Anda di halaman 1dari 57

 

‐ REMAKING FOR BETTER FUTURE ‐


KAJIAN PENGELOLAAN DAN MITIGASI
UTANG PEMERINTAH

DITAMA REVBANG PKN


DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
TAHUN 2021   
 
LEMBAR PENGESAHAN

1 Judul : Kajian Pengelolaan dan Mitigasi Utang Pemerintah


1. 2 Ringkasan Isi : Kajian ini memberikan pandangan (insight) dengan memanfaatkan
hasil pemeriksaan dan pembelajaran di masa lalu, serta mencermati
skenario masa depan untuk menentukan strategi pengelolaan utang
Pemerintah, termasuk menilai risiko dan menyiapkan mitigasi
risiko utang Pemerintah. Pokok masalah yang menjadi fokus dalam
kajian ini adalah risiko dan tantangan utama dalam pengelolaan
utang Pemerintah, serta dalam pengelolaan penerimaan, belanja,
dan pembiayaan Pemerintah. Isu utama terkait risiko pengelolaan
utang Pemerintah meliputi: (1) indikator kesinambungan fiskal
yang telah melampaui batas yang direkomendasikan; (2) biaya
utang SBN yang tinggi; (3) risiko kontinjensi utang Pemerintah; (4)
pengelolaan utang dalam kerangka asset and liability management;
(5) pemanfaatan utang Pemerintah.
Analisis pada kajian ini didasarkan atas studi literatur dan diskusi
dengan para pemangku kepentingan serta pakar (expert) di bidang
fiskal dan pengelolaan utang Pemerintah. Studi literatur mencakup:
(1) hasil pemeriksaan dan review BPK yang terkait; (2) hasil
pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan; (3) hasil foresight
BPK; (4) literatur ilmiah yang relevan. Sementara diskusi dengan
pakar (expert) meliputi pihak internal maupun eksternal BPK
2. 3 Penanggung Jawab : Emmy Mutiarini
4 Wakil Penanggung : Fauzan Yudo Wibowo
Jawab
5 Ketua Tim : Sandra Willia Gusman
3. 6 Anggota : 1. Eko Prastiyo
4. 2. Netty Intan Kumalasari
5. 3. Martina Rosmawati
6. 4. Tince Dameria
7. 5. Ahmad Nurdi Putranto
8. 6. Yusup Suryadi
9. 7 Dasar Penugasan : RKSP Dukungan Kegiatan Litbang Pemeriksaan Kinerja
10. 8 Waktu Pelaksanaan : September - Desember 2021
11. 9 Tempat Pelaksanaan : Jakarta

i
Jakarta, Desember 2021
Kepala Direktorat Litbang, Kepala Sub Direktorat Litbang
Pemeriksaan Kinerja

Emmy Mutiarini Fauzan Yudo Wibowo


197109281997032004 197710021999111001

Mengesahkan,
Kepala Ditama Revbang PKN

B. Dwita Pradana
196709061989031003

ii
RINGKASAN EKSEKUTIF

Utang Pemerintah adalah sebuah instrumen fiskal yang harus dikelola secara hati-hati (prudent) dan
akuntabel untuk menjamin kesinambungan fiskal. Selama sepuluh tahun terakhir utang Pemerintah
terus mengalami peningkatan, dengan persentase yang lebih tinggi daripada peningkatan
penerimaan perpajakan dan pertumbuhan PDB. Peningkatan utang yang sangat signifikan pada
tahun 2020 - ketika terjadi pandemi COVID-19 – harus diwaspadai karena dapat memunculkan risiko
terganggunya ruang fiskal.

Hasil Reviu atas Kesinambungan Fiskal Tahun 2020 yang dilakukan oleh BPK mengungkapkan
beberapa indikator pengelolaan utang Pemerintah yang makin rentan dan indikator kesinambungan
fiskal yang melampaui rekomendasi ISSAI 5411 tentang Debt Indicators. Hasil pemeriksaan dan reviu
BPK mengenai pengelolaan utang Pemerintah (yang bersifat oversight) menunjukkan sejumlah
temuan dan peluang perbaikan dalam pengelolaan dan akuntabilitas utang Pemerintah. Selanjutnya
hasil foresight BPK yang berjudul “Membangun Kembali Indonesia dari COVID-19: Skenario, Peluang,
dan Tantangan Pemerintah yang Tangguh” menyajikan beberapa skenario masa depan Indonesia
paska pandemi COVID-19, salah satunya dalam konteks pengelolaan utang Pemerintah.

Kajian ini memberikan pandangan (insight) dengan memanfaatkan hasil pemeriksaan dan
pembelajaran di masa lalu, serta mencermati skenario masa depan untuk menentukan strategi
pengelolaan utang Pemerintah, termasuk menilai risiko dan menyiapkan mitigasi risiko utang
Pemerintah. Pokok masalah yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah risiko dan tantangan utama
dalam pengelolaan utang Pemerintah, serta dalam pengelolaan penerimaan, belanja, dan
pembiayaan Pemerintah. Isu utama terkait risiko pengelolaan utang Pemerintah meliputi: (1)
indikator kesinambungan fiskal yang telah melampaui batas yang direkomendasikan; (2) biaya utang
SBN yang tinggi; (3) risiko kontinjensi utang Pemerintah; (4) pengelolaan utang dalam kerangka
asset and liability management; (5) pemanfaatan utang Pemerintah.

Kajian ini meyimpulkan beberapa risiko dan tantangan utama dalam pengelolaan utang Pemerintah,
serta dalam pengelolaan penerimaan, belanja, dan pembiayaan Pemerintah yang perlu dimitigasi
agar tidak berdampak buruk pada kesinambungan fiskal Pemerintah. Risiko dan tantangan tersebut
meliputi: (1) beberapa indikator pengelolaan utang Pemerintah yang makin rentan dan melampaui
batasan internasional; (2) biaya utang yang tinggi sehingga memerlukan pengembangan dan
pendalaman pasar keuangan; (3) pengelolaan utang Pemerintah dalam kerangka ALM belum
optimal; (4) kewajiban kontinjensi pemerintah dapat berdampak pada kesinambungan fiskal

iii
pemerintah; (5) peningkatan utang tidak dibarengi dengan peningkatan rasio pajak; (6) belum ada
definisi dan indikator belanja pemerintah yang produktif; (7) risiko pengelolaan dan akuntabilitas
belanja PC-PEN; (8) PMN kepada BUMN yang jumlahnya meningkat di masa pandemi namun nilai
ICOR masih tinggi; (9) tantangan dalam pengelolaan sovereign wealth fund.

Berdasarkan risiko dan tantangan utama yang telah teridentifikasi, kajian ini memberikan usulan
beberapa tindakan mitigasi risiko yang perlu dilakukan. Pertama, mitigasi risiko tingkat bunga, nilai
tukar, dan pembiayaan kembali (refinancing), dimana ketiganya merupakan faktor risiko utama
dalam pengelolaan utang Pemerintah. Kedua, mitigasi risiko pengelolaan utang Pemerintah,
diantaranya melalui: (1) pengembangan dan pendalaman pasar SBN; (2) peningkatan koordinasi
formal antara otoritas fiskal dan otoritas moneter dalam kerangka makro assets and liabilities
management; (3) optimalisasi pemanfaatan sumber pembiayaan lain seperti Saldo Anggaran Lebih
dan idle cash dari Badan Layanan Umum. Ketiga, mitigasi risiko kewajiban kontinjensi yang meliputi:
(1) Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha; (2) kewajiban pembayaran pensiun Pemerintah; (3)
tuntutan hukum kepada Pemerintah. Keempat, mitigasi risiko penerimaan negara terutama melalui
optimalisasi sumber penerimaan negara khususnya penerimaan perpajakan untuk meningkatkan
tax ratio. Kelima, mitigasi risiko belanja negara melalui: (1) perbaikan kualitas belanja Pemerintah;
(2) perbaikan tata kelola, akuntabilitas, dan efektivitas program PC-PEN. Keenam, mitigasi risiko
pembiayaan investasi dengan membangun struktur tata kelola LPI yang komprehensif, penetapan
target kinerja LPI yang jelas dan terukur, serta pembentukan struktur permodalan SWF yang kuat.

iv
DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF ....................................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ...................................................................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................. 1
B. Tujuan dan Pokok Masalah ......................................................................................................... 4
C. Metode Penyusunan Kajian ......................................................................................................... 4
BAB II GAMBARAN UMUM DAN STRATEGI PENGELOLAAN UTANG PEMERINTAH ........................ 5
A. Gambaran Umum Utang Pemerintah ......................................................................................... 5
B. Strategi Pengelolaan Utang Pemerintah .................................................................................... 7
BAB III RISIKO DAN TANTANGAN PENGELOLAAN UTANG PEMERINTAH DAN DEFISIT APBN 13
A. Risiko dan Tantangan Pengelolaan Utang Pemerintah ........................................................... 13
B. Risiko dan Tantangan Pengelolaan Defisit APBN .................................................................... 31
BAB IV PENUTUP................................................................................................................................................. 42
A. Kesimpulan ................................................................................................................................. 42
B. Rekomendasi .............................................................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................................. 49

v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Utang Pemerintah per 31 Desember 2020.................................................................................................... 5
Tabel 2.2. Rasio Utang Pemerintah Negara ASEAN Tahun 2019 dan 2020 ....................................................... 6
Tabel 2.3. Rasio Utang Pemerintah Negara G20 Tahun 2019 dan 2020 .............................................................. 7
Tabel 2.4. Perkembangan Outstanding dan Indikator Risiko Utang Pemerintah Pusat Tahun 2017
s.d. Juni 2021 .....................................................................................................................................................................................12
Tabel 3.1. Perbandingan Imbal Hasil Obligasi Negara Tenor 10 Tahun di Kawasan ASEAN ..................17
Tabel 3.2. Kewajiban Kontinjensi Pemerintah Pusat 2016 – 2020.......................................................................24
Tabel 3.3. Perbandingan Postur APBN Tahun 2020, 2021, dan 2022.................................................................31
Tabel 3.4. Rasio Pajak/PDB Negara ASEAN Tahun 2015 s.d. 2019 ......................................................................32
Tabel 3.5. Rasio Pajak/PDB Negara G20 Tahun 2015 s.d. 2019.............................................................................33
Tabel 3.6. Tren Keseimbangan Primer Pemerintah Pusat ........................................................................................35

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Scenario Framework ‘Memetakan Empat Kondisi yang Mungkin Terjadi di Masa Depan’
.................................................................................................................................................................................................................... 2
Gambar 2.1. Tren dan Fluktuasi Utang, Penerimaan Pajak dan PDB Tahun 2011-2020 ............................ 6
Gambar 2.2. Kebijakan Umum Pengelolaan Utang serta Kebijakan Pengelolaan SBN dan Pinjaman
Tahun 2024 - 2025........................................................................................................................................................................... 9
Gambar 2.3. Target Kuantitatif Kinerja Utang Pemerintah Tahun 2022 – 2025 dalam SPUNJM Tahun
2022 – 2025 .......................................................................................................................................................................................10
Gambar 3.1. Fluktuasi Utang, Penerimaan Pajak, dan PDB Tahun 2011-2020 ..............................................13
Gambar 3.2. Tren Belanja Pemerintah Tahun 2011-2020 ........................................................................................15
Gambar 3.3. Tren Imbal Hasil SBN Tenor 10 Tahun Selama Tahun 2016-2021 ...........................................17
Gambar 3.4. Tren Kepemilikan SBN Domestik Tradable Tahun 2016-2021 ...................................................18
Gambar 3.5. Rasio Aset Industri terhadap PDB Nominal (a.o. 2020 kec. Dinyatakan lain) .....................21
Gambar 3.6. Belanja Pensiun dalam APBN 2015-2020...............................................................................................31
Gambar 3.7. Tren Belanja Pemerintah Tahun 2011-2020 ........................................................................................35
Gambar 3.8. Tren SILPA Tahun 2010 - 2020 ....................................................................................................................36

vi
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Utang merupakan instrumen fiskal yang digunakan untuk memenuhi defisit anggaran sebagai
konsekuensi dari kebijakan fiskal ekspansif suatu negara, seperti halnya Pemerintah Indonesia.
Utang Pemerintah harus dikelola secara hati-hati (prudent) dan akuntabel untuk menjamin
kesinambungan fiskal. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah menetapkan fiscal
rules pengelolaan utang Pemerintah, yaitu defisit APBN dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik
Bruto (PDB) dan jumlah utang dibatasi maksimal 60% dari PDB.

Nilai utang Pemerintah pada tahun 2020 sebesar Rp 6.079,99 triliun atau 38,48% dari PDB. Selama
sepuluh tahun terakhir, utang Pemerintah terus mengalami peningkatan. Persentase peningkatan
utang Pemerintah ini lebih tinggi daripada peningkatan penerimaan perpajakan dan pertumbuhan
PDB sehingga berisiko menurunkan ruang fiskal di masa depan.

Sementara itu, merujuk pada hasil reviu kesinambungan fiskal yang dilakukan oleh BPK, beberapa
indikator kerentanan utang pada tahun 2020 menunjukkan kondisi yang perlu diwaspadai karena
telah melampaui rekomendasi International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR)
yaitu: (1) rasio debt service terhadap penerimaan; (2) rasio pembayaran bunga terhadap
penerimaan, dan; (3) rasio utang terhadap penerimaan. Begitu juga indikator kesinambungan fiskal
telah melampaui rekomendasi debt indicators yang dinyatakan dalam ISSAI 5411 tentang Indikator
Utang (Debt Indicators). Peningkatan jumlah utang dan angka indikator pengelolaan utang tersebut
menurunkan ruang fiskal dan menimbulkan risiko kesinambungan fiskal jangka panjang.

Pandemi COVID-19 memberikan tekanan pada kondisi fiskal Pemerintah. Di satu sisi Pemerintah
membutuhkan dana besar untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional, di sisi lain
penurunan aktivitas ekonomi berdampak pada menurunnya penerimaan pajak. Beban fiskal tersebut
mendorong Pemerintah melakukan relaksasi dalam pelaksanaan ABPN. UU Nomor 2 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan memberikan
wewenang kepada Pemerintah dan institusi terkait untuk melaksanakan tindakan extraordinary,
termasuk memperkenankan pelebaran defisit APBN melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun
2022. Pelebaran defisit ini berdampak pada penambahan jumlah utang Pemerintah, yang kemudian
harus diwaspadai juga dampaknya pada kesinambungan fiskal Pemerintah.

1
Hasil pemeriksaan dan reviu BPK (yang bersifat oversight) mengenai pengelolaan utang Pemerintah
menunjukkan sejumlah temuan, peluang perbaikan, serta memberikan rekomendasi dalam rangka
perbaikan pengelolaan dan akuntabilitas utang pemerintah. Selanjutnya foresight yang dilakukan
BPK untuk membangun kembali Indonesia pasca COVID-19 di tengah ketidakpastian yang tinggi
menghasilkan empat skenario kondisi keuangan negara yang masing-masing berimplikasi pada
kondisi utang Pemerintah beserta peluang dan tantangannya. Hasil foresight BPK “Membangun
Kembali Indonesia dari COVID-19: Skenario, Peluang, dan Tantangan Pemerintah yang Tangguh”
(2021) memberikan gambaran kemungkinan masa depan Indonesia pasca pandemi COVID-19, salah
satunya di sektor keuangan termasuk utang Pemerintah.

