Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PELAKSANAAN APBD DALAM SISTEM ADMINISTRASI


NEGARA

DOSEN PENGAMPU :
EKA, S.Sos., M.SOC. sc

OLEH :

ELLMY DAWARTI 2063201078


NOVALYA SARI 2063201111
AMELIA TRI KUSUMASTUTI 2063201092
MUCHLIS 2063201060

Kelas : 4.2
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
TAHUN 2022
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................................................ii
BAB I..................................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................................................1
1. Latar Belakang 1
BAB II.................................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN................................................................................................................................................2
1) Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD...........................................2
2) Upaya Sistem Administrasi Negara dalam Perbaikan dan Pengelolaan APBD..............7
BAB III.............................................................................................................................................................13
PENUTUP........................................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................................14
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah subhanahu Wata’ala yang

telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan

makalah dengan judul “Pelaksanaan APBD Dalam Sistem Administrasi Negara”.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak

EKA, S.Sos., M.SOC. sc pada Mata kuliah Teori Pembangunan. Selain itu, makalah ini

juga bertujuan untuk menambah wawasan. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan

makalah ini.

Akhir kata kami mengucapkan terimakasih yang tak terhingga, semoga makalah ini

dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Pekanbaru, Februari 2022


Penulis,

Kelompok 2

i
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sistem Administrasi negara adalah keseluruhan penyelenggaraan kekuasaan


negara dengan memanfaatkan segala kemampuan aparatur negara serta segenap
dana dan daya untuk terlaksananya tugas-tugas pemerintah dan tercapainya tujuan
negara. Sebagai suatu sistem, administrasi negara terdiri dari berbagai subsistem
antara lain tugas, fungsi, organisasi, kepegawaian, material dan lainnya. Sebagai
sistem, maka: Administrasi negara terdiri dari berbagai sub sistem antara lain, tugas
pokok, fungsi kelembagaan, ketatalaksanaan, kepegawaian, sarana dan prasarana.
Landasan Administrasi Negara Republik Indonesia yaitu: Landasan idiil : Pancasila,
Landasan idiil bagi penyelenggaraan administrasi negara indonesia adalah identik
dengan landasan idiil Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Dengan demikian Pancasila merupakan: Dasar Negara Republik Indonesia.;
Landasan Konstitusional : Undang-undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar
1945 merupakan arahan yang paling dasar dalam menyusun tujuan pokok
perencanaan pembangunan nasional sebagai suatu visi pembangunan nasional guna
dijadikan landasan dalam Keputusan/Ketetatapan MPR.; Landasan Operasional :
Garis-garis Besar Haluan Negara Negara, landasam operasinal adalah dasar hukum
material yang memberi arah serta menjadi pedoman pengelolaan oleh pemegang
kekuasaan dalam sebuah negara, Contoh landasan operasional adalah peraturan
pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah dan TAP MPR. Ilmu administrasi
negara sejauh ini belum mampu menghasilkan teori yang secara khusus dapat
disebut sebagai teori administrasi negara. Selama ini, ilmu administrasi negara
mengadopsi atau meminjam teori-teori yang berkembang di disiplin ilmu lain untuk
digunakan ketika menjelaskan aktivitas atau perilaku dalam administrasi negara.
Misalnya, motivasi dan partisipasi adalah konsep yang dikembangkan ilmu
psikologi dan ilmu politik, tetapi banyak dipakai dalam literatur administrasi negara
untuk menjelaskan fenomena administrasi negara.

ii
Bagi Indonesia sebagai suatu negara kesatuan dengan sistem pemerintahan
yang berbentuk republik, yang demokratis dan konstitusional adalah tepat apabila
sistem administrasi negaranya itu disebut sebagai Sistem Administrasi Negara dan
berperan sebagai sistem penyelenggaraan kebijakan negara.
Indonesia pernah terpuruk dalam krisis multi dimensi yang mengenaskan
pada dekade 1990an. Perkembangan nasional yang menyedihkan tersebut memang
dipengaruhi perkembangan internasional, namun banyak faktor penyebab mendasar
bersumber dari dalam negeri yang berperan secara signifikan atas terjadinya krisis
multi dimensi tersebut, sehingga berlangsung cukup berkepanjangan.
Di antara faktor penyebab terjadinya krisis multi dimensi tersebut yang
sangat mendasar adalah terletak pada kelemahan pengembangan “sistem dan proses
penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan bangsa”, yang utama dan
hakiki adalah berupa penyimpangan terhadap berbagai dimensi nilai yang
semestinya menjadi acuan perilaku individu dan institusi yang berperan dalam
penyelenggaraan negara. Kondisi atau tegasnya inkonsistensi tersebut menyebabkan
nilai dan prinsip kepemerintahan yang baik yang sesungguhnya melekat atau
merupakan bagian dari karakteristik sistem penyelenggaraan negara menjadi
terabaikan atau tidak sepenuhnya mendapat perhatian, sehingga sistem
kelembagaan negara, dunia usaha, dan masyarakat bangsa menjadi rapuh.

