Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH REVIEW JURNAL

PATCH TRANSDERMAL L-sistein HCl SEBAGAI PERLINDUNGAN


RADIASI ELEKTROMAGNETIK PADA HANDPHONE

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Biofarmasi
Dosen: Apt. Dede Priyanti, M.Farm

Kelompok 8

Devi Andriani 31118162 Santi Sulistiawati 31118163

Mariah Ulfah 31118176 Waffa Nabillah R 31118177

Kinanti Andriani P 31118169 Widia Danisa NH 31118167

Ramdan Bastian 31118150 Widan Rizki A 31118155

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIKes BAKTI TUNAS HUSADA
KOTA TASIKMALAYA
2021/2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT dimana Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, panjatkan puja puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
hidayah, rahmat dan juga inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Patch Transdermal L-sistein HCl Sebagai Perlindungan Radiasi Elektromagnetik
Handphone.

Makalah ini telah selesai kami susun dengan maksimal dengan bantuan
pertolongan dari berbagai sumber sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada pada pihak yang
telah ikut serta memberikan tempat sebagai sumber yang kami gunakan dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa masih makalah
ini jauh dari kata sempurna baik dari segi tata bahasa maupun dalam susunan
kalimatnya. Maka dari itu, kami terbuka untuk menerima segala masukan dan
kritik yang bersifat membangun dari pembaca, sehingga kami dapat melakukan
perbaikan makalah ini sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.

Akhir kata kami meminta semoga makalah makalah Patch Transdermal L-


sistein HCl Sebagai Perlindungan Radiasi Elektromagnetik Handphone ini bisa
memberi manfaat utaupun inspirasi bagi pembaca.

Tasikmalaya, 16 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ............................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Radiasi (Radikal Bebas) ..................................................................... 4


B. N-Asetil sistein/L-Cys (Antioksidan)................................................. 5
C. Patch Transdermal .............................................................................. 5

BAB III BAHAN DAN METODE

A. Bahan ................................................................................................. 11
B. Persiapan RTV-Si-TDP yang Dimuat dengan L-Cys-HCl ................ 11
C. Evaluasi RTV-Si-TDP yang Telah Disiapkan ................................... 11
D. Studi Rilis In-Vitro ............................................................................. 13
E. Studi Permeasi Kulit L-CyS-HCl dari RTV-Si-TDP
Melalui Kulit Punggung Tikus yang Dipotong ................................. 14
F. Permeasi in-vivo dan Studi Farmakokinetik
L-CyS-HCl-RTV-Si-TDP pada Tikus ................................................ 16
G. Evaluasi In-Vivo Efek Perlindungan L-CyS-
HCl-RTV-Si-TDPs Terhadap Bahaya Stres
Oksidatif dari Ponsel yang Memancarkan EMR ................................ 17
H. Studi Histolong Sampel dan Persiapan Jaringan ............................... 19
I. Analisis Data Statistika ...................................................................... 20

ii
BAB IV PEMBAHASAN

A. Evaluasi TDP yang Disiapkan............................................................ 22


B. Studi Rilis In-Vitro ............................................................................. 25
C. Studi Perembesan Kulit ...................................................................... 27
D. Studi Permeasi dan Farmakokinetik In-Vivo ..................................... 29
E. Evaluasi In-Vivo Efek Perlindungan L-CyS-HCl-
RTV-Si-TDPs Terhadap Bahaya Stres Oksidatif
Dari Ponsel yang Memancarkan EMR ............................................... 32
F. Studi Histopatologi............................................................................. 38

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 42

DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Kulit ..................................................................................... 6


Gambar 2. Generator gelombang mikro dengan penganalisis gelombang
mikro (penganalisis jaringan vektor ROHDE &
SCHWARZ ZVA67 10 MHz–67 GHz - AS) .................................... 18
Gambar 3. Difraktogram sinar-X dari tambalan yang berbeda ........................... 24
Gambar 4. Mikrofotografi SEM menunjukkan tekstur pori permukaan
RTV-Si-TDPs ..................................................................................... 25
Gambar 5. Efek Konsentrasi Sorbitol dalam in-vivo .......................................... 26
Gambar 6. Profil Permeasi L-Cys-HCl melalui kulit tikus yang
dipotong dari berbagai RTV ............................................................... 28
Gambar 7. Rata-rata profil plasma waktu konsentrasi GSH pada
tikus setelah pemberian dosis bolus IV tunggal (20 mg) ................... 30
Gambar 8. Pengaruh konsentrasi L-CyS-HCl terhadap fragilitas
osmotik eritrosit (EOF) pada tikus ..................................................... 34

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kekuatan tarik dan % perpanjangan L-Cys-HCl-RTV-Si-


TDPs (F1–F6) yang disiapkan ................................................................ 20
Tabel 2. Kekuatan dan % perpanjangan L-CyS-HCl- RTV-Si-
TDPs yang disiapkan .............................................................................. 22
Tabel 3. Parameter permeasi L-CyS-HCL melalui kulit tikus
punggung yang dipotong dari berbagai RTV-SiTDP
yang dimuat L-CyS-HCl ......................................................................... 28
Tabel 4. Parameter farmakokinetik GSH pada tikus setelah pemberian
IV 20 mg dosis tunggal L-CyS-HCL dan 80 mg L-CyS-HCL
disemua RTV-Si-TDP (F5) ..................................................................... 31
Tabel 5. Nilai gambar darah sebelum dan sesudah terpapar radiasi
elektromagnetik ponsel ........................................................................... 35
Tabel 6. Efek histopatologi EMR yang dipancarkan dari ponsel pada
Korteks serebral, hipokampus dan striatum otak tikus setelah
terpapar medan kontinu RF/MW 900 MHz selama empat jam ............. 38

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini teknologi sudah menjadi urat nadi masyarakat modern. Penggunaan
alat elektronik dalam kegiatan sehari-hari membuat kita lebih rentan terhadap
radiasi elektromagnetik (EMR). Pertumbuhan telekomunikasi telepon seluler telah
meningkatkan kesadaran ilmiah tentang efek biologis EMR yang dipancarkan dari
telepon seluler dan konsekuensinya terhadap kesehatan manusia. Ozguner dkk
(2005) melaporkan bahwa EMR telepon seluler dapat mempengaruhi sistem
biologis dengan meningkatkan radikal bebas yang meningkatkan peroksidasi lipid
dan dengan mengubah sistem pertahanan antioksidan jaringan, sehingga
menyebabkan stres oksidatif (Ozguner et al., 2005). Spesies oksigen reaktif (ROS)
dikenal sebagai elektron tidak berpasangan dari molekul oksigen bereaksi
membentuk spesies yang sangat reaktif, yang dihasilkan dari sumber enzimatik dan
non-enzimatik yang menyebabkan stres oksidatif. Banyak kondisi patologis
termasuk kanker, gangguan neurologis, aterosklerosis dan hipertensi berkontribusi
terhadap stres oksidatif. Selain itu, karena gelombang mikro dalam rentang
frekuensi 800-1000 MHz biasanya dapat menembus tengkorak, hampir 40% dari
gelombang mikro yang diserap dapat meluas melalui otak bagian dalam (Klemm &
Troester, 2006).
Beberapa percobaan telah dilakukan untuk mempelajari efek perlindungan dari
antioksidan alami yang berbeda seperti vitamin dan hormon melatonin terhadap
bahaya biologis ponsel (Guney et al., 2007) (Kerman & Senol, 2012). Baru-baru
ini, banyak penelitian telah menetapkan efek perlindungan N-asetil sistein/L-CyS
sebagai antioksidan kuat untuk memperbaiki efek radiasi ponsel (Abdel-Rahman,
2004) (Ozgur et al., 2010). Namun, sistem pertahanan utama terhadap ROS telah
dipelajari sebelumnya, menggarisbawahi bahwa L-sistein (L-CyS) memainkan
peran kunci dalam mencegah kerusakan oksidatif, tindakan ini sebagian karena sifat
antioksidan langsung melalui fungsi tiolnya yang dapat mengais radikal bebas, dan

