Disusun oleh :
Mulyati Renyaan : 04.18.4663
2. Etiologi
Syok Anafilaktif sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena seperti antibiotik
atau media kontras. obat-obatan yang sering memberikan reaksi anfilaktik adalah golongan
antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, sulfanamid,
kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri, dan antirabies. alergi terhadap gigitan serangga,
kuman-kuman, insulin, ACTH, zat radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain,
lidokain), vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga, kentang dll juga
dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
Alergen Ada yang menyebabkan beberapa golongan alergen yang dapat meimbulkan reaksi
anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga, dan alergen lain tidak bisa
digolongkan.
4. Patofisiologi
Syok anfilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun yang menghasilkan
deganulasi sel mast dan pelepasan mediator. aktifasi sel mast dapat terjadi baik oleh jalur
yang dimediasi imunoglobulin E (IgE). (Anafilaktik) maupun yang tidak dimediasi IgE
(Anafilaktoid). pencetus syok anfilaktik meliputi gigitan atau sengatan serangga, obat-
obatan dan makanan; anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik. mediator gadar meliputi
histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin. bila dilepaskan, mediator
menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan tonus otot polos bronkus, edema
saluran napas, peurunan tonus vascular, dan kebohongan kapiler. konstelasi mekanisme
tersebut menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps kardiovascular. ( Michael
I.Greenberg, Teks Atlas kedokteran kedaruratan, Hal. 24)
Antigen masuk kedalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak langsung
melalui kulit, inhalasi, saluran cerna melalui tusukan/ suntikan. pada reaksi anafilaksis,
kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui tususkan/suntikan. begitu
memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik (seperti
albumin). hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan dengan
segera akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel precursor
pembentuk reagen antibody immunoglobin E atau reagenic (IgE) antibody forming
precursor cell. sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta
membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh
reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reeptor
baru yaitu F ab. reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang
sama. proses yang berlangsung sampai disini disebut proses sensitisasi
pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama , maka antigen ini akan
segera dikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk ikatan
IgE. – Ag adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast danbasofil mengalami
degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen seperti histamine, kinin,
serotitin, platelet Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya
menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu otot polos. proses merupakan reaksi
hipersensitivitas. pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut
dan karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar maka biasanya tidak dapat
diatasi dengan hanya memberikan antihistamin. pada saat fase akut ini berlangsung,
pada membrane sel mast dan basofil terjadi pula proses yang lain. fosfolipid yang
terdapat di membrane sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim fosfolipase berubah
menjadi asam arakidonat dan kemudian akan menjadi prostaglandin, tromboksan dan
leukotrien / SRSA (Slow Reaction Substance of Anaphilaxis) yang juga merupakan
mediator-mediator endogen anafilaksis. karena proses terbentuknya mediator yang
terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan fase lambat anafilaksis.
melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk kedalam tubuh dapat langsung
mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma yang menyebabkan pembebasan
histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan
IgE- Ag. proses ini disebut reaksi anafilaktoid. yang memberikan gejala dan tanda
serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis, beberapa sistem yang dapat
mengaktivasi komlemen yaitu obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasanhistamin secara
langsung, narkotika, obat pelemas otot: d-
pada reaksi anfilaksis, histamine dan mediator, lainnya yang terbebaskan akan
mempengaruhi sel target yaitusel otot polos dan sel lainnya. akibat yang ditimbulkan
dapat berupa:
a. terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
b. terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus mengakibatkan
sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebakan inkontinensia urin, kontraksi
usus, menyebabkan diare.
c. terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan edema karena
pergeseran cairan dan intravaskuler ke intertisial dan menyebabkan hipovolemi
intravaskuler dan syok, edema yang dapat terjadi terutama dikulit, bronkus,
epiglotis dan laring.
d. pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium.
e. terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat
hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak.
f. leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat
menyebabkan bronkokontriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang
disebabkan oleh histamine. prostaglandin selain dapat menyebabkan
bronkokonstriksi juga dapat meningkatkan pelepasan histamine. peningkatan
pelepasan histamin ini dapat pula disebabkan oleh PAF.
5. Komplikasi
syok anafilaktik merupakan kondis kegawatdaruratan yang mesti segera ditandai. Gejala
syok anafilaktik bisa berkembang sangat cepat, sehingga menyebabkan detak jantung atau
pernapasan terhenti. Di samping itu, komplikasi syok anafilaktif juga bisa memicu
aritmia, serangan jantung, gagal ginjal, hingga kerusakan otak.
6. Data Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk memperkuat dugaan adanya reaksi
alergi, bukan untuk menetapkan diagnosis.
Jumlah leukosit
Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi.
Eosinofilia sering dijumpai tetapi tidak spesifik.
Serum IgE total
Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-80% pasien.
IgE spesifik Pengukuran
IgE spesifik
dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen tertentu secara in vitro dengan
cara RAST (Radio Alergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzim Linked
Imunnosorbent Assay). Tes ini dapat dipertimbangkan apabila tes kulit tidak
dapat dilakukan.
