebih tinggi
derajat.

Ada banyak Muslim berpendidikan tinggi tetapi mereka bukan Muslim


yang baik namun dalam kenyataan. Tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada
kesenjangan antara gelar tinggi dan menurunkan akhlak dan akhlaq dalam
kehidupan. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam tidak tidak berarti apa-
apa bagi hidupnya dan tidak dapat dinikmati. Dalam kasus lain, ada banyak
politisi, pengusaha, dan pendidik yang mengaku beragama Islam dan
mendapatkan gelar tinggi sebagai intelektual tetapi dalam kenyataannya, mereka
terlibat dalam beberapa korupsi, pelecehan seksual, penyalahgunaan wewenang,
pelecehan keluarga, dan apa pun menyimpang dari tujuan Pendidikan Islam.
Kasus-kasus itu mendesak pengembangan Pendidikan Agama Islam.

12
Pendidikan agama islam dengan sistem pendidikan nasional

Angka ini menunjukkan bahwa upaya untuk mengembangkan pendidikan


agama islam yang diarahkan kepada sistem pendidikan nasional termasuk
pembaharuan kurikulum, pemberdayaan sekolah sebagai nilai budaya pusat,
pendirian pada sistem pendidikan nasional berdasarkan desentralisasi, otonomi
pengetahuan, dan manajemen. Hal ini didukung oleh kebijakan politik dalam

13
rangka meningkatkan fungsi dan tanggung jawab lainnya, yaitu dengan
menetapkan fungsi dan tanggung jawab kepada otoritas dan hubungan yang jelas
antara eksekutif, legislatif, dan lembaga keuangan.

Islam umat dapat memainkan peran nyata dalam masyarakat global. Masa
depan harus dicapai dengan menggunakan sarana pendidikan, dengan demikian,
pendidikan harus dipercepat bagi manusia untuk "masa depan" Itulah sebabnya,
sebenarnya, penting untuk memperbarui sistem pendidikan agama islam terus-
menerus. Istilah hidup panjang pendidikan, jelas telah diperkenalkan oleh nabi
Muhammad melihat "mendapatkan pengetahuan mulai dari buaian sampai
pemakaman" sehingga, manusia harus selalu belajar bagaimana belajar. Belajar
sama seperti rekreasi untuk masa depan (Fadjar, 1999: 38).

Ide pembaharuan tidak akan dilaksanakan jika tidak ada upaya untuk
mengubah sudut pandang masyarakat dari dycothomy untuk otonomi pendidikan.
Integrasi pendidikan diikuti oleh inisiatif lainnya dalam menanggapi tantangan
globalisasi dan otonomi.

Pada dasarnya, upaya pembangunan pendidikan agama islam memiliki


tujuan untuk mencapai pendidikan yang efisien dan efektif sebagai proses untuk
mencapai tujuan sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, ada dua hal yang
harus dipertimbangkan untuk mengenali upaya pembangunan pendidikan agama
islam: 1) mengidentifikasi semua masalah yang menghambat pelaksanaan
pendidikan agama islam; 2) perumusan reformasi strategis dan praktis yang
berlaku di lapangan.

Dengan kata lain, kondisi yang diperlukan dari program perumusan


sebagai upaya untuk pembangunan agama islam dalam sistem pendidikan nasional
yang harus dibentuk menjadi titik pusat yang harus diperhatikan. Dengan kata
lain, itu harus didasarkan pada kenyataan yang terjadi di sekolah dan tidak harus
memperhatikan banyak slogan pendidikan agama islam. Selain itu, ia harus
menunjukkan fakta-fakta yang sebenarnya dan hasil yang sah dari penelitian
sehingga upaya pendidikan agama islam bisa tetap utuh, jelas, dan realistis.

14
Selain itu, butuh inovation untuk menciptakan keunggulan kompetitif
sistem pendidikan nasional di Indonesia. Untuk mendapatkan martabat bangsa
memerlukan keunggulan kompetitif di berbagai bidang dengan dukungan dari
hasil pembelajaran pendidikan agama islam. Saat ini, tidak lagi mengandalkan
sumber daya manusia yang murah untuk mendukung dan membenarkan konsep
komparatif dan kompetitif keunggulan. Untuk menciptakan keunggulan
kompetitif sebagai hasil pendidikan, Porter (1997: 54) menunjukkan bahwa
dibutuhkan upaya untuk menuntut masyarakat indonesia untuk membuat
keunggulan kompetitif sebagai hasil akhir pendidikan termasuk pendidikan agama
islam yang membuat inovation menjadi bagian penting dalam pembangunan
sistem pendidikan nasional tanpa inovasi signifikan, pendidikan agama islam
hanya menghasilkan para lulus yang tidak memiliki moral dan independen
bimbingan hidup yang akan bergantung pada orang lain.