1
tentu saja lebih signifikan sebagai prekursor pembatas GSH tereduksi (Li et al.,
2002).
Telah diketahui sebelumnya bahwa, L-CyS melintasi membran eritrosit (proses
masuk dan keluar) lebih efisien daripada N-asetil sistein; karenanya bisa lebih
efektif daripada Nacetyl cysteine dalam memulihkan tingkat SH bebas intraseluler
yang terkuras. Dengan demikian, di bawah kondisi oksidatif L-CyS mungkin lebih
efisien dengan respons yang lebih cepat dalam perlindungan terhadap stres oksidatif
dan dalam regenerasi kadar GSH (Yildiz et al., 2009).
Patch transdermal (TDPs) sebagai patch perekat obat, ditempatkan pada kulit
dan memberikan dosis obat tertentu melalui kulit mencapai aliran darah, adalah
metode yang menarik untuk menghindari metabolisme lintas pertama, fluktuasi
yang lebih rendah dalam tingkat obat plasma, menargetkan bahan aktif untuk efek
lokal dan kepatuhan pasien yang baik. Silikon vulkanisir suhu kamar (RTV-Si)
telah digunakan sebelumnya untuk persiapan TDP. Karena elastomer adalah
polimer komersial yang menawarkan karakteristik biokompatibilitas yang unik dan
tidak dapat terurai secara hayati, elastomer banyak digunakan dalam biomaterial,
terutama pada peralatan medis untuk penghantaran obat atau pelepasan obat yang
terkontrol; di antara silikon kelas medis, polydimethylsiloxane tidak hanya
memenuhi standar di atas tetapi juga dapat digunakan dalam aplikasi topikal kulit
dan implan jangka panjang (Tsai & Chang, 2013).

B. Rumusan Masalah
Bagaimana cara untuk mengatasi pengaruh Lsistein hidroklorida yang dimuat
dalam patch transdermal silikon vulkanisir suhu kamar (L-CyS-HCL-RTV-Si-
TDPs) sebagai pendekatan yang menjanjikan untuk perlindungan terhadap bahaya
stres oksidatif yang dihasilkan oleh penggunaan ponsel memancarkan radiasi
elektromagnetik?

2
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatasi pengaruh Lsistein
hidroklorida yang dimuat dalam patch transdermal silikon vulkanisir suhu kamar
(L-CyS-HCL-RTV-Si-TDPs) sebagai pendekatan yang menjanjikan untuk
perlindungan terhadap bahaya stres oksidatif yang dihasilkan oleh penggunaan
ponsel memancarkan radiasi elektromagnetik.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Radiasi (Radikal Bebas)


Radikal bebas adalah sekelompok bahan kimia baik berupa atom maupun
molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan luarnya atau
kehilangan elektron, sehingga apabila dua radikal bebas bertemu, mereka bisa
memakai bersama elektron tidak berpasangan membentuk ikatan kovalen. Molekul
biologi pada dasarnya tidak ada yang bersifat radikal. Apabila molekul non radikal
bertemu dengan radikal bebas, maka akan terbentuk suatu molekul radikal yang
baru. Dapat dikatakan, radikal bebas bersifat tidak stabil dan selalu berusaha
mengambil elektron dari molekul di sekitarnya, sehingga radikal bebas bersifat
toksik terhadap molekul biologi/sel. Radikal bebas dapat mengganggu produksi
DNA, lapisan lipid pada dinding sel, mempengaruhi pembuluh darah, produksi
prostaglandin, dan protein lain seperti enzim yang terdapat dalam tubuh
(Werdhasari, 2014)

Radikal bebas yang mengambil elektron dari DNA dapat menyebabkan


perubahan struktur DNA sehingga timbullah sel-sel mutan. Bila mutasi ini terjadi
berlangsung lama dapat menjadi kanker. Radikal bebas juga berperan dalam proses
menua, dimana reaksi inisiasi radikal bebas di mitokondria menyebabkan
diproduksinya Reactive Oxygen Species (ROS) yang bersifat reaktif. Radikal bebas
dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti asap
rokok, hasil penyinaran ultra violet, zat kimiawi dalam makanan dan polutan lain
(Werdhasari, 2014).
Radiasi elektromagnetik (EMR) telepon seluler dapat mempengaruhi sistem
biologis dengan meningkatkan radikal bebas yang meningkatkan peroksidasi lipid
dan dengan mengubah sistem pertahanan antioksidan jaringan, sehingga
menyebabkan stres oksidatif. Spesies oksigen reaktif (ROS) dikenal sebagai
elektron tidak berpasangan molekul oksigen bereaksi membentuk spesies yang
sangat reaktif, yang dihasilkan dari sumber enzimatik dan non-enzimatik yang
menyebabkan stres oksidatif. Banyak kondisi patologis termasuk kanker, gangguan

4
neurologis, aterosklerosis dan hipertensi berkontribusi terhadap stres oksidatif.
Selain itu, karena gelombang mikro dalam rentang frekuensi 800-1000 MHz
biasanya dapat menembus tengkorak, hampir 40% dari gelombang mikro yang
diserap dapat meluas melalui otak bagian dalam (Omar et al., 2019).

