Anda di halaman 1dari 2

Search

·
! 80% (5)·
Download
5K views 31 pages ( Search document )
Pneumonia Pada Geriatri

Uploaded by vitri5
Full description

" # $ % & '


Save 80% 20% Embed Share Print

Download ( Search document )

BAB I

PENDAHULUAN

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia termasuk dalam infeksi

saluran napas bawah akut (ISNBA) dan merupakan ISNBA yang paling sering ditemukan. 1,3

Data dari The National Hospital Discharge Survey di amerika serikat menunjukan

bahwa diantara tahun 1990 hingga 2002 terdapat 21, 4 juta orang berumur lebih dari 65 tahun

dirawat di rumah sakit. 48% dirawat akibat penyakit infeksi dan 46% dari penyakit infeksi

tersebut penyebabnya adalah infeksi saluran napas bawah (ISNB). Kematian yang diakibatkan

oleh ISNB dilaporkan berjumlah 48%. Pneumonia dan influenza terdaftar sebagai urutan ke 6

dari penyebab utama kematian, dan sekitar 70% kasus pneumonia di rumah sakit terjadi pada

lansia. Rata-rata kasus rawat inap akibat pneumonia adalah 23,1 per 1000 pada pria berusia 75-

84 tahun dan 13,3 pr 1000 pada perempuan berumur 75-84 tahun. Usia lanjut merupakan risiko

tinggi untuk pneumonia, hal ini juga tergantung pada keadaan pejamu dan berdasarkan tempat

mereka berada. Pada orang-orang yang tinggal di rumah sendiri insidens pneumonia berkisar

antara 25-44 per 1000 orang dan yang tinggal di tempat perawatan 68-114 per 1000 orang. Di

rumah sakit pneumonia usia lanjut insidensnya tiga kali lebih besar daripada penderita usia

muda. Pneumonia komunitas adalah penyebab utama kesakitan dan kematian pada lansia. Studi

epidemiologi telah menunjukan insiden dari pneumonia meningkat bersamaan dengan

bertambahnya umur, dengan risiko enam kali lebih tinggi pada pasie dengan usia ≥ 75 tahun

dibandingkan dengan mereka yang berusia < 60 tahun. Rata-rata angka kematian pada pasien

dengan pneumonia komunitas yang membutuhkan perawatan dirumah sakit adalah sekitar 6-

Trusted by over 1 million members

Try Scribd FREE for 30 days to access over 125 million titles without
ads or interruptions!

Start Free Trial


Cancel Anytime.

15%. Sedangkan pasien yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) memiliki

rata-rata angka kematian yang berkisar antara 45-57%. 2

Pneumonia menimbulkan beberapa masalah yang cukup menantang dikarenakan

sering terjadi pada pasien lansia, menyebabkan infeksi yang sangat serius terutama pada pasien

lansia sehingga memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi, dan mahalnya

biaya yang perlu dikeluarkan untuk menangani penyakit ini. Oleh sebab itu, diharapkan para

tenaga medis dapat mengenali gejala-gejala dan tanda-tanda dari pneumonia, menentukan

etiologi dari pneumonia serta mengetahui bagaimana penanganan dari pneumonia sehingga

dapat mencegah terjadinya komplikasi.

BAB II

PNEUMONIA PADA GERIATRI

II.1 Definisi

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia termasuk dalam infeksi

saluran napas bawah akut (ISNBA) dan merupakan ISNBA yang paling sering ditemukan.

Pneumonia ini dapat terjadi secara primer atau merupakan tahap lanjutan manifestasi ISNBA

lainnya misalnya sebagai perluasan bronkiektasis yang terinfeksi. 1,3

Pneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi penularan, yaitu komunitas, rumah sakit

(nosokomial) atau pusat perawatan kesehatan (nursing home). Pneumonia yang berasal dari

pusat perawatan kesehatan tidak dimasukan dalam golongan pneumonia nosokomial karena

pada pusat perawatan kesehatan memiliki penghuni yang bervariasi dimana terdapat penghuni

yang masih berfungsi secara penuh hingga penghuni yang hanya terbaring ditempat tidur. 2

II.2 Epidemiologi

Data dari The National Hospital Discharge Survey di amerika serikat menunjukan

bahwa diantara tahun 1990 hingga 2002 terdapat 21, 4 juta orang berumur lebih dari 65 tahun

dirawat di rumah sakit. 48% dirawat akibat penyakit infeksi dan 46% dari penyakit infeksi

tersebut penyebabnya adalah infeksi saluran napas bawah (ISNB). 2 Kematian yang diakibatkan

oleh ISNB dilaporkan berjumlah 48%. Pneumonia dan influenza terdaftar sebagai urutan ke 6

dari penyebab utama kematian, dan sekitar 70% kasus pneumonia di rumah sakit terjadi pada

lansia. Rata-rata kasus rawat inap akibat pneumonia adalah 23,1 per 1000 pada pria berusia 75-

84 tahun dan 13,3 per 1000 pada perempuan berumur 75-84 tahun. Usia lanjut merupakan

risiko tinggi untuk pneumonia, hal ini juga tergantung pada keadaan pejamu dan berdasarkan

tempat mereka berada. Pada orang-orang yang tinggal di rumah sendiri insidens pneumonia

berkisar antara 25-44 per 1000 orang dan yang tinggal di tempat perawatan 68-114 per 1000

orang. Di rumah sakit pneumonia usia lanjut insidensnya tiga kali lebih besar daripada

penderita usia muda.2,4

Pneumonia komunitas adalah penyebab utama kesakitan dan kematian pada lansia.

Studi epidemiologi telah menunjukan insiden dari pneumonia meningkat bersamaan dengan

bertambahnya umur, dengan risiko enam kali lebih tinggi pada pasien dengan usia ≥ 75 tahun

dibandingkan dengan mereka yang berusia < 60 tahun. Rata-rata angka kematian pada pasien

dengan pneumonia komunitas yang membutuhkan perawatan dirumah sakit adalah sekitar 6-

15%. Sedangkan pasien yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) memiliki

rata-rata angka kematian yang berkisar antara 45-57%. 2,4,5

II.3 Etiologi

Terdapat lebih dari 100 mikroba (bakteri, virus, jamur, protozoa, dan parasit lainnya)

yang dapat menyebabkan pneumonia komunitas. S. Pneumoniae adalah penyebab tersering dari

Pneumonia komunitas pada lansia, dengan presentasi > 50% dari seluruh kasus pneumonia.