Masalah pendidikan agama islam muncul pada jangka waktu


perkembangannya. Secara spesifik, masalahnya terjadi pada definisi dan fucntion
pendidikan agama islam apakah itu dibatasi pada pengajaran agama murni
pengetahuan saja atau itu juga mengajarkan semua aspek kehidupan berdasarkan
agama yang merujuk pada sistem pendidikan nasional. Ini menjadi serius karena
menentukan pola sistem pendidikan nasional secara intactly. Selain itu, sisi Islam
menunjukkan bahwa pendidikan Islam harus berkembang secara luas di
Indonesia, bagaimanapun, sisi non-Islam berpendapat bahwa itu harus dibatasi
pada pengetahuan agama saja. Badan Badan pemerikatan deg mencatat adanya
Badan Badan yang mencatat mencatat laju inflasi 0,03 persen. Menurut Hasan
(2003: 48), mereka adalah sebagai berikut: 1) subyek pendidikan agama islam di
sekolah harus diberikan berdasarkan jadwal waktu di sekolah; 2) pemerintah
membayar guru; 3) di sekolah dasar, pokok ini disampaikan dimulai dari kelas
empat; 4) perhimpunan diadakan sekali seminggu; 5) semua guru disahkan oleh
departemen agama; 6) semua guru harus mendapatkan pokok bahasan umum
lainnya dengan baik; 7) pemerintah menyediakan buku pendidikan agama; 8) guru
agama mendapat pelatihan; 9) mutu sekolah islam harus ditingkatkan; 10)
pelajaran bahasa arab tidak diperlukan lagi.

15
Berdasarkan rekomendasi tersebut, pendidikan agama islam dibatasi pada
pelajaran agama di sekolah dimulai pada kelas empat dan diadakan seminggu
sekali tanpa pelajaran arab. Dalam rekomendasi ini, pendidikan agama islam di
sekolah islam tidak memiliki perhatian khusus kecuali penyediaan nomor 9:
kualitas sekolah islam harus ditingkatkan (Hasan, 2003: 50).

Tantangan utama yang dihadapi para pakar pendidikan agama islam dan
praktisi dalam persoalan integrasi sekolah islam terhadap sistem pendidikan
nasional adalah ommision dycothomy antara mata pelajaran umum dan agama.
Pengetahuan harus dipandang sebagai identitas tunggal yang telah berkembang
dalam sejarah. Pengembangan pengetahuan secara historis menunjukkan bahwa
setiap peradaban manusia termasuk peradaban Islam telah memberikan kontribusi
untuk pengetahuan itu sendiri.

Integrasi sekolah islam ke dalam sistem pendidikan nasional telah


membentuk undang-undang sistem pendidikan nasional pada tahun 1989 oleh
pemerintah. Melalui undang-undang itu, sekolah Islam telah mengubah
definisinya dari sekolah agama menjadi sekolah umum berdasarkan Islam.
Perubahan ini memiliki makna sementara sejak sekolah islam tidak mendapatkan
legitimasi secara intactly sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Itulah
sebabnya kementerian agama sebagai institusi yang bertanggung jawab atas
sekolah islam dan institusi pendidikan islam lainnya menyambut aksi ini dengan
antusias. Perubahan definisi ini penting artinya, karena dengan demikian
berartimadrasah tidak hanya mendapat legitimasi sepenuhnya sebagai bagian dari
Sistem Pendidikan Nasional (Hasan, 2003: 60).

Namun, definisi ini juga mengubah pengaruh pada kurikulum. Karena


sekolah islam tidak lagi berorientasi pada agama, kurikulumnya harus didominasi
oleh mata pelajaran umum meskipun masih memiliki perubahan untuk memegang
mata pelajaran agama di sekolah islam berdasarkan kebutuhannya. Selain itu,
karena sekolah Islam merupakan semacam sekolah Islam yang berorientasi pada
Islam, nilai-nilai Islam harus tercermin dalam kurikulum-nya terutama dalam
beberapa mata pelajaran seperti matematika, sejarah, kimia, fisika, dan inggris.