B. N- Asetil sistein/L-Cys (Antioksidan)


Antioksidan adalah inhibitor dari proses oksidasi, bahkan pada konsentrasi
yang relatif kecil. Antioksidan merupakan komponen kimia yang terdiri atas
monohidroksil atau polihidroksil fenol. Antioksidan bekerja pada beberapa cara
berbeda terhadap proses oksidatif yaitu scavenging radikal bebas secara enzimatik
atau dengan reaksi kimia langsung, scavenging radikal lipid peroksil, berikatan
dengan ion logam dan memperbaiki kerusakan oksidatif. Antioksidan berfungsi
menambahkan atau menghilangkan satu elektron untuk menetralisir ROS, sehingga
radikal bebas menjadi stabil dan menghambat proses oksidasi (Andarina &
Djauhari, 2017).
L-sistein (L-CyS) memainkan peran kunci dalam mencegah kerusakan
oksidatif, tindakan ini sebagian karena sifat antioksidan langsung melalui fungsi
tiolnya yang dapat mengais radikal bebas. dan tentu saja lebih signifikan sebagai
prekursor pembatas GSH tereduksi L-CyS melintasi membrane eritrosit (proses
masuk dan keluar) lebih efisien daripada N-asetil sistein; karenanya bisa lebih
efektif daripada Nacetyl cysteine dalam memulihkan tingkat SH bebas intraseluler
yang terkuras. Dengan demikian, di bawah kondisi oksidatif L-CyS mungkin lebih
efisien dengan respons yang lebih cepat dalam perlindungan terhadap stress
oksidatif dan dalam regenerasi kadar GSH (Omar et al., 2019).

C. Patch Transdermal
1. Kulit
Kulit termasuk bagian dari rangka terluas, dengan berat keseluruhan
sekitar 2,7kg sampai 3,6 kg dan mendapatkan sepertiga volume darah dari
tubuh, dengan ketebalan kulit yang bermacam-macam berkisar antara 0,5
sampai 6,0 mm terdiri dari sel-sel serta matriks ekstraseluler. Kulit terdiri dari
3 lapisan diantaranya yaitu epidermis yang merupakan bagian terluar dari kulit

5
memiliki kelapisan yang tipis, selanjutnya yaitu dermis merupakan bagian dari
kulit yang memiliki tekstur tebal yang berada di dalam, kemudian pada bagian
bawah dermis terdapat suatu jaringan lemak subkutan atau biasa disebut
dengan hypodermis. Jaringan hypodermis adalah jaringan ikat dimana tempat
dari kelenjar keringat serta lemak dan sel-sel kolagen yang menempel di bawah
dermis (Goldsmith, Lowell A, 2012).

Gambar 1. Struktur Kulit


a. Lapisan Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar pada kulit. Lapisan epidermis
memiliki ketebalan yang berbeda-beda tergantung dari ukuran sel dan jumlah
lapisan dari sel epidermis, nilainya antara 0,8 mm pada telapak tangan dan kaki
hingga 0,06 mm pada kelopak mata (Patel, et al., 2012).
Epidermis atas terdiri dari epidermis hidup dan stratum corneum.
Epidermis hidup menujukkan sifat seperti hidrogel. Dalam bentuk hidrogel
epidermis tersebut tidak menunjukkan penghalang penetrasi secara signifikan
(Agoes, 2008).
Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum (memiliki ketebalan ±10
μm ketika kering dan mampu mengembang dan membengkak ketika terhidrasi,
tersusun atas 10-25 lapisan sel keratin yang disebut korneosit), stratum
lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale (Patel, et
al., 2012).
b. Lapisan Dermis
Lapisan dermis merupakan jaringan ikat, terdiri dari jaringan serabut
kolagen (75%), elastin (4%) dan zat lainnya, berada di lapisan bawah epidermis

6
yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis
dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara
garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni pars papilare dan pars reticulare.
Lapisan ini berfungsi mensuplai makanan untuk epidermis dan bertanggung
jawab terhadap sifat elastisitas kulit. Fibroblas dermis memproduksi prekursor
yang dikenal sebagai pro-kolagen. Prokolagen ini mengandung 300-400 asam
amino yang dipindahkan setelah sekresi menghasilkan kolagen. Bila produksi
kolagen menurun proses kulit kering akan meningkat dan elastisitas kulit
menurun (Devissaguet dan Aiache, 1993).
c. Lapisan Hipodermis
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar
berisi sel-sel lemak di dalamnya dan juga mengandung glomerulus kelenjar
keringat. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa, berfungsi sebagai
cadangan makanan, di lapisan ini juga terdapat ujung-ujung saraf tepi,
pembuluh darah, dan getah bening (Devissaguet dan Aiache, 1993).
2. Sediaan Patch Transdermal
Patch transdermal merupakan suatu system penghantaran obat dengan
menggunakan perekat melalui kulit menuju ke sirkulasi sistemik dengan laju
pelepasan terkontrol dan mempertahankan konsentrasi dari obat tersebut
(Pawar M Priyanka et al, 2018).
Salah satu pengembangan sistem terapi obat melalui rute transdermal yaitu
pembuatan sediaan patch, namun masalah utama dalam penghantaran obat
secara transdermal yaitu kemampuan permeabilitas obat dalam melewati
stratum corneum yang merupakan barrier utama dalam penetrasi obat masuk
melewati kulit. Untuk mengatasi masalah penetrasi tersebut partikel obat
dibuat sekecil mungkin hingga berukuran nanometer (nm) (Suryani et al.,
2015).
Patch memastikan obat terdistribusi dengan laju pelepasan terkontrol.
Partikel obat harus terlarut sehingga terbentuk molekul yang dapat berdifusi
melewati polimer, kemudian obat akan berpenetrasi melewati kulit.
Berdasarkan metode formulasinya, patch dibagi dua kelompok yaitu membrane
controlled system dan matrix controlled system (Okyar, et al., 2013).

7
a. Keuntungan Sediaan Transdermal
Keuntungan rute pemberian obat menggunakan sediaan patch transdermal
antara lain (Khumar et al, 2016).
1) Mampu menghindari fisrt pass metabolisme obat.
2) Dapat menghindari degradasi obat di Gastrointestinal (GI).
3) Saat terjadi toksisitas mudah dihilangkan.
4) Dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengurangan frekuensi
dosis.
5) Mudah digunakan untuk anak-anak, orang dewasa, lanjut usia maupun
cacat mental.
6) Dapat diaplikasikan oleh pasien sendiri tanpa bantuan tenaga medis.
b. Kerugian Sediaan Transdermal
Kerugian rute pemberian obat menggunakan sediaan patch transdermal
antara lain (Dhiman et al, 2016) ;
1) Tidak cocok untuk bahan yang dapat mengiritasi kulit.
2) Dapat menyebabkan reaksi alergi pada kulit.
3) Hanya untuk bahan obat yang memiliki sifat impermeable terhadap
kulit.
4) Menyebabkan ritema, gatal-gatal dan local edema yang disebabkan
karena obat adesiv dan eksipien yang digunakan dalam gormulasi
patch.
3. Jenis Sistem Pemberian Obat Transdermal
Transdermal merupakan sistem penghantaran obat yang menghantarkan
obat ke kulit dengan kecepatan tertentu untuk mencapai efek sistemik (Suryani
et al., 2015).
Sediaan transdermal merupakan salah satu bentuk sistem penghantaran
obat dengan cara ditempel melalui kulit. Rute penghantaran obat secara
transdermal merupakan rute pilihan alternatif untuk beberapa obat, karena
mempunyai beberapa keuntungan antara lain dapat memberikan efek obat
dalam jangka waktu yang lama, pelepasan obat dengan dosis konstan, cara
penggunaan yang mudah, dan dapat mengurangi frekuensi pemberian obat
(Khan, et al., 2012)