Tabel II.1 menunjukan urutan penyebab tersering dari Pneumonia komunitas dan

mengidentifikasi petunjuk yang didapatkan dari anamnesis untuk mendapatkan kemungkinan

organisme penyebab dari pneumonia. 2,6

Tabel 2. 1 2
Most Common Causes of Community-Acquired Pneumoniain the Older Adults

1. S. Pneumoniae
2. C. pneumoniae
3. Enterobacteriaceae
4. L. pneumophila serogroups 1–6
5. Haemophilus influenzae
6. Moraxella catarrhalis
7. S. aureus
8. Influenza A virus
9. Influenza B virus
10. Respiratory syncytial virus
11. Legionella spp.
12. M. tuberculosis
13. HMPV
14. Pneumocystis jiroveci
15. Nontuberculous mycobacteria
16. M. Pneumoniae
17. Hantavirus

Tabel II. 2 2

Clues to the Etiology of Pneumonia

FACTOR POSSIBLE AGENT(S)

Travel

Southeast Asia Burkholderia pseudomallei (melioidosis); M.tuberculosis

M. tuberculosis

Many countries C. immitis

Arizona, parts of California


Occupational History

Health care workers M. tuberculosis, acute HIV seroconversion with pneumonia


(if recent needlestick injury from an HIV positive patient)

Veterinarian, farmer, abattoir worker C. burnetii

Host Factor

Diabetic ketoacidosis S. pneumoniae, S. aureus

Alcoholism S. pneumoniae, Kelbsiella pneumoniae, S. aureus, oral

anaerobes; Acinetobacter spp.

Chronic obstructive lung disease S. pneumoniae, H. influenzae, Moraxella catarrhalis

Solid organ transplant recipient S. pneumoniae, H. influenzae, Legionella spp., P.

jiroveci, (pneumonia occuring >3 mo cytomegalovirus,

Strongyloides stercoralis after transplant)

Sickle cell disease S. pneumoniae

HIV infection and CD4 cell count of S. pneumoniae, P. jirovecii, H. influenzae, Cryptococcus
<200/μL neoformans, M. tuberculosis, Rhodococcus equi

Dementia, stroke, altered level of Aspiration pneumonitis

consciousness

Structural lung disease (bronchiectasis) Pseudomonas aeruginosa


Environmental Factors

Exposure to: contaminated air L. pneumophila or other Legionellaceae

conditioning, cooling towers, hot tub,

recent travel stay in a hotel, exposure to

grocery store mist machine, or visit to, or

recent stay in a hospital with


contaminated

(by Legionellaceae) drinking water Hantavirus

Exposure to: mouse droppings in an


endemicarea C. immitis of endemicity
Pneumonia after windstorm in an area S. pneumoniae, M. tuberculosis
Outbreak of pneumonia in shelter for

homeless men or jail S. pneumoniae, C. pneumoniae, Adenovirus


Outbreak of pneumonia occurs in
military
C. pneumoniae , S. pneumoniae, Respiratory
Training camp
syncytial virus, Influenza A virus; M. tuberculosis
Outbreak of pneumonia in a nursing
home
Francisella tularensis

Histoplasma capsulatum
Pneumonia associated with mowing a
lawn

in an endemic area
C. burnetii
Exposure to bats, excavation or
residence
Sporothrix shenkii
in an endemic area (Ohio and Mississippi
Blastomyces dermatiditis
river valleys)

Exposure to parturient cats in an


endemic

area

Sleeping in a rose garden

Camping, cutting down trees in an


endemic area

II.3.1 Streptococcus Pneumoniae

Streptococcus Pneumoniae adalah penyebab tersering dari Pneumonia komunitas pada

lansia. Lebih dari 50% kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme ini, dan 60%

kasus yang disebabkan oleh S. Pneumoniae ini membutuhkan perawatan di rumah sakit.

Masalah yang dihadapi oleh petugas medis saat ini adalah merawat pasien dengan

pneumonia komunitas yang disebabkan oleh S. Pneumoniae yang sudah resisten terhadap

berbagai macam obat. Apabila pada hasil kultur didapatkan S. Pneumoniae yang resisten

terhadap penicilin (MRSA) maka bakteri tersebut memiliki kemungkinan resisten terhadap

tiga atau lebih kelas obat. Saat ini, 12-25% S. Pneumoniae yang dikultur di amerika utara

telah resisten terhadap penisilin. Di komunitas lain, tingkat resistensi dari penisilin jauh

lebih tinggi. Di amerika serikat dan kanada diperkirakan 20% S. Pneumoniae telah resisten

terhadap eritromisin dan makrolid lainnya.2,3,7

Gambar 2.1 S. Pneumoniae

II.3.2 Chlamydophila pneumoniae

C. pneumoniae sering ditemukan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik

(PPOK). Pada lansia, biasanya mikroorganisme ini bermanifestasi sebagai reaktivasi dari

infeksi sebelumnya, sedangkan pada dewasa muda bakteri ini biasanya sebagai infeksi

primer. Tidak diperlukan pemeriksaan yang sangat spesifik untuk menentukan C.

Pneumoniae sebagai penyebab karena, lebih dari 50% kasus pasien sembuh tanpa

pengobatan yang spesifik untuk C. Pneumoniae. Kejadian luar biasa pada pusat perawatan

kesehatan mungkin disebabkan oleh mikroorganisme ini. 2,3,7

Gambar 2.2 C. pneumoniae

II.3.3 Enterobacteriaceae

Enterobacteriaceae adalah bakteri yang biasa ditemukan pada kultur dari sputum

pasien lansia dengan Pneumonia komunitas. Masalahnya adalah untuk menyingkirkan

apakah Enterobacteriaceae ini sebagai penyebab infeksi atau bukan karena, bakteri ini

adalah flora normal pada saluran nafas atas pada lansia. Pada pasien yang bakteriemik

(biasanya akibat dari pyelonefritis), mungkin disebabkan oleh E. Coli. 2,3,7

II.3.4 Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus jarang menyebabkan pneumonia komunitas, akan tetapi, S.

Aureus diperkirakan menempati urutan ke 3 penyebab tersering dari pneumonia bakteriemic

dan pada pasien dengan pneumonia yang berat, yang membutuhkan perawatan di ICU. S.