iii
BAB II

PEMBAHASAN

1) Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD

Dalam bulan-bulan ini, pemerintah daerah (Pemda) disibukkan oleh


penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ada fenomena
menarik terkait proses penyusunan APBD yang sesuai dengan jadwal yang
ditetapkan. Fenomena ini sebenarnya bukan masalah baru. Tapi masalah klasik
yang dari tahun ke tahun seringkali berulang. Karena sebagai suatu masalah dan
berpotensi merugikan masyarakat, maka seharusnya menjadi perhatian bersama,
terutama bagi Pemda.
Pangkal masalah Anggaran di Indonesia, baik APBN dan APBD menurut
Ahmad Erani Yustik Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics
and Finance (INDEF) adalah:
APBN/APBD selalu di desain defisit sehingga memberi kesempatan adanya
inefesiensi dan praktik koruptif. desain APBN/APBD hanya dipahami sebagai
proses teknokratis untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi (anggaran), tetapi
APBN tidak dimengerti juga sebagai instrumen ideologis untuk mendekatkan tujuan
bernegara sebagai amanat konstitusi asumsi ekonomi makro yang disusun hanya
mendasarkan kepada tujuan sempit tetapi mengabaikan semangat keadilan sosial,
seperti aspek ketimpangan pendapatan besaran anggaran tidak mencerminkan
permasalahan dan kontekstualisasi dasar pembangunan nasional. Buktinya, alokasi
anggaran ke sektor pertanian dan industri tergolong kecil padahal sebagian tenaga
kerja berada di sektor tersebut, amanah UU tidak semuanya dijalankan dengan baik.
Sebagai contoh, alokasi anggaran kesehatan diharuskan minimal 5 persen dari
APBN, namun selama ini mendapatkan porsi kurang dari 2 persen.penerimaan
negara dihitung sangat rendah, baik yang bersumber dari pajak maupun Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga membuka peluang terjadinya korupsi
penerimaan negara seperti yang terus berulang selama ini.2 (dua) hal yang perlu
dicermati sebagai hambatan dalam mewujudkan APBD sebagai bentuk akuntabilitas
kepada masyarakat;