Gambar 1.1. Scenario Framework ‘Memetakan Empat Kondisi yang Mungkin Terjadi di Masa Depan’

Sumber: BPK RI. Pendapat (Strategic Foresight) BPK “Membangun Kembali


Indonesia dari COVID-19: Skenario, Peluang, dan Tantangan Pemerintah
yang Tangguh”.2021.

Skenario 1: Kandas Telantar Surutnya Pesisir – Skenario 2: Berlayar Menaklukkan Samudra


Respons Pemerintah kurang efektif dan pandemi Respons Pemerintah efektif dan pandemi
mereda. mereda.
 Penerimaan pajak dan pengelolaan utang kurag  Laju penerimaan negara lebih besar daripada
efektif sehingga pembiayaan program strategis penarikan utang sehingga kesinambungan fiskal
terhambat. di tahun 2026 terjaga.
 Defisit APBN berada pada ambang batas yang  Kualitas belanja Pemerintah membaik dan
diatur. pemanfaatan utang digunakan untuk kegiatan
produktif yang tepat sasaran.

2
 Pemulihan ekonomi nasional berjalan lamban  Peningkatan utang Pemerintah sejalan dengan
bahkan cenderung stagnan. Kondisi ini kemampuan Pemerintah untuk membayar utang,
menyebabkan bertambahnya pembiayaan bunga utang, dan cicilan pokok utang setiap
melalui utang yang signifikan. tahunnya.
 Rasio utang mencapai 49-51% dari PDB dan
pendapatan negara berkurang sehingga ruang
fiskal menjadi terbatas.
 Ketidaksinkronan antara pertumbuhan utang dan
bunga utang dengan pertumbuhan PDB dan
penerimaan perpajakan memunculkan
kekhawatiran terhadap kemampuan Pemerintah
untuk membayar utang dan biaya utang
(solvency).
 Akibatnya, Pemerintah terpaksa menawarkan
bunga tinggi untuk menarik minat pasar dalam
pembelian surat berharga negara.

Skenario 3: Tercerai-berai terhempas di lautan Skenario 4: Mengarung di tengah badai, respons


Respons Pemerintah kurang efektif dan pandemi Pemerintah efektif dan pandemi memburuk.
memburuk.  Kesinambungan fiskal dapat dipertahankan di
 Defisit APBN masih berada di atas 3% dari PDB tahun 2026.
karena penerimaan pajak tidak optimal, belanja  Tingkat utang Pemerintah walaupun meningkat,
Pemerintah kurang berkualitas. tetap dapat terjaga untuk keberlanjutan fiskal
 Utang Pemerintah dan debt service ratio jangka panjang dan berhasil digunakan secara
meningkat. Terjadi kelumpuhan di semua sektor tepat dalam penanganan pandemi dan
perekonomian. Pembiayaan utang melalui Surat mendorong pemulihan ekonomi.
Berharga Negara (SBN) yang dibeli oleh Bank  Pemerintah dengan sangat terpaksa mengajukan
Indonesia meningkat secara tidak terkendali. penjadwalan sebagian dari utang yang jatuh
tempo.

Di tengah ketidakpastian dan kompleksitas yang tinggi, Pemerintah harus mempersiapkan skenario,
mengantisipasi risiko, dan mencermati peluang dari masing-masing skenario tersebut, khususnya
dalam konteks pengelolaan utang Pemerintah. Kajian ini memberikan pandangan (insight) dengan
memanfaatkan hasil pemeriksaan dan pembelajaran di masa lalu, serta mencermati skenario atau
kemungkinan di masa depan untuk menentukan strategi pengelolaan utang Pemerintah, termasuk
menilai risiko dan menyiapkan mitigasi risiko utang Pemerintah.

3
B. Tujuan dan Pokok Masalah

Pokok masalah yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah risiko dan tantangan utama dalam
pengelolaan utang Pemerintah adalah sebagai berikut:

1. Risiko dan tantangan pengelolaan utang Pemerintah, yaitu:


a. Indikator kesinambungan fiskal yang telah melampaui batas yang direkomendasikan
b. Biaya utang SBN yang tinggi memerlukan pengembangan dan pendalaman pasar keuangan.
c. Risiko pembiayaan dengan skema KPBU.
d. Sinergi otoritas fiskal dan moneter dalam pengelolaan utang Pemerintah.
e. Tidak optimalnya pemanfaatan utang Pemerintah.
f. Risiko kontinjensi utang Pemerintah.

2. Risiko dan tantangan pengelolaan defisit APBN (penerimaan, belanja, dan pembiayaan
pemerintah) yang berdampak pada peningkatan jumlah utang Pemerintah.

C. Metode Penyusunan Kajian

Metode penyusunan kajian meliputi studi literatur dan diskusi dengan para pemangku kepentingan
serta pakar (expert) di bidang fiskal dan pengelolaan utang Pemerintah. Studi literatur mencakup:
(1) hasil pemeriksaan dan review BPK yang terkait; (2) hasil pemantauan tindak lanjut hasil
pemeriksaan; (3) hasil foresight BPK; (4) literatur ilmiah yang relevan.

Sementara diskusi dengan pakar (expert) meliputi pihak internal maupun eksternal BPK. Diskusi
dengan pihak internal BPK dilakukan dengan para pemeriksa di lingkungan AKN II, sedangkan
diskusi dengan pihak eksternal dilakukan dengan:

1) Kementerian/Lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan fiskal dan utang


Pemerintah, yaitu: (a) Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan; (b) Ditjen Pengelolaan
Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan; (c) Kementerian PPN/Bappenas;

2) International Monetary Fund (IMF).

4
BAB II GAMBARAN UMUM DAN STRATEGI PENGELOLAAN UTANG
PEMERINTAH

A. Gambaran Umum Utang Pemerintah

Nilai utang Pemerintah dan tren selama 10 tahun terakhir

Nilai outstanding utang Pemerintah per 31 Desember 2020 sebesar Rp 6.079,99 triliun, terdiri dari
pinjaman (luar negeri dan dalam negeri) serta Surat Berharga Negara (berdenominasi valas maupun
rupiah), dengan komposisi sebagai berikut:

Tabel 2.1. Utang Pemerintah per 31 Desember 2020


(dalam triliun rupiah)
1. Pinjaman / Loans 858,31
a. Pinjaman Luar Negeri / External Loan 845,78
b. Pinjaman Dalam Negeri / Domestic Loan 12,53
2. Surat Berharga Negara / Securities 5.221,68
a. Denominasi Valas / Foreign Currency 1.196,07
b. Denominasi Rupiah / Local Currency 4.025,61
Total Utang Pemerintah Pusat 6.079,99
Sumber: LKPP Tahun 2020 Audited.

Selama sepuluh tahun terakhir, utang Pemerintah terus mengalami peningkatan. Penerimaan pajak
dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) juga terus meningkat namun tidak sebesar laju
peningkatan utang. Pada tahun 2020, ketika terjadi pandemi COVID-19, terjadi penurunan
penerimaan perpajakan dan PDB, namun utang mengalami peningkatan signifikan yaitu sebesar
Rp6.079,99 triliun atau 38,48% dari PDB, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1. Hal ini terjadi
karena Pemerintah menerapkan kebijakan countercyclical di masa pandemi, yaitu meningkatkan
belanja untuk penanganan pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional, dan di waktu yang
bersamaan terjadi penurunan penerimaan pajak karena perlambatan pertumbuhan ekonomi.

5
Gambar 2.1. Tren dan Fluktuasi Utang, Penerimaan Pajak dan PDB Tahun 2011-2020

18.000,00

16.000,00

14.000,00

12.000,00
Triliun Rupiah

10.000,00

8.000,00

6.000,00

4.000,00

2.000,00

0,00
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Utang Pemerintah Pusat 1.808,95 1.977,71 2.375,50 2.608,78 3.165,13 3.511,13 3.994,29 4.466,20 4.786,58 6.080,08
Penerimaan Pajak 873,87 980,52 1.077,31 1.146,87 1.240,42 1.284,97 1.343,53 1.518,79 1.546,14 1.285,14
PDB Harga Berlaku 7.419,19 8.615,70 9.546,13 10.569,71 11.531,72 12.406,81 13.588,80 14.837,40 15.833,90 15.434,20

Utang Pemerintah Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain

Dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN, pada tahun 2019 dan 2020 rasio utang
Pemerintah Indonesia terhadap PDB relatif rendah, yaitu urutan ketiga terkecil diantara semua
negara ASEAN, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Rasio Utang Pemerintah Negara ASEAN Tahun 2019 dan 2020

2019 2020
Negara Peringkat Utang/ Peringkat Utang/
(rendah ke tinggi) PDB (rendah ke tinggi) PDB
Brunei Darussalam 1 2,57 1 3,2
Kamboja 2 28,61 2 31,47
Indonesia 3 30,49 3 38,48
Philiphina 4 36,97 6 48,86
Myanmar 5 38,84 4 42.37
Thailand 6 41,09 7 50,45
VietNam 7 43,36 5 46,62
Malaysia 8 57,24 8 67,58
Laos 9 62,64 9 70,94
Singapura 10 130,02 10 131,19
Rata - rata 47,183 54,11
Sumber: http://www.GFMAG.com

6
Demikian juga dibandingkan negara-negara anggota G20, tingkat utang Pemerintah Indonesia
terhadap PDB relatif rendah, yaitu urutan ketiga terkecil diantara semua negara G20, sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Rasio Utang Pemerintah Negara G20 Tahun 2019 dan 2020
2019 2020
Negara Peringkat Peringkat
Utang/ PDB Utang/ PDB
(rendah ke tinggi) (rendah ke tinggi
Russia 1 13,91 1 18,94
Arab Saudi 2 22,79 2 33,42
Indonesia 3 30,49 3 38,48
Turki 4 32,99 4 41,67
Korea Selatan 5 41,92 5 48,4
Australia 6 46,28 6 60,41
RRC 7 52,63 7 61,7
Meksiko 8 53,75 8 65,54
Jerman 9 59,52 9 73,28
Afrika Selatan 10 62,15 10 78,82
India 11 72,34 11 89,33
Inggris 12 85,35 12 96,69
Kanada 13 88,62 13 101,4
Brazil 14 89,47 14 108,03
Argentina 15 90,38 15 114,65
Perancis 16 98,12 16 118,74
Amerika Serikat 17 108,68 17 131,18
Italia 18 134,8 18 161,85
Jepang 19 237,96 19 266,18
Rata-Rata 74,85 89,93
Sumber: http://www.GFMAG.com

B. Strategi Pengelolaan Utang Pemerintah

Pemerintah menempuh kebijakan fiskal ekspansif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,


mendukung kegiatan produktif guna meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing, serta
menjaga pengelolaan fiskal yang sehat dan berkesinambungan. Kebijakan fiskal ekspansif membawa
konsekuensi terjadinya defisit anggaran.

Untuk menjaga kesinambungan fiskal, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah
menetapkan fiscal rules pengelolaan utang Pemerintah, yaitu defisit APBN dibatasi maksimal 3% dari
Produk Domestik Bruto (PDB) dan jumlah utang dibatasi maksimal 60% dari PDB. Pengelolaan utang
merupakan bagian dari manajemen fiskal yang meliputi pengelolaan belanja, pendapatan, dan
pembiayaan. Batasan defisit ini mengalami relaksasi seiring terjadinya pandemi COVID-19
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 - menjadi di atas 3% hingga tahun 2022,
sementara jumlah utang masih dibatasi maksimal sebesar 60% dari PDB.

7
Kondisi utang sangat memengaruhi kesinambungan fiskal Pemerintah. Sebagaimana dinyatakan oleh
IMF (2014) bahwa kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) berfokus pada tiga kondisi, yaitu
solvency, liquidity, dan vulnerability. Solvency adalah kemampuan Pemerintah untuk membayar utang
atau memenuhi kewajiban keuangan jangka panjang. Pemerintah berada dalam kondisi liquid jika
aset lancar dan sumber pembiayaan yang tersedia cukup untuk memenuhi kewajiban jatuh
temponya. Sedangkan vulnerability mengacu kepada risiko di mana likuiditas dan solvabilitas suatu
entitas terganggu dan entitas masuk ke dalam kondisi krisis.

Menurut Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, dalam perumusan kebijakan di masa
mendatang, pengendalian risiko utang perlu dilakukan untuk mengendalikan tingkat kerentanan
fiskal dalam batas toleransi. Kerentanan fiskal adalah kondisi tertekannya ketahanan fiskal terutama
diakibatkan oleh meningkatnya risiko utang sehingga berpotensi menurunkan kemampuan
Pemerintah dalam memenuhi kewajibannya (solvability) bahkan dapat menghambat proses
pencapaian target Pemerintah seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, dan
tingkat kemiskinan.1

Pada tahun 2021, Pemerintah (dhi. Kementerian Keuangan) menetapkan Strategi Pengelolaan Utang
Negara Jangka Menengah (SPUNJM) tahun 2022 – 2025.2 SPUNJM tahun 2022 – 2025 antara lain
menetapkan kebijakan umum pengelolaan utang serta kebijakan pengelolaan SBN dan pinjaman,
sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut.

1
Badan Kebijakan Fiskal. Kajian Strategi Menjaga Keberlanjutan Utang dalam Kerangka Kesinambungan Fiskal.
2018.
2
KMK Nomor 253/KMK.08/2021 tentang SPUNJM Tahun 2022 – 2025. SPUNJM ini mencabut SPUNJM tahun
2020 – 2024 yang ditetapkan melalui KMK Nomor 17/KMK.08/2020 tentang (SPUNJM) Tahun 2020 – 2024.

8
Gambar 2.2. Kebijakan Umum Pengelolaan Utang serta Kebijakan
Pengelolaan SBN dan Pinjaman Tahun 2024 - 2025

Sumber: DJPPR, Kemenkeu

Selain itu, SPUNJM tahun 2022 – 2025 juga telah menetapkan beberapa target pengelolaan utang
pemerintah sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut:

9
Gambar 2.3. Target Kuantitatif Kinerja Utang Pemerintah Tahun 2022 – 2025 dalam
SPUNJM Tahun 2022 – 2025

Terkait strategi tahunan, Pemerintah dhi. Menteri Keuangan menetapkan Strategi Pembiayaan
Tahunan Melalui Utang (SPTMU), yang memuat kebutuhan pembiayan melalui utang, rencana
penerbitan SBN, serta proyeksi outstanding dan indikator utang tiap tahun.

SPUNJM dan SPTMU memuat strategi pengelolaan utang secara umum dan target kuantitatif
termasuk portofolio yang menunjukkan blue print pengelolaan utang jangka pendek dan jangka
menengah dengan memperhatikan risiko tingkat bunga, risiko nilai tukar dan risiko pembiayaan
kembali.

