Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

FITRAH MANUSIA BERTUHAN

Disusun guna untuk memenuhi tugas Mata Kuliah

AGAMA
Dosen Pengampu:

SAMWIL, S.Pd.I,,MA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 03
DARNISAH (2105905010117)
ROSA DUWANA (2105905010045)
FERA ANGGRAINI (2105905010080)
SALAMUDIN (2105905010144)
ASMAUL HUSNA (2105905010042)

JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH, ACEH BARAT 2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya
sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan judul
"Fitrah Manusia Bertuhan" tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan
makalah ini.

Kami dengan sepenuh hati menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek lainnya. Maka dari itu,
kami mohon maaf sebesar-besarnya dan dengan lapang dada kami juga membuka pintu bagi para
pembaca yang ingin memberikan saran dan masukan yang konstruktif demi penyempurnaan
makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari penyusunan makalah sederhana ini
bisa bermanfaat bagi para pembaca yang mendalami pendidikan agama islam, lebih dari itu, melalui
makalah ini, kami juga berharap bias berbagi inspirasi kepada para pembaca semuanya.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................2

DAFTAR ISI .................................................................................................................................3

BAB I :

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……………………………………………………………….…....4

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………..4

C. Tujuan……………………………………………………………………………………....5

BAB II : PEMBAHASAN

A. Spiritualitas Sebagai Landasan Kebertuhanan……………………………………………..6

B. Manusia Memerlukan Spiritualitas…………………………………………………….…...7

C. Eksistensi Tuhan dari Pelbagai Perspektif……………………………………………..…...9

D. Epistemologi Manusia dalam Mengimani Tuhan…………………………………............13

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………….….15

B. Saran………………………………………………………………………………………15

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………....…...…..16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia harus memiliki suatu pegangan hidup yang dengannya manusia dapat
mencapai tujuan hidupnya. Sehingga apabila ada sesuatu yang membuat manusia berpaling
bahkan membelok dari tujuannya, maka sesuatu yang dijadikan pegangan akan terus
mengarahkan dan membimbing untuk meraihnya. Sebagai seorang muslim, tujuan hidup ini
tidak hanya semata mencari kebahagiaan di dunia, akan tetapi juga mengharapkan
kebahagiaan di akhirat kelak. Dua kebahagiaan tadi tidak akan terwujud jika tidak adanya
rasa percaya kepada Sang Khaliq. Karena dengan kehendakNyalah, Allah memberikan
petunjuk yang akan menuntun manusia untuk mewujudkan segala yang diharapkan.

Rasa percaya tadi dapat tumbuh dalam diri seseorang dengan cara bermakrifat
kepada Allah. Cara bermakrifat kepada Allah dapat ditempuh dengan dua cara, yakni
berpikir dan menganalisa makhluk Allah dan bermakrifat terhadap nama-nama dan sifat-
sifat Allah. Makrifat kepada Allah merupakan makrifat yang paling agung dan sebagai asas
yang dijadikan standar dalam kehidupan rohani seseorang.

Manusia tidak bisa lepas dari Dzat yang disebut Tuhan, yaitu Dzat yang
mengendalikan roda kehidupan seluruh alam dengan peranan yang mutlak. Tuhan berkuasa
penuh terhadap segala aspek kehidupan manusia. Tuhan itu ada dan tidak dapat dipungkiri
keberadaan-Nya.

Maksud dari fitrah Allah adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan Alah mempunyai
naluri beragama. Hal ini dimulai semenjak manusia sudah mulai dalam kandungan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari spiritualitas sebagai landasan kebertuhanan ?

2. Apa maksud dari manusia memerlukan spiritualitas ?

3. Bagaimanakah eksistensi Tuhan dari pelbagai perspektif ?

4. Bagaimanakah epistemologi manusia dalam mengimani tuhan ?

4
C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari spiritualitas sebagai landasan kebertuhanan.

2. Mengetahui maksud dari manusia memerlukan spiritualitas.

3. Mengetahui eksistensi Tuhan dari pelbagai perspektif.

4. Mengetahui epistemologi manusia dalam mengimani tuhan.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Spiritualitas Sebagai Landasan Kebertuhanan

Secara etimologis Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “spirit” berarti:
semangat, jiwa, sukma, roh. Sedangkan “spiritual” berarti: berhubungan dengan atau bersifat
kejiwaan (rohani, batin). Spritual beratikan adanya keterkaitan antara diri seseorang
terhadap kejiwaan (batin, rohani) yang mempengaruhi dalam setiap kehidupannya.
spiritualitas adalah fitrah yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia, namun tidak semua
manusia memiliki kesadaran dan kecerdasan spiritual. Spritualitas merupakan bagian
esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang.

