Anda di halaman 1dari 2

Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Mustahar merupakan salah

satu pahlawan nasional. Namanya dikenang dalam buku-buku sejarah karena


pernah memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa yang berlangsung mulai
1825 sampai 1830. Ia adalah anak lelaki paling tua dari keturunan Sultan
Hamengkubawana III atau Raden Mas Suraja. Sedangkan nama ibunya adalah RA
Mangkarawati, seorang permaisuri raja. Kendati merupakan anak sultan, ia tidak
ingin hidup dengan segala kemewahan yang biasa dirasakan keluarga kerajaan.
Berdasarkan catatan, Pangeran Diponegoro disebut sebagai pangeran Kesultanan
Yogyakarta dan kelak akan menjadi raja. Namun, dengan cara halus Diponegoro
menolak karena merasa tidak pantas selaku anak selir.

Jejak Hidup Dalam sejarah,


ia pernah memendam benci terhadap kolonialisme Belanda yang menjajah
Kerajaan Nusantara, dalam hal ini terkait Kesultanan Yogyakarta. Ketika Sultan
Hamengkubowono IV atau Raden Mas Ibnu Jarot naik tahta di usia 10 tahun,
Belanda ikut campur urusan politik kerajaan peninggalan ayahnya hingga
membuat Diponegoro naik pitam. Terkait hal ini, Sagimun dalam Pahlawan
Dipanegara Berjuang (1965) mengungkapkan alasan lengkapnya. Pangeran
Diponegoro menyuarakan perlawanan karena Belanda datang mengatur internal
kerajaan dan juga menetapkan beban pajak kepada rakyat dengan jumlah yang
tidak sedikit. Selain benci Belanda, ia juga diklaim tidak suka dengan bangsa
Tionghoa yang ada di Jawa. Keterampilan orang-orang Tionghoa dalam mengatur
keuangan sering memeras masyarakat Kesultanan Yogyakarta. Terungkap dalam
Nusantara: Sejarah Indonesia (2008:320) karya Bernard H.M., mereka kerap
memeras dengan aturan pajak tol yang tidak masuk akal. Mengenai kebencian
Diponegoro terhadap Tionghoa, ternyata tidak bisa digambarkan secara benar.
Faktanya, Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir
Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2019:727) menerangkan, tidak secara
gamblang kebencian tersebut dianggap benar. Sebab, kata dia, perlakuan
Diponegoro kepada orang-orang Tionghoa juga baik. Bahkan, seiring perjalanan
Perang Diponegoro mereka menjadi mitra bisnis dan membantu Diponegoro
dengan ikut masuk menjadi tentara ketika pertempuran melawan Belanda terjadi.

Akhir hayat
Aksi yang dijalankan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya di Jawa
membuat Belanda kewalahan. Pada 28 Maret 1830, Belanda mengajak
Diponegoro melakukan gencatan senjata lalu mengadakan perundingan. Belanda
ternyata hanya memberi janji manis kepada Diponegoro ketika itu. Penjajah
tersebut bukan mengadakan perundingan, namun malah menangkap pangeran
yang datang tanpa membawa senjata. Saat itu, Perang Diponegoro pun dikatakan
sudah sampai pada akhir perjuangannya karena pemimpinnya berhasil ditahan di
Batavia hingga 3 Mei 1830. Berdasarkan catatan Toby Alice dalam Sulawesi:
Islan Crossroads of Indonesia (1990), Pangeran Diponegoro setelah itu diasingkan
ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar. Melengkapi itu, tahun 1833 di
Makassar, benteng Rotterdam, Diponegoro hidup bersama istri, dua anaknya, dan
23 pengikutnya. Pada 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro meninggal dunia.
Berdasarkan Surat Keterangan (SK) yang tertulis dalam Pahlawan Dipanegara
Berjuang (1965) karya Sagimun, usia lanjut adalah penyebab wafatnya
Diponegoro.

Menurut catatan profil,


pada 6 November 1973, Pangeran Diponegoro diresmikan namanya menjadi
salah satu Pahlawan Nasional berdasarkan
Pangeran Diponegoro Perang Diponegoro (1825-1830) Ditawan Belanda di
Batavia atau Stadhius (8 April-3 Mei 1830) Diasingkan di Benteng Fort Nieuw
Amsterdam, Manado (12 Juni 1830-20 Juni 1833) Dipindahkan ke Benteng Fort
Rotterdam, Makassar dan menetap (12 Juli 1833-8 Januari 1855) Meninggal dunia
(8 Januari 1855)

Anda mungkin juga menyukai