iv
Berkaitan dengan perlilaku politik dari pejabat politik maupun pejabat
publik daerah yang merasa terganggu atau tidak suka dengan transparansi anggaran,
karena hal tersebut secara tidak langsung akan mengurangi otoritas yang selama ini
mereka nikmati. persoalan yang berkaitan dengan aturan-aturan formal yang ada,
bahwa masing-masing pihak dan lembaga memilki batas kewenangan serta
prosedurnya sendiri. Kedua kendala inilah yang menyebabkan alokasi anggaran
dalam APBD seringkali tidak mencerminkan keberpihakan kepada publik. Selama
ini, kendala yang seringkali dimunculkan sebagai alasan belum mampunya
pemerintah daerah menyediakan pelayanan dengan kualitas memadai adalah
keterbatasan dana, sehingga APBD lebih terfokus pada optimalisasi penggalian
PAD.
Beberapa permasalahan yang mengiringi proses penyusunan APBD itu
adalah :
a) Waktu penyusunan yang tidak tepat pada waktunya. Setiap tahun
dijumpai daerah yang lamban dalam menyusun anggaran keuangan
pemerintahannya. Sebagai contoh, rancangan KUA dan PPAS
melebihi waktu dari jadwal yang seharusnya disampaikan kepala
daerah kepada DPRD yakni pertengahan bulan Juni tahun anggaran
berjalan. Demikian pula, draf RAPBD yang semestinya sudah harus
diserahkan ke DPRD pada pekan pertama Oktober untuk dibahas,
keterlambatan ini berdampak pada sejumlah kabupaten/kota
terlambat juga menyerahkan RAPBD ke Pemprov untuk dievaluasi.
Padahal, keterlambatan penyusunan APBD jelas merugikan
masyarakat. Masyarakat yang semestinya sudah menerima anggaran
pembangunan atau pelayanan publik terpaksa harus tertunda
menunggu selesainya penetapan APBD. Selain itu, Dana Alokasi
Umum (DAU) daerah yang terlambat menetapkan APBD juga akan
dipotong 25% oleh pemerintah pusat. Dari sudut pandang
perencanaan, keterlambatan penyusunan APBD merupakan sesuatu
yang merugikan masyarakat dan pemerintah daerah.
APBD yang seharusnya sudah ditetapkan sebelum tahun anggaran
v
berjalan atau paling lambat tanggal 31 Desember, ternyata belum
tepat pada waktunya. Secara de-jure maupun formal administratif,
landasan daerah yang terlambat menetapkan APBD itu bisa
dikatakan lemah. Kemungkinan terjadinya keterlambatan dalam
penetapan APBD amat besar disebabkan pelantikan anggota DPRD.
Dasar hukum penyusunan tata tertib dan alat kelengkapan DPRD
juga terlambat terbit, sehingga berdampak pada terlambatnya
pembahasan RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah).
Persoalan anggaran yang defisit anggaran, defisit anggaran terjadi
karena anggaran pendapatan pemerintah tidak mampu menutup
anggaran belanjanya.
Daerah yang mengalami defisit anggaran bisa jadi secara faktual
memang tidak mampu menutup besarnya pengeluaran belanja
daerah. Ada kemungkinan pula kondisi defisit tersebut “direkayasa”
sebagai sarana untuk menekan pemerintah pusat agar menambah
dana perimbangan atau dana kontingensi. Tidak mudah menyusun
APBD yang benar-benar bebas dari defisit.
Ketergantungan Pemda terhadap pusat menyebabkan kreativitas
daerah terkadang terhambat. Minimnya semangat efisiensi.
Berhubungan dengan persoalan defisit anggaran, pemerintahan yang
terlalu boros akan cenderung menciptakan defisit.
Di Permendagri No.77/2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Daerah. Daerah semestinya memahami dan menempatkan
prioritas pengalokasian anggarannya dengan tepat. Sebagaimana
arahan Permendagri No 77/2020, masalah dan tantangan utama yang
harus dipecahkan dan dihadapi dalam pengelolaan anggaran. Di
antaranya adalah upaya untuk menanggulangi kemiskinan,
meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, serta meningkatkan
kualitas kesehatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Di bidang pendidikan misalnya, Pemda secara konsisten dan
berkesinambungan perlu mengupayakan pengalokasian anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20%, dan di bidang kesehatan juga
vi
mengalokasikan anggaran sekitar 20% dari belanja daerah.
Kurang berpihaknya anggaran pemerintah kepada publik. Hampir
semua APBD di Indonesia anggarannya mayoritas dialokasikan guna
memenuhi belanja pegawai. Seperti untuk membayar gaji, tunjangan,
honor dan uang lembur. Biaya untuk belanja barang/jasa, perjalanan
dinas, dan pemeliharaan gedung/kendaraan semakin memperbesar
kebutuhan anggaran untuk pegawai. Belanja pegawai yang menyedot
biaya besar berdampak pada kecilnya anggaran untuk publik.
Kebanyakan daerah lebih dari 60% anggarannya digunakan dalam
rangka membiayai internal birokrasi, sedangkan anggaran untuk
pembangunan dan pelayanan publik relatif terbatas. Seberapa jauh
anggaran pemerintah berpihak pada publik, bisa diamati dari
bagaimana pelayanan publik; seperti pelayanan kesehatan,
pendidikan, dan pembangunan infrastruktur; diselenggarakan
pemerintah.
Dalam penyusunan APBD di atas seharusnya tidak sampai terjadi,
atau paling tidak dapat direduksi, seandainya dalam penyusunan
APBD memperhatikan prinsip penyusunan APBD yang sudah
digariskan (ada partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas
anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran, dan taat asas), serta
patuh pada kaidah penganggaran sektor publik yang berlaku
(legitimasi hukum, legitimasi finansial, dan legitimasi politik).
b) APBD Sering Terlambat
Ada beberapa kemungkinan mengapa dapat terjadi keterlambatan
Pemda dalam menyelesaikan APBD, yakni:
Proses perencanaan seringkali hanya bersifat formalitas belaka.
Forum yang semestinya bisa mengakomodasi kepentingan
masyarakat (termasuk berbagai kepentingan politik) kurang
mendapat perhatian, karena sebagian besar lebih tertarik pada tahap
penganggaran. Mudah dipahami, sebab pada tahap penganggaran-lah
perhitungan biaya (uang) mulai terbahas. Akibatnya rencana
kegiatan yang telah dibuat mesti dibahas ulang di tahap
penganggaran yang seringkali bertele-tele karena lahirnya transaksi
vii
politik. keterlambatan penyusunan RAPBD sehingga terlambat
diserahkan Kepala Daerah kepada DPRD. Keterlambatan ini bisa
disebabkan karena masalah teknis manajerial, rendahnya kompetensi
birokrasi, atau tidak sinkronnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh
pemerintah pusat sebagai pedoman.
DPRD tidak menjalankan fungsi anggaran dengan baik. Penyebabnya
hampir sama dengan apa yang dialami oleh Pemda yakni masalah
teknis manajerial dan rendahnya kompetensi anggota DPRD. Di
samping itu keterlibatan DPRD dalam penyusunan APBD terlalu
jauh sampai jenis kegiatan, besaran anggaran, dan lokasi
program.terjadinya tarik ulur kepentingan politik lokal. Anggota
DPRD yang menghendaki kepentingan politiknya (dan juga
kepentingan pribadinya) terakomodasi mendesak kepada Pemda
untuk dimasukkan dalam APBD. Tak jarang, kepentingan tersebut
sebenarnya belum urgen untuk direalisasikan. Pemda akhirnya
menghadapi dilema. Jika menolak maka terjadilah ketegangan yang
mengakibatkan pembahasan APBD menjadi berlarut-larut. Jika
dituruti berarti mengorbankan kepentingan sebagian rakyat
lain.keterlambatan evaluasi oleh Gubernur. Rancangan Perda tentang
APBD yang telah disetujui Bupati/Walikota bersama DPRD,
sebelum ditetapkan harus disampaikan kepada Gubernur untuk
dievaluasi. Kemungkinan Gubernur bisa terlambat mengevaluasi.
2) Upaya Sistem Administrasi Negara dalam Perbaikan dan Pengelolaan APBD.