Aureus juga merupakan penyebab tersering terjadinya pneumonia pada penghuni pusat

perawatan kesehatan. Apabila dicurigai Pneumonia akibat S. aureus perlu disingkirkan

kemungkinan adanya endokarditis. S. aureus yang resisten terhadap methicillin (MRSA)

dilaporkan pertama kali pada tahun 1961 dan saat ini sudah sering ditemukan, baik pada

pneumonia komunitas maupun nosokomial. Baru-baru ini ditemukan bahwa terdapat MRSA

yang memiliki strains Panton-Valentine leukocidin (PVL). PVL ini dideskripsikan sebagai

faktor virulensi yang berhubungan dengan nekrosis jaringan. 2,3,7

Gambar 2.3 Staphylococcus aureus

II.3.5 Pneumonia aspirasi

Pneumonia aspirasi dibagi menjadi dua klinis berbeda, yaitu : 2,3,7

1. Pneumonitis Aspirasi

Aspirasi dari isi lambung yang biasanya bersifat steril selamaterdapat aam lambung

2. Pneumonia

Aspirasi dari flora di orofaring kedalam paru yang menyebabkan infeksi bakteri.

Dari hasil studi didapatkan adanya peningkatan insiden sebanyak 93,5% diantara tahun 1991

dan 1998. Angka kematian pada pasien dengan pneumonia aspirasi adalah sekitar 23,1%

dibandingkan dengan pneumonia pneumokokus yaitu sekitar 7,6%. Pada pasien lansia

dengan pneumonia, terdapat jumlah insiden yang tinggi dari silent aspiration. 71 % dari

10

Trusted by over 1 million members

Try Scribd FREE for 30 days to access over 125 million titles without
ads or interruptions!

Start Free Trial


Cancel Anytime.

pasien lansia mengalami aspirasi selama tidur. Dan lebih dari 28% pasien dengan alzheimer

dan 51% pada pasien dengan stroke mengalami aspirasi saat menelan. Akan tetapi, bila

dilakukan pemasangan NGT pada pasien yang menunjukan terjadi aspirasi saat menelan

akan meningkatkan insiden dari pneumonia dan kematian dibandingkan dengan mereka

yang tidak memakai NGT. 2,3,7

Akibat dari asam lambung pada pneumonitis kimia dapat menimbulkan kegawatan

sehingga perlu diberikan ventilasi. Terdapat onset yang akut dari dyspnoe, yachypnoe,

bronchospasm, dan sianosis. Foto rontgen dada sering menunjukan adanya bercak difus.

Dari hasil anamnesis dapat ditemukan adanya riwayat dari aspirasi seperti adanya muntah,

batuk ketika makan, dan penggantian NGT, dan hanya sekitar 40% yang menyebabkan

2,3,7
aspirasi pada penghuni pusat perawatan kesehatan.

Pada beberapa keadaan, aspirasi yang berasal dari orofaring dapat terjadi apabila

terdapat riwayat oral hygiene yang buruk dan kemungkinan adanya bakteri anaerob

sehingga dapat menyebabkan abses paru. Dapat juga terjadi aspirasi benda asing yang

mengakibatkan obstruksi mekanis dari jalan napas. 2,3,7

II.4 Patofisiologi

Dalam kondisi normal, cabang tracheobronchial bersifat steril. Saluran nafas memiliki

sederet mekanisme perlindungan untuk mencegah masuknya patogen ke dalam paru, yaitu : 3,7

1. Didalam hidung terdapat concha dan rambut-rambut yang menahan benda asing untuk

masuk ke dlam paru.

2. Epiglottis menutupi trachea dan mencegah sekresi maupun makanan masuk kedalam

trakea.

11

3. Cabang trakeobronkial terdiri atas sel-sel yang mensekresikan musin. Musin ini

mengandung zat antibakterial seperti antibodi IgA, defesins, lisozim, dan laktoferin.

Selain itu musin juga bersifat lengketsehingga bakteri dan benda asing lainnya yang

berhasil melewati epiglottis akan terjebak.

4. Silia yang berada sepanjang dinding trachea dan bronkus bergetar sangat cepat,

berperan sebagai sabuk konveyer yang menggerakan musin keluar.

5. Ketika sejumlah cairan atau benda asing masuk ke dalam trakea, reflek batuk akan

bekerja, dan isi yang tidak diinginkan segera dikeluarkan dari cabang-cabang

trakeobronkial.

6. Apabila patogen dapat melewati seluruh mekanisme perlindungan tersebut dan masuk

ke dalam alveoli, patogen akan berada di ruangan yang pada keadaan normal kering dan

tidak dapat dihuni. Masuknya patogen akan memicu masuknya netrofil dan makrofag

alveolar yang akan memangsa dan membunuh patogen tersebut. Immunoglobulin dan

komplemen dapat ditemukan pada area ini. Surfaktan juga memiliki fungsi

perlindungannya sendiri.

7. Kelenjar getah bening yang berada di alveoli bertugas untuk mengeringkan dan

mengalirkan cairan, makrofag dan limfosit ke kelenjar getah bening mediastinum.

Terdapat tiga rute masuknya patogen ke dalam parenkim paru yaitu, hematogen,

airborne, dan mikroaspirasi. Rute tersering adalah melalui mikroaspirasi. Penyebaran secara

hematogen mungkin disebabkan akibat adanya infeksi saluran kemih pada lansia. Patogen

berupa bakteri biasanya masuk ke dalam paru melalui aspirasi flora di mulut atau melalui

inhalasi droplet kecil (diameter <3 μm) yang dapat dihantarkan melalui udara ke dalam alveoli.

12

Ketika patogen dapat masuk dan bertahan, mulailah timbul respon inflamasi. Respon-respon ini

telah dipelajari dengan sangat teliti pada pneumonia akibat S. pneumoniae. 3, 7

Awalnya, akan terjadi dikeluarkannya sekret dan cairan kedalam alveoli sebagai akibat

reaksi inflamasi, yang dimana cairan tersebut adalah media kultur yang sangat baik bagi bakteri

untuk tumbuh. Saat sekret dan cairan tersebut terakumulasi, cairan tersebut akan menyebar

melalui pori-pori Kohn dan bronkiolus terminalis, menyebabkan terjadinya penyebaran infeksi

3, 7
secara sentrifugal. Batuk dan pergerakan saat respirasi akan membantu penyebaran.

Patogen akan berperan sebagai chemotractant untuk polimononuklear leukosit.