Namun demikian, Pemerintah perlu mempertimbangkan kemungkinan terjadinya deviasi atas


asumsi makro dan kondisi perekonomian yang volatile, yang mempengaruhi pasar termasuk pasar
surat utang negara. Terlehih dalam situasi pandemi COVID-19 yang tidak pernah terjadi sebelumnya,
yang mempengaruhi kebutuhan pembiayaan dan pasar keuangan. Perubahan strategi dapat
dilakukan dengan tetap mempertahankan tingkat solvency utang agar kesinambungan fiskal dapat
terjaga.

10
Pengelolaan utang

Utang Pemerintah Pusat adalah salah satu sumber risiko fiskal yang berpengaruh signifikan sehingga
harus dikelola dengan baik dan terukur. IMF (2014) mendefinisikan pengelolaan utang sebagai:

“The process of establishing and executing a strategy for managing the government’s debt in order
to raise the required amount of funding at the lowest possible cost over the medium to long run,
consistent with a prudent degree of risk. It should also meet any other public debt management
goals the government may have set, such as developing and maintaining an efficient market for
government securities.”3
Pengelolaan utang Pemerintah meliputi penyusunan strategi pemenuhan kebutuhan utang dengan
biaya minimal dalam jangka menengah sampai dengan jangka panjang, namun dengan risiko yang
terkendali. Risiko yang dihadapi Pemerintah dalam mengelola utang di antaranya adalah risiko nilai
tukar, risiko tingkat bunga, dan risiko pembiayaan kembali (refinancing).

a. Risiko tingkat bunga (interest rate risk)

Adalah potensi penambahan beban anggaran akibat perubahan tingkat bunga di pasar yang
berpotensi meningkatkan biaya pemenuhan kewajiban utang pemerintah. Indikator risiko
tingkat bunga berupa rasio tingkat bunga mengambang atau variable rate. Rasio variable rate
menunjukan tren penurunan dan mencapai 10,6 persen di tahun 2017, namun kemudian
meningkat menjadi 14,2 persen di tahun 2020 dan 14,0 persen di Juni 2021. Kenaikan rasio
variable rate di tahun 2020 berasal dari penerbitan SBN Public Goods dan penarikan pinjaman
untuk kebutuhan program PC PEN. Berdasarkan kesepakatan Pemerintah dan Bank Indonesia
(BI), bunga yang timbul dari penerbitan SBN Public Goods menjadi beban BI.

b. Risiko nilai tukar (exchange rate risk)

Adalah potensi peningkatan beban kewajiban pemerintah dalam memenuhi kewajiban utang
akibat perubahan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Indikator risiko nilai tukar diwakili
oleh rasio utang valas (foreign exchange) terhadap total utang. Secara neto, porsi pengadaan
utang baru dalam valas (terhadap total kebutuhan pembiayaan utang) menunjukkan tren
menurun, yaitu dari 23,6 persen di tahun 2017 menjadi 13,0 persen di tahun 2020 dan 22,1
persen hingga Juni 2021. Sejalan dengan itu, rasio utang valas yang mencapai 41,3 persen di
tahun 2017 terus menurun hingga mencapai 32,2 persen di Juni 2021.

3 International Monetary Fund. IMF Policy Paper: Revised Guidelines for Public Debt Management. 2014.

11
c. Risiko pembiayaan kembali (refinancing risk)

Adalah potensi tingginya biaya utang pada saat melakukan pembiayaan kembali atau tidak dapat
melakukan pembiayaan kembali. Upaya meminimalkan risiko refinancing dapat dilakukan
dengan mendistribusikan jatuh tempo utang setiap tahun sedemikian rupa untuk menghindari
penumpukan jatuh tempo utang pada suatu periode tertentu. Risiko refinancing yang terkendali
diterjemahkan dalam rasio jatuh tempo utang dalam satu tahun yang terus dijaga di bawah
maksimal 10,5 persen yakni dari tahun 2017 sebesar 9,9 persen hingga Juni 2021 sebesar 8,9
persen dan Average Time to Maturity (ATM) yang sama sebesar 8,7 tahun, baik pada periode
tahun 2017 maupun periode Juni 2021.

Perkembangan outstanding dan indikator risiko utang selama kurun waktu tahun 2017 sampai
dengan semester I tahun 2021 ditunjukkan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Perkembangan Outstanding dan Indikator Risiko Utang Pemerintah


Pusat Tahun 2017 s.d. Juni 2021

Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2022.

12
BAB III RISIKO DAN TANTANGAN PENGELOLAAN UTANG PEMERINTAH
DAN DEFISIT APBN

A. Risiko dan Tantangan Pengelolaan Utang Pemerintah

1. Kenaikan utang dan Indikator kesinambungan fiskal perlu diwaspadai

Kenaikan utang yang signifikan tahun 2020 saat pandemi COVID-19

Hasil reviu kesinambungan fiskal Pemerintah menunjukkan utang pemerintah berfluktuasi sejak
tahun 2011. Peningkatan utang yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2020 ketika terjadi
pandemi COVID-19, sebaliknya penerimaan perpajakan mengalami penurunan signifikan.
Fluktuasi utang, penerimaan perpajakan, dan PDB selama Tahun 2011 s.d. 2020 ditunjukkan
pada gambar 3.1. berikut:

Gambar 3.1. Fluktuasi Utang, Penerimaan Pajak, dan PDB Tahun 2011-2020

Sumber: diolah dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan data BPS.

Kenaikan utang dan bunga utang yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan PDB dan
penerimaan perpajakan memunculkan risiko terganggunya ruang fiskal dengan adanya
kewajiban Pemerintah untuk membayar utang di masa depan, di sisi lain terjadi penurunan
kemampuan Pemerintah untuk membayar utang dan biaya utang.

13
Beberapa indikator kesinambungan fiskal perlu diwaspadai

Hasil Reviu atas Kesinambungan Fiskal Tahun 2020 yang dilakukan oleh BPK mengungkapkan
beberapa indikator pengelolaan utang Pemerintah yang makin rentan dan indikator
kesinambungan fiskal yang melampaui rekomendasi ISSAI 5411 tentang Debt Indicators, yaitu
sebagai berikut:

1) Tiga indikator kerentanan utang tahun 2020 terus meningkat, antara lain:

a) Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen.


Debt service to revenue (perbandingan biaya pokok utang ditambah pembayaran bunga
utang terhadap penerimaan negara) mengalami kenaikan sejak tahun 2013 dan pada
tahun 2020 mencapai 46,77 persen.

b) Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen.


Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara mengalami kenaikan sejak
tahun 2013, dan pada tahun 2020 mencapai 19,06 persen.

c) Rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen.


Rasio utang terhadap penerimaan mengalami kenaikan sejak tahun 2012, dan pada tahun
2020 mencapai 369 persen.

2) Indikator kesinambungan fiskal tahun 2020 sebesar 7,33 persen melampaui rekomendasi
yang diungkapkan dalam ISSAI 5411 tentang Debt Indicators yaitu di bawah 0%.

Penyebab kerentanan utang yang terus meningkat dan indikator kesinambungan fiskal
melampaui batas yang direkomendasikan adalah karena laju peningkatan utang, biaya utang
(debt service), dan pembayaran bunga utang tidak sejalan dengan laju penerimaan negara
khususnya penerimaan perpajakan.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan fiskal (termasuk pengadaan utang) belum
berhasil meningkatkan daya ungkit fiskal termasuk penerimaan perpajakan. Sementara itu, hasil
pemeriksaan kinerja atas Efektivitas Pengelolaan Utang Pemerintah Indonesia Tahun 2018 dan
2019 yang mengungkapkan bahwa pengelolaan utang Pemerintah Pusat belum didukung dengan
regulasi mengenai manajemen risiko keuangan negara dan fiscal sustainability analysis -
termasuk debt sustainability analysis - secara komprehensif.

14
Kenaikan belanja pembayaran utang

Pemerintah juga perlu mewaspadai belanja pembayaran utang yang terus meningkat jumlahnya.
Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan utang sebagian besar adalah untuk pembiayaan utang
jatuh tempo dan bunga utang (refinancing). Gambar 3.2. menunjukkan bahwa sejak tahun 2016
belanja untuk pembayaran bunga utang adalah terbesar ketiga dari seluruh belanja negara
(kecuali transfer ke daerah).

Gambar 3.2. Tren Belanja Pemerintah Tahun 2011-2020

450,00

400,00

350,00

300,00
Triliun Rupiah

250,00

200,00

150,00

100,00

50,00

0,00
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Belanja Pegawai 175,74 197,86 221,69 243,72 281,14 305,14 312,73 346,89 376,07 380,53
Belanja Barang 124,64 140,88 169,72 176,62 233,28 259,65 291,46 347,47 334,42 422,34
Belanja Modal 117,85 145,10 180,86 147,35 215,43 169,47 208,66 184,13 177,84 190,92
Pembayaran Bunga Utang 93,26 100,52 113,04 133,44 156,01 182,76 216,57 257,95 275,52 314,09
Subsidi 295,36 346,42 355,05 391,96 185,97 174,23 166,40 216,88 201,80 196,23
Belanja Hibah 0,30 0,08 1,30 0,91 4,26 7,13 5,45 1,52 6,48 6,28
Bantuan Sosial 71,10 75,62 92,14 97,92 97,15 49,61 55,30 84,32 112,48 202,53
Belanja Lain-lain 5,47 4,07 3,37 11,65 10,05 6,02 8,80 16,16 11,70 120,04

Sumber: LKPP, diolah.

Hal yang perlu dipantau menurut Debt Sustainability Analysis – IMF: pengurangan
pendapatan, kewajiban kontinjensi dari BUMN, dan KPBU

Sementara itu, Debt Sustainability Analysis yang dilakukan oleh International Monetary Fund
(Country Report Nomor 21/46 tahun 2020) menyatakan dalam bahwa utang pemerintah tetap
moderat dan berkelanjutan. Namun, pendapatan yang berpotensi lebih lemah dari perkiraan,
serta kewajiban kontinjensi dari Badan Usaha Milik Negara dan Kerjasama Pemerintah dan
Badan Usaha (KPBU) harus dipantau secara hati-hati. Pengurangan partisipasi masyarakat luar
negeri (nonresiden) di pasar obligasi mata uang lokal berkontribusi pada pengurangan
kerentanan, namun ketergantungan pada investor asing tetap cukup besar.

15
2. Biaya utang SBN yang tinggi sehingga memerlukan pengembangan dan pendalaman pasar
keuangan.

Hasil pemeriksaan BPK (2019): strategi pengembangan pasar SBN domestik belum efektif
meningkatkan likuiditas pasar SBN

Hasil pemeriksaan BPK atas efektivitas pengelolaan utang Pemerintah Pusat tahun 2019,
mengungkapkan bahwa strategi pengembangan pasar Surat Berharga Negara (SBN) Domestik
belum efektif meningkatkan likuiditas pasar SBN. BPK merekomendasikan Menteri Keuangan
agar bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia untuk:

a. menetapkan pembagian tugas dan wewenang antar instansi Pemerintah terkait kebijakan
pengembangan pasar SBN; dan

b. menetapkan cascading kebijakan pengembangan pasar SBN yang jelas beserta indikator
pengukuran kinerjanya.

Tindak lanjut Kementerian Keuangan atas kedua rekomendasi tersebut hingga saat ini belum
sesuai, masih menunggu penetapan pembagian tugas dan kewenangan secara rinci dalam
dokumen formal serta indikator pengukuran kinerja juga belum ditetapkan.

Imbal hasil (yield) SBN berfluktuasi dan menurun di masa pandemi

Imbal hasil (yield) SBN menunjukkan keuntungan yang diharapkan oleh investor per tahun
(dinyatakan dalam persentase). Yield SBN merupakan acuan utama bagi investor dalam
melakukan transaksi surat berharga, dimana yield SBN mencerminkan nilai keuntungan dan
risiko. Semakin tinggi yield SBN berarti semakin besar biaya utang (cost of fund) SBN yang
ditanggung oleh Pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah harus mengendalikan tingkat yield SBN
yang efisien. Tingkat yield SBN yang tinggi akan memberikan tekanan pada belanja negara
mengingat nilai belanja bunga utang Pemerintah setiap tahunnya sangat dipengaruhi oleh nilai
portofolio SBN.

Selama 5 tahun (2016 – 2021) tingkat imbal hasil SBN tenor 10 tahun berfluktuasi, sebagaimana
terlihat dalam tren pergerakan yield pada Gambar 3.3. Pada pertengahan tahun 2020, tingkat
suku bunga SUN 10 tahun naik hingga di atas 8 persen. Kemudian begerak menurun hingga pada
akhir tahun 2020 berada di level 5,86 persen. Pada awal tahun 2021 suku bunga SBN 10 tahun
masih relatif rendah sebesar 5,89 persen, namun selanjutnya bergerak naik dan akhirnya turun
kembali. Data per tanggal 23 September 2021 SBN 10 tahun berada pada 6,23 persen. Tingkat
suku bunga SUN 10 tahun di tahun 2022 diprediksi pada kisaran 6,32-7,27 persen. Perkiraan

16
tersebut sangat dipengaruhi oleh kebutuhan fiskal dan risiko ketidakpastian kondisi pasar
keuangan.

Gambar 3.3. Tren Imbal Hasil SBN Tenor 10 Tahun Selama Tahun 2016-2021

Sumber: tradingeconomics.com

Imbal hasil (yield) SBN relatif tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN

Imbal hasil SBN lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara dengan profil serupa di Asia
Tenggara maupun di kelompok Emerging Markets lainnya. Tabel 3.1 menunjukkan perbandingan
imbal hasil SBN tenor 10 tahun dengan obligasi negara yang diterbitkan negara-negara di
kawasan ASEAN.

Tabel 3.1. Perbandingan Imbal Hasil Obligasi Negara Tenor 10 Tahun di Kawasan ASEAN
(per 30 Agustus 2021)
No Negara Yield Peringkat Kepemilikan Inflasi Debt/GDP CAB/GDP
(%) Utang (S&P) Asing (SUN) (Agustus (Desember (2020)
2021) 2020)
1 Indonesia 6,12 BBB/ negative 22.8% 1,59 38,5 -0,45%
2 Filipina 4,1 BBB+/ stabil 2.5% 4,9 53,5 3.6%
3 Malaysia 3,21 A-/ negative 26.0% 2,2 60,7 4,39%
4 Vietnam 2,1 BB/positive 0.8% 2,82 46,7 4,57%
5 Thailand 1,59 BBB+/stabil 13.7% -0,02 50,5 3,30%
6 Singapura 1,43 AAA/stabil 2,4 131 17,58%
Sumber: diolah dari berbagai sumber.
Catatan: CAB adalah Current Account Balance atau Rasio Transaksi Berjalan.

Tabel 3.1. menunjukkan bahwa yield surat utang negara Indonesia per 30 Agustus 2021 adalah
yang tertinggi diantara 6 negara di kawasan ASEAN. Artinya beban biaya utang (termasuk bunga
utang) SBN Indonesia adalah yang tertinggi di kawasan ASEAN. Dari tabel di atas juga terlihat

17
bahwa peringkat utang Indonesia adalah yang terendah di antara negara ASEAN, padahal
proporsi utang per PDB Indonesia adalah yang terendah diantara negara-negara tersebut.
Tingkat imbal hasil SBN yang tinggi akan memberikan tekanan pada belanja negara, terutama
untuk membayar bunga utang setiap tahun.