Upaya perbaikan pengelolaan keuangan daerah, khususnya perencanaan


APBD, masih merupakan agenda strategis bagi percepatan peningkatan
kesejahteraan rakyat di daerah, yang merupakan inti dari kewajiban Daerah, DPRD,
dan Kepala Daerah.
Failing to plan is planning to fail (Alan Lakein). Kegagalan dalam membuat
rencana berarti merencanakan sebuah kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan
APBD sama dengan merencanakan kegagalan Daerah tersebut untuk mewujudkan
kewajibannya, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat di wilayahnya.
Beberapa permasalahan pokok yang perlu direspon adalah sebagai berikut:

viii
a) Anggaran belanja cenderung ditetapkan lebih tinggi.
Mengapa penilaian kewajaran belanja harus dilakukan? Salah satu
alasannya adalah karena usulan belanja kegiatan cenderung dimark-up,
dibesarkan atau ditinggikan di atas perkiraan yang sewajarnya
(sebenarnya). Bila usulan belanja selalu wajar dan sesuai dengan
kebutuhan yang sebenarnya, maka urgensi dan relevansi analisis standar
belanja menjadi rendah.
b) Anggaran pendapatan cenderung ditetapkan lebih tinggi sedangkan
realisasi tidak sesuai dengan yang di anggarkan cendrung lebih rendah.
c. Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan
dengan penganggaran. Secara normatif, perencanaan dan penganggaran
harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain. Hal ini sedemikian
karena penganggaran adalah media untuk mewujudkan target-target
kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan, SKPD cenderung tidak
fokus serta cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara
pada inefisiensi dan inefektifitas.
c) Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan antar
SKPD. Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara
aspek perencanaan dengan penganggaran, tetapi juga antar SKPD. Hal
ini perlu diperhatikan karena target capaian program dan atau target
hasil (outcome) sebuah kegiatan dan atau visi daerah dapat dicapai
melalui sinergi program dan kegiatan antar SKPD.
d) Relevansi Program / Kegiatan: kurang responsif dengan permasalahan
dan / atau kurang relevan dengan peluang yang dihadapi.
Peningkatan relevansi dan responsifitas program adalah agenda utama
perencanaan. Relevansi dan responsifitas akan sangat menentukan
kemampuan daerah dalam mewujudkan kewajibannya. Rendahnya
relevansi ini terutama karena rendahnya kemampuan perencanaan
program dan kegiatan serta keterbatasan ketersediaan data dan
informasi.
e) Pertanggungjawaban kinerja kegiatan masih tetap cenderung fokus pada
pelaporan penggunaan dana. Hal ini terjadi terutama karena belum
jelasnya aturan dan mekanisme pertanggungjawaban kinerja kegiatan.
ix
Pertanggungjawaban kinerja merupakan kunci dari sistem penganggaran
berbasis kinerja.tanpa pertanggungjawaban tersebut, perbaikan kinerja
SKPD tidak dapat berlanjut secara berkesinambungan. Pada titik
ekstrimnya, tanpa pertanggungjawaban kinerja, pola penganggaran pada
dasarnya masih belum berubah kecuali istilah dan nomenklatur semata.