8
Melalui bentuk sediaan transdermal jumlah pelepasan obat yang
diinginkan dapat dikendalikan, durasi penghantaran aktivitas terapeutik dari
obat, dan target penghantaran obat ke jaringan yang dikehendaki. Tujuan dari
pemberian obat secara transdermal adalah obat dapat berpenetrasi ke jaringan
kulit dan memberikan efek terapeutik yang diharapkan (Barhate, et al., 2009)
Sistem penghantaran obat transdermal adalah suatu sistem penghantaran
obat yang memfasilitasi obat menembus kulit kemudian masuk ke peredaran
darah untuk memperoleh efek sistemik. Pemanfaatan kulit sebagai rute
penghantaran obat sistemik sampai tahun 1950-an belum dieksploitasi baik
secara komersial maupun secara saintifik. Pengembangan sediaan berbentuk
salap yang mengandung obat seperti nitrogliserin dan senyawa salilisilat,
membantah anggapan klasik bahwa kulit merupakan lapisan yang tidak dapat
ditembus (impermeable), secara sederhana ternyata kedua obat tersebut
menunjukkan efektivitas terapeutik. Jauh sebelumnya telah ditemukan bahwa
pekerja di industri zat warna di Jerman banyak menderita penyakit kanker
ginjal dan pada waktu itu sudah ada kecurigaan bahwa zat warna karsinogenik
dapat mencapai ginjal melalui kulit (transdermal) (Agoes, 2008).
Berdasarkan metode formulasinya, jenis system pemberian obat sediaan
patch transdermal dibedakan menjadi 2 yaitu Reservoir System dan Matrix
diffusion-controlled System. Adapaun kombinasi dari kedua tipe ini maka dapat
dikembangkan menjadiDrug-in-adhesive systemdan Micro-Reservior System
(Khumar et al, 2016).
a. Reservoir System
Dalam obat sistem ini, reservoir obat disimpan diantara lapisan kulit dan
membrane pengontrol laju. Molekul obat hanya akan terlepas melalui rate
controlling membrane. Bahan aktif dari reservoir dapat di dispersikan dalam
bentuk padatan obat yang tersebar dalam matriks polimer padat, medium cair
kental seperti suspense atau gel di reservoir kompartemen(Pawar M Priyanka
et al, 2018)
b. Matrix diffusion-controlled System
Reservoir obat dibuat dengan mendispersikan partikel homogen obat
dalam matriks polimer hidrofilik atau hidrofobik. Reservoir obat dapat dibuat

9
dengan melarutkan obat dan polimer dalam pelarut umum diikuti dengan
penguapan pelarut dalam cetakan pada suhu tinggi atau vakum. Reservoir obat
yang mengandung polimer kemudian disisipkan ke dalam plat dasar oklusif
pada kompartemen fabrikasi dari backing plastik (Khumar et al, 2016)
c. Drug-in-adhesive system
Obat dalam system ini tersebar pada adhesive layer pada patch. Untuk
pembentukan obat penampung obat yang didispersikan dalam polimer perekat
dan kemudian menyebarkan perekat polimer obat dengan pengecoran pelarut
atau dengan melelehkan perekat (dalam kasus perekat leleh panas) ke lapisan
pendukung yang kedap air (Pawar M Priyanka et al, 2018).
d. Micro- Reservior System
Sistem ini merupakan kombinasi dari sistem reservoir dan matriks
dispersi. Di sini obat disuspensikan dalam larutan berair dari polimer yang larut
dalam air dan kemudian mendispersikan larutan secara homogen dalam
polimer lipofilik untuk membentuk ribuan bola mikroskopis reservoir obat
yang tidak dapat diputihkan. (Pawar M Priyanka et al, 2018).

10
BAB III

BAHAN DAN METODE

A. Bahan

Polydimethylsiloxane dibeli dari Dow Corning Inc., (Midland, MI, USA), L-


sistein hidroklorida monohidrat, sorbitol dan reagen Ellman (DTNB) dibeli dari
Sigma Aldrich (St. Louis, USA), bahan kimia lainnya adalah kelas analitis.

B. Persiapan RTV-Si-TDP yang Dimuat dengan L-CyS-HCl

Metode persiapan RTV-Si-TDPs sesuai dengan yang dijelaskan baru baru ini
(Tsai, C.-Y., Chang, 2013). Secara singkat, polidimetilsiloksan (elastomer lunak
RTV-Si) dibuat dengan mencampur monomer, cairan (A) dan zat pendorong
pengikat silang (garam platinum), cairan (B) dengan perbandingan 10:1 untuk A:B,
w/ w (F1). Untuk persiapan RTVSi-TDP dengan muatan L-CyS-HCl, 5% L-CyS-
HCl dan konsentrasi sorbitol yang berbeda (0%, 5%, 10%, 15% dan 20% b/b berat
patch) ditinggikan dengan cairan B dan kemudian dicampur dengan cairan A untuk
membuat masing-masing F2, F3, F4, F5 dan F6. Campuran segera dituangkan di
atas cetakan Teflon dan disimpan semalaman agar kering pada suhu kamar.

C. Evaluasi RTV-Si-TDP yang Telah Disiapkan


1. Ketebalan

Ketebalan TDP ditentukan dengan menggunakan (Zwick Roell Tensile


Testing Proline, Jerman) di berbagai titik patch.

2. Kekuatan tarik dan % perpanjangan

Kekuatan tarik, tegangan maksimum yang diterapkan pada titik di mana


tambalan putus, serta % perpanjangan, ukuran kapasitas tambalan untuk
berubah bentuk sebelum kegagalan, ditentukan untuk spesimen elastomer yang
diuji sesuai dengan cara yang dijelaskan sebelumnya, menggunakan tarik alat

11
uji kekuatan (Zwick Roell Tensile Testing Proline, Jerman), (Bharkatiya, M.,
Nema, R., Bhatnagar, 2010). Titik leleh (Y) dicatat sebagai indikasi kekuatan
tarik. Kuat tarik sampel dihitung dengan membagi beban putus (Newton)
dengan luas penampang benda uji (m2) dan dinyatakan dalam MPa. Selain itu,
perubahan panjang strip yang terjadi melalui peningkatan tegangan dicatat
sebagai % elongasi (Raghavendra, K., Doddayya, H., Patil, S., Habbu, 2000).
Setidaknya lima ulangan dilakukan untuk setiap patch yang diformulasikan.