Kepemilikan SBN oleh non residen mengalami penurunan pada 2020, namun porsinya
masih cukup besar

Selama periode 2015-2019 terdapat peningkatan kepemilikan SBN oleh investor asing (non
residen). Perubahan terjadi pada tahun 2020 dimana porsi kepemilikan SBN oleh non-residen
mengalami penurunan, sebaliknya kepemilikan SBN oleh perbankan (bank umum dan Bank
Indonesia) meningkat signifikan. Tren kepemilikan SBN sejak tahun 2016 sampai 2021
ditunjukkan pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Tren Kepemilikan SBN Domestik Tradable Tahun 2016-2021

5.000,00
4.500,00
4.000,00
3.500,00
3.000,00
2.500,00
2.000,00
1.500,00
1.000,00
500,00
-
Jan Mei Sep Jan Mei Sep Jan Mei Sep Jan Mei Sep Jan Mei Sep Jan Mei Sep
2016 2016 2016 2017 2017 2017 2018 2018 2018 2019 2019 2019 2020 2020 2020 2021 2021 2021

Bank Bank Indonesia


Asuransi dan Dana Pensiun Non Residen
Total

Sumber:DJPPR (diolah)

Perubahan porsi kepemilikan SBN tersebut mulai terjadi pada bulan Maret 2020 saat terjadi
lonjakan yield yang cukup tajam dimana banyak investor non-residen yang melakukan net sell
(outflows). Sejak saat itu, porsi terbesar kepemilikan SBN dipegang oleh sektor perbankan (bank
umum dan Bank Indonesia). Porsi kepemilikan Bank Indonesia atas SBN meningkat signifikan di
masa pandemi COVID-19 seiring dengan kebutuhan pembiayaan dalam rangka pelaksanaan
program PC-PEN, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan II, sebagai
wujud partisipasi BI dalam program PC-PEN.

18
Per 21 September 2021, porsi kepemilikan SBN mulai dari yang terbesar adalah sebagai berikut:
1) Perbankan sebesar Rp1.489,21 triliun (33,72%);
2) Investor asing (non residen) sebesar Rp974,13 triliun (22,06%);
3) Bank Indonesia sebesar Rp656,18 triliun (14,86%);
4) Asuransi dan Dana Pensiun sebesar Rp638,92 triliun (14,47%).

Meskipun terjadi penurunan kepemilikan SBN oleh investor asing, namun kepemilikan mereka
atas SBN domestik tradable masih cukup besar, Hal ini disebabkan salah satunya oleh tingginya
yield Surat Utang Negara (SUN) Indonesia bertenor 10 tahun, dibandingkan dengan negara-
negara peers, yang menarik minat para investor non-residen untuk membeli SUN.

Risiko tingginya porsi kepemilikan SBN oleh investor asing

Porsi kepemilikan SBN oleh investor asing yang cukup besar mengandung risiko pembalikan arus
dana keluar Indonesia secara tiba-tiba (sudden reversal) yang diindikasikan dengan melonjaknya
imbal hasil (yield) SBN. Hal ini dapat terjadi jika mata uang lokal (rupiah) mengalami depresiasi
di luar ekspektasi, sehingga akan mendorong investor asing melepas kepemilikannya atas aset-
aset dalam mata uang rupiah, seperti obligasi dan saham. Kondisi demikian akan mengurangi
likuiditas dan selanjutnya meningkatkan tingkat imbal hasil yang diminta investor.

Tingginya yield SBN dan kepemilikan investor asing disebabkan oleh volatilitas pasar
keuangan global, dibutuhkan pendalaman pasar SBN

Salah satu faktor penyebab tingginya yield SBN dan kepemilikan investor asing adalah tingginya
volatilitas pasar keuangan global. Volatilitas pasar dapat menurunkan minat investor untuk
membeli SBN, yang pada gilirannya dapat meningkatkan imbal hasil SBN. Di sisi lain, pencapaian
target pembiayaan melalui SBN belum sebanding dengan pertumbuhan daya serap pasar SBN
domestik. Diperlukan pengembangan dan pendalaman pasar keuangan dalam rangka
meningkatkan daya serap pasar SBN domestik, sehingga pembiayaan melalui SBN dapat
terpenuhi secara efisien dan risiko yang terkendali.

Strategi pemerintah untuk pendalaman pasar SBN

Dalam rangka mengurangi ketergantungan pada investor asing dan memitigasi risiko tingginya
kepemilikan SBN oleh investor asing, Pemerintah terus berupaya untuk memperluas
kepemilikan SBN oleh investor domestik, baik untuk institusi maupun ritel. Salah satunya adalah
dengan menetapkan strategi dan arah kebijakan pendalaman pasar SBN sebagaimana dinyatakan
dalam Strategi Nasional Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan (SN-PPPK) 2018-2024.

19
Selain itu, dalam Strategi Pengelolaan Utang Negara, juga dinyatakan bahwa tujuan umum
pengelolaan utang yang salah satunya adalah mendukung upaya menciptakan pasar SBN yang
dalam, aktif dan likuid.

Untuk meningkatkan likuiditas di pasar SBN, Pemerintah secara berkelanjutan telah


menerbitkan SUN seri benchmark, yaitu SUN yang menjadi acuan untuk pemenuhan kewajiban
dari dealer utama. Namun demikian, penerbitan SUN seri benchmark tersebut belum dapat
menjamin likuiditas pasar sekunder SBN karena SUN seri benchmark yang diperdagangkan di
pasar sekunder pada tahun 2020 termasuk dalam kategori kurang likuid (khususnya SUN seri
benchmark tenor 15 dan 20 tahun).

Jenis SBN lain yang sedang dikembangkan oleh Pemerintah adalah sukuk ritel. Alasan
Pemerintah menerbitkan sukuk ritel diantaranya adalah adanya kebutuhan pembiayaan dan
adanya kebutuhan komunitas ekonomi syariah yang memerlukan alat investasi keuangan
syariah. Pada tahun 2020 Pemerintah juga memperkenalkan sumber pembiayaan baru melalui
penerbitan Cash Wakaf Linked Sukuk (CWLS) agar para pewakaf dapat menempatkan wakaf
uangnya pada instrumen investasi. Tantangan pengembangan wakaf sukuk adalah dari sisi
edukasi dan literasi terkait wakaf, perluasan dan pemasaran CWLS, dan perlunya
penyederhanaan penerbitan CWLS di masa pandemi.

Tantangan dalam pengembangan dan pendalaman pasar SBN

Beberapa tantangan dalam pengembangan dan pendalaman pasar SBN, merujuk pada hasil
pemeriksaan BPK tahun 2019 adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah belum memiliki indikator pencapaian yang jelas atas setiap kebijakan
pengembangan pasar SBN.

2. Kelemahan pelaksanaan Kontrak Berjangka Surat Utang Negara (SUN) dengan underlying
SUN seri benchmark tenor 5 dan 10 tahun, meliputi:
a) kelemahan pengendalian atas perpindahan kepemilikan SUN ritel tradable di pasar
sekunder;
b) mitra distribusi belum sepenuhnya mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam
penjualan SUN ritel;
c) tren penurunan Jumlah investor asuransi yang membeli SBN;
d) belum terlaksananya Kontrak Berjangka SUN atau Indonesia Government Bond Future.

3. Kinerja dealer utama

20
a) aktivitas dealer utama dalam lelang SUN di pasar perdana belum mencapai persentase
nilai yang diwajibkan;
b) dealer utama lalai dalam melakukan kuotasi harga SUN;
c) ketersediaan dealer Utama belum memadai untuk mendukung pengembangan likuiditas
pasar SUN di pasar sekunder.

4. Penerbitan SBN seri benchmark:

a) SBN seri benchmark yang diperdagangkan di pasar sekunder pada tahun 2018 termasuk
dalam kategori kurang likuid;
b) penerbitan SBN seri benchmark belum seluruhnya dimenangkan di setiap lelang;
c) harga wajar SBSN di pasar sekunder berdasarkan pada penetapan premium yield yang
mengakibatkan kenaikan cost of fund.
5. Sistem Electronic Trading Platform (ETP) belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan pelaku
pasar.

6. Belum terdapat harmonisasi ketentuan perpajakan pasar obligasi pemerintah.

Menurut Bank Dunia, Indonesia memiliki indikator kedalaman pasar terendah dibandingkan
dengan negara setara. Hal ini diindikasikan dengan rasio aset industri terhadap PDB nominal,
dimana Indonesia merupakan yang terendah dibandingkan dengan Meksiko, Colombia, Philipina,
Vietnam, Thailand, dan Malaysia, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5. Rasio Aset Industri terhadap PDB Nominal (a.o. 2020 kec. Dinyatakan lain)

Sumber: Bank Dunia, Bloomberg Terminal, CEIC, Statista, OJK. PWC, Reuters (diolah).

21
Keterangan:
 AUM (assets under management) adalah total nilai pasar dari investasi yang dikelola perorangan
atau entitas atas nama klien. Perhitungan AUM diantaranya meliputi institusi keuangan seperti
simpanan di bank, mutual fund, dan kas.
 Outstanding LCY CB: obligasi korporasi berdenominasi mata utang lokal yang beredar
 Outstanding LCY GB: obligasi pemerintah berdenominasi mata utang lokal yang beredar

3. Pengelolaan utang Pemerintah dalam kerangka Asset and Liability Management (ALM)
belum optimal

Beberapa faktor yang memengaruhi risiko utang merupakan komponen dari indikator
perekonomian makro, seperti pertumbuhan ekonomi, harga minyak dunia, tingkat inflasi, suku
bunga acuan BI, saldo neraca pembayaran, dan cadangan devisa. Dengan demikian, diperlukan
sinergi antara otoritas fiskal dan moneter dalam memitigasi risiko utang Pemerintah .

Menurut IMF dalam Guidelines for Public Debt Management, terdapat tiga bentuk koordinasi
antara otoritas fiskal dan moneter dalam pengelolaan utang Pemerintah, yaitu.

1) Pengelola utang, penasehat kebijakan fiskal, dan bank sentral berbagai pemahaman
mengenai tujuan dari manajemen utang, kebijakan fiskal dan moneter dengan
mempertimbangkan adanya saling ketergantungan antar berbagai instrumen kebijakan
tersebut. Pengelola utang harus memberikan pandangannya kepada otoritas fiskal perihal
biaya dan risiko yang berkaitan dengan persyaratan pembiayaan dan tingkat utang
Pemerintah.

2) Jika tingkat pertumbuhan keuangan memungkinkan, harus ada pemisahan antara tujuan dan
akuntabilitas manajemen utang dan kebijakan moneter.

3) Otoritas pengelola utang, fiskal, dan moneter harus berbagi informasi mengenai kebutuhan
likuiditas Pemerintah saat ini dan di masa depan.

Pemerintah telah menjalankan strategi pengelolaan utang secara aktif antara lain dengan
mengadopsi pendekatan manajemen aset dan kewajiban negara (Sovereign Assets and Liabilities
Management atau SALM). Dalam rangka membangun kerangka kerja SALM, pemerintah telah
membentuk Komite Assets and Liabilities Management (ALM).

Pemerintah (dhi. Kementerian Keuangan) dan Bank Indonesia menandatangani nota


kesepahaman dalam rangka pengembangan kerangka kerja SALM. Namun pada tahun 2019 masa
berlaku nota kesepahaman tersebut berakhir dan tidak diperpanjang kembali. Terdapat

22
kesepakatan antara Kementerian Keuangan dengan Bank Indonesia untuk melakukan analisis
SALM secara independen berdasarkan perspektif masing-masing dan membahasnya di dalam
Forum Harmonisasi.

4. Burden sharing Pemerintah dan Bank Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan


pembiayaan di masa pandemi perlu terus dipantau agar tidak berisiko menimbulkan
inflasi

Dalam rangka pelaksanaan program PC-PEN, Pemerintah dan BI menyepakati skema berbagi
beban (burden sharing) yaitu BI menanggung pembayaran bunga atas sebagian Surat Utang
Negara (SUN) yang diterbitkan tahun 2020.4 Skema burden sharing bertujuan untuk menurunkan
pembayaran bunga di masa mendatang dan menambah ruang fiskal. Burden sharing SBN
dilakukan dalam rangka pembiayaan public goods dan non public goods (terkait pemulihan
ekonomi dan dunia usaha).

Bank Indonesia membeli SBN di pasar perdana pada tahun 2020 sebesar Rp397,56 triliun, tahun
2021 sebesar Rp58 triliun, dan tahun 2022 sebesar Rp40 triliun, serta menanggung beban bunga
sebesar BI 3 bulan reverse repo rate untuk pembiayaan public goods. Selain itu, intervensi BI juga
dilakukan untuk pembiayaan non-public goods pada tahun 2020 sebesar Rp75,86 triliun, dan
pembiayaan untuk kegiatan selain vaksinasi dan penanganan kesehatan terkait Covid-19 pada
tahun 2021 sebesar Rp157 triliun dan tahun 2022 sebesar Rp184 triliun.

Terkait burden sharing SBN untuk pembiayaan public goods, seluruh beban ditanggung BI melalui
pembelian SBN dengan mekanisme private replacement dan tingkat kupon sebesar BI repo rate.
BI mengembalikan bunga/imbalan yang diterima kepada Pemerintah secara penuh. Sementara
untuk burden sharing SBN dalam rangka Pembiayaan non-public goods, BI berkontribusi pada
pembiayaan ini sebesar selisih bunga pasar (yields) dengan BI reverse repo rate 3 bulan ditambah
1%.

Salah satu risiko dari skema burden sharing adalah kemungkinan peningkatan inflasi akibat
intervensi Bank Indonesia membeli SBN di pasar perdana. Risiko lainnya berkaitan dengan
kondisi keuangan BI, dimana burden sharing akan meningkatkan biaya operasi moneter Bank
Indonesia. Untuk menangani risiko tersebut, pemerintah dan BI menyusun rencana mitigasi
secara jelas dan terukur.

4
Kesepakatan ini diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 326/KMK.08/2020
dan Nomor 22/8/KEP.GBI/2020 sebagaimana diubah dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur
BI Nomor 347/KMK.08/2020 dan 22/9/KEP.GBI/2020.