Dengan adanya spiritual yang menguatkan dalam kepercayaan bertuhan, manusia dapat
memperoleh sebuah petunjuk atau arah sehingga mempermudah dalam menjalankan
kehidupan. Manusia akan memiliki sebuah kepercayaan yang dapat membantunya dalam
menjalankan hidup yang baik sehingga kehidupannya memiliki arah yang benar.

Spiritualitas memberikan arah dan arti pada kehidupan, seperti kebahagiaan. Kebahagiaan
akan terwujud apabila ada ketenangan dan kesejahteraan jiwa, hal tersebut tmembutuhkan
adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar dari dirinya yaitu Tuhan.

Berikut adalah konsep spiritualitas sebagai landasan keber Tuhanan menurut beberapa
ahli:

1. Doe Muntahar (2010) mengartikan bahwa spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga
diri, nilai-nilai, moral, rasa memiliki dan memberi arah pada arti kehidupan.
2. Menurut Zohar, spiritualitas adalah kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia,
yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta sendiri.
3. Menurut Ahmad Suaedy, spiritualitas adalah dorongan bagi seluruh tindakan manusia,
maka spiritualitas baru bisa dikatakan dorongan bagi respons terhadap problem-problem
masyarakat konkret dan kontemporer.
4. Ginanjar (2004) berpendapat spiritualitas merupakan energi dalam diri yang menimbulkan
rasa kedamaian dan kebahagiaan tidak terperi yang senantiasa dirindukan kehadirannya.

6
Setiap manusia di anjurkan untuk melakukan atau menjalankan jiwa kebaikannya untuk
berbuat baik kepada siapapun. Jiwa kebaikan itu dapat di peroleh dengan selalu beribadah
kepada-Nya, memohon ampun, dan meminta pertolongan kepada-Nya. Jiwa keburukan itu
akan muncul apabila melakukan maksiat dan menjalankan larangannya. Melakukan dan
mengamalkan perbuatan baik dapat membantu memperoleh sebuah ketenangan dan
kententraman yang menghasilakn rasa bahagia. Jiwa yang baik dari manusia akan
mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah.

Manusia memiliki fitrah (kesucian jiwa dan rohani) sejak lahir. Sebagaimana yang
diungkapkan Ibnu Katsir bahwa manusia sejaklahir telah membawa tauhid atau paling tidak
ia berkecenderungan untuk meng-Esakan tuhannya, dan terus mencari untuk mecapai tujuan
tersebut. Fitrah inilah yang menjadi landasan manusia untuk landasan kebertuhanan.

B. Manusia Memerlukan Spiritualitas

Pengalaman bertuhan (spriritual) adalah pengalaman yang unik dan autentik. Setiap
orang memiliki pengalaman yang khas dalam hal merasakan kehadiran Tuhan. Pengalaman
bertuhan dapat menjadi bagian yang sangat erat dan mempengaruhi kepribadian seseorang.
Meskipun demikian, dalam kehidupan modern saat ini, orientasi kehidupan yang lebih
menekankan aspek fisik-material telah menjadikan aspek keberagamaan dan spiritualitas
terpojok ke wilayah pinggiran. Modernisasi di segala bidang sebagai akibat dari kemajuan
ilmu dan teknologi melahirkan sikap hidup yang materialistis, hedonis, konsumtif, mekanis,
dan individualistis. Akibatnya, manusia modern banyak kehilangan kehangatan spiritual,
ketenangan, dan kedamaian.