Disamping hal-hal diatas, ada juga yang berpendapat bahwa permasalahan


penyusunan APBD bersumber pada : Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat,
dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang
jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses
DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah
dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian
muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan
didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen
sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek.
Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek
untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan
mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau
pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan
pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan
legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak budget
DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam
penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa
digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk menjawab permintaan
masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD
bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
Beberapa faktor-faktor intervensi hak budget DPRD yang dapat menjadi
penghambat dalam penyusunan APBD, adalah:
Usulan dari DPRD yang terkadang tidak sesuai dengan hasil kesepakatan
pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) unsur politis
dalam rangka mewujudkan kepentingan tertentu motif pada saat pelaksanaan
proyek di lapangan dalam rangka mencari keuntungan pribadi adanya istilah
“sinterklas”(bagi-bagi proyek) kepada oknum anggota DPRD atau pejabat daerah

x
pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih
menjadi retorika perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan
kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat
timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah
memenuhi kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim.
Perencanaan pembangunan di bidang apapun sebagian besar masih didominasi oleh
berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kebijakan kepala daerah, hasil reses
DPRD, program dan kegiatan SKPD itu sendiri bahkan kepentingan dari elemen –
elemen masyarakat. Hal ini telah banyak terlihat buktinya di lapangan, bahwa apa
yang sudah di buat perencanaannya sesuai matrix dan usulan yang berasal dari
masayarakat (bottom up) dengan sebelumnya telah melalui proses penyusunan
usulan program dan kegiatan di tingkat kelurahan dan kecamatan misalnya ternyata
realisasinya sangatlah minim. Kondisi ini membuat pelaksanaan musrenbang
menjadi acara rutinitas dan formalitas belaka sehingga menjadi kurang diminati
oleh pihak-pihak yang selayaknya mengikuti kegiatan tersebut.
Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, karena
ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih
bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali
membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga
semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang
terjerat. ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. terpisahnya proses perencanaan
dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan
pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia.
Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan
Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
Breakdown RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) ke
RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan RPJMD ke RKPD
(Rencana Kerja Pembangunan Daerah) seringkali tidak nyambung (match), ada
kecenderungan dokumen RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) ataupun
RPJM/Renstra (Rencana Strategis) SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara
serius dalam menyusun RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) /Renja
(Rencana Kerja) SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Kondisi ini muncul salah
satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas
xi
dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh
Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga
banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak
visioner, kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum
optimal.
Pada saat proses penyusunan perencanaan-perencanaan suatu kegiatan
terutama yang berkaitan dengan peningkatan pembangunan di semua sektor dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tentunya diawali dengan
perencanaan yang didasari oleh pedoman – pedoman yang ada termasuk rencana
strategis yang telah disusun dalam jangka waktu 5 (lima) tahun ke depan tanpa
mengesampingkan isu-isu strategis yang ada selama masih berkaitan dan
mempunyai output yang jelas. Akan sangat selaras ketika semua bisa mengacu pada
pedoman yang ada dan akan sangat mudah nantinya dalam proses monitoring dan
evaluasi. Namun jika perencanaan keluar dari pedoman-pedoman strategis yang
telah ditetapkan maka daerah akan menemui kesulitan dalam menyusun
perencanaan program dan kegiatan satu tahun ke depan.
Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga
kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul
egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan
mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan
ekploitasi batubara di lokasi tersebut.
Pertama, problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara
belanja modal (pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu
pelaksanaan desentralisasi, desain politik alokasi anggaran di banyak daerah
menunjukan minimnya peruntukan bagi masyarakat, baik berupa dana pelayanan
publik maupun investasi Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya sekitar 20-
30% APBD untuk belanja langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa
terbesarnya untuk membiayai birokrasi.
Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana
APBN kita beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari
dana dekonsentrasi, medebewind dan dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar
yang tentu amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar pula. Namun sayang,
sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada,
xii
bahkan di sebagian daerah, sisa dana ”diparkir” di perbankan berbentuk Sertifikat
BI.
Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar
memberitakan problem ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni
administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak saja menyangkut problem
akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan politik
kebijakan dan komitmen penegakan good governance di daerah.alhasil, merujuk
laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas pengelolaan
dan laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21 daerah yang
memiliki status laporan wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249 daerah wajar
dengan pengecualian, 7 daerah berstatus disclaimer (tak memberikan pendapat) dan
10 daerah adverse (tak wajar).terkait masalah ini, sumber masalah utama adalah
TIDAK EFEKTIF nya PERAN INSPEKTORAT. Institusi yang sejatinya dibentuk
sebagai garda depan jaminan tegaknya good governance dan menjadi instrumen
strategis pemberantasan korupsi ini justru mandul.