23
5. Risiko Kewajiban Kontinjensi Pemerintah yang Dapat Berdampak pada Kesinambungan
Fiskal Pemerintah

Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu dan
keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya satu peristiwa atau lebih
pada masa datang yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban
kontinjensi yang diungkapkan dalam LKPP tahun 2016 – 2020 adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2. Kewajiban Kontinjensi Pemerintah Pusat 2016 – 2020


(dalam miliar mata uang)
Nilai Penjaminan Kredit/Investasi
Jenis Kewajiban Kontinjensi
2016 2017 2018 2019 2020
1. Program Percepatan USD3,8 USD3,96 USD3,96 USD3,96 USD 3,70
Pembangunan Pembangkit IDR22.400,00 IDR40.891,93 IDR40.891,93 IDR40.891,93 IDR 8.395,18
Tenaga Listrik yang
Menggunakan Batubara
(Proyek 10.000 MW Tahap I)
2. Program Percepatan - - USD11,91 USD 5,46 USD 3,91
Pembangunan Pembangkit
Tenaga Listrik yang
Menggunakan Energi
Terbarukan, Batubara dan Gas
(Proyek 10.000 MW Tahap 2)
3. Program Percepatan IDR324,8 IDR324,66 IDR328,16 IDR328,16 IDR 229,50
Penyediaan Air Minum
4. Kerjasama Pemerintah dengan USD3,20 USD3,20 USD3,20 USD3,20 USD 4,24
badan usaha yang dilakukan IDR34.900,00 IDR68.536,14 IDR68.536,14 IDR 68.536,14
melalui Badan Usaha
Penjaminan Infrastruktur
(proyek infrastruktur dengan
skema KPBU)
5. Pembiayaan infrastruktur - USD2,03 USD2,28 EUR 0,29 EUR 0,78
melalui pinjaman langsung dari USD 2,28 USD 2,07
Lembaga Keuangan
Internasional kepada BUMN
6. Program Percepatan - IDR8.221,00 IDR54.943,75 IDR54.943,75 IDR 54.943,75
pembangunan jalan tol di USD 0,60
Sumatera
7. Program Penyelenggaraan - - IDR19.250,00 IDR19.250,00 IDR 19.250,00
Light Rail Transit/LRT
Jabodetabek
8. Penugasan kepada BUMN . - IDR4.355,79 IDR4.612,31 IDR 4.454,80
dalam rangka pembiayaan
infrastruktur daerah
9. Percepatan Pembangunan . . . IDR4.506,79 IDR 12.423,79
Infrastruktur Ketenagalistrikan USD 6,60 USD 9,15

24
Nilai Penjaminan Kredit/Investasi
Jenis Kewajiban Kontinjensi
2016 2017 2018 2019 2020
10. Tuntutan Hukum kepada - - USD0,13 -
Pemerintah IDR1.336,73
Sumber: LKPP audited Tahun 2016, 2017, 2018, 2019, 2020
Risiko kewajiban kontinjensi merupakan bagian dari risiko fiskal pemerintah. Beberapa risiko
kewajiban kontinjensi Pemerintah yang perlu mendapatkan perhatian adalah risiko yang berasal
dari: (a) kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha; (b) program jaminan sosial nasional; (c)
tuntutan hukum kepada Pemerintah, dan; (d) kewajiban pembayaran pensiun Pemerintah.

a. Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha

Keterbatasan APBN dalam pembiayaan pembangunan menyebabkan adanya selisih


pendanaan (funding gap) yang harus dipenuhi. Untuk mengatasi itu, Pemerintah
menggunakan beberapa alternatif pendanaan, salah satunya mengunakan skema kerjasama
pembangunan yang melibatkan pihak swasta, yang dikenal sebagai Public Private Partnership
(PPP) atau Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).

KPBU merupakan kerjasama antara Pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan
infrastruktur yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan umum dengan mengacu pada
spesifikasi yang telah ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala
Daerah/BUMN/BUMD, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan
Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. Pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Sejak dikeluarkannya Perpres No.
38/2015, sampai dengan Januari 2021 sebanyak 24 kontrak KPBU telah ditandatangani
dengan nilai investasi sebesar Rp 246,4 triliun, mencakup proyek di sektor jalan, penyediaan
air, energi, informasi, teknologi, dan transportasi.

Dukungan Pemerintah terhadap KPBU

Fasilitas dan dukungan terhadap KPBU yang bersifat langsung dari pemerintah adalah
dukungan kelayakan (viability gap fund) dan dukungan sebagian kontruksi oleh K/L/Pemda.
Dukungan tidak langsung berupa penjaminan (melalui PT Penjaminan Infrastruktur
Indonesia) atau Kementerian Keuangan. Mekanisme penjaminan oleh Pemerintah diberikan
dalam dua bentuk, yaitu: 1) penjaminan kredit (perbankan dan obligasi), dan; 2) penjaminan
investasi.

25
Dalam hal penjaminan kredit, Pemerintah menjamin kewajiban pembayaran kredit
perbankan dan/atau obligasi atas program penjaminan yang tidak dapat dibayarkan oleh
pihak terjamin. Sementara itu, penjaminan investasi diberikan bersama Pemerintah
dan/atau PT PII (Persero) dalam menjamin kewajiban pada proyek KPBU dan penjaminan
risiko politik oleh Pemerintah pada proyek strategis nasional (PSN). Pemerintah perlu
mempertimbangkan dampaknya terhadap risiko fiskal Pemerintah, khususnya yang
berkaitan dengan risiko kontinjensi.

Skema dukungan lain adalah Pembayaran Ketersediaan Layanan (Availability Payment), yaitu
pembayaran secara berkala atas layanan infrastruktur yang disediakan oleh swasta
(pembayaran dilakukan apabila pelayanan yang disediakan telah memenuhi level pelayanan
yang ditetapkan dalam kontrak KPBU).

Hasil pemeriksaan BPK atas Efektivitas Pengelolaan Utang Pemerintah Pusat Untuk
Menjamin Biaya Minimal dan Risiko Terkendali Serta Kesinambungan Fiskal Tahun 2018 dan
2019 mengungkapkan permasalahan bahwa Pemerintah belum memiliki strategi
pengelolaan kewajiban-kewajiban yang timbul dari kontrak-kontrak Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha (KPBU) Availability Payment (AP).

Selain itu, hasil pemeriksaan BPK atas Pelaksanaan Penjaminan Pemerintah atas Kredit
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan Korporasi dalam Pemulihan Ekonomi
Nasional (PEN), dan Penjaminan Pemerintah atas Proyek Strategis Nasional (PSN) juga telah
mengungkapkan permasalahan lain yang terkait dengan penjaminan Pemerintah, yaitu:

1. Penjaminan Pemerintah atas Program Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/


Light Rail Transit Terintegrasi di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi belum
sepenuhnya sesuai ketentuan dan risiko penambahan penjaminan baru minimal Rp4,2
Triliun serta adanya pembengkakan biaya (Cost Overrun) yang masih proses
penyelesaian;

2. Pemberian jaminan pemerintah atas percepatan pembangunan jalan tol melalui


penugasan pemerintah kepada PT Hutama Karya (Persero) belum sepenuhnya memadai;

3. Pelaksanaan mitigasi risiko gagal bayar atas penjaminan proyek infrastruktur penugasan
pemerintah pada PT PLN, PT HK dan PT KAI (Persero) belum optimal; dan

4. Perencanaan anggaran kewajiban penjaminan pemerintah belum sepenuhnya memadai


dan belum adanya pengaturan kecukupan penyediaan dana cadangan penjaminan dalam
rangka mitigasi risiko gagal bayar.

26
Risiko KPBU yang dihadapi Pemerintah diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Risiko terkait skema KPBU Availability Payment

Availability Payment atau Pembayaran Ketersediaan Layanan adalah salah satu skema
pengembalian investasi proyek KPBU dimana pembayaran dilakukan berdasarkan
ketersediaan layanan. Dengan skema Availability Payment, Menteri/Kepala Lembaga
/Kepala Daerah melakukan pembayaran secara berkala kepada Badan Usaha Pelaksana
atas tersedianya layanan yang sesuai dengan kualitas dan/atau kriteria sebagaimana
ditentukan dalam perjanjian KPBU.

Tujuan utama KPBU dengan skema Availability Payment adalah:


(a) memastikan ketersediaan layanan yang berkualitas kepada masyarakat secara
berkesinambungan melalui KPBU;
(b) mengoptimalkan nilai guna dari APBN/APBD (value for money); dan
(c) menyediakan skema pengembalian investasi yang menarik minat Badan Usaha untuk
bekerja sama dengan Pemerintah dalam penyediaan layanan publik.

Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) No. 190/PMK.08/2015 tentang Pembayaran


Ketersediaan Layanan Dalam Rangka Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur mensyaratkan bahwa Availability Payment harus
memperhatikan empat prinsip sebagai berikut: (a) kemampuan keuangan negara atau
kapasitas fiskal; (b) kesinambungan fiskal; (c) pengelolaan risiko fiskal, dan; (d)
ketepatan sasaran penggunaan. Dalam skema KPBU Availability Payment, Pemerintah
perlu mengeluarkan dana (dari APBN atau APBD) dalam rangka pembayaran atas
layanan yang telah disediakan badan usaha/swasta.

Temuan pemeriksaan BPK atas kinerja pengelolaan utang (2019) mengungkapkan


bahwa Pemerintah belum memiliki strategi pengelolaan kewajiban yang timbul dari
kontrak-kontrak KPBU dengan skema Availability Payment. Hasil pemeriksaan atas
pelaksanaan KPBU dengan skema Availability Payment antara lain adalah sebagai berikut:

a. Komitmen Availability Payment berimplikasi pada kewajiban Pemerintah Pusat,


namun belum didukung dengan strategi pengelolaan kewajiban.

Proyeksi nilai kewajiban Availability Payment selama masa konsesi atau


pengoperasian infrastruktur yang disajikan pada LHP BPK atas Kinerja Pengelolaan
Utang (2019) sebesar Rp49,47 triliun. Kewajiban ini akan menjadi mandatory

27
spending bagi Pemerintah selama 12 s.d 18,5 tahun mendatang. Menurut hasil
pemeriksaan BPK, Pemerintah belum memiliki monitoring atas seluruh rencana
pengembalian investasi dengan skema AP yang akan timbul dari proyek-proyek KPBU
di masa mendatang. Pemerintah juga belum melakukan reviu kapasitas fiskal di masa
mendatang terkait dengan rencana pengembalian investasi dengan skema AP
tersebut.

Penyediaan anggaran bagi komitmen langsung jangka panjang - seperti pembayaran


kewajiban Availability Payment - akan mempersempit ruang fiskal APBN. Oleh karena
itu, Pemerintah perlu merencanakan dan mengestimasi dengan baik kewajiban yang
timbul di masa mendatang sehubungan dengan komitmen KPBU skema Availability
Payment agar tidak terjadi penumpukan pembayaran kewajiban yang dapat
membebani APBN dan menjamin pengembalian investasi kepada Badan Usaha.

b. Nilai proyek KPBU yang menjadi dasar perhitungan kewajiban Pemerintah di masa
mendatang tidak didukung dengan reviu dari Pemerintah (dhi. Kementerian
Keuangan).

Nilai proyek KPBU merupakan biaya modal Badan Usaha yang akan diperhitungkan
sebagai nilai investasi BUP yang harus dikembalikan oleh Pemerintah setelah
ditambah dengan biaya operasional dan keuntungan BUP. Tidak ada ketentuan
perihal reviu dari pemerintah terhadap kewajaran nilai proyek KPBU yang akan
menjadi dasar perhitungan AP.

2) Risiko terkait Penjaminan Pemerintah

Pelaksanaan KPBU juga menimbulkan risiko fiskal bagi Pemerintah, khususnya terkait
dengan penjaminan yang diberikan Pemerintah terhadap pinjaman yang diterima BUMN
dari lembaga keuangan internasional. Pemberian dukungan/jaminan Pemerintah
membawa konsekuensi fiskal berupa peningkatan kewajiban kontinjensi Pemerintah
yang kemudian dapat menjadi tambahan beban bagi APBN apabila terjadi gagal bayar
(default).

Secara kumulatif penjaminan Pemerintah terhadap proyek infrastruktur sampai dengan


Triwulan IV tahun 2020 mencapai senilai Rp588,1 triliun. Pemerintah menganggarkan
kewajiban penjaminan yang akan dibayarkan jika terdapat gagal bayar oleh pihak yang
terjamin (BUMN/D, Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama, Penanggung Jawab Proyek

28
Strategis Nasional atau Badan Usaha). Sampai dengan akhir tahun 2020, pemerintah
tidak merealisasikan kewajiban pembayaran klaim penjaminan untuk seluruh program
penjaminan dikarenakan tidak terdapat gagal bayar.

Jika pandemi COVID-19 berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama maka dapat
menyebabkan adanya peningkatan risiko klaim penjaminan Pemerintah. Hal ini
dikarenakan pandemi COVID-19 juga berdampak terhadap korporasi berupa penurunan
pendapatan akibat penurunan aktivitas ekonomi ataupun hambatan keberlangsungan
proyek yang dijamin (seperti keterlambatan Commercial Operation Date atau terhentinya
pembangunan proyek).

3) Risiko terkait Utang BUMN dalam Pelaksanaan KPBU

Pelaksanaan KPBU - yang diantaranya merupakan penugasan kepada BUMN - juga dapat
meningkatkan risiko finansial bagi BUMN yang menerima penugasan, terkait dengan
risiko yang timbul dari utang BUMN untuk memenuhi kebutuhan pendanaan proyek-
proyek penugasan Pemerintah. Secara tidak langsung, risiko pada BUMN tersebut juga
menjadi risiko bagi nilai Investasi Permanen Pemerintah yang dilaporkan pada Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), mengingat nilai ekuitas seluruh BUMN akan
terkonsolidasi ke dalam LKPP.

4) Risiko KPBU dalam pembangunan ibukota negara

Pembangunan Ibukota Negara (IKN) baru merupakan salah satu program prioritas
nasional pemerintah tahun 2022. Merujuk pada RPJMN 2020-2024, Pembangunan IKN
membutuhkan dana sebesar Rp466,98 triliun. Pendanaan Pembangunan IKN terdiri
menggunakan skema APBN, KPBU, swasta, serta BUMN/D. Porsi skema KPBU
direncanakan sebesar 54,6% atau Rp 254,436 triliun. Dalam penerapan KPBU diperlukan
dukungan APBN diantaranya untuk availability payment, viability gap fund, project
development facility, dan penjaminan. Porsi KPBU yang besar dalam pendanaan
pembangunan IKN tentu saja mempunyai risiko yang harus mitigasi, terutama terkait
kewajiban kontijensi terhadap pembiayaan tersebut.

b. Program Jaminan Sosial Nasional

Penyelenggaraan program dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang terdiri dari
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Jaminan Ketenagakerjaan (JK) selain memberikan
dampak positif terhadap pengentasan kemiskinan, perlindungan atas kebutuhan dasar hidup

29
yang layak, bahkan pertumbuhan ekonomi, juga berpotensi menimbulkan risiko fiskal. Risiko
fiskal tersebut berasal dari ketidakcukupan dana untuk mendanai program jaminan sosial
tersebut.

c. Tuntutan Hukum kepada Pemerintah

Pemerintah perlu mencermati risiko kontinjensi yang timbul dari tuntutan hukum kepada
Pemerintah Pusat berupa gugatan perdata dan gugatan Tata Usaha Negara (TUN).
Pemenuhan tuntutan tersebut dapat membawa konsekuensi pengeluaran negara melalui
pembayaran ganti rugi, ataupun hilangnya kepemilikan aset tanah dan/atau bangunan
karena sengketa kepemilikan.