16
Dengan demikian, para lulusan sekolah islam masih berbeda dari lulusan sekolah
negeri lainnya dengan kualitas yang sama.

Pada tahun 1994, itu adalah salah satu titik penting dalam
mengembangkan sekolah islam di Indonesia. Pada waktu itu, departemen agama
telah menetapkan kurikulum baru yang dikenal sebagai kurikulum tahun 1994
yang menuntut penerapannya berada di bawah kementerian pendidikan. Berbeda
dari kurikulum sebelumnya, sekolah islam berisi 70% untuk mata pelajaran umum
dan 30% untuk pendidikan agama islam. Dalam kurikulum tahun 1994, sekolah
islam wajib memberikan 100% untuk subjek umum sebagai sekolah umum
lainnya di bawah departemen pendidikan.

Sekilas, kekhawatiran utama kurikulum tahun 1994 adalah penghapusan


30% mata pelajaran agama sejak kurikulum itu ditetapkan dalam tahun 1975.
Namun, jika itu dianalisis dengan hati-hati, penghapusan subjek agama tidak
hanya menghilangkan subyek agama di sekolah islam. Jika tidak, itu harus
dianggap sebagai reformasi agama subyek di sekolah islam. Secara spesifik, studi
islam tidak lagi disampaikan dalam subjek formal tanpa disadari tetapi
diintegrasikan sepenuhnya dalam mata pelajaran umum lainnya. Kondisi ini,
setidaknya, didukung oleh usaha kementerian agama yang mengorganisasi buku
petunjuk dengan nuansa islam untuk para pengajar pokok bahasan umum.
Diharapkan bahwa beberapa mata pelajaran umum yang diberikan di sekolah
islam masih mempertimbangkan nilai-nilai islam.

Dalam kurikulum tahun 1994, dualisme antara agama dan mata pelajaran
umum di sekolah islam berusaha untuk disahkan. Sekolah islam diharapkan untuk
mengadakan semua mata terpadu bersama-sama. Bagaimanapun, pendidikan
islam berperan dalam konteks sistem pendidikan nasional. Hal ini harus
berpengetahuan bahwa berdasarkan institusi, pendidikan agama islam terletak
pada posisi kedua dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya. Misalnya,
pendidikan agama islam kurang menarik sementara mata pelajaran lain dianggap
memiliki masa depan yang lebih baik. Fakta lain dapat ditunjukkan dalam jangka
waktu pengembangan lembaga. Pengembangan departemen atau sekolah di bawah

17
manajemen atau pemantauan kementerian agama tidak sama dengan mereka yang
diawasi di bawah kementerian pendidikan nasional. Sebenarnya, itu harus
disesuaikan dengan kondisi sekolah umum. Meskipun pendidikan agama islam
memainkan peran penting dalam konteks pendidikan nasional, bagaimanapun,
harus diakui bahwa posisi pendidikan agama islam hanyalah sebuah subsistem
sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.

Sejumlah upaya untuk pembangunan pendidikan agama islam dapat


dilakukan dengan menerapkan berbagai metode pembelajaran: 1) pendidikan
berdasarkan model; 2) tradisi dasar pendidikan; 3) pendidikan berdasarkan
nasihat/kisah; 4) pendidikan berdasarkan kepedulian terhadap satu sama lain; 5)
pendidikan berdasarkan penghargaan dan sanksi.

Implementasi pada pembangunan pendidikan agama islam adalah


penerapan dari konsep integrasi yang berarti proses pendidikan terpadu dengan
harapan untuk menghasilkan hasil integrasi. Dengan demikian, integrasi antara
pendidikan agama islam dan pendidikan lainnya berjalan dengan tujuan sistem
pendidikan nasional. Secara khusus, ini hasil keluaran menjadi individu yang
menyatukan akhlaq dan pengetahuan. Konsep integrasi memiliki tiga pemahaman:

1. Integrasi kurikulum saat ini cenderung sekuler dengan menerapkan nilai-


nilai agama islam kepada semua mata pelajaran. Misalnya, belajar bahasa
inggris memiliki persepsi yang berbeda dengan siswa dari sekolah lain,
sebagai berikut:
a. Mata pelajaran bahasa Inggris merupakan bagian dari ajaran Islam
yang sumber utamanya berasal dari Allah SWT, sehingga setiap
ilmu harus dipelajari.
b. Mata pelajaran bahasa Inggris tidak lepas dari kewajiban umat
Islam sebagai cara beribadah kepada Allah SWT. Dengan
mempelajarinya untuk mengungkap wawasan keislaman seperti
melalui sastra, teknologi, informasi, dan sebagainya, umat Islam
tidak akan tertinggal dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