Mediator proinflamasi (TNF-α, IL-1, dan IL-6) akan dibebaskan dari leukosit dan akan

meningkatkan respon inflamasi. Sel darah merah, fibrin dan leukosit akan mengisi alveoli dan

mengakibatkan timbulnya konsolidasi pada paru. Akibat dari respon inflamasi ini maka

timbulah demam, batuk, sputum yang purulen, nyeri otot, dan nyeri sendi. Dan apabila sitokin

pro-inflamasi didalam darah cukup tinggi, maka dapat terjadi syok. Konsolidasi pada paru akan

menyebabkan dispnoe (akibat dari berkurangnya komplians) dan hypoxemia akibat dari

gangguan ventilasi dan perfusi (paru yang mengalami konsolidasi dapat terjadi perfusi akan

tetapi tidak dapat mengalami ventilasi). 2,3,7

Gambar 2.4. a) pertahanan paru terhadap benda asing. b) faktor yang mempengaruhi pertahanan paru

13

II.5 Manifestasi Klinis

Onset gejala dari pneumonia dapat bersifat akut ataupun insidius. Pada tabel dibawah,

ditunjukan frekuensi dari setiap gejala atau tanda dari pneumonia. Pada suatu studi, pada pasien

lansia dengan pneumonia mengeluhkan gejala yang lebih sedikit dibandingkan pada pasien

yang berusia muda. Pada pasien lansia, gejala yang timbul dapat berupa gejala klasik

respiratorius yang distai dengan delirium, kebingungan kronis yang semakin memburuk dan

terjatuh. Selain itu ditemukan angka insiden yang tinggi dari “silent aspiration” pada pasien

lansia dengan pneumonia. Pneumonia dapat menjadi salah satu penyebab penurunan dari

keadaan umum dan atau aktifitas secara insidius atau non-spesifik, misalnya, kebingungan

ataupun ataupun jatuh pada pasien lansia. Infeksi, termasuk pneumonia, harus dipertimbangkan

sebagai salah satu penyebab dari penurunan atau melambatnya penyembuhan dari suatu

penyakit primer pada pasien lansia. 2,3,6,8

Diagnosis dari pneumonia ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik yang memiliki

sensitivitas berkisar 47%-69% dan spesifitas 58%-75%, maka dari itu diagnosis klinis dari

pneumonia harus dikonfirmasikan dengan menggunakan foto rontgen dada. Ronchi, wheezing,

dan tanda-tanda dari konsolidasi (pekak saat dilakukan perkusi, suara nafas bronkial dan

aegophoni) mungkin dapat ditemukan. Tanda yang paling sensitif yang dapat ditemukan pada

pasien lansia adalah peningkatan respiratory rate (yang dihitung dalam 1 menit) dengan

respiratory rate > 28x/menit menandakan pneumonia. Foto rontgen dada dapat sulit dinilai pada

pasien lansia, terutama bila foto dalam posisi AP. Terdapat setidaknya 25% kemungkinan

perbedaan hasil penilaian foto antara ahli radiologi dan dokter yang memeriksa. CT scan dada

sangatlah akurat untuk menentukan diagnosis dari pneumonia, akan tetapi tidak dapat

dilakukan pada seluruh pasien yang diduga mengalami pneumonia. 2,3,6

14

Tabel 2. 3 2,3,6

Frequency of Various Signs and Symptoms—Adults with

Community-Acquired Pneumonia
%
Symptoms and Signs

Respiratory Signs

Cough 85

Dyspnea 75

Sputum production 73

Pleuritic chest pain 57

Hemoptysis 20

Non-Respiratory Signs

Fatigue 90

Fever 82

Anorexia 73

Chills 72

Sweats 70

Headache 50

Myalgia+ 45

Nausea 40

Sore throat 29

Confusion 38

Vomiting 32

Diarrhea 30

Abdominal pain 29

Signs 13
30
Altered mental status*
25
Respiratory rate (≥30/min)
Heart rate (≥125/min)
0.7
Temperature
2

15

<35.0oC
≥40.0oC

5.9
Systolic Blood Pressure, <90 mmHg

II.6 Diagnosis

Ketika dihadapkan dengan kemungkinan Pneumonia, dokter harus memikirkan dua

pertanyaan, yaitu : apakah benar pneumonia dan apakah penyebab dari pneumonia tersebut.

Untuk mendiagnosis pneumonia dapat di jawab berdasarkan manifestasi klinis dan metode

radiografi, akan tetapi untuk menentukan etiologi diperlukan pemeriksaan laboratorium.3,6

II.6.1 Diagnosis Klinis

Differential diagnosis termasuk infeksius dan non-infeksius seperti bronkitis,

eksaserbasi akut dari bronkitis kronis, CHF, dan emboli paru. Anamnesa cukup berperan

penting dalam hal ini. Sebagai contoh, penyakit jantung yang sudah diketahui dapat

diperkirakan sebagai edema paru yang semakin memburuk, petunjuk epidemiologi juga

dapat membantu seperti bepergian ke daerah endemis suatu patogen dapat diwaspadai untuk

penyakit tertentu yang spesifik.3,6

Sayangnya sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan fisik kurang ideal, dengan

rata-rata 58% dan 67%. Akan tetapi foto rontgen dada seringkali diperlukan untuk

membedakan pneumonia dengan penyakit lain.penemuan radiografi juga merupakan salah

satu faktor untuk menentukan tingkat keparahan dari pneumonia. Pada kebanyakan pasien

manifestasi klinis dan pemeriksaan radiologi cukup untuk memastikan diagnosis klinis

pneumonia sebelum dilakukan penanganan untuk pneumonia itu sendiri, dikarenakan

diperlukan waktu yang cukup lama untuk melakukan pemeriksaan laboratorium. 3,6

16

Gambar 2.5 Foto serial Pneumonia

II.6.2 Diagnosis Etiologi

Etiologi dari pneumonia biasanya tidak dapat ditentukan hanya dari manifestasi klinis

saja. Dokter perlu melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mendukung diagnosis

etiologi ini. Keuntungan dari menentukan etiologi dari pneumonia ini adalah untuk

mempersempit penggunaan antibiotik sehingga menurunkan kemungkinan untuk terjadinya

resistensi.3,6

3,6
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah :

a) Pewarnaan Gram dan kultur sputum

Tujuan utama melakukan pewarnaan gram pada sputum adalah untuk memastikan

apakah sampel tersebut cocok untuk dikultur atau tidak. Akan tetapi, pewarnaan

gram mungkin juga dilakukan untuk mengidentifikasi beberapa pathogen seperti S.

pneumonia, S. aureus, dan bakteri gram negatif. Dengan membedakan karakteristik

dari masing-masing patogen. Sputum yang adekuat untuk dikultur harus memiliki

17

>25 netrofil, dan <10 sel epitel squamosa per lapang pandang kecil. Sensitivitas dan

spesifisitas dari pewarnaan gram dan kultur sputum sangat bervariasi. Walaupun

pada kasus telah terbukti pneumonia pneumokokus bakteriemia, kemungkinan untuk

mendapatkan kulur positif dari sputum adalah 50%.