Dalam Nota Keuangan RAPBN 2021 disebutkan bahwa berdasarkan data yang diperoleh per
30 Juni 2020, terdapat 823 perkara dari 52 K/L dengan rincian perkara 633 perkara pada
pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, tingkat peninjauan kembali dan
190 perkara yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Atas perkara inkracht tersebut,
terdapat 151 perkara yang menimbulkan potensi pengeluaran negara sebesar Rp19.236,3
miliar, US$116 juta, RM2,05 juta serta penyerahan aset berupa tanah dan/atau bangunan
seluas 3.778 ha. Selain itu, terdapat 39 perkara inkracht berstatus selesai yaitu berupa
perkara yang telah dimenangkan oleh K/L dan perkara yang telah dipenuhi kewajiban
pembayaran ganti ruginya.

d. Kewajiban Pembayaran Pensiun Pemerintah

Utang Pemerintah yang tercatat dalam LKPP belum memperhitungkan kewajiban


pembayaran pensiun pemerintah. Di sisi lain, belanja pemerintah untuk pembayaran pensiun
PNS, TNI, dan Polri mengambil porsi yang cukup besar dari APBN , sebagaimana terlihat pada
Gambar 3.6

30
Gambar 3.6. Belanja Pensiun dalam APBN 2015-2020

140,00

120,00

100,00

80,00

60,00

40,00

20,00

0,00
2015 2016 2017 2018 2019 2020
Belanja Pensiun 86,32 87,54 91,39 102,73 119,61 125,68

Sumber: LKPP Audited (diolah).

Risiko-risiko kontinjensi di atas perlu dimitigasi dengan baik oleh Pemerintah agar tidak
menganggu kesinambungan fiskal di masa depan.

B. Risiko dan Tantangan Pengelolaan Defisit APBN

Pada dasarnya peningkatan jumlah utang adalah imbas dari ketimpangan penerimaan dan belanja
negara yang kemudian menciptakan defisit fiskal. Defisit APBN tahun 2020, 2021, dan proyeksi 2022
masih di atas 3% dari PDB. Padahal UU Nomor 2 Tahun 2020 mengatur bahwa pelebaran defisit di
atas 3% dibatasi hanya sampai 2022. Tahun anggaran berikutnya, defisit harus kembali maksimal
3% dari PDB. Postur APBN tahun 2020, 2021, dan 2022 adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3. Perbandingan Postur APBN Tahun 2020, 2021, dan 2022
(dalam triliun rupiah)
TA 2020 TA 2021 TA 2022 (RAPBN)
Pendapatan Negara 1.699,9 1.743,6 1.840,7
Penerimaan Perpajakan 1.404,5 1.444,5 1.506,9
Penerimaan Negara Bukan Pajak 294,1 298,2 333,2
Hibah 1,3 0,9 0,6
Belanja Negara 2.739,2 2.750,0 2.708,7
Belanja Pemerintah Pusat 1.975,2 1.954,5 1.938,3
Transfer ke Daerah dan Dana Desa 763,9 795,5 770,4
Keseimbangan Primer (700,4) (633,1) (462,2)

31
Defisit Anggaran (1.039,1) (1.006,4) (868,0)
(6,34% thd PDB) (5,70% thd PDB) (4,85% thd PDB)
Pembiayaan Anggaran 1.039,1 1.006,4 868,0
Sumber: Informasi APBN 2021 dan Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN TA 2022.

Belanja yang melampaui pendapatan negara akan menghasilkan defisit anggaran yang kemudian
akan dipenuhi melalui pembiayaan (termasuk utang). Dengan demikian tata kelola utang tidak
terlepas dari pengelolaan pendapatan dan belanja negara. Beberapa risiko dan permasalahan dalam
pengelolaan pendapatan dan belanja negara yang perlu dicermati adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan Perpajakan

Penerimaan pajak merupakan komponen penerimaan negara yang terbesar. Hal yang perlu
diperhatikan adalah peningkatan utang tidak dibarengi dengan peningkatan rasio pajak. Tax
ratio Indonesia yang berkisar antara 8 – 11% selama 8 tahun terakhir terbilang masih rendah,
dibandingkan dengan standar OECD sebesar 15%.5 Tax ratio juga menunjukkan tren penurunan
selama tahun 2013-2020. Sempat naik tipis di tahun 2018, tax ratio kembali turun dan merosot
tajam di tahun 2020 menjadi 8,3% akibat pandemi COVID-19. Penurunan rasio pajak terhadap
PDB menyiratkan ketidakmampuan penyelenggara negara dalam menangkap potensi pajak dari
perekonomian. Tren menurun rasio pajak ini perlu mendapat perhatian karena memengaruhi
kemampuan Pemerintah untuk membayar utang.

Rasio pajak di Indonesia selama tahun 2015 s.d. 2019 juga berada pada kategori rendah
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan G20. Pada tahun 2019, rasio pajak Indonesia
sebesar 9,75 artinya hanya lebih tinggi dibandingkan Myanmar, sebagaimana ditampilkan pada
Tabel 3.4. Sementara itu, diantara negara G20, rasio pajak Indonesia hanya mengungguli Arab
Saudi, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.4. Rasio Pajak/PDB Negara ASEAN Tahun 2015 s.d. 2019

Negara 2015 2016 2017 2018 2019


Brunei Darussalam N/A N/A N/A N/A N/A
Indonesia 10,75 10,34 9,88 10,23 9,75
Kamboja 14,58 14,83 15,79 17,05 19,73
Laos N/A N/A N/A N/A N/A
Myanmar 5,88 6,91 5,87 2,63 5,81
Malaysia 14,06 13,55 12,95 12,03 11,95
Filipina 13,02 13,09 13,59 14,05 14,49
Singapura 13,14 13,33 14,05 13,14 13,32

5
Rasio pajak terhadap PDB menunjukkan kemampuan negara dalam menghimpun penerimaan perpajakan
dari peningkatan perekonomian.

32
Negara 2015 2016 2017 2018 2019
Thailand 16,14 15,36 14,78 14,93 14,67
Vietnam N/A N/A N/A N/A N/A
Sumber: https://data.worldbank.org

Tabel 3.5. Rasio Pajak/PDB Negara G20 Tahun 2015 s.d. 2019

Negara 2015 2016 2017 2018 2019


Arab Saudi 3,33 3,39 3,38 8,93 7,40
Indonesia 10,75 10,34 9,88 10,23 9,75
Amerika Serikat 11,22 10,90 11,73 9,91 10,02
Argentina 12,34 12,10 10,94 10,13 10,65
Rusia 10,64 9,18 10,29 11,38 10,89
Jerman 11,48 11,30 11,44 11,49 11,49
Kanada 12,39 12,50 12,72 12,91 13,01
Meksiko 12,78 13,53 13,04 13,07 13,15
Brazil 13,63 13,69 13,62 14,18 14,03
Turki 18,18 18,27 17,72 17,28 16,48
Australia 21,87 22,23 22,05 23,11 23,33
Italia 24,74 25,07 24,68 24,24 24,66
Perancis 23,20 23,06 23,63 24,20 24,67
Inggris 25,04 25,41 25,62 25,59 25,34
Afrika Selatan 27,34 27,11 26,23 26,51 26,73
Cina 9,38 9,12 9,42 9,05 N/A
India 10,57 11,15 11,38 11,97 N/A
Japan N/A N/A N/A N/A N/A
Korea Selatan 13,16 13,98 14,49 15,54 N/A
Sumber: https://data.worldbank.org

Pemerintah telah melakukan reformasi perpajakan, antara lain untuk menggali potensi pajak
dalam rangka peningkatan tax ratio, perluasan basis perpajakan (diantaranya melalui
pengenaan pajak terhadap e-commerce, cukai plastik, dan optimalisasi PPN), serta
pengembangan sistem perpajakan yang sejalan dengan struktur perekonomian. Di masa
pandemi, untuk memberikan stimulus pada perekonomian, Pemerintah telah memberikan
fasilitas perpajakan antara lain berupa tax expenditure. Namun demikian Pemerintah belum
memiliki mekanisme evaluasi atas pemberian fasilitas tersebut.

Sementara itu, permasalahan signifikan dalam pengelolaan perpajakan yang diungkapkan


dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2020 adalah kelemahan sistem
pengendalian intern dalam penatausahaan piutang perpajakan. Akibat dari permasalahan ini
antara lain: (1) hak penagihan piutang perpajakan berpotensi tidak berlaku sebesar Rp24,33
miliar; (2) saldo piutang perpajakan kurang catat sebesar Rp333,36 miliar dan lebih catat

33
sebesar Rp62,69 miliar; (3) data piutang perpajakan tidak diyakini kebenarannya sebesar
Rp238,18 miliar

BPK telah merekomendasikan Menteri Keuangan agar memerintahkan Direktur Jenderal


Pajak untuk: (1) memutakhirkan sistem informasi untuk memastikan validitas data Piutang
Pajak dan Penyisihan atas Piutang Pajak; (2) memastikan piutang PBB terintegrasi dengan
sistem informasi DJP, dan; (3) menginstruksikan pejabat dan petugas di Kantor Pelayanan
Pajak dan Kanwil DJP agar lebih cermat dan tertib dalam melakukan input dokumen sumber
pencatatan piutang ke dalam sistem informasi DJP. Secara lebih komprehensif, risiko dan
permasalahan pengelolaan pajak dibahas dalam kajian “Skema Perpajakan Baru”.

2. Belanja Negara

Hasil pemeriksaan BPK: belum ada definisi serta parameter atau indikator belanja
produktif.

Salah satu kebijakan umum pengelolaan utang, sebagaimana dinyatakan dalam Strategi
Pembiayaan Tahunan Melalui Utang (SPTMU), adalah mengarahkan pemanfaatan utang untuk
kegiatan produktif. Hasil pemeriksaan BPK atas Kualitas Belanja Pemerintah (2018) menyatakan
bahwa Pemerintah belum mengatur definisi dan indikator kualitas belanja. Selanjutnya
dipertegas dengan hasil pemeriksaan BPK atas Pengelolaan Utang (2019) yang menyatakan
bahwa pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak memiliki parameter dan indikator
capaian. Definisi, parameter, dan indikator belanja berkualitas serta pemanfaatan utang untuk
kegiatan produktif merupakan hal penting untuk memastikan pengeluaran pemerintah -
termasuk yang berasal dari pemanfaatan utang – dilakukan secara terarah dan terukur untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan dapat
mewujudkan peningkatan penerimaan negara, sehingga kebutuhan pembiayaan melalui utang
dapat diminimalisir.

Dalam 5 tahun terakhir keseimbangan primer selalu negatif, artinya bunga utang dibayar
dengan membuat utang baru,

Keseimbangan primer merupakan salah satu indikator utama kesinambungan fiskal,


Keseimbangan primer positif (surplus) terjadi ketika total penerimaan negara lebih besar dari
belanja negara (tidak termasuk pembayaran bunga utang). Hal ini menunjukkan bahwa tersedia
dana cukup untuk melunasi bunga utang. Sebaliknya, ketika total penerimaan negara lebih kecil
dari belanja negara (tidak termasuk pembayaran bunga utang), maka keseimbangan primer

34
negatif (defisit). Hal ini menunjukkan bahwa dana yang tersedia tidak cukup untuk membayar
bunga utang, atau dengan kata lain, sebagian atau seluruh bunga utang dibayar dengan membuat
utang baru. Selama tahun 2016-2020 keseimbangan primer selalu menunjukkan angka negatif,
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6. Tren Keseimbangan Primer Pemerintah Pusat

Uraian 2016 2017 2018 2019 2020


Penerimaan 1.555.934.150,80 1.666.375.912,66 1.943.674.876,88 1.960.633.583,59 1.647.783.342,00
Negara
Belanja Negara 1.864.275.092 2.007.351.810 2.213.117.817 2.309.287.310 2.593.534.869
Belanja 182.761.270 216.568.023 257.952.028 275.521.165 314.088.112
Bunga Utang
Keseimbangan (125.579.671) (124.407.875) (11.490.912) (73.132.561) (631.663.415)
Primer
Sumber: Diolah dari LKPP.

Peningkatan belanja pembayaran utang dan bunga utang

Pemerintah juga perlu mewaspadai peningkatan belanja pembayaran utang yang terus
meningkat, yang menunjukkan bahwa pemanfaatan utang sebagian besar masih untuk
pembiayaan utang jatuh tempo dan bunga utang (refinancing). Sebagaimana analisis pada LKPP
periode 2011 s.d. 2020, terlihat bahwa sejak tahun 2016, belanja untuk bunga utang berada pada
posisi ke tiga dari seluruh belanja negara (kecuali transfer ke daerah). Lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar 3.7. berikut:
Gambar 3.7. Tren Belanja Pemerintah Tahun 2011-2020

450,00

400,00

350,00

300,00
Triliun Rupiah

250,00

200,00

150,00

100,00

50,00

0,00
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Belanja Pegawai 175,74 197,86 221,69 243,72 281,14 305,14 312,73 346,89 376,07 380,53
Belanja Barang 124,64 140,88 169,72 176,62 233,28 259,65 291,46 347,47 334,42 422,34
Belanja Modal 117,85 145,10 180,86 147,35 215,43 169,47 208,66 184,13 177,84 190,92
Pembayaran Bunga Utang 93,26 100,52 113,04 133,44 156,01 182,76 216,57 257,95 275,52 314,09
Subsidi 295,36 346,42 355,05 391,96 185,97 174,23 166,40 216,88 201,80 196,23
Belanja Hibah 0,30 0,08 1,30 0,91 4,26 7,13 5,45 1,52 6,48 6,28
Bantuan Sosial 71,10 75,62 92,14 97,92 97,15 49,61 55,30 84,32 112,48 202,53
Belanja Lain-lain 5,47 4,07 3,37 11,65 10,05 6,02 8,80 16,16 11,70 120,04

Sumber: diolah dari LKPP

35
Pemanfaatan utang belum optimal yang berdampak pada peningkatan akumulasi SiLPA

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) pada akhir periode anggaran mengindikasikan belum
optimalnya penyerapan anggaran belanja dan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif sehingga
berpotensi menimbulkan carrying cost. Perkembangan SILPA berfluktuasi selama tahun 2010-2019
dan meningkat drastis pada tahun 2020, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.8. Peningkatan
drastis SILPA di tahun 2020 disebabkan pemanfaatan utang yang kurang optimal.

Gambar 3.8. Tren SILPA Tahun 2010 - 2020

300,00

250,00

200,00
Triliun Rupiah

150,00

100,00

50,00

0,00
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
SILPA 44,71 46,55 21,86 25,72 22,20 24,61 26,16 25,65 36,25 53,40 245,60

Sumber: diolah dari LKPP dan data BPS

Hasil pemeriksaan BPK atas Efektivitas Pengelolaan Utang Pemerintah Pusat Untuk Menjamin
Biaya Minimal dan Risiko Terkendali Serta Kesinambungan Fiskal Tahun 2018 dan 2019
menunjukkan bahwa besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) pada suatu akhir
periode mengindikasikan penyerapan belanja yang tidak optimal dan Pemerintah belum
sepenuhnya memanfaatkan utang untuk kegiatan produktif dan berpotensi menimbulkan
carrying cost.