3. Difraksi sinar-x

Untuk memeriksa efek sorbitol yang tertanam dalam TDP pada sifat kristal
dari patch silikon. Pola difraksi sinar-X dideteksi untuk (F1, F2, F3 dan F5)
menggunakan difraktometer sinar-X (Model: XPERT–PRO– PANalytical–
Belanda). Difraktogram direkam pada suhu kamar dengan kondisi sebagai
berikut: tegangan 45 kV, arus 30 mA, pada langkah 0,02, laju pencacahan 0,5
s/langkah dengan anoda tabung Cu dan sudut hamburan (2H) berkisar (4–80-)
dan k 1,54.

Hukum Bragg dapat digunakan untuk menghitung jarak antara lapisan atom
dalam kristal polimer dari patch yang berbeda (dspacing) menggunakan
persamaan berikut: nk ¼ 2dsinH D1NS dimana n adalah bilangan bulat, k
adalah panjang gelombang dari berkas sinar-X yang datang, d adalah jarak
antara lapisan atom dalam kristal polimer dari patch yang berbeda (d-spacing)
dan Theta B adalah sudut datang berkas sinar-X.

4. Evaluasi porositas permukaan

Pengaruh sorbitol pada tekstur berpori permukaan dari berbagai RTV-Si-


TDP yang disiapkan diperiksa menggunakan mikroskop elektron pemindaian
mode vakum tinggi emisi lapangan (FE-SEM, Quanta FEG 250, Holland)
(Wang dkk., 2016).

12
D. Studi Rilis In-Vitro

NS in-vitro Pelepasan L-CyS-HCl dari RTV-Si-TDP yang disiapkan dilakukan


dengan menggunakan sel difusi Franz (dengan diameter kompartemen donor 2,25
cm) seperti yang dijelaskan sebelumnya (Patel dkk., 2012). Empat cm2 Sampel
RTV-Si-TDP yang dimuat L-CyS-HCl setara dengan 20 mg L-CyS-HCl diuji untuk
pelepasan obat. Volume 10 ml media keringat simulasi (SSW3) pH 5,4 (Marques
et al., 2011) pada suhu 37 ± 1 -C ditempatkan di kompartemen reseptor sebagai
media pelepasan (kelarutan L-CyS-HCl dalam air adalah 50 mg/ml). Pada interval
waktu yang telah ditentukan, 250Ml sampel ditarik dari media rilis untuk analisis
L-CyS-HCl dan diganti dengan media segar pada suhu yang sama selama 24 jam.

1. Penentuan L-CyS-HCl yang dilepaskan dari RTV-Si-TDPs menggunakan reaksi


Ellman

L-CyS-HCl yang dilepaskan ditentukan menggunakan reaksi Ellman mengikuti


metode yang dijelaskan sebelumnya (Bernkop-Schnürch dkk., 2003). Reaksi
dibiarkan berlangsung selama 2 jam pada suhu kamar. Sampel dianalisis secara
spektrofotometri untuk pelepasan LCyS-HCl menggunakan spektroskopi
UV/tampak (spektrofotometer Jasco, Jepang). Hasil dinyatakan sebagai persen rilis
kumulatif dari tiga ulangan.

Faktor perbedaan (F1), sebagai prosedur berpasangan, dihitung untuk


mempelajari perbedaan antara profil pelepasan L-CyS-HC dari F3, F4, F5 dan F6
dibandingkan dengan F2 sebagai referensi, dengan menggunakan persamaan
berikut (Moore, 1996):

Dimana f1 mewakili perbedaan persen antara dua kurva pada setiap titik waktu
dan merupakan pengukuran kesalahan relatif antara dua kurva, n adalah jumlah titik
waktu, Rt adalah nilai referensi yang dilepaskan pada waktu t, dan Tt adalah nilai
tes yang dirilis pada waktu T. Nilai untuk f1 lebih dari 15,0 menunjukkan
ketidaksamaan dari dua profil.

13
2. Kinetika rilis dan studi mekanisme NS in-vitro rilis

Data yang diperoleh menjadi sasaran berbagai model matematika (orde nol,
orde pertama dan orde kedua) untuk memprediksi kinetika pelepasan obat. Model
yang paling cocok dipilih sesuai dengan koefisien regresi nilai (r2). Untuk
menyelidiki mekanisme perilaku pelepasan L-CyS-HCl dari RTV-Si-TDPs yang
disiapkan, data dianalisis menggunakan persamaan difusi Higuchi dan model
pelepasan Korsmeyer-Peppas, yang diberikan oleh persamaan berikut (Korsmeyer
et al., 1983):

MT= M1 ¼ ktn

Dimana MT/M1 mewakili fraksi obat yang dilepaskan pada waktu t, K adalah
konstanta kinetik dari sistem obat/polimer dan n adalah eksponen pelepasan yang
mencirikan mekanisme pelepasan. Model yang diusulkan oleh Peppas dan Sahlin
juga diterapkan untuk mempelajari mekanisme pelepasan L-CyS-HCl dari
formulasi yang berbeda menggunakan persamaan berikut (Peppas dan Sahlin, 1989

MT= M1 ¼ k1TM th k2T2m

Dimana K1 dan K2 diperoleh dari penyesuaian kurva regresi nonlinier dari


data rilis menggunakan GraphPad prisma 4 (GraphPad Software, San Diego, CA,
USA). Dalam model ini, mekanisme pelepasan obat dapat dikonfirmasi melalui
nilai-nilai relaksasi (R) dan kontribusi rasio Fickian (F) (R/F), menurut model
heuristik yang dikembangkan sebelumnya (Peppas dan Sahlin, 1989)

R=F ¼ K2= K1TM

E. Studi Permeasi Kulit L-CyS-HCl dari RTV-Si-TDP Melalui Kulit


Punggung Tikus yang Dipotong
1. Hewan percobaan

Tikus Wistar Albino jantan dengan berat 140 ± 20 g dibeli dari kandang
hewan Perusahaan Mesir untuk Produksi Vaksin, Sera, dan Obat-obatan (EGY
VAC), (Helwan, Kairo, Mesir). Pedoman National Institutes of Health (NIH)
untuk perawatan dan penggunaan hewan laboratorium telah diikuti; selain itu,
protokol penelitian hewan telah disetujui oleh Komite Etik Hewan Fakultas

14
Farmasi, Universitas Helwan, dan peraturan komite diikuti selama penelitian.
Tikus ditempatkan di kandang yang jauh dari sumber ESDM dan dipelihara
dengan pakan ternak dan disimpan di bawah kondisi kandang dan penanganan
yang sesuai sampai periode percobaan, dengan akses gratis ke makanan
laboratorium standar dan air ledeng, pada suhu kamar konstan 25 - C dan siklus
alami siang/malam.