Modernisasi dan globalisasi memiliki lima ciri: 1) munculnya budaya global, 2)


penekanan yang berlebihan terhadap kebebasan manusia dalam bersikap, 3) menguatnya
rasionalisme, 4) orientasi hidup materialistis, dan 5) dominasi si kuat atas si lemah. Dengan
lima ciri di atas, modernisasi dan globalisasi membuat ruang spiritual (spiritual space)
dalam diri kita mengalami krisis yang luar biasa hebat. Kita tidak lagi sempat untuk mengisi
ruang spiritual itu dengan “hal-hal yang baik” dalam hidup kita. Justru sebaliknya, kita lebih
terbiasa mengisinya dengan “hal-hal buruk”, yang menjadikan ekspresi kehidupan kita
tampak ekstrem dan beringas. Hal itu, dengan sendirinya menjadikan hidup kita terpental
jauh ke pinggiran eksistensi diri, yang dalam bahasa teologi keagamaan dinisbatkan dengan
“terpentalnya diri kita dari Tuhan sebagai asal dan orientasi akhir kehidupan kita”.

7
Sayyed Hossein Nasr melihat fenomena hilangnya spiritualitas sebagai
ketercerabutan manusia dari akar tradisi (sesuatu yang sakral / Tuhan) sehingga manusia
hidup di luar eksistensinya. Ketika manusia hidup di luar eksistensinya, maka ia akan
mengalami kehilangan makna hidup dan disorientasi tujuan hidup. Disorientasi tujuan hidup
sering kali membuat manusia modern terjebak pada budaya instan dan jalan pintas untuk
mengejar kesenangan materi dan fisik. Wajar jika kemudian muncul sikap hidup yang
materialistis, hedonis, konsumtif, mekanis, dan individualistis. Persaingan untuk meraup
kesenangan-kesenangan di atas, pada akhirnya menimbulkan benih-benih konflik yang
menimbulkan hilangnya rasa aman dan damai.

Al-Quran memandang manusia sebagai makhluk yang termulia karena ia dibekali


dengan akal budi. Namun, Al-Quran juga memperingatkan umat manusia, bahwa mereka
akan mengalami kejatuhan manakala perilakunya lebih didominasi oleh hawa nafsu.

Sejalan dengan sayyed Hossein Nasr menawarkan terapi spiritual untuk mrnghadapi
problematika modern. Ia menghimbau manusia modern untuk mendalami dan menjalankan
praktik tasawuf sebab tasawuflah yang dapat memberi jawaban terhadap kebutuhan
spiritualitas mereka.

Tasawuf mengandung prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan masa


depan manusia, seperti melakukan instropeksi (muḫāsabah), baik berkaitan dengan
masalahmasalah vertikal maupun horizontal, kemudian meluruskan halhal yang kurang baik.
Prinsip positif lain adalah selalu berzikir (dalam arti yang seluas-luasnya) kepada Allah
Swt., sebagai sumber gerak, sumber kenormatifan, sumber motivasi dan sumber nilai yang
dapat dijadikan acuan hidup.

Di jaman modern ini, semua aspek kehidupan manusia berubah. Manusia cenderung
tidak memercayai agama dan selalu berpikir rasional materialisme. Mereka tidak
mempercayai adanya spirit yang ada pada dirinya, karena hal tersebut secara materi tidak
pernah ada. Deliar Noer memberikan ciri-ciri modern sebagai berikut :
1. Bersifat rasional, yaitu lebih mengutamakan pendapat akal fikiran dari pada pendapat
emosi, sebelum melakukan pekerjaan selalu dipertimbangkan untung ruginya dan
pekerjaan tersebut secara logika dipandang menguntungkan.
2. Berfikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang
bersifat sesaat, tetapi juga selalu melihat dampak sosialnya secara lebih jauh.