18
2. Integrasi aspek kognitif, afektif, psikomotorik dalam nilai-nilai Islam yang
diterapkan secara langsung dan simultan. Misalnya, siswa belajar tata cara
shalat di Pendidikan Agama Islam, ia akan menerapkan shalat berjamaah
langsung di masjid. Contoh lain, ketika dia belajar berhitung, dia tidak
hanya mengenal angka tetapi juga belajar bahwa ada lima Islam, lima
waktu sholat, lima jari, dan banyak lainnya
3. Integrasi antara orang tua dan sekolah. Proses pendidikan akan gagal jika
pengembangan nilai-nilai tidak sinergis antara sekolah dan orang tua di
rumah. Dengan demikian, peran sekolah, orang tua dan masyarakat harus
bersinergi dan harmonis untuk mendidik peserta didik.

Pendidikan agama islam ini harus dibentuk secara sinergi antara


kementerian agama dan kementerian lawan pendidikan dan budaya sehingga
mereka akan secara serius mengembangkan pendidikan agama islam. Hal ini
membuat pendidikan agama islam menjadi bagian integral dari sistem pendidikan
nasional. Ini berarti jika sekarang pendidikan agama islam dilihat sebagai
subsistem dalam konteks pendidikan nasional sebagai mata pelajaran
suplemenmendi di sekolah, akan ada peran perpindahan dari suplemenmen
menjadi substansial satu. Indonesia adalah sebuah kepulauan yang dikenal karena
kebudayaan dan keragaman sosialnya. Dengan lebih dari 200.000 pulau, kurang
dari 30% di antaranya dihuni, dan lebih dari 300 yang berbeda etnik semua
dengan praktek budaya dan tradisi mereka sendiri, Indonesia adalah kepulauan
terbesar di dunia dan negara keempat yang paling padat penduduknya. Secara
politik, meskipun Indonesia bukan negara sekuler ataupun teokratis, pemerintah
negara memiliki kuasa yang signifikan untuk mengendalikan kehidupan religius
melalui sumberdaya. Sensus terakhir di indonesia menunjukkan bahwa di antara
220 juta penduduknya, 88 persen adalah Muslim. Kelompok agama lainnya
mencakup protestan 5%, katolik roma 3%, hindu 2%, buddha 1%, dan lain-lain
1% (Boyle dan Sheen, 2001: 200-208).

Meskipun mayoritas umat islam, distribusi mereka tidak merata tersebar.


Beberapa kawasan, terutama di bagian timur Indonesia, memiliki jumlah umat

19
kristen dan muslim yang hampir sama, seperti di Maluku, Manado, dan banyak
lainnya. Beberapa bagian bahkan memiliki majorities kristen, seperti di Nusa
Tenggara Timur dan Papua, dan, tentu saja, pulau Bali yang 90% lebih Hindu.
Tanggapan pendidikan islam terhadap keragaman agama di Indonesia secara
teologis, kaum non-muslim dipandang sebagai "yang lain" oleh kaum muslim,
berdasarkan pembangunan klasik pengajaran islam. Konstruksi fiqh dan lem
kalam pada kaum non-muslim, misalnya, menunjukkan mereka sebagai musyrik
atau kafir. Masalahnya adalah bagaimana Muslim harus berurusan dengan "yang
lain" dalam kehidupan sehari-hari mereka (Abdullah pada http://aminab.
wordpress. Com, 2010).

Al-Quran sebenarnya menghargai keragaman agama di muka bumi.