Pada beberapa pasien, terutama lansia, tidak dapat menghasilkan sampel sputum

yang cukup. Beberapa pasien mungkin sudah diberikan antibiotik yang dapat

mengganggu hasil kultur saat spesimen diambil. Ketidakmampuan untuk

memproduksi sputum mungkin disebabkan oleh karena dehidrasi, dan koreksi dari

keadaan ini dapat menyebabkan meningkatnya produksi sputum dan semakin

jelasnya gambaran infiltrate pada foto rontgen. Pada pasien yang dirawat di ICU dan

terintubasi, dapat dilakukan “deep suction aspirate atau “bronchoalveolar lavage

sample” dan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk kultur apabila segera

dikirimkan ke bagian mikrobiologi.

b) Kultur darah

Keberhasilan dari kultur darah, walaupun sampel dikumpulkan sebelum terapi

antibiotic diberikan, sangatlah rendah. Hanya 5-14% dari kultur darah pasien dengan

Pneumonia komunitas yang menunjukan hasil positif, dan pathogen yang paling

sering ditemukan adalah S. pneumonia. Dikarenakan terapi empiric yang

direkomendasikan telah mencakup bakteri pneumokokus, hasil positif dari kultur

darah ini hanya memiliki kegunaan yang sedikit. Pada beberapa pasien dengan risiko

tinggi seperti pasien dengan neutropenia akibat dari pneumonia, asplenia atau

defisiensi komplemen, penyakit hati kronis atau pneumonia komunitas yang berat

sebaiknya dilakukan kultur darah.

18

c) Tes antigen

Dua tes yang saat ini ada dapat mendeteksi antigen pneumokokus dan legionella

dalam urin. Test untuk L. pneumophilla hanya dapat mendeteksi serogroup1 akan

tetapi serogroup ini yang sering menyebabkan pneumonia komunitas. Sensitivitas


dan spesifisitas dari tes antigen urin Legionella sangatlah tinggi, 90% dan 99%. Tes

antigen urine pneumokokus juga cukup sensitive dan spesifik yaitu 80 dan 90%.

Kedua test tersebut dapat mendeteksi antigen walaupun setelah dilakukannya

pemberian terapi antibiotik.

d) PCR

Polymerase Chain Reaction (PCR), yang dimana memperbanyak DNA atau RNA

mikroorganisme, dapat mendeteksi beberapa pathogen, termasuk L. pneumophilla

dan mycobacteria. Sebagai tambahan, multiplex PCR dapat mendeteksi asam nukleat

dari Legionella spp., M. Pneumoniae, dan C. pneumonia. Akan tetapi, penggunaan

dari PCR sangatlah terbatas. pada pasien dengan pneumonia pneumokokus, kenaikan

jumlah bakteri lebih dari normal menandakan meningkatnya risiko dari syok septic,

kebutuhan bantuan ventilasi mekanis, dan kematian. Tes ini dapat juga dihunakan

untuk menentukan apakah pasien membutuhkan perawatan di ICU atau tidak.

e) Serologi

Peningkatan 4 kali lipat dari titer antibodi spesifik IgM antara sampel fase akut dan

konvalsen pada umumnya dipertimbangkan sebagai diagnostik infeksi dengan

patogen yang dipertanyakan. Dahulu kala, tes serologi digunakan untuk

mengidentifikasi patogen atipikal dan organisme yang tidak biasa seperti Coxiella

19

burnetii. Akan tetapi baru-baru ini tes serologi ini sudah tidak digunakan karena

waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil akhir cukup lama.

II.7. Evaluasi

II.7.1 Tempat perawatan

Evaluasi dari pasien dengan pneumonia terdiri dari penentuan tingkat keparahan dari

pneumonia tersebut dan menggunakan hal tersebut untuk memutuskan apakah pasien ini

perlu dipindahkan ke rumah sakit (ke tempat perawatan biasa ataupun ICU) atau tidak.

Beberapa skoring untuk menentukan derajat keparahan dari pneumonia telah

dikembangkan.2,7,9

Table 2. 4 2,7
British Thoracic Society Rule for Severity of Community-Acquired
Pneumonia*
Respiratory rate >30 breaths/min
Diastolic BP <60 mmHg
BUN >7 mm/L
* If 2 or more of the above are present, the pneumonia is severe and patient is likely to require
admission to an ICU.

Sistem skoring yang dikembangkan oleh Fine et al. Memprediksikan angka kematian

akibat pneumonia tersebut. Sistem ini telah digunakan sebagai acuan untuk memutuskan,

yang dimana pasien dengan kelas I-III dapat ditangani dasar ambulatory dan pada pasien

dengan kelas IV-V harus segera dilakukan perawatan di rumah sakit. Akan tetapi pada

kenyataannya sistem ini memiliki beberapa kealahan dan keputusan dari pemeriksa adalah

elemen terpenting untuk menentukan bagaimana pasien dirawat. Sistem yang diterapkan

oleh British Thoracic Society (BTS) merupakan sistem atau acuan termudah dan paling

akurat untuk menentukan tingkat keparahan dari pneumonia. Sistem tersebut telah

dimodifikasi menjadi CURB-65.2,7

20

Trusted by over 1 million members

Try Scribd FREE for 30 days to access over 125 million titles without
ads or interruptions!

Start Free Trial


Cancel Anytime.

Table 2. 5 2,7

CURB-65 Rule

Confusion

Urea >7 mm/L

Respiratory rate >30 breaths/min

Blood pressure: systolic <90 mmHg or diastolic < 60 mmHg

Age >65 yr

*Assign one point for each when present

* Mortality rate:

0 - 0.7%

1 - 3.2%

2 - 3%

3 - 17%

4 - 41.5%

5 - 57%.