3. Menghargai waktu, yaitu selalu melihat waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan
perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
8
4. Bersikap terbuka, yaitu mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan
perbaikan dari manapun.
5. Berfikir objektif, yaitu melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi
masyarakat.
Orang yang memiliki spiritualitas berarti orang yang bertindak sesuai hati nurani.
Dalam konteks individual, ketika seorang mengalami penyakit, kehilangan, galau dan stres,
kekuatan spiritual dapat membantu individu tersebut menuju penyembuhan dan
terpenuhinya tujuan dengan atau melalui pemenuhan kebutuhan spiritual. Dalam konteks
bermasyarakat, spiritualitas berperan dalam meningkatkan rasa solidaritas antar sesama
makhluk sosial, rasa saling membutuhkan dan saling menolong satu samalain merupakan
dorongan dari dalam diri setiap orang.
Ya, agama itu spiritualitas. Dari spiritualitas lahir moralitas dan rahmat (cinta kasih)
bagi alam semesta. Maka, meski boleh jadi bersinggungan dengan politik, ia tidak boleh
dijadikan ideologi, frontfront konflik akan terbuka: baik dengan pengikut agama yang sama
maupun pengikut agama dan kelompok lain. Maka agama perlu dikembalikan ke posisinya
sebagai panduan kegiatan pembersihan hati secara terus-menerus, panduan moral dan
pendorong amal-amal saleh: sebagai rahmat atas semesta alam.
Spiritualitas memberikan ekspresi bahwa ada sesuatu didalam diri kita; yang
berkaitan dengan perasaan, dengan kekuatan yang datang dari dalam diri kita, dengan
mengetahui diri terdalam kita. Spiritualitas merupakan sebuah istilah dimana banyak orang
menginginkannya untuk dapat dimasukan kedalam kehidupan kita. Spiritualitas dapat
merefleksikan nilai seperti memberikan kontribusi kepada umat manusia serta alam semesta.
Peran spiritualitas sangat berperan penting bagi kehidupan kita baik terhadap kehidupan
berkeluarga, beragama bahkan pada kehidupan kerja kita.

Spiritualitas membantu individu dalam menemukan makna dan tujuan dalam hidup
mereka dan lebih menunjukkan nilai personalnya. Nilai personal ini merefleksikan hasrat
untuk membuat perbedaan dan membantu untuk membuat dunia lebAaq ih bermakna.
Maka dari itu, memiliki spiritualitas dikehidupan sehari–hari sangat penting untuk membuat
kita menjadi individu yang utuh dan bermakna.

C. Eksistensi Tuhan dari Pelbagai Perspektif

Dalam khazanah pemikiran umat islam diskusi tentang Tuhan adalah pembiracaan
yang tida pernah tuntas dan selalu menjadi polemik. Itulah sebabnya ilmu yang
membicarakan Tuhan disebut dengan ilmu kalam dan pengkajiannya disebut dengan

9
mustakallimn karena ilmu yang membicarakan kalam selalu diperbicangkan dan
diperdebatkan tanpa kata tuntas.

Tuhan dalam bahasa Indonesia disinyalir dari kata tuan yang mengalami gejala
bahasa paramasual sehingga diberi tembahan bunyi “h” seperti “empas” menjadi “hempas”,
“embus” menjadi “hempus”.

Untuk lebih detail mengulas eksistensi Tuhan dan bagaimana agar dapat merasakan
kehadiran-Nya, berikut akan diuraikan dari pelbagai tinjauan.

 Eksistensi Tuhan dalam Tinjauan Psikologi

Adanya keterbukaan pada Yang Adikodrati adalah fithrah manusia sejak dia lahir ke
dunia (fithrah mukhallaqah). Manusia secara nature dapat merasakan Yang Gaib karena di
dalam dirinya ada unsur spirit. Spirit sering digambarkan dengan jiwa halus yang ditiupkan
oleh Tuhan ke dalam diri manusia. AlQusyairi dalam tafsirnya Lathā`if al-Isyārat
menunjukkan bahwa roh memang lathīfah (jiwa halus).yang ditempatkan Tuhan dalam diri
manusia sebagai potensi untuk membentuk karakter yang terpuji. Roh merupakan semacam
sim card ketuhanan yang dengannya manusia mampu berhubungan dengan Tuhan sebagai
kebenaran sejati (al-ḫaqīqah). Karena adanya roh, manusia mempunyai bakat bertuhan,
artinya roh-lah yang membuat manusia mengenal Tuhan sebagai potensi bawaan lahir.
Dengan adanya roh, manusia mampu merasakan dan meyakini keberadaan Tuhan dan
kehadiran-Nya dalam setiap fenomena di alam semesta ini.

Penjelasan berbeda dikemukakan oleh Andrew Newberg dan Mark Waldman dalam
Gen Iman dalam Otak- Born to Believe. Dalam buku itu, penulis menjelaskan bahwa
manusia dilahirkan tidak membawa kepercayaan khusus kepada Tuhan. Sistem kepercayaan
kita dibangun oleh gagasan-gagasan yang diajarkan secara intens sehingga tertanam secara
neurologis di dalam memori, dan akhirnya dapat mempengaruhi perilaku dan pemikiran kita.
Dengan kata lain, penulis buku ini ingin mengatakan bahwa kebertuhanan adalah hasil
manipulasi pemegang kekuasaan terhadap seorang individu.