xiii
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Para pembuat keputusan yang terlibat dalam proses legislasi APBD (DPRD
dan pemerintah daerah) harus mempunyai sistem evaluasi untuk membandingkan
dan memprioritaskan proposal anggaran. sebagai konsekuensi dari hak budget yang
dimiliki DPRD maka anggota DPRD harus mengetahui dan memahami prinsip-
prinsip pokok siklus anggaran, yang meliputi tahap persiapan dan penyusunan
anggaran, tahap implementasi, serta tahap pelaporan dan evaluasi. selain memhami
proses pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah dan DPRD perlu
memahami berbagai standar yang digunakan dalam akuntansi, misalnya standar
biaya agar dapat memperhitungkan besaran anggaran yang diperlukan untuk suatu
kegiatan. Melalui penerapan standar ini, praktik-praktik manipulasi atau mark-up
angaran dapat diminimalkan.perlu dilakukan penguatan pada masyarakat sipil
misalnya dengan cara mengadvokasikan berbagai instrumen hukum dan
kelembagaan yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi,
mengakses informasi, dan mengontrol akuntabilitas pemerintahan. Selain itu juga
perlu ditingkatkan kualitas pendidikan, pengorganisasian, dan pendampingan
masyarakat agar masyarakat dapat mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan
mereka.
Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan tata
pembukuan keuangan daerah tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik
dan temuan BPK demikian Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan
APBD ini yang disadur dari berbagai sumber.

xiv
DAFTAR PUSTAKA

http://rumahayujayanti.blogspot.com/2015/12/sistem-administrasi-negara-kesatuan.html
Darwin, Muhadjir, Teori Organisasi Publik, Magister Administrasi Publik UGM,
Yogyakarta, 1994.
Denhart, Robert B., Theories of Public Organization, Montery CA: Books/ Cole Publishing
Company, 1984.
Harmon, Michael M. dan Richard T. Mayor, Organization Theory for Public
Administration, Boston: Little, Brown & Co, 1986.
Henry, Nicholas, Administrasi Negara dan Masalah-masalah Kenegaraan, Rajawali Pers,
Jakarta, 1988.
Keban, Yeremias T., Manajemen Publik dalam Konteks Normatif dan Deskriptif, Laporan
Penelitian Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fisipol UGM, Yogyakarta, 1994.
Sukarno, Suyoso, “Pengembangan dan Penerapan Prinsip-prinsip Manajemen Modern
Sesuai dengan Budaya Bangsa”, dalam Pembaharuan Administrasi Dalam Menghadapi
Era Globalisasi, Pimpinan Pusat PERSADI, Jakarta, 1995.
https://www.academia.edu/9891734/
Makalah_Perkembangan_Administrasi_Negara_di_Indonesia
http://www.slideshare.net/triwidodowutomo/sankri-sistem-administrasi-negara-kesatuan-ri
http://odenkmachron.blogspot.co.id/2008/04/sankri.html
https://izzahluvgreen.wordpress.com/2009/04/04/sankri-harapan-di-masa-depan/

xv
16

Anda mungkin juga menyukai