II.7.2 Transfer dari Pusat Perawatan Kesehatan ke Rumah Sakit

Beberapa studi telah menyediakan data untuk membantu kita dalam menentukan

keputusan pasien yang perlu dipindahkan dari pusat perawatan kesehatan ke rumah sakit

untuk mendapatkan penanganan dari pneumonia. Pada salah satu studi beberapa keadaan

brikut ini menandakan adanya kegagalan dalam penanganan dari pneumonia pada pusat

perawatan kesehatan, yaitu : 2

• Nadi > 90x/menit

• Suhu > 38 oC

21

• Respiratory rate > 30x/menit

• Dependen terhadap NGT

Apabila tidak ditemukan faktor risiko tersebut maka tingkat kegagalan adalah 11%,

apabila ditemukan ≤ 2 faktor risiko maka tingkat kegagalan mencapai 23% dan apabila ≥ 3

faktor risiko maka tingkat kegagalan mencapai 59%. Pusat perawatan kesehatan biasanya

memiliki fasilitas yang memadai dan tenaga perawat yang cukup untuk menyediakan

perawatan dan penanganan pada pasien yang sakit. Berbagai keputusan yang dibuat harus

berdasarkan ilmu yang sudah ada. The nursing home pneumonia severity of illness score

dan kriteria pada tabel dibawah dapatmembantu memberikan keputusan dalam siapa yang

2,7
harus dipindahkan ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut dan siapa yang tidak.

II.7.3 Perawatan ICU

Sekitar 10% pasien yang dirawat dirumah sakit dengan pneumonia memerlukan

perawatan yang intensif. Dalam subgrup ini angka kematian diperkirakan 3 kali lebih tinggi

dibandingkan angka kematian pada pasien pneumonia yang tidak memerlukan perawatan

intensif. Selain itu pasien dengan pneumonia yang dirawat di ICU biasanya memerlukan

waktu perawatan yang lebih lama dibandingkan dengan pasien yang dirawat di bangsal

biasa. Penentuan untuk memindahkan pasien ke ICU ditentukan berdasarkan tingkat

keparahan dari pneumonia dan sering juga berdasarkan kebutuhan akan mesin ventilator

(>50%), monitoring hemodinamik (30%) dan syok (15%). Umur saja tidak dapat menjadi

2,7
dasar untuk memutuskan pasien ini perlu dipindahkan ke ICU atau tidak.

II.8 Penatalaksanaan

II.8.1 Antibiotik

22

Dikarenakan dokter sulit untuk mengetahui etiologi dari pneumonia sebelum

didapatkan hasil kultur, maka digunakan terapi empirik yang dimana berfungsi mencakup

seluruh patogen yang mungkin menyebabkan pneumonia. Pada seluruh kasus, antibiotik

harus diberikan secepat mungkin. Untuk mencakup patogen atipikal perlu ditambahkan

makrolid atau dengan menggunakan fluoroquinolone yang dimana menunjuka penurunan

angka kematian dibandingkan apabila menggunakan β-lactam. Berikut ini adalah terapi

1,2,6,7
empiris yang dilakukan pada pasien dengan pneumonia.

Tabel 2. 6 2,6,7

Antibiotic Therapy (First and Second Choices) of Pneumonia When Etiology is Unknown

A. Patient to be treated on an ambulatory basis (previously healthy and no use of antimicrobials in the
past 3 months)

1. Macrolide (erythromycin 500 mg q 6h orally × 10 days, clarithromycin 500 mg twice daily orally
× 10 days or azithromycin 500 mg orally once a day then 250 mg once a day orally × 4 days)

2. Doxycycline 100 mg twice daily orally × 10 days. *If risk factors for PRSP or macrolide-resistant
S. pneumoniae are present, consider a fluoroquinolone with enhanced activity against S.
pneumoniae

If chronic obstructive lung disease is present or antibiotics have been administered within the past 3
months.

1. Fluoroquinolone with enhanced activity against S. pneumoniae; e.g., levofloxacin, moxifloxacin,


gatifloxacin. Levofloxacin 750 mg once a day orally or IV. If creatinine clearance <50 mL/min
reduce levofloxacin dose to 250 mg once a day. Moxifloxacin 400 mg once a day orally;
Gatifloxacin 400 mg once a day orally or IV

2. Combination therapy with a β-lactam antibiotic plus a macrolide

B. Patient to be treated in hospital ward

1. Fluoroquinolone with enhanced activity against S. pneumoniae; e.g., levofloxacin, moxifloxacin,


gatifloxacin. Levofloxacin 750 mg once a day IV or orally, If creatinine clearance <50 mL/min
reduce levofloxacin dose to 250 mg once a day. Moxifloxacin 400 mg once a day orally;
Gatifloxacin 400 mg once a day IV or orally

2. Ceftriaxone 1 gm once a day IV or cefotaxime 2 g q 6 h IV plus azithromycin 500 mg once a day

23

IV.

C. Patient to be treated in an ICU

1. Azithromycin 1 gm IV then 500 mg IV once a day plus ceftriaxone 1 gm q12h. IV or cefotaxime


2 gm q6h IV (ceftazidime and an aminoglycoside if Pseudomonas aeruginosa infection is
suspected; piperacillin/tazobactam; imipenem , meropenem, cefipime and ciprofloxacin also have
activity against P. aeruginosa)

2. Fluoroquinolone with enhanced activity against S. pneumoniae (not recommended as first choice
because of lack of clinical trial data in the ICU setting)

If MRSA infection is suspected in any of the above settings add Vancomycin 1 gm q12h IV or
Linezolid 600 mg IV or orally q12h.

D. Patient to be treated in a nursing home

1. Fluoroquinolone with enhanced activity against S. pneumoniae e.g., Levofloxacin 750 mg once a
day orally or Moxifloxacin 400 mg once a day orally or Gatifloxacin 400 mg once a day orally

2. Ceftriaxone 500–1000 mg IM once a day or cefotaxime 500 mg IM q12h plus a macrolide.

E. Aspiration pneumonitis/pneumonia

1. Pneumonitis: history of, or witnessed aspiration of gastric contents and an opacity on chest X-ray

Wait 24 hours—if still symptomatic antibiotic therapy as given below.

2. Pneumonia:

a. Poor dental hygiene and anaerobic infection suspected: metronidazole 500 mg q 12 h orally
(clindamycin could be used but because of increased rate of Clostridium difficile with
clindamycin use of metronidazole is preferred) plus one of the following: levofloxacin 500 mg
once a day orally or moxifloxacin 400 mg once a day orally or gatifloxacin 400 mg once a day
orally or ceftriaxone or cefotaxime.

b. Anaerobic infection not suspected: as above but do not include anaerobic coverage.
* Risk factors for: PRSP—previous use (within 3 months) of β-lactam antibiotics, alcoholism, age <5 yr or
>65 yr, in some areas residence in a nursing home; Macrolide-resistant S. pneumoniae—age <5 yr or
nosocomial acquisition of infection.