Keterbukaan pada Yang Gaib semakin menguat dengan adanya pengalaman


ketidakberdayaan dan pengalaman mistik. Pengalaman ketidakberdayaan adalah pengalaman
hidup yang membuat seseorang merasakan bahwa dirinya memiliki kekurangan dalam
memahami fenomena alam, sosial, budaya, dan psikis. Pendek kata, pengalaman seperti ini
menyadarkan manusia bahwa ada aspek-aspek dari realitas yang dihadapi, yang masih

10
menjadi misteri dan belum dipahaminya. Pengalaman seperti ini disebut dengan pengalaman
eksistensial.

 Eksistensi Tuhan dalam Tinjauan Sosiologi

Sosiologi mempelajari masyarakat umum secara sosiologis, namun dalam ilmu


sosiologi terdapat cabang ilmu yang mempelajari secara khusus masyarakat beragama, yang
di kenal sebagai ilmu Sosiologi Agama. Objek dari penelitian sosiologi agama adalah
masyarakat beragama yang memiliki kelompok-kelompok keagamaan. Seperti misalnya,
kelompok Kristen, Islam, Budha dll. Sosiologi agama memang tidak mempelajari ajaran-
ajaran moral, doktrin, wahyu dari agama agama itu, tetapi hanya mempelajari fenomena-
fenomena yang muncul dari masyarakat yang beragama tersebut. Namun demikian, ajaran-
ajaran moral, doktrin, wahyu dapat dipandang sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi
fenomena-fenomena yang muncul tersebut.

Berbeda dengan perspektif teologis, sosiologi memandang agama tidak berdasarkan


teks keagamaan (baca kitab suci dan sejenisnya), tetapi berdasarkan pengalaman konkret
pada masa kini dan pada masa lampau.

Atas dasar itu kita juga dapat berbicara tentang wahyu sebagai variabel dari
masyarakat yang beragama, meskipun bukan itu yang menjadi titik tolaknya. Lain halnya
dengan perspektif teologi, jika dipandang dari sosiologi, agama tidak dilihat berdasarkan
wahyu yang datang dari atas, tetapi dilihat atas dasar pengalaman konkrit pada masa kini
maupun pada masa lampau. Jadi apa itu agama didasarkan pada pengalaman manusia.

Manusia dalam hidupnya senantiasa bergumul dengan ketidakpastian akan hari esok,
keberuntungan, kesehatan dsb. Manusia juga bergumul dengan ketidakmampuannya yaitu
untuk mencapai apa yang diharapkan, baik yang bersifat sehari-hari maupun yang ideal. Hal
ini disebabkan oleh keterbatasan manusia. ketidakmampuan ini terus dialami baik oleh
manusia primitif maupun modern.

Misalnya, mengapa manusia harus mati, bagaimana menghindari kematian,


bagaimana menghindari bencana alam dsb. Dalam ketidakmampuan ini manusia mencari
pertolongan, juga kepada kekuatan-kekuatan yang ada di luar dunia, yang tidak
kelihatan/supranatural.

11
Dalam pencarian tersebut manusia terus mengalami tahap perkembangan, yaitu
mulai dari tahap anismisme, politeisme dan kemudian monoteisme. Pada tahap animisme
manusia percaya bahwa semua benda memiliki jiwa atau roh yang dapat memberi
pertolongan kepadanya. Sedangkan pada tahap politeisme yang dikenal sebagai tahap yang
lebih tinggi dari tahap animisme, di mana manusia telah mengenal konsep-konsep tentang
tuhan/dewa yang berada di luar sana. Namun tuhan/dewa tersebut banyak jumlahnya. Dan
mereka mulai menyembah tuhantuhan mereka sesuai dengan apa yang mereka yakini
mampu memberi pertolongan kepada mereka. Tahap terakhir adalah monoteisme sebagai
tahap yang tertinggi. Pada tahap ini manusia memiliki konsep tentang tuhan/dewa yang esa,
yang tidak terbagi-bagi dan merupakan sumber segala sesuatu yang mampu menolong dan
menjawab segala keterbatasan-keterbatasannya.