Beberapa ayat Al-Quran dengan jelas menggambarkan bahwa Allah SWT tidak
bermaksud menciptakan manusia dalam satu identitas, sebagaimana dinyatakan
dalam QS 10:99 dan 2:256 di bawah ini: Dan jika Tuhanmu menghendaki,
pastilah beriman semua yang ada di bumi , mereka semua. Maka apakah kamu
akan memaksa manusia sampai mereka beriman? Tidak ada paksaan dalam agama
– jalan yang benar memang jelas berbeda dari yang salah. Maka barang siapa
yang kafir kepada setan dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia
memegang pegangan yang paling kokoh yang tidak akan pernah putus. Dan Allah
mendengar mengetahui. Al-Quran bahkan mengakui pluralisme agama,
sebagaimana dinyatakan dalam QS 2:62 Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, dan orang-orang Yahudi, dan Nasrani, dan Sabian, siapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir dan mengerjakan kebajikan, mereka mendapat
pahala di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan bagi mereka dan tidak pula
mereka bersedih hati. Meskipun Al-Quran secara jelas menggambarkan adanya
pluralisme agama, namun interpretasi yang berbeda dari ayat-ayat tersebut muncul
di antara berbagai kelompok Muslim, termasuk pemangku kepentingan
pendidikan Islam. Sejumlah kelompok Muslim mengapresiasi ayat-ayat tersebut
dan mengembangkan cara pandang yang inklusif, bahkan pluralis; tetapi beberapa
kelompok lain menafsirkan ayat-ayat tersebut secara berbeda dan
mengembangkan perspektif eksklusif. Penafsiran yang berbeda kemudian akan

20
membawa mereka untuk memiliki sudut pandang dan sikap yang berbeda
terhadap non-Muslim dan realitas keragaman agama. Secara singkat, mengingat
Indonesia yang penuh dengan keragaman, agama dan lain-lain, setiap pilar
pendidikan Islam memiliki respon yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka pasti
memahami bahwa kebhinekaan adalah bagian dari sunnatullâh, sehingga mereka
mengembangkan kurikulum dan konten sistem pendidikan untuk mengajar
siswanya agar siap hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk (Abdullah
pada http://aminabd.wordpress.com, 2010).

Sistem pendidikan islam di Indonesia dapat dibagi menjadi sejumlah


kelompok. Yang pertama adalah kelompok pesantren, termasuk yang
melaksanakan madrasah dan yang masih mempertahankan sistem non-penilaian.
Kelompok ini terdiri dari pesantren modern dan tradisional. Kedua adalah
madrasah kelompok yang terdiri dari madrasah umum maupun madrasah pribadi.
Ketiga adalah kelompok Islam yang dianggap sebagai aliran sistem pendidikan
Islam modern komunitas Muslim kota. Setiap kelompok akan dibahas secara
terpisah dengan upaya untuk menghubungkan mereka satu sama lain
(http://miftah19.wordpress.com).

Keragaman lembaga-lembaga pendidikan Islam menggambarkan dinamika


Islam di Indonesia, yang telah mencari bentuknya, terutama dalam konteks
pembangunan modern dan kontemporer. Terlepas dari fakta bahwa ada pesenam
yang merangkul semangat fundamentalis, penting untuk dicatat bahwa itu hanya
fenomena kecil. Mayoritas pesenam di Indonesia dikendalikan oleh semangat
Islam moderat. Bagaimanapun, kampanye tentang ide Islam moderat yang
membawa nilai-nilai demokrasi, toleransi, pluralisme dan masyarakat sipil tidak
dipopulerkan dengan baik (http://miftah19.wordpress.com) .

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terkait upaya pelaksanaan Pendidikan Agama Islam


dalam Sistem Pendidikan Nasional, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan,
sebagai berikut: 1) Secara terminologi, tujuan Pendidikan Agama Islam dapat