Permasalahan tata kelola dan akuntabilitas belanja pemerintah

Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat menunjukkan masih
banyaknya permasalahan pengelolaan dan akuntabilitas belanja pemerintah, meliputi
kelemahan pengendalian internal, ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,
serta pemasalahan terkait efektivitas, efisiensi dan keekonomisan (3E) belanja pemerintah.
Beberapa permasalahan yang sering terjadi antara lain:

36
 kelebihan pembayaran pekerjaan;
 permasalahan dalam pelaksanaan kontrak, antara lain keterlambatan penyelesaian
pekerjaan belum dikenakan denda, dan spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai
dengan kontrak;
 kerugian keuangan negara antara lain kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang,
belanja tidak sesuai atau melebihi ketentuan, dan pemahalan harga (mark up);
 potensi kerugian, diantaranya kelebihan pembayaran kepada rekanan;
 belanja bantuan sosial tidak sesuai ketentuan; dan
 pertanggungjawaban belanja tidak akuntabel.

Permasalahan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban program PC-PEN

Pemerintah melaporkan bahwa dana yang dialokasikan dalam program Penanganan COVID-19
dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) tahun 2020 sebesar Rp695,2 triliun.. Namun
demikian, hasil pemeriksaan BPK menemukan beberapa skema pendanaan senilai Rp146,69
triliun yang belum dimasukkan sebagai komponen biaya PC-PEN sebagaimana dilaporkan
Pemerintah. Biaya tersebut meliputi anggaran yang dialokasikan dan dibelanjakan melalui
beberapa kementerian/lembaga (K/L) untuk penanganan COVID-19 di internal K/L, biaya
burden sharing yang ditanggung Bank Indonesia dan Pemerintah, serta program belanja subsidi
yang telah dialokasikan, dengan rincian sebagai berikut:

1) Biaya-biaya terkait dengan Program PC-PEN di luar skema Rp695,2 triliun sebesar Rp27,32
triliun, terdiri dari:
(a) Alokasi anggaran belanja dalam APBN 2020 sebesar Rp23,59 triliun.
(b) Realisasi belanja K/L yang tidak menggunakan tagging akun COVID-19 per 30 November
2020 sebesar Rp2,55 triliun.
(c) Alokasi kas Badan Layanan Umum (BLU) Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN)
kepada BLU rumpun kesehatan sebesar Rp1,11 triliun.
(d) Fasilitas perpajakan yang diatur dalam PMK No. 28 Tahun 2020 (selain Pajak
Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah) dan PP No. 29 Tahun 2020 yang belum
masuk ke dalam penghitungan alokasi Program PEN dengan nilai yang belum dapat
diestimasi.
(e) Relaksasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) K/L sebesar Rp 79,00 miliar yang
merupakan pemberian insentif atau relaksasi pungutan PNBP pada K/L dalam bentuk
penundaan pembayaran PNBP, perpanjangan masa berlaku

37
lisensi/perizinan/sertifikasi/paspor, pengenaan tarif 50%, pembebasan penerbitan
surat-surat tertentu, dan pengenaan tarif 0 rupiah.

2) Anggaran belanja untuk kebutuhan internal K/L yang telah menggunakan akun dengan
tagging COVID-19 per 30 November 2020 sebesar Rp10,80 triliun, termasuk biaya
pembangunan Rumah Sakit Pulau Galang di Pulau Batam, Provinsi Kepulauan Riau pada
Kementerian PUPR sebesar Rp396 miliar.

3) Program eksisting yang telah ada dalam APBN Tahun 2020 berupa Belanja Subsidi sebesar
Rp107,63 triliun. Kegiatan-kegiatan pada belanja subsidi tersebut memiliki substansi yang
sama dengan kegiatan-kegiatan pada belanja subsidi yang dikategorikan dalam skema PEN.

4) Biaya bunga utang tahun 2020 yang timbul sehubungan dengan penerbitan SBN untuk
pemenuhan kebutuhan pembiayaan program PC-PEN melalui skema burden sharing dengan
BI yang diestimasikan sebesar Rp0,9 triliun.

Pemeriksaan komprehensif berbasis risiko atas program PC-PEN tahun 2020 yang dilakukan
oleh BPK menghasilkan 2.170 temuan yang memuat 2.843 permasalahan senilai Rp 2,94 triliun
mengenai kelemahan pengendalian internal, ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan, dan permasalahan terkait 3E. Permasalahan utama yang ditemukan BPK terkait
dengan: 1) kebijakan antar instansi pemerintah yang tidak terintegrasi dalam penyelenggaraan
program PC PEN; 2) pelaksanaan bantuan sosial; 3) data yang tidak valid; 4) kelemahan
pelaksanaan anggaran; 5) pengadaan barang/jasa di masa darurat.

3. Utang BUMN dan Pembiayaan Investasi (PMN) ke BUMN

Utang BUMN

Menurut data Bank Indonesia, dalam enam tahun terakhir total utang luar negeri seluruh BUMN
terus mengalami kenaikan. Hingga April 2020, nilainya telah mencapai US$55,3 miliar atau setara
Rp775 triliun (kurs Rp14 ribu). Jumlah tersebut lebih dari seperempat total utang luar negeri
swasta (senilai US$207,8 miliar).

Pada tahun 2018, Bank Dunia telah memberikan peringatan mengenai kondisi utang BUMN
Dalam laporan berjudul Infrastructure Sector Assessment Program. Bank Dunia menilai pemicu
terjadinya peningkatan utang BUMN adalah pengerjaan proyek-proyek pemerintah. BUMN
ditugaskan untuk mengerjakan proyek pemerintah sementara mereka sedang mengalami
kesulitan. Oleh karena itu BUMN mencari utang sendiri. Organisation for Economic Co-operation
and Development (OECD) pada tahun 2018 juga menilai akan ada risiko fiskal yang besar dari

38
beban keuangan sejumlah BUMN akibat berbagai proyek infrastruktur pemerintah. Menurut
OECD, sekitar 30% dari proyek infrastruktur pemerintah mengandalkan pembiayaan dari BUMN.
Pada 2018, belanja modal BUMN ditargetkan hampir 3% PDB, lebih dari dua kali lipat porsi
belanja pada 2015. Kebutuhan dana yang besar itu telah membuat BUMN terpaksa mencari
pendanaan dari perbankan dan pasar modal. Imbasnya, tingkat utang beberapa BUMN
mengalami peningkatan drastis. Pandemi COVID-19 memperburuk situasi keuangan BUMN,
dimana pendapatan hampir seluruh BUMN jadi tergerus, sementara jumlah utang jatuh tempo
BUMN juga cukup besar.

Dampak utang BUMN bagi fiskal Pemerintah

Dampak utang BUMN bagi fiskal pemerintah bersifat kontinjensi, yaitu penjaminan pemerintah
atas pinjaman BUMN dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek pemerintah (hal ini telah
dijelaskan dalam pembahasan mengenai risiko kewajiban kontinjensi pemerintah dari KPBU)

Pembiayaan Investasi (PMN) kepada BUMN

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2020 (audited) nilai investasi
permanen penyertaan modal pemerintah atau disebut juga Penyertaan Modal Negara (PMN) per
31 Desember 2020 dan 31 Desember 2019 sebesar Rp2.403.279.903.397.823,00 dan
Rp2.397.253.380.483.284,00.

Penyertaan Modal Negara (PMN)/Investasi Pemerintah TA 2020 sebesar Rp94.698.164.882.767


atau 39,61 persen dari jumlah yang dianggarkan dalam APBN. Penyertaan Modal Negara
(PMN)/Investasi Pemerintah TA 2020 mengalami kenaikan 113,34 persen dibandingkan dengan
realisasi TA 2019. Peningkatan tersebut antara lain untuk mendukung percepatan pemulihan
ekonomi nasional dan meningkatkan leverage BUMN sebagai agen pembangunan. Rincian
Pengeluaran Pembiayaan PMN TA 2020 kepada BUMN, LPEI dan LPI adalah sebagai berikut:
1. Realisasi PMN kepada BUMN sebesar Rp12.218.017.000.000 merupakan realisasi atas PMN
tunai dan nontunai.
2. Penyertaan Modal Negara pada BUMN dalam rangka program PEN sebesar
Rp19.070.000.000.000,-
3. Realisasi investasi Pemerintah dalam rangka program PEN bagi BUMN sebagai tambahan
modal kerja sebesar Rp19.650.000.000.000,-
4. Penyertaan Modal Negara pada Lembaga/Badan Lainnya dalam rangka Program PEN sebesar
Rp20.000.000.000.000,-

39
Risiko fiskal pemberian PMN kepada BUMN

BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara. Pendirian BUMN
bertujuan untuk memberikan sumbangan dan penerimaan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya serta untuk mengejar
keuntungan. Dalam rangka memberikan dukungan bagi BUMN untuk mencapai tujuannya,
pemerintah menyalurkan suntikan dana kepada BUMN salah satunya dalam bentuk Penyertaan
Modal Negara (PMN).

PMN adalah pemisahan kekayaan negara APBN atau penetapan cadangan perusahaan atau
sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau perseroan terbatas lainnya, dan
dikelola secara korporasi. Dalam kondisi pandemi, PMN diperlukan untuk menjaga
keberlangsungan BUMN strategis yang sangat terdampak COVID-19 agar terus mampu
mempertahankan kinerjanya. Namun demikian pemerintah perlu mewaspadai nilai Incremental
Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang masih tinggi.6 Nilai ICOR yang tinggi menunjukkan
kurang efisiennya pemanfaatan investasi untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi.

Selama tahun 2011–2015, ICOR Indonesia mengalami tren memburuk dari 5,02 menjadi 6,64.
Kemudian pada 2019 ICOR Indonesia mencapai 6,77. Sebagai perbandingan, ICOR negara ASEAN
lainnya lebih rendah daripada Indonesia, diantaranya Filipina (3,6), Vietnam (4,1), India (4,2),
Malaysia (5), dan Thailand (6). Kurang efisiennya investasi Indonesia ini mendorong adanya
terobosan pemenuhan pembiayaan nasional, salah satunya dengan membentuk lembaga
Sovereign Wealth Fund.

Sovereign Wealth Fund Indonesia

Sovereign Wealth Fund (SWF) adalah dana abadi yang dimiliki oleh pemerintah yang
diinvestasikan dalam berbagai instrumen seperti: (1) deposito untuk mendapatkan bunga; (2)
saham untuk mendapatkan gain atau dividen, atau; (3) instrumen bentuk lain untuk
mendapatkan gain atau pendapatan jenis lain. Dana pokok SWF merupakan dana abadi (tidak
boleh diambil) sedangkan yang bisa diambil hanya dana yang berasal dari pendapatan dari
instrumen-instrumen seperti deposito, saham dan instrumen bentuk lain. Dana pokok SWF dapat

6
ICOR adalah parameter ekonomi makro yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. ICOR
menggambarkan rasio investasi) terhadap pertumbuhan output regional (PDRB).

40
berasal dari APBN dan penerimaan negara lainnya seperti penerimaan migas atau sumber
penerimaan lain yang sah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi,
pemerintah Indonesia membentuk SWF dalam bentuk badan hukum yang sepenuhnya dimiliki
oleh pemerintah yang bernama Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment
Authority (INA). Lembaga ini berfungsi mengelola investasi, meliputi perencanaan,
penyelenggaraan, pengawasan dan pengendalian, serta evaluasi investasi. Kewenangan LPI
meliputi: (1) melakukan penempatan dana dalam instrumen keuangan; (2) menjalankan
kegiatan pengelolaan aset; (3) melakukan kerja sama dengan pihak lain termasuk entitas dana
perwalian (trust fund); (4) menentukan calon mitra investasi; (5) memberikan dan menerima
pinjaman; dan/atau (6) menatausahakan aset.

Melalui kewenangan yang besar, INA idealnya bisa menjadi penopang pendanaan proyek-proyek
strategis pemerintah, terutama dalam menyediakan alternatif pendanaan selain dari APBN dan
perbankan, dengan tingkat risiko pembiayaan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan
keduanya.

Pada tahun 2020, INA mendapatkan suntikan dana dari pemerintah sebesar Rp15 triliun sebagai
modal awal. Selanjutnya pada tahun 2021, suntikan dana akan ditambah sebesar Rp60 triliun
secara bertahap. Pada tahap awal, INA diharapkan mampu untuk menarik dana invetasi sebesar
Rp300 triliun. Dari target tersebut, hingga saat ini INA baru mendapatkan komitmen investasi
senilai US$ 3,75 miliar atau Rp 54 triliun dari tiga investor global.7 Beberapa tantangan yang
dihadapi LPI saat ini antara lain:
1. keterbatasan modal dibandingkan dengan kebutuhan pendanaan infrastruktur pemerintah
(sebanyak Rp 6.445 triliun berdasarkan RPJMN 2020-2024);
2. kurangnya kemampuan untuk menarik investasi atau modal asing dalam jangka pendek.
Perlu waktu yang lebih panjang untuk menarik investasi seiring peningkatan kemampuan
INA dan track record pendanaan/pengelolaan yang menjadi dasar kepercayaan investor;
3. ICOR Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan dengan ICOR negara-negara tetangga di
ASEAN akan menjadi penghambat dalam menarik minat investor;
4. kurang kuatnya dukungan permodalan SWF yang pada umumnya (di negara lain) ditopang
oleh surplus ekspor migas dan sumber daya alam, serta sektor keuangan dan bank sentral.

7
Investor tersebut adalah Caisse de dépôt et placement du Québec (CDPQ), APG Asset Management (APG), dan
Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) yang akan melihat peluang investasi di bidang pengelolaan jalan tol.

41
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Peningkatan utang yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2020 ketika terjadi pandemi COVID-
19, sementara di saat yang sama penerimaan perpajakan mengalami penurunan signifikan.
Kenaikan utang (dan bunga utang) yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan PDB dan
penerimaan perpajakan memunculkan risiko terganggunya ruang fiskal.

2. Di masa pandemi COVID-19, Pemerintah telah menetapkan UU Nomor 2 Tahun 2020 yang
memberikan wewenang kepada Pemerintah dan institusi terkait untuk melaksanakan tindakan
extraordinary, termasuk memperkenankan pelebaran defisit APBN melampaui 3% dari PDB
sampai dengan tahun 2022. Pelebaran defisit ini berdampak pada penambahan jumlah utang
Pemerintah.

3. Hasil Reviu atas Kesinambungan Fiskal Tahun 2020 yang dilakukan oleh BPK mengungkapkan
beberapa indikator pengelolaan utang Pemerintah yang makin rentan dan indikator
kesinambungan fiskal yang melampaui rekomendasi ISSAI 5411 tentang Debt Indicators.

4. Utang Pemerintah sangat memengaruhi kesinambungan fiskal sehingga harus dikelola dengan
baik. Risiko utama pengelolaan utang meliputi risiko tingkat bunga, nilai tukar, dan pembiayaan
kembali (refinancing).