Dalam mencapai hal tersebut di atas (kebahagiaan) manusia melakukan usaha non-
religius selama manusia masih mampu meraih kebahagiaan. Namun, jika usaha ini gagal,
maka manusia melakukan metode lain (animisme-politeismemonoteisme), yaitu dengan
kekuatan yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra, namun yang diyakini ada dan dapat
membantunya. Bahkan keyakinan itu diwujudkan bukan saja pada saat dia mengalami
ketidakmampuan tadi, tetapi juga terus berperan dalam seluruh hidupnya. Yaitu melalui
tahap-tahap tadi. Dan inilah yang disebut agama dalam arti luas.

Dalam perspektif sosiologis, sebuah komunitas akan memberikan porsi yang besar
bagi peran Tuhan dalam mengatur segala aspek kehidupan manakala komunitas tersebut
lebih banyak dikendalikan oleh common sense. Itulah sebabnya di kalangan masyarakat
primitif atau yang masih terbelakang dalam pendidikannya, berbagai hal biasanya
disandarkan kepada kekuatan supranatural tersebut. Penjelasan tentang fenomena alam dan
sosial sering kali dibingkai dalam mitos. Mitos adalah penjelasan tentang sejarah dan
pengalaman kemanusiaan dengan menggunakan kacamata Tuhan (kekuatan transenden).
Pendek kata, dalam masyarakat yang belum maju tingkat pendidikannya, setiap
permasalahan selalu dikaitkan dengan Tuhan

Refleksi dapat terbuka terhadap berbagai sudut pandang mengenai agama,


merupakan modal awal menjadi makhluk religius yang budiman. Memiliki sikap seperti ini
akan membawa kita terus bergerak progresif ke arah pemahaman yang lebih dalam
mengenai agama, bahkan makna Tuhan itu sendiri. Sehingga kehidupan beragama kita
senantiasa mencerahkan, serta mampu membawa kebaikan bagi sesama kita, baik yang
beragama maupun yang tidak beragama sekalipun.

12
 Eksistensi Tuhan dalam Tinjauan Teologi

Dalam perspektif teologis, masalah ketuhanan, kebenaran, dan keberagamaan harus


dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap sakral dan dikultuskan karena dimulai
dari atas (dari Tuhan sendiri melalui wahyu-Nya). Artinya, kesadaran tentang Tuhan, baik-
buruk, cara beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan sendiri. Tuhan
memperkenalkan diriNya, konsep baik-buruk, dan cara beragama kepada manusia melalui
pelbagai pernyataan, baik yang dikenal sebagai pernyataan umum, seperti penciptaan alam
semesta, pemeliharaan alam, penciptaan semua makhluk, maupun pernyataan khusus,
seperti yang kita kenal melalui firman-Nya dalam kitab suci, penampakan diri kepada nabi-
nabi, bahkan melalui inkarnasi menjadi manusia dalam dogma Kristen.

Pernyataan-pernyataan Tuhan ini menjadi dasar keimanan dan keyakinan umat


beragama. Melalui wahyu yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengenal Tuhan; manusia
mengetahui cara beribadah; dan cara memuji dan mengagungkan Tuhan. Misalnya, bangsa
Israel sebagai bangsa beragama dan menyembah hanya satu Tuhan (monoteisme) adalah
suatu bangsa yang mengimani bahwa Tuhan menyatakan diri terlebih dulu dalam kehidupan
mereka. Dalam Perjanjian Lama, Tuhan memanggil Nabi Nuh kemudian Abraham dan
keturunanketurunannya sehingga mereka dapat membentuk suatu bangsa yang beriman dan
beribadah kepada-Nya. Tuhan juga memberi petunjuk mengenai cara untuk menyembah dan
beribadah kepada Tuhan. Kita dapat melihat dalam kitab Imamat misalnya. Semua hal ini
dapat terjadi karena Tuhan yang memulainya. Tanpa inisiatif dari atas (dari Tuhan), manusia
tidak dapat beriman, beribadah, dan beragama

Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan, baikburuk, dan cara


beragama dalam perspektif teologis tidak terjadi atas prakarsa manusia, tetapi terjadi atas
dasar wahyu dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu
menjadi makhluk yang bertuhan dan beribadah kepada-Nya.