2. Studi Pembesaran Kulit

Kulit punggung tikus baru digunakan untuk studi permeasi kulit LCyS-
HCl dari RTV-Si-TDP. Satu hari sebelum percobaan, rambut dihilangkan
dengan krim obat menghilangkan rambut dan dibilas dengan air. Pada hari
percobaan, tikus dikorbankan dan potongan kulit 5 cm - 5 cm dipotong dari
daerah punggung dan lemak subkutan dan jaringan ikat dihilangkan dengan
hati-hati. Setiap kulit spesimen diperiksa untuk kerusakan menggunakan lensa
pembesar, dan dihidrasi dalam saline buffer fosfat isotonik (PBS, pH 7,4). Sel
difusi Franz digunakan untuk percobaan permeasi. Kelebihan PBS dihilangkan
dari permukaan kulit dengan mengoleskannya dengan lembut menggunakan
kertas tisu bebas serat. Penelitian dilakukan pada RTV-Si-TDP terpilih dengan
muatan L-CyS-HCl (F2, F3 dan F5). Empat cm2 L-CyS-HCl-RTV-Si-TDP,
setara dengan 20 mg L-CyS-HCl, ditempatkan pada permukaan kulit di
kompartemen donor. Kompartemen reseptor diisi dengan 10 ml PBS, pH 7,4.
Suhu 37 ± 1 -C dipertahankan dengan pengadukan terus menerus pada 600 rpm
menggunakan pengaduk magnet. Pada interval waktu yang telah ditentukan,
250ML alikuot dikeluarkan dari kompartemen reseptor dan fase reseptor diisi
ulang untuk mempertahankan volume yang konstan. L-CyS-HCl yang meresap
dalam fase reseptor ditentukan sebagai rata-rata tiga ulangan menggunakan
reaksi Ellman seperti yang dinyatakan sebelumnya.

3. Analisis data permease

Jumlah kumulatif L-CyS-HCl yang diserap melalui kulit yang dipotong


diplot sebagai fungsi waktu. Kemiringan dan intersep dari bagian linier plot
diturunkan dengan regresi. Laju permeasi pada kondisi tunak (J, mg/cm2/h)
dihitung sebagai kemiringan dibagi dengan luas permukaan kulit. Intersep pada

15
sumbu X diambil sebagai jeda waktu (TL, H). Laju permeasi ditentukan dengan
menggunakan persamaan berikut:

Dimana J adalah laju permeasi pada kondisi tunak (mg/cm2/h), A adalah


luas difusi efektif (cm2), (dQ/dt)ss adalah jumlah obat yang meresap melalui
kulit per satuan waktu pada keadaan tunak (mg/h), C0 adalah konsentrasi obat
dalam patch (b/b) dan KP adalah koefisien permeabilitas (cm/h) (Barry, 1983)

F. Permeasi in-vivo dan Studi Farmakokinetik L-CyS-HCl-RTV-Si-TDP


pada Tikus

Penelitian dilakukan pada L-CyS-HCl-RTV-Si-TDP (F5) terpilih


menggunakan tikus putih model Wistar Albino dewasa dengan berat badan 140 ±
20 g. Tikus secara acak dibagi menjadi tiga kelompok yang masingmasing terdiri
dari 8 ekor: kelompok kontrol (kelompok yang tidak diberi perlakuan), dan
kelompok penerima RTV-Si-TDP (F5) bermuatan L-CyS-HCL, dan kelompok
penerima 20 mg L-CyS-HCL dalam dosis bolus IV. kelompok. Satu hari sebelum
percobaan, rambut di daerah perut dihilangkan dengan krim obat menghilangkan
rambut dan dibilas dengan air, 16 cm2 patch (setara dengan 80 mg L-CyS-HCl)
ditempelkan pada daerah perut yang tidak berbulu, sampel darah diambil dari tikus
setiap enam jam selama tujuh hari. Sampel darah dianalisis kadar GSH total
(diinduksi secara endogen oleh efek L-CyS-HCl) dengan reaksi Ellman secara
spektrofotometri padaʎ405nm. Selain itu, parameter farmakokinetik
nonkompartemen (PKP) dari GSH yang diinduksi endogen dalam plasma tikus
diperkirakan setelah koreksi awal, menggunakan perangkat lunak Kinetica versi 5.1
(Thermo Scientific, USA).

Bioavailabilitas relatif dari patch dievaluasi terhadap 20 mg dosis bolus IV


menggunakan persamaan berikut (Borgström dan Kågedal, 1990):

Ketersediaan hayati relatif dari tambalan DFNS

16
G. Evaluasi In-Vivo Efek Perlindungan L-CyS-HCl-RTV-Si-TDPs Terhadap
Bahaya Stres Oksidatif dari Ponsel yang Memancarkan EMR

Percobaan dilakukan pada tikus dewasa model Wistar Albino jantan dengan
berat badan 140 ± 20 g. Dimana, efek pancaran gelombang mikro ted dari ponsel di
in-vivo Sel saraf SSP, serta parameter darah dan biologis dipelajari dan protagonis
L-CyS-HCL sebagai pengobatan profilaksis dipastikan.

1. Sistem pembangkit gelombang mikro

Sinyal gelombang elektromagnetik dihasilkan oleh generator gelombang mikro


dan kerapatan medan di ruang diukur dengan penganalisis gelombang mikro
(penganalisis jaringan vektor ROHDE & SCHWARZ ZVA67 10 MHz–67 GHz -
AS) dipasok dari Pusat penelitian elektronik, Pusat Penelitian Nasional (Dokki,
Kairo, Mesir). Frekuensi radiasi diatur menjadi 900 MHz. meniru ponsel, dan
gelombang elektromagnetik dipancarkan melalui antena tanduk ke tikus yang
dikurung.

2. Desain eksperimental

Desain eksperimental mengikuti yang dijelaskan baru-baru ini (ElBediwi dkk.,


2013). Tikus dimasukkan ke dalam kandang plastik dengan jarak 30 cm dari sumber
penyinaran. Tikus secara acak dibagi menjadi sembilan kelompok yang masing-
masing terdiri dari 8 ekor: kelompok kontrol negatif (tidak terpapar radiasi dan
tidak diberi L-CyS-HCL) (Kelompok 1), kelompok kontrol positif (terpapar radiasi
dan tidak diberi L-CyS-HCL) ( Kelompok 2), dan tujuh kelompok perlakuan
profilaksis (Kelompok 3 sampai 9). Enam dari mereka (kelompok 3, 4, 5, 7, 8 dan
9) menerima satu mililiter IV Injeksi konsentrasi yang berbeda dari L-CyS-HCL (5,
10, 20, 30, 40 dan 50 mg/ml) menggunakan L- CySHCl monohydrate (50 mg/ml)
Injeksi IV, (USP, Sandoz Inc.) diencerkan dengan dekstrosa IV 5%. Selain itu, L-
CyS-HCL memuat RTV-Si-TDPs (F5) setara dengan dosis 80 mg (Grup 6). Dosis

17
tikus dihitung dari dosis manusia yang dilaporkan sebelumnya dengan aman dari
turunan LCyS-HCl (600-1800 mg/hari) (Enzian, 1998).