21
diartikan sebagai pencapaian target oleh individu atau kelompok yang
melaksanakan Pendidikan Agama Islam. Secara epistemologi, sebenarnya
Pendidikan Agama Islam telah memiliki visi dan misi idealnya sendiri, yaitu
“rahmatan lil âlamin”. Selain itu, tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari
tujuan hidup manusia meskipun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan
hidup, dan atau keinginan lain untuk memiliki aqidah (tarbiyah aqîdiyah), untuk
membentuk akhlaq yang berharga (tarbiyah khuluqiyah), membentuk insan yang
bijaksana (tarbiyah fikriyah), membentuk insan yang sehat dan tangguh (tarbiyah
jismiyah), membentuk kreatif, inisiatif, antipati, dan responsif (tarbiyah
amaliyah); 2) prinsip objektif Pendidikan Agama Islam berlandaskan pada al-
Qur‟ân, hadits, Qaul al-Shahâbah, ijmâ, qiyâs, masâlih al-mursalah, shadzdzu al-
dzâri‟ah, urf dan istihsân. Selain itu juga didukung oleh ijtihad yang dilakukan
oleh intelektual muslim yang berlandaskan pada aqidah, ibadah dan akhlaq.
Selanjutnya, penerapan Pendidikan Agama Islam mengacu pada enam prinsip: (a)
Universalitas Pendidikan Agama Islam, (b) Keseimbangan, (c) Kejelasan, (d)
Harmoni, (e) Realitas dan aplikatif, (f) Dinamis dan responsif menuju perubahan.
Perannya adalah memberikan kontribusi terhadap upaya pengembangan potensi
peserta didiknya sebagai generasi penerus yang tidak hanya berkembang dalam
bidang intelektual tetapi juga dapat mewujudkan eksistensinya sebagai insân
kâmil berdasarkan potensi dan keterampilan spiritualnya. Dengan demikian,
dengan potensi yang dimilikinya dapat mewarnai kehidupan dan masa depannya
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu, fungsi tujuan
pendidikan adalah untuk melengkapi dan mengarahkan tujuannya sebagai
landasan untuk mencapai tujuan lain, yaitu tujuan baru atau perluasan. Selain itu
juga memberikan nilai dan karakter dari beberapa upaya, memberikan kriteria
untuk mengevaluasi proses pendidikan dan memberikan fasilitas yang
memungkinkan proses pendidikan dapat berjalan dengan baik; 3) Ciri-ciri
pendidikan Islam antara lain: rabbâniyah, syâmilah, mutakâmilah, marhaliyah,
murûnah, istimrâriyah, tanmawiyah, Fa rdi-yyah, tathbîqiyah, hurriyah, infitâh,
maslahah. Untuk memenuhi fungsi tujuannya, tujuan pendidikan harus
dirumuskan berdasarkan nilai-nilai keimanan ideal yang dapat mengangkat harkat

22
dan martabat manusia, yaitu nilai ideal yang menjadi konstruksi pikiran dan
tindakan seseorang untuk mencapai tujuan yang terarah; 4) Pelaksanaan
pengembangan Pendidikan Agama Islam merupakan penerapan konsep integrasi
yang berarti suatu proses pendidikan yang terpadu dengan harapan akan
menghasilkan keluaran yang terintegrasi, sehingga keterpaduan antara Pendidikan
Agama Islam dengan pendidikan lainnya sejalan dengan tujuan Nasional. Sistem
Pendidikan. Secara khusus menghasilkan output menjadi individu yang memiliki
akhlaq dan ilmu yang terintegrasi.

REFERENSI

Al-Abrasyi. 1961. al-Tarbiyah Fi al-Islâm, Kairo. al-Majlis al-A‟la Li al-Syuun


al- Islamiyah.

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan


Historis, Teoritis dan Praktis. cet. Ke-2. Jakarta: PT Ciputat Press.

An-Nahlawi, Abdurrahman. 1989. Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam.


Bandung. CV Diponegoro.

Boyle, Kevin, and Juliet Sheen, (eds.). 2001. Freedom of Religious Belief: A
Word Report. London & New York: Routledge.

Dewey, J. 1916. Democracy and Education. London: Mac Millan

Fadjar, A. Malik. 1999. Reorientasi Pendidikan. Jakarta: Fajar Dunia.

Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. cetakan III.
Bandung: CV. Pustaka Setia.

Hasan Basri, 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Hasan, M. Ali Mukti. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: CV


Pedoman Ilmu Jaya.

23
Hitami, Munzir. 2004. Menggagas Kembali Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Infinite Press.

http://aminabd.wordpress.com/2010/06/01/religious-diversity-and-
islamiceducation-in-indonesia/ diunduh tanggal 29- 7-2013.

http://miftah19.wordpress.com/2011/02/18/new-trend-of-islamic-educationin-
indonesia/ diunduh tanggal 29-7-2013.

Lukens-Bull, Ronald. “Pendidikan Pesantren dan Harmoni Agama: Latar


Belakang, Visi dan Misi.” in Alef Theria Wasim, et. Al. (eds.). Harmoni
Kehidupan Beragama: Problem, Praktik & Pendidikan. Yogyakarta: Oasis
Publisher, 2005.

Roqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif


di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta.

Saifuddin, A.M. 1985. “Konsep Pendidikan Agama: Sebuah Pendekatan


Integratif Inovatif,” in Endang Basri Ananda, 70 Tahun Prof DR. H.M.
Rasyidi. Jakarta: Harian Umum Pelita.

Sanaky, Hujair AH.2003. Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat


Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI.

Sholihin dan Rosyid Anwar, 2005. Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna
Hidup, Bandung: Nuansa.

Undang-Undang Republik Indonesia. 2012. Sistem Pendidikan Nasional Beserta


Penjelasannya. Jakarta: Grafika.

24

Anda mungkin juga menyukai