D. Epistemologi Manusia dalam Mengimani Tuhan

Mengingat Tuhan adalah Zat Yang Mahatransenden dan Gaib (ghā`ibul ghuyūb),
maka manusia tidak mungkin sepenuhnya dapat mempersepsi hakikat-Nya. Manusia hanya
mampu merespon dan mempersepsi tajalliyāt Tuhan. Dari interaksi antara tajalliyāt Tuhan
dan respon manusia, lahirlah keyakinan tentang Tuhan. Tajalliyāt Tuhan adalah manifestasi-
manifestasi Tuhan di alam semesta yang merupakan bentuk pengikatan, pembatasan, dan
transmutasi yang dilakukan Tuhan agar manusia dapat menangkap sinyal dan gelombang
13
ketuhanan. Dengan demikian, keyakinan adalah persepsi kognitif manusia terhadap
penampakan (tajalliyāt) dari-Nya. Dengan kata lain, meyakini atau memercayai Tuhan
artinya pengikatan dan pembatasan terhadap Wujud Mutlak Tuhan yang gaib dan transenden
yang dilakukan oleh subjek manusia melalui kreasi akalnya, menjadi sebuah ide, gagasan,
dan konsep tentang Tuhan.

Berbicara tentang keimanan, maka ia memiliki dua aspek, yaitu keyakinan dan
indikator praktis. Apabila mengacu pada penjelasan di atas, keyakinan dapat dimaknai
sebagai pembenaran terhadap suatu konsep (dalam hal ini konsep tentang Tuhan) sehingga
ia menjadi aturan dalam hati yang menunjukkan hukum sebab akibat, identitas diri, dan
memengaruhi penilaian terhadap segala sesuatu, serta dijalankan dengan penuh komitmen.
Adapun indikator praktis keimanan dapat ditengarai dari sikap dan perilaku yang dilakukan
manusia. Orang yang memiliki keimananan kepada Allah harus dibuktikan dengan amal
saleh, yang menjadi indikator praktis tentang iman tersebut. Indikator keimanan yang praktis
dan terukur inilah yang bisa dijadikan patokan bagi seseorang untuk menilai orang lain,
apakah ia termasuk orang baik atau tidak baik. Nabi mengisyaratkan bahwa indikator
keimanan minimal ada 73, dari yang paling sederhana seperti menyingkirkan duri di jalan
umum sampai indikator yang abstrak seperti lebih mencintai Allah dan rasul-Nya daripada
yang lain.

14
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan data, dapat saya simpulkan bahwa Manusia sudah menjadi fitrahnya untuk
bertuhan karena spritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan
kesejahteraan seseorang. beratikan adanya keterkaitan antara diri seseorang terhadap
kejiwaan, Dengan adanya spiritual yang menguatkan dalam kepercayaan bertuhan, manusia
dapat memperoleh sebuah petunjuk atau arah sehingga mempermudah dalam menjalankan
kehidupan.

Spiritualitas memberikan arah dan arti pada kehidupan, seperti kebahagiaan.


Kebahagiaan akan terwujud apabila ada ketenangan dan kesejahteraan jiwa, hal tersebut
tmembutuhkan adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar dari dirinya yaitu Tuhan.

Orang yang memiliki spiritualitas berarti orang yang bertindak sesuai hati nurani. Dalam
konteks individual, ketika seorang mengalami penyakit, kehilangan, galau dan stres,
kekuatan spiritual dapat membantu individu tersebut menuju penyembuhan dan
terpenuhinya tujuan dengan atau melalui pemenuhan kebutuhan spiritual. Dalam konteks
bermasyarakat, spiritualitas berperan dalam meningkatkan rasa solidaritas antar sesama
makhluk sosial, rasa saling membutuhkan dan saling menolong satu samalain merupakan
dorongan dari dalam diri setiap orang.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.

15
DAFTAR PUSTAKA

Hossein, Nasr seyyed. 1994. Menjelajah dunia modern : Bimbingan Untuk Generasi Muda Muslim :

Bandung:Mizan..

Mubarok, Achmad. 2002. Pendakian Menuju Allah. Jakarta: Khasanah Baru

Sauq, Achmad. 2010. Meraih Kedamaian Hidup Kisah Spiritualitas Orang Modern.

Yogyakarta: Sukses Offset

Sukidi. 2002. Kecerdasan Spiritual. Jakarta: Gramedia

16
17

Anda mungkin juga menyukai