Setelah 2 jam pasca pengobatan dengan 5 mg, 10 mg dan 20 mg IV L-CyS-


HCL; serta setelah 2 hari pasca perawatan dengan masingmasing L-CyS-HCL-
RTV-Si-TDPs (F5), Grup 2, 3, 4, 5 dan 6; kelompok kontrol positif serta kelompok
perlakuan profilaksis sama-sama terpapar medan kontinu RF/MW 900 MHz selama
empat jam terusmenerus (paparan jangka pendek), dengan suhu dan kelembaban
terpasang sepanjang durasi percobaan.

3. Pengaruh radiasi elektromagnetik pada sel darah merah (Studi hematologi)


a. Tes kerapuhan osmotik.Dalam studi hematologi, uji kerapuhan osmotik
memberikan indikasi rasio luas permukaan/volume eritrosit (dinyatakan
sebagai persentase hemolisis)

Gambar 2. Generator gelombang mikro dengan penganalisis gelombang


mikro (penganalisis jaringan vektor ROHDE & SCHWARZ ZVA67 10
MHz–67 GHz - AS). Sinyal gelombang elektromagnetik menghasilkan
frekuensi radiasi pada 900 MHz. meniru ponsel, dan gelombang
elektromagnetik dipancarkan melalui antena tanduk ke tikus yang dikurung.
b. Gambar darah.Pada akhir periode iradiasi, sampel darah dikumpulkan
dalam tabung antipembekuan heparin steril (VOMA MED, LH), dan
sampel digunakan dalam evaluasi profil darah menggunakan penganalisis

18
darah otomatis MSLAB07 (Cina, daratan) (Alghamdi dan ElGhazaly,
2012). Profil darah terdiri dari:
1) Hitung darah lengkap meliputi persentase limfosit (% LY), jumlah
trombosit (PLT), jumlah sel darah merah (RBC), hemoglobin (Hb)
dan hematokrit (Hct).
2) Serta, Pengukuran Indeks Sel darah merah terdiri dari: mean cell
volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin (MCH) dan mean
corpuscular hemoglobin konsentrasi (MCHC).
c. Analisis biokimia darah.Metode yang sesuai dengan yang dijelaskan
sebelumnya (Meral et al., 2007). Sampel darah utuh dikumpulkan ke
dalam tabung heparinisasi untuk estimasi penurunan kadar GSH dan kadar
malondialdehid (MDA) serum darah.
1) Penentuan GSH tereduksi

Protein telah dihapus dari sampel darah yang dikumpulkan


menggunakan asam trikloroasetat (Akerboom dan Sies, 1981). Aliquot
dari cairan supernatan dianalisis untuk kandungan GSH menggunakan
reagen Ellman yang baru disiapkan, dan campuran diukur secara
spektrofotometri mengikuti metode yang dijelaskan sebelumnya (Błońska-
Sikora dkk., 2012; Rover dkk., 2001).

2) Penentuan tingkat malondialdehida

Malondialdehid (MDA) merupakan produk degradatif dari


peroksidasi asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel, yang banyak
digunakan sebagai penanda stres oksidatif.Yurekli et al., 2006). Kadar
MDA ditentukan dalam sampel darah menurut metode yang dijelaskan
sebelumnya, menggunakan pengukuran spektrofotometri dari kompleks
berwarna MDA yang terbentuk dengan asam tiobarbiturat padaʎ532nm
(Kerman dan Senol, 2012)

H. Studi Histolong Sampel dan Persiapan Jaringan


1. Pengambilan sampel dan persiapan jaringan

19
Untuk studi histologis, tikus dari kelompok yang berbeda dikorbankan di
bawah anestesi yang dalam dan otak mereka dibedah untuk mendapatkan area
yang dipilih (korteks, hipotalamus dan striatum). Bagian otak tikus yang
tertanam parafin disiapkan sesuai dengan prosedur rutin. Secara singkat,
potongan-potongan yang sesuai dikumpulkan dan difiksasi dalam 10% formol
saline selama dua puluh empat jam. Pencucian dilakukan di bawah air kran
kemudian potongan didehidrasi dalam alkohol (metil, etil dan etil absolut),
dibersihkan dalam xilena dan dibenamkan dalam lilin parafin untuk pembuatan
blok jaringan. Bagian dari 5akuketebalan m diwarnai dengan hematoxylin &
eosin.

2. Pemeriksaan histopatologi

Pemeriksaan histopatologi rutin melalui mikroskop listrik ringan ( Jackson


dan Blythe, 2013) dilakukan. Setiap perubahan dibandingkan dengan struktur
normal dicatat. Sel menunjukkan piknosis nuklir, degenerasi dan vakuolisasi
dengan edema sitoplasma dan gliosis fokal dianggap positif. Labeling Index
(LI) dihitung menurut rumus berikut ( Zhu dkk., 2008):

I. Analisis Data Statistik

Hasil dinyatakan sebagai deviasi standar rata-rata (±SD) dari quintuplicates (n


= 8), dan dievaluasi menggunakan Statistik

Tabel 1. Kekuatan tarik dan % perpanjangan L-Cys-HCl-RTV-Si-TDPs (F1–F6)


yang disiapkan

20
Analisis Statistik dengan menerapkan one way ANOVA dilanjutkan dengan uji
komparatif Post Hoc (Dunnett) dengan F1

A = Perbedaan tidak signifikan (p > 0,05).


B = Perbedaan yang signifikan (p < 0,05).
C = Perbedaan yang signifikan (p < 0,01).
Paket untuk Ilmu Sosial (SPSS) (IBM SPSS, perangkat lunak v 20.0, Inc,
Chicago IL, USA). Probabilitas pada tingkat signifikansi (p <0,05) dianggap
signifikan secara statistik.

21
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Evaluasi TDP yang Disiapkan


1. Kekuatan tarik dan % perpanjangan

Uji tarik memungkinkan mempelajari sifat mekanik dan memberikan


informasi tentang kemampuan patch untuk menahan pecah. Tabel 1
menggambarkan pengaruh L-CyS-HCl dan sorbitol sebagai plasticizer
terhadap sifat fisikokimia (kuat tarik dan % elongasi) RTV-Si-TDPs. Hasil
menunjukkan bahwa, nilai kekuatan tarik dan perpanjangan menurun karena
penggabungan 5% L-CyS-HCl yang berbeda nyata dari (F1) (p > 0,01) dan (p
> 0,05) masing-masing dengan menerapkan one way ANOVA dilanjutkan
dengan uji Post Hoc (Dunnett).

Tabel 2. Kekuatan dan % perpanjangan L-CyS-HCl- RTV-Si-TDPs yang


disiapkan

Analisis Statistik dengan menerapkan one way ANOVA dilanjutkan


dengan uji komparatif Post Hoc (Dunnett) dengan F1.

A = Perbedaan tidak signifikan (p > 0,05).

B = Perbedaan yang signifikan (p < 0,05).