Terdapat sebuah kekhawatiran yaitu penggunaan fluoroquinolon secara luas dapat

menimbulkan keadaan resistensi terhadap patogen respiratoar. Untuk itu, CDC

merekomendasikan penggunaan makrolid ataupun doksisiklin sebagai terapi lini pertama

dalam penanganan pneumonia dan penggunaan fluoroquinolon dibatasi hanya pada pasien

24

berusia dewasa yang mengalami kegagalan dalam pengobatan dengan terapi lini pertama.,

timbul reaksi alergi terhadap obat lini pertama dan pada mereka yang tercatat mengalami

infeksi dengan pneumokokus yang resisten terhadap obat-obatan. CDC merekomendasikan

terapi lini pertama untuk pasien dengan pneumonia yang sakit cukup berat dan dirawat di

rumah sakit harus dengan antibiotik β-lactam secara parenteral, yaitu : cefuroxime,

cefotaxime, ceftriaxone atau dengan kombinasi dari ampisilin dan sublactam dan makrolid

seperti eritromisin,azithromisin, atau clarithromisin.2,6

Apabila etiologi sudah dapat ditegakan maka perlu dilakukan pemberian antibiotik yang

sesuai dengan etiologi dari pneumonia tersebut, yaitu : 6,7

a) S. pneumonia

Pada bakteri yang masih sensitif terhadap penisilin, obat pilihan utama adalah

penisilin G ataupun amoxicillin. Selain itu dapat juga digunakan ceftriaxone.

Apabila pasien tidak mengalami perbaikan dalam waktu 48 jam, perlu dipikirkan

kemungkinan bakteri tersebut telah resisten, maka dari itu flouroquinolone untuk

saluran nafas (gatofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin) adalah pilihan utama. Pada

kasus yang dicurigai disertai dengan adanya meningitis, flouroquinolone tidak

direkomendasikan karena golongan ini tidak dapat menembus Blood brain barrier

sehingga pasien ini perlu diberikan vancomycin. Apabila pasien tersebut alergi

terhadap penisilin, dapat diberikan flouroquinolone.6,7

b) Chlamydophilla pneumonia

Tidak terdapat pengobatan khusus untuk bakteri ini. Tetrasiklin dapat diberikan

sebagai pilihan utama. Golongan makrolid dan flouroquinolone juga dapat

diberikan.6,7

25

c) Staphylococcus aureus

Obat pilihan utama pada S. aureus yang masih sensitif terhadap methicilin adalah

nafcillin atau oxacillin intravena dosisi tinggi. Untuk pneumonia MRSA, untuk

menggunakan vancomycin.6,7

d) Pneumonia Aspirasi

Antibiotik yang efektif adalah klindamisin atau penisilin untuk pneumonia aspirasi

karena, kedua obat ini dapat membunuh baik bakteri aerob dan anaerob. Apabila

sudah terbentuk abses paru, klindamisin dipilih sebagai obat utama. Pada aspirasi

nosokomial, penggunaan antibiotik berspektrum luas seperti cephalosporin generasi

ke 3 bersamaan dengan metronidazole sangatlah direkomendasikan. Pilihan

alternative lainnya adalah penisilin semisintetik diberikan bersamaan dengan

lactamase inhibitor (ticarcillin-clavunalate atau piperacillin-tazobactam) atau

carbapenem (imipenem or meropenem) dapat digunakan. Apabila diduga terdapat

aspirasi benda asing, diperlukan bronkoskopi untuk mengeluarkan benda tersebut. 6,7

II.8.2 Perpindahan Penggunaan Obat Intravena Menjadi Obat Oral untuk

Pengobatan Pneumonia

Hasil studi penelitian menunjukan bahwa perpindahan dari penggunaan antibiotik

secara intravena menjadi oral dapat dilakukan apabila Pemeriksaan leukosit mulai kembali

normal, Suhu tubuh normal dengan dua kali pengukuran dengan jarak 16 jam, dan terdapat

perbaikan dari batuk dan sesak nafasnya. Golongan quinolon diserap sangat baik pada

traktus gastrointestinal.2,6

II.8.3 Evaluasi Terapi

26

Yang paling sering digunakan untuk menilai hasil terapi adalah dengan pengukuran

tanda vital,dan pemeriksaan fisik yang berulang. Secara umum, akan sangat jelas terlihat

saat terjadi kegagalan dari terapi yang diberikan. Pada pasien yang terjadi perbaikan klinis,

hanya diperlukan melakukan foto rontgen dada ulang sekali lagi untuk melihat

perbaikannya. Sangatlah penting mengetahui kapan kita harus melakukan foto rontgen ulang

ini. Pada pasien dengan PPOK biasanya terjadi penundaan dalam penyembuhan dari

pneumonia dalam gambaran radiologi. Akan tetapi, apabila dalam 12 minggu tidak terjadi

penyembuhan, maka perlu dilakukan bronkosopi.pada 2% pasien dengan CAP, pneumonia

adalah salah satu manifestasi dari kanker paru. Pada 50% pasien ini, diagnosa dapat

diperkirakan secara radiografi disaat timbulnya gejala. CT scan dada sangat membantu

dalam penanganan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan. Dengan ini dapat

terdeteksi efusi pleura (kemungkinan besar empiema) dan kavitas dini sebelum dapat terlihat

pada rongen thorax biasa. 2,6

II.9 Pencegahan

II.9.1 Vaksin pneumococcus

Sekarang ini terdapat 23-valent capsular polysaccharide vaccine yang dapat digunakan

pada orang dewasa, dengan capsular polysaccharide yang paling sering adalah dari tipe S.

pneumonia. Pada pasien lansia, respon antibodi terhadap vaksin ini kurang baik. akan tetapi,

bukti menunjukan efek yang menguntukan dari vaksin ini. Dosis booster diberikan 5 tahun

setelah dosis pertama.2,6,7

II.9.2 Vaksin Influenza

27

Vaksinasi influenza tahunan pada lansia mengurangi angka perawatan di rumah sakit

untuk pneumonia dan CHF. Imunisasi kepada petugas medis terhadap influenza melindungi

mereka terhadap influenza nosokomial.2,6

II.9.3 Berhenti Merokok

Merokok berhubungan dengan meningkatnya risiko terhadap pneumococcus sebanyak

2 kali lipat. Maka dari itu, berhenti merokok dapat mengurangi kemungkinan terjadinya

pneumonia. Selain itu, terdapt keuntungan lain seperti memperlambat penurunan fungsi paru

6,7,10
yang berhubungan dengan umur, dan mengurangi risiko kanker paru.