5. Pada tahun 2021, Pemerintah (dhi. Kementerian Keuangan) menetapkan Strategi Pengelolaan
Utang Negara Jangka Menengah (SPUNJM) tahun 2022 – 2025 yang mengatur kebijakan umum
pengelolaan utang serta kebijakan pengelolaan SBN dan pinjaman, dan target pengelolaan utang
Pemerintah.

6. Risiko dan tantangan pengelolaan utang Pemerintah yang perlu mendapatkan perhatian adalah:

a. Biaya utang SBN yang tinggi, sehingga memerlukan pengembangan dan pendalaman pasar
keuangan.
b. Kepemilikan SBN oleh non residen (investor asing) mengalami penurunan pada 2020, namun
porsinya masih cukup besar.
c. Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan strategi pengembangan pasar Surat Berharga Negara
(SBN) Domestik belum efektif meningkatkan likuiditas pasar SBN. Pemeriksaan juga
mengungkapkan tantangan dalam pengembangan dan pendalaman pasar SBN diantaranya:
(1) tidak adanya indikator pencapaian yang jelas atas setiap kebijakan pengembangan pasar

42
SBN; (2) kelemahan pelaksanaan Kontrak Berjangka SUN dengan underlying SUN seri
benchmark tenor 5 dan 10 tahun; (3) tidak optimalnya kinerja dealer utama; (4) sistem
Electronic Trading Platform (ETP) belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan pelaku pasar;
(5) belum terdapat harmonisasi ketentuan perpajakan pasar obligasi Pemerintah.

7. Pengelolaan utang Pemerintah dalam kerangka Asset and Liability Management (ALM) belum
optimal. Pemerintah (dhi. Kementerian Keuangan) dan Bank Indonesia menandatangani nota
kesepahaman dalam rangka pengembangan kerangka kerja SALM. Namun pada tahun 2019
masa berlaku nota kesepahaman tersebut berakhir dan tidak diperpanjang kembali.

8. Kewajiban kontinjensi pemerintah dapat berdampak pada kesinambungan fiskal pemerintah,


yaitu risiko yang berasal dari: (a) kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha; (b) program jaminan
sosial nasional; (c) tuntutan hukum kepada Pemerintah, dan; (d) kewajiban pembayaran pensiun
Pemerintah.

9. Risiko dan tantangan pengelolaan pendapatan, belanja negara dan pembiayaan yang perlu
dicermati adalah:

a. Penerimaan Perpajakan

Peningkatan utang tidak dibarengi dengan peningkatan rasio pajak. Tax ratio menunjukkan
tren penurunan selama tahun 2013-2020. Pemerintah telah melakukan reformasi
perpajakan dan memberikan berbagai fasilitas perpajakan di masa pandemi namun belum
ada mekanisme evaluasi atas pemberian fasilitas tersebut.

b. Belanja Negara

1) Belum ada definisi serta parameter atau indikator belanja produktif.


2) Dalam 5 tahun terakhir keseimbangan primer selalu negatif, artinya bunga utang dibayar
dengan membuat utang baru.
3) Peningkatan belanja pembayaran utang dan bunga utang,
4) Pemanfaatan utang belum optimal yang berdampak pada peningkatan akumulasi SiLPA.
5) Terdapat permasalahan tata kelola dan akuntabilitas belanja pemerintah, serta dalam
pengelolaan dan pertanggungjawaban program PC-PEN.

c. Pembiayaan Investasi

1) Utang luar negeri seluruh BUMN terus mengalami kenaikan. Bank Dunia telah
memberikan peringatan mengenai kondisi utang BUMN yang dipicu oleh pengerjaan

43
proyek infrastruktur Pemerintah. Utang BUMN berdampak bagi fiskal pemerintah
bersifat kontinjensi.

2) Pemerintah juga memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang sangat besar
kepada BUMN, yang jumlahnya meningkat di masa pandemi. Namun demikian
Pemerintah perlu mewaspadai nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia
yang masih tinggi.

3) Sebagai terobosan dalam pemenuhan pembiayaan/investasi nasional, Pemerintah telah


membentuk SWF yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia
Investment Authority (INA). Saat ini LPI memiliki sejumlah tantangan diantaranya dalam
hal permodalan, kemampuan penarikan investasi dalam jangka pendek.

B. Rekomendasi

1. Mitigasi Risiko Tingkat Bunga, Nilai Tukar, dan Pembiayaan Kembali

a. Mengoptimalkan potensi pembiayaan dari sumber utang dalam negeri dan sumber utang luar
negeri sebagai pelengkap, terutama dengan melakukan pengembangan dan pendalaman
pasar SBN.

b. Memprioritaskan penerbitan utang baru dengan tenor menengah-panjang dan tingkat bunga
tetap.

c. Melakukan pengelolaan portofolio utang secara lebih aktif dengan memanfaatkan instrumen
lindung nilai dan skema liability management, dalam rangka memitigasi fluktuasi
pembayaran kewajiban utang dan mencapai struktur portofolio utang yang optimum.

d. Diversifikasi pembiayaan selain dari penerbitan SBN, diantaranya pembiayaan kreatif


(dengan tetap memperhatikan biaya dan risiko yang bersedia ditanggung Pemerintah).
Bentuk pembiayaan kreatif misalnya kombinasi beberapa instrumen utang, diversifikasi
instrumen SBN (konvensional dan syariah), serta KPBU.

2. Mitigasi Risiko Pengelolaan Utang Pemerintah

a. Pemerintah melakukan pengembangan dan pendalaman pasar SBN untuk memperluas basis
investor domestik (baik institusi maupun ritel) dan meningkatkan efisiensi tingkat suku
bunga SBN, melalui:

1) Inovasi di sisi supply melalui diversifikasi instrumen SBN, diantaranya penerbitan SBN
dengan tema tertentu dan tujuan penggunaan yang spesifik. Dengan demikian

44
pembiayaan (utang) melalui SBN dapat digunakan untuk hal yang produktif dan
memperluas basis investor SBN.

2) Penguatan di sisi demand, diantaranya dengan: (a) membangun sinergi antara


pemerintah, dunia usaha, kalangan akademisi, dan komunikasi publik untuk
meningkatkan minat investasi pada SBN; (2) optimalisasi peran Lembaga Jasa Keuangan
dalam meningkatkan pengembangan pasar SBN sehingga industri di bidang jasa
keuangan (seperti asuransi, dana pensiun, BPJS Ketenagakerjaan, dan BPJS Kesehatan)
meningkatkan invetasinya pada SBN.

3) Perbaikan infrastruktur pasar SBN, diantaranya dengan: (a) optimalisasi kinerja dealer
utama untuk menciptakan pasar SBN yang aktif dan likuid, serta; (2) optimalisasi sistem
Electronic Trading Platform dalam memenuhi kebutuhan pelaku pasar SBN.

b. Mengingat sebagian besar SBN dimiliki oleh perbankan, pemerintah perlu berkoordinasi
dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyusun strategi/regulasi
untuk mendorong efisiensi perbankan agar tingkat suku bunga perbankan dapat diturunkan,
yang pada akhirnya memungkinkan untuk menurunkan yield SBN.

c. Pemerintah bekerjasama dengan BI memperkuat fundamental makroekonomi serta pasar


valuta asing yang stabil dan liquid dalam rangka menurunkan biaya utang. Perbaikan
likuiditas pasar valuta aing dan peningkatan kecukupan cadangan valuta asing dapat
membantu menurunkan biaya utang.

d. Peningkatan koordinasi formal antara Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal dengan
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dalam kerangka makro assets and liabilities
management yang transparan dan akuntabel, sehingga kebijakan fiskal dan moneter dapat
dikelola secara terintegrasi dalam rangka pengelolaan risiko utang Pemerintah.

e. Optimalisasi pemanfaatan sumber pembiayaan lain seperti Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan
idle cash dari Badan Layanan Umum.

3. Mitigasi Risiko Kewajiban Kontinjensi

a. Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha

1) Mengkaji ulang atau prioritisasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah.

2) Integrasi pengelolaan risiko pada BUMN yang menerima penugasan dalam rangka KPBU
dengan pengelolaan risiko kontinjensi Pemerintah untuk memastikan bahwa risiko di

45
masing-masing BUMN masih dalam batasan aman dan tidak akan berdampak signifikan
terhadap keuangan negara (termasuk risiko fiskal terkait dengan pinjaman BUMN yang
dijamin oleh pemerintah)

b. Kewajiban pembayaran pensiun Pemerintah

1) Membentuk lembaga khusus pengelolaan dana pensiun ASN dan TNI/Polri dimana
pengelolaan dana pensiun dilakukan sesuai dengan prinsip dan praktik yang berlaku
umum. Dengan demikian, pembayaran pensiun pemerintah tidak lagi menjadi beban
berat APBN.

2) Reformasi Program Pensiun PNS, TNI, dan Polri untuk menimimalkan dampak
pembayaran pensiun PNS, TNI, dan Polri terhadap APBN yang nilainya terus meningkat
setiap tahunnya.

c. Tuntutan Hukum kepada Pemerintah

1) Meningkatkan sinergi antar Kementerian /Lembaga terkait sesuai kewenangannya untuk


memastikan penanganan setiap permasalahan hukum yang dapat berdampak terhadap
berkurangnya aset Pemerintah dan atau pengeluaran Pemerintah telah dikelola secara
optimal.

4. Mitigasi Risiko Penerimaan Negara

a. Optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara khususnya penerimaan perpajakan untuk


meningkatkan tax ratio, diantaranya dengan:
(1) pengenaan pajak untuk transaksi elektronik/digital, seiring dengan makin tinggnya
transaksi ekonomi digital, diiringi dengan penetapan regulasi, pengawasan, dan skema
perpajakan yang optimal untuk sektor ekonomi digital dan instrumen investasi ekonomi
digital;
(2) pengenaan pajak karbon dan energi tak terbarukan/ bahan bakar fosil;
(3) pemberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang bersifat final,

b. Koordinasi antara Pemerintah Pusat (Kementerian Keuangan) dan Pemerintah Daerah dalam
mengawasi pemberian insentif dan berbagai fasilitas perpajakan.

5. Mitigasi Risiko Belanja Negara

a. Perbaikan kualitas belanja pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan


kepercayaan publik antara lain melalui:

46
1) efisiensi (mengurangi pemborosan) belanja Pemerintah;
2) refocussing anggaran belanja pemerintah untuk program-program prioritas dalam
rangka penanganan pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional, serta
penundaan belanja yang tidak prioritas di masa pandemi;
3) perencanaan dan penganggaran belanja yang berorientasi pada hasil;
4) meningkatkan upaya pencegahan dan deteksi fraud serta penegakan hukum tindak
pidana korupsi dalam penyelenggaraan program-program Pemerintah.

b. Monitoring dan evaluasi atas belanja pemerintah, terutama yang bernilai material, program
yang signifikan, atau berisiko tinggi.

c. Menetapkan indikator dan target pencapaian belanja yang berkualitas untuk mengukur
kualitas belanja Pemerintah. Selanjutnya melakukan pengukuran dan evaluasi atas
pencapaian target kualitas belanja negara secara priodik dan konsisten.

d. Perbaikan pengelolaan, kepatuhan, akuntabilitas, dan efektivitas program PC-PEN, serta


memastikan kesinambungan fiskal pemerintah, diantaranya dengan:
1) memperbaiki sistem pengendalian internal dalam penyelenggaraan program PC-PEN di
masing-masing institusi pemerintah baik pusat maupun daerah;
2) pengawasan berkelanjutan yang dilakukan secara agile untuk mengimbangi kecepatan
gerak pelaksanaan program;
3) perbaikan akurasi dan kualitas data penerima bantuan sosial;
4) fleksibilitas pelaksanaaan program dengan tetap memperhatikan efektivitas,
akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di masa
pandemi.

6. Mitigasi Risiko Pembiayaan Investasi

a. Membangun struktur tata kelola Lembaga Pengelola Investasi yang komprehensif terkait
dengan pengelolaan, pengawasan, pelaporan, serta pemeriksaan atas keuangan dan kinerja
lembaga tersebut. Sistem tata kelola tersebut harus memuat kebijakan dan proses untuk
menjamin transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan penyaluran dana SWF.

b. Penetapan target kinerja Lembaga Pengelola Investasi secara jelas, terukur, dan realistis,
termasuk penetapan jangka waktu, indikator kinerja, dan milestone Lembaga Pengelola
Investasi.

47
c. Menyusun struktur permodalan SWF yang kuat dengan melibatkan sinergi antara otoritas
keuangan dan moneter.

48
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam
Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan.
Badan Kebijakan Fiskal. Kajian Strategi Menjaga Keberlanjutan Utang dalam Kerangka
Kesinambungan Fiskal. 2018.
Bank Indonesia. Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025. Bank Indonesia: Membangun Pasar Uang
Modern dan Maju di Era Digital. 2020.
BPK RI. Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Efektivitas Pengelolaan Belanja Pemerintah yang
Berkualitas dalam Kerangka Penganggaran Berbasis Kinerja Tahun 2017 s.d. Semester I Tahun
2018 pada Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/BAPPENAS dan Instansi Terkait Lainnya
di Jakarta.
BPK RI. Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Efektivitas Pengelolaan Utang Pemerintah Pusat
untuk Menjamin Biaya Minimal dan Risiko Terkendali serta Kesinambungan Fiskal Tahun 2018
dan 2019 pada Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/BAPPENAS dan Instansi Terkait
Lainnya di Jakarta. 2019.
BPK RI. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2019. 2020.
BPK RI. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2020. 2021.
BPK RI. Pendapat (Strategic Foresight) BPK “Membangun Kembali Indonesia dari COVID-19:
Skenario, Peluang, dan Tantangan Pemerintah yang Tangguh”.2021.Kerangka Ekonomi Makro
dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2022.
Enzo Croce and V. Hugo Juan-Ramon. IMF Working Paper WP/03/145. Assessing Fiscal
Sustainability: A Cross-Country Comparison. 2003.
Idha Muktiyanto, et.al. Determinan Tingkat Imbal Hasil (Yield) Surat Berharga Negara (SBN)
Domestik. Kajian Ekonomi dan Keuangan Vol. 3 Nomor 2 (2019).
International Monetary Fund. IMF Country Report No. 21/46. 2021.
Kementerian Keuangan RI, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan. Strategi Nasional Pengembangan
dan Pendalaman Pasar Keuangan 2018-2024.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 253/KMK.08/2021 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara
Jangka Menengah (SPUNJM) tahun 2022 – 2025.

49
Lampiran 15 Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2020 (Audited). Ikhtisar Laporan
Keuangan Perusahaan Negara (BUMN).
McKinsey & Company. “A Smarter Way to Think About Public-Private Partnerships”, 2021.
https://www.mckinsey.com/business-functions/risk-and-resilience/our-insights/a-smarter-
way-to-think-about-public-private-partnerships?cid=other-eml-dre-mip-
mck&hlkid=3301bcdf4ece4427a3cb268cb6a89b1c&hctky=12403745&hdpid=27200bad-78ff-
4aa8-86a7-f1039c4af5a2 diakses pada 14 September 2021.
Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022.

50

Anda mungkin juga menyukai