Serum tryptase
Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi reaksi
anafilaksis yang baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel mast. Triptase
merupakan protease yang berasal dari sel mast.
Tes kulit
Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik dalam kulit
pasien yang secara tidak langsung menunjukkan antibodi yang serupa pada organ
yang sakit. Tes kulit dapat dilakukan dengan tes tusuk (prick test), scratch test,
friction test, tes tempel (patch test), intradermal test. Tes tusuk dilakukan dengan
meneteskan alergen dan kontrol pada tempat yang disediakan kemudian dengan
jarum 26 G dilakukan tusukan dangkal melalui ekstrak yang telah diteteskan.
Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter urtika dan eritema
yang muncul. Tes tempel dilakukan dengan cara menempelkan pada kulit bahan
yang dicurigai sebagai alergen. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan 96
jam.1 Tes provokasi Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan
alergen langsung kepada pasien sehingga timbul gejala.
7. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan reaksi anafilaksis sebagai berikut.
a) Evaluasi ABC
b) Posisikan pasien dengan posisi elevasi ekstremitas atas
c) Beri 02 100% 6-8 L/menit (distress nafas)
d) Adrenalin 1:1000 larutan (1mg/ml) disuntikkan 0,3-0,5 ml IM atau 0,01 mg/kgBB
Akses infus (14atau 16 gauge) intravena dengan normal salin
e) Bila tidak ada perbaikan, pemnerian adrenalin dapat diulang 10-15 menit kemudian
dengan dosis maksimum 0,5 mg untuk dewasa dan 0,3 mg untuk anak-anak
f) Medikasi lini kedua yang dapat digunakan adalah H1 antihistamin seperti intravena
chlorpheniramine (10 mg) atau dipenhidramin (25-50 mg), cetirizine intra oral; β2
adrenergic agonists, seperti salbutamol inhaler (2,5 mg/3 mL); glukokortikoid seperti
hydrocortison 100-500 mg IM atau IV, metylprednisolon 125-250 mg IV, oral
prednisone.
g) Observasi 2-3 kali dalam 24 jam dan hindari agen penyebab.
8. Nursing Pathway
9. Asuhan Keperawawatan
1. Pengkajian
No Data subyektif Data obyektif Masalah
a. Sesak napas Takikardia, kulit pucat, hipotensi
renjatan, ada spasme bronkus Kerusakan pertukaran gas
b. Palpitasi Kulit pucat, akral dingin, hipotensi, angioedema, aritmia gambaran EKG
gelombang T mendatar dan terbalik Perfusi jaringan, perubahan perifer
c. Sesak napas Napas dengan bibir, ada rinitis/ mukosa hidung bengkak Pola napas
tidak efektif
d. Mual Muntah-muntah Perubahan kenyamanan (mual dan muntah)
e. Pruritus/ gatal Ada hives berbatas jelas Perubahan kenyamanan (pruritus)
f. Oedema laring Resiko terhadap penghentian pernapasan
g. Sakit perut Tampak meringis sambil memegang perut Nyeri akut
h. Bengkak dan gatal pada kulit dan hidung Ada hives, urtikaria, hidung berair
Gangguan integritas kulit
Siapkan untuk
Sehingga dapat
pemindahan ke unitdiambil tindakan
perawatan kritis bila
yang cepat dan tepat
diindikasikan. apabila terjadi
sesuatu yang
mengancam.
6 DX : 6 Setelah diberikan Kaji episode mual Penting untuk
tindakan dan muntah (lama, mengidentifikasi dan
perawatan selama frekwensinya). menentukan derajat
1X24 jam kemampuan
diharapkan klien pencernaan.
menunjukkan
berkurangnya Kurangi rangsangan Untuk mengurangi
rasa pusat muntah. ketidaknyamanan
ketidaknyamanan yang berhubungan
dengan kriteria dengan mual dan
mual dan muntah muntah.
menurun
Kolaborasi berikan Penghambat histamin
obat sesuai H2 menurunkan
indikasi : ranitidin. produksi asam gaster.
Untuk
Kolaborasi berikan menghilangkan rasa
obat antihistamin gatal.
sesuai indikasi.
1. Haryanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi Klinik. Edisi
kelima. Jakarta: Interna Publishing:2009:367.
2. Johannes Ring et.all. History and Classification of Anaphylaxis. anaphylaxis.Wiley,
Chichester (Novartis Foundation Symposium 257):2004 p 6-24.
3. Imbawan Eka, Suryana Ketut, Suadarmana Ketut. Asosiasi Cara Pemberian Obat
dengan Onset dan Derajat Klinis Reaksi Hipersensitifitas Akut/Anafilaksis pada
Penderita yang Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Bali. J Penyakit Dalam
2010;vol.11:135-139.
4. Estelle et.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of Anaphylaxis.
2011;4:13-37.
5. Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut: Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-
585.
6. Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013 Update Of
The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193– 204.
7. Longmore Murray et.all. Anaphylactic Shock. Oxford Handbook of Clinical
Medicine.2010:8th:806-807. 8. F Estelle. Anaphylaxis: the acute episode and beyond.
BMJ 2013; 1–10