II.9.3 Pencegahan Pneumonia Aspirasi

Posisi “chin down” telah diketahui dapat menurukan angka kejadian dari aspirasi, baik

sebelum dan selama menelan. Membersihkan gigi dan gusi setelah makan juga mengurangi

masa laten dari reflex menelan dan meningkatkan substansi P didalam saliva pada pasien

6,10
dengan disfagia yang disebabkan oleh kelainan cerebrovaskular.

II.10 Prognosis

Prognosis dari pneumonia sendiri sangatlah tegantung dari umur pasien, komorbiditas,

dan tempat perawatan pasien. Pada pasien dengan usia muda dan tanpa komorbiditas, akan

cepat pulih dan sembuh total setelah 2 minggu. Pada pasien yang berusia tua dengan kondisi

komorbid akan beberapa minggu lebih lama dalam penyembuhan. 2,11

28

BAB III

KESIMPULAN

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi yang cukup sering terjadi pada

pasien lansia karena berbagai macam faktor risiko yang dimiliki oleh pasien. Pneumonia juga

merupakan penyakit infeksi yang cukup serius dan memiliki anka morbiditas dan mortalitas

yang cukup tinggi. Oleh karena itu, keahlian untuk mendiagnosis dini dan tepat, identifikasi

etiologi dan pemilihan antibiotika yang tepat sangatlah penting guna mencegah terjadinya

kematian pada pasien.

29

Terdapat dua diagnosis yang perlu ditetapkan pada pasien dengan pneumonia, yaitu

diagnosis klinis dan diagnosis etiologi. Diagnosis klinis belum dapat ditegakan secara pasti

hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dari itu diperlukan pemeriksaan

radiologi, sebagai gold standart, untuk mendiagnosis pneumonia ini. Sedangkan untuk

diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan laboratorium, terutama pewarnaan gram, kultur, dan

uji sensitivitas, untuk menemukan mikroorganisme penyebab dari pneumonia tersebut sehingga

dapat dipilih antibiotika yang tepat.

Identifikasi kuman penyebab membutuhkan pemeriksaan biakan kuman dimana

biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan

pengobatan harus segera diberikan. Maka sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas

keluar, diberikan terapi antibiotik secara empiris. Pemberian antibiotik secara empiris dapat

berupa antibiotik golongan makrolid ataupun fluoroquinolone. Setelah keluar hasil uji

kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab diberikan antibiotik yang sesuai. Pada

pemberian antibiotik secara empiris jika terdapat perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika

tidak maka antibiotik diganti sesuai uji kepekaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. A.Sanityoso. Pneumonia. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi Keempat. Balai Penerbit

FKUI, Jakarta, 2007. 964-74.

2. Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME et al. Pneumonia. Hazzard’s Geriatric Medicine

and Gerontology. 6th edition. New York. McGraw-Hill, 2009. 1531-45.

3. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL. Pneumonia. Harrison Principle of Internal Medicine.

18th edition. London: McGraw-Hill, 2011.

30

Trusted by over 1 million members

Try Scribd FREE for 30 days to access over 125 million titles without
ads or interruptions!

Start Free Trial


Cancel Anytime.

4. Niederman MS, McCombs JS, Unger AN, et al. The cost of treating community-

acquired pneumonia. Clin Ther 1998; 20:820–837

5. Kaplan V, Angus DC, Griffin MF, et al. Hospitalized community-acquired pneumonia

in the elderly: age- and sex-related patterns of care and outcome in the United States.

Am J Respir Crit Care Med 2002; 165:766–772

6. Marie TJ, Yoshikawa TT. Community-acquired Pneumonia in Elderly. Am J Respir

Crit Care Med. 2000;31:1066-78

7. Southwick F. Pulmonary Infection. Infcetious Disease a Clinical Short Course. 2 nd ed.

London: McGraw-Hill, 2007.

8. Perry BC. Falls among the elderly: a review of the methods and conclusions of

epidemiologic studies. J Am Geriatr Soc. 1982;30(6):367-371.

9. Jokinen C, Heiskanen L, Juvonen H, et al. Incidence of community-acquired

pneumonia in the population of four municipalities in eastern Finland. Am J Epidemiol

1993; 137:977–988

10. Koivula I, Stenn M, Makela PH. Risk factors for pneumonia in the elderly. Am J Med

1994; 96:313–320

11. Koivula I, Stenn M, Makela PH. Prognosis After Community-Acquired Pneumonia in

the Elderly. Am J Med 1999;159:1550-55

31

Share this document


* + , - .

You might also like

Imobilisasi pada Geriatri dan berbagai


komplikasinya
Sari Mustikaningrum

Penatalaksanaan Penderita Gagal Nafas


Ari Wirantari

Perubahan Fisiologi Pada Lansia


Jufriansyah Juf

Magazines Podcasts Sheet Music

Anatomi Dan Fisiologi Pada Lansia


Dyann Nursingg Queen

Imobilisasi Pada Lansia Dan Berbagai


Komplikasinya
Made Maya Aprilia

geriatri
Muhammad Wachid

56997600 REFERAT Erupsi Obat Alergi


yesio_1

Pneumonia Pada Geriatri


Nanda Rizka

SESAK NAPAS blok respirasi Skenario 3


Widyanisa Dwianasti

Pneumonia Pada Lansia


Salmah Yusuf

Wrap Up Skenario 2 penyakit jantung


koroner pb skenario 2 universitas yarsi
Nindya Primadhita

Jatuh Geriatri
Zarah Alifani Dzulhijjah

Show more

About Support

About Scribd Help / FAQ

Press Accessibility

Our blog Purchase help

Join our team! AdChoices

Contact us Publishers

Invite friends
Social
Gi[s

Scribd for enterprise Instagram

Twitter
Legal
Facebook

Terms Pinterest

Privacy

Copyright

Cookie Preferences

Get our free apps

Books • Audiobooks • Magazines • Podcasts • Sheet Music •

Documents • Snapshots • Directory

Language: English

Copyright © 2021 Scribd Inc.

Related
Home titles Books Audiobooks Documents
/

Anda mungkin juga menyukai