C = Perbedaan yang signifikan (p < 0,01)

Namun, penurunan yang signifikan dalam nilai kekuatan tarik sementara


peningkatan nilai elongasi diamati dengan peningkatan konsentrasi sorbitol

22
dibandingkan dengan (F2). Hasil yang disajikan mengungkapkan bahwa,
penggabungan L-CyS-HCl menghasilkan patch yang keras dan rapuh. Hal ini
dapat dikaitkan dengan integrasi obat dalam molekul polimer. Namun, dengan
meningkatkan konsentrasi plasticizer, kekuatan tarik secara bertahap menurun,
tidak seperti % elongasi yang meningkat dengan plasticizer. Pengaruh sorbitol
sebagai plasticizer pada sifat mekanik formulasi telah dijelaskan sebelumnya
(Gal dan Nussinovitch, 2009). Tergantung pada jenis plasticizer dan
optimalisasi konsentrasinya dalam sistem pengiriman obat transdermal,
plasticizer sebelumnya digunakan untuk mencegah keretakan film,
meningkatkan fleksibilitas dan kemampuan proses. Dengan demikian,
plasticizer meningkatkan ketahanan dan kekuatan sobek dari film polimer.
Setelah penambahan plasticizer, fleksibilitas polimer meningkat sebagai
konsekuensi dari melonggarnya keketatan gaya antarmolekul dengan penetrasi
antara rantai polimer, mengganggu gaya kohesif antar rantai polimer dan
karenanya, memastikan pelumasan rantai polimer (Höfer dan Hinrichs, 2009).

2. Difraksi Sinar-X

Difraktogram sinar-X dari tambalan yang berbeda mengungkapkan efek


L-CyS-HCl serta konsentrasi sorbitol pada pola difraksi sinar-x dari struktur
atom tambalan silikon, Gambar 2. Menggunakan hukum Bragg, dapat
ditunjukkan bahwa, jarak antara lapisan atom dalam kristal polimer dari patch
yang berbeda (d-spacing) menurun karena penggabungan 5% L-CyS-HCl
dalam matriks patch dari 3,371 pada 26,44-2B ke 3,293 pada 27,08- 2B, untuk
polos dan 5% L-CyS-HCl-RTV-SiTDPs, masing-masing. Penurunan jarak
antar lapisan atom dalam kristal polimer (d-spacing) mungkin disebabkan oleh
ikatan hidrogen dari L-CyS-HCl yang dapat membawa lapisan atom dalam
kristal polimer menjadi lebih rapat satu sama lain. Zat dengan berat molekul
rendah dapat mewujudkan ikatan hidrogen timbal balik yang kuat dengan
lapisan atom kristal polimer di tambalan (Gal dan Nussinovitch, 2009).

23
Gambar 3. Difraktogram sinar-X dari tambalan yang berbeda
mengungkapkan efek L-CyS-HCl serta konsentrasi sorbitol pada pola difraksi
sinar-x dari tambalan silikon, yang menggambarkan jarak antara lapisan atom
dalam kristal polimer dari tambalan yang berbeda (d-spacing, d) untuk RTV-
Si-TDP polos (-) dan 5% L-CyS-HCl dimuat (-), serta 5% L-CyS-HCl dimuat
RTV-Si-TDP dengan 1:1 (-) dan 1:3 (-) Obat: Sorbitol

Selanjutnya, ketika konsentrasi sorbitol meningkat, jarak d meningkat dari


3,279 pada 27,17 -2B ke 3,349 pada 26,62- 2B, untuk F3 dan F5, masing-
masing, Gambar 2. Akibatnya, efek sorbitol mengobarkan efek penurunan
jarak-d dari penggabungan L-CyS-HCl. Hasilnya dapat dijelaskan dengan
interposisi plasticizer antara untaian polimer yang dapat dipisahkan, sehingga
menyebabkan kerusakan interaksi polimer-polimer. Selanjutnya, struktur
tersier polimer terdistorsi menjadi struktur yang kurang kohesif (Laohakunjit
dan Noomhorm, 2004), juga, jarak antara lapisan atom dalam kristal polimer
(d-spasi) meningkat dengan meningkatnya konsentrasi plasticizer.

3. Sifat Permukaan dan Analisis Tekstur Berpori

Gambar 3 menggambarkan mikrofotograf SEM dari RTV-Si-TDP yang


berbeda. Mikrograf menunjukkan bahwa penggabungan L-CyS-HCl serta
sorbitol meningkatkan porositas permukaan RTV-Si-TDP yang berbeda dalam
urutan menaik berikut, F1 < F2 < F3 < F5. Hasilnya dapat dijelaskan atas dasar
itu, obat dan plasticizer diselipkan di antara untaian individu polimer, di mana

24
struktur tersier polimer dimodifikasi menjadi struktur yang lebih berpori dan
kurang kohesif (Gal dan Nussinovitch, 2009).

Gambar 4. Mikrofotografi SEM menunjukkan tekstur pori permukaan


RTV-Si-TDPs, (A) RTV-Si-TDP (F1) polos, (B) L-CyS-HCl Loaded
RTV-Si-TDP (F2), (C) L -CYS HCl: Sorbitol (1:1) Dimuat RTV-Si-TDP
(F3) dan (D) L-CYS HCl: Sorbitol (1:3) Dimuat RTV-Si-TDP (F5); X =
1500

B. Studi Rilis In-Vitro

Analisis statistik dengan menerapkan ANOVA satu arah diikuti dengan uji
komparatif Post Hoc (Dunnett) dari nilai rata-rata persen LCyS-HCL yang
dilepaskan dari L-CyS-HCl-RTV-Si-TDP yang berbeda setelah periode 24 jam,
(13,75 , 14,82, 24,02 dan 26,05%) masingmasing dari (F3, F4, F5 dan F6),
dibandingkan dengan yang dilepaskan dari F2 (11,78%), menunjukkan perbedaan
yang nyata pada (p > 0,05), Gambar 4. Selain itu, tidak ada perbedaan signifikan
yang diamati dengan menerapkanT-uji untuk membandingkan nilai rata-rata dari
persen obat yang dilepaskan dari F3 dan F4 serta F5 dan F6. Selain itu, dihitungf1
nilai (faktor perbedaan) adalah (18, 30, 73 dan 93) untuk (F3, F4, F5 dan F6),
masing-masing, dibandingkan dengan F2 sebagai referensi; menunjukkan bahwa
perbedaan profil pelepasan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi sorbitol.

25
Gambar 5. Efek Konsentrasi Sorbitol dalam in-vivo

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa, laju pelepasan obat dapat


disesuaikan dengan mengubah jenis dan konsentrasi plasticizer. Hal ini telah
dijelaskan oleh peningkatan laju difusi zat aktif yang larut dalam air dengan
peningkatan konsentrasi plasticizer, yang dapat menyebabkan berliku-likunya jalur
obat karena kelarutannya yang tinggi, mengakibatkan melemahnya integritas
matriks patch. Demikian juga, peningkatan porositas pada permukaan patch
menciptakan lebih banyak pori-pori yang memfasilitasi pelepasan obat (Rahman
dkk., 2011). Dengan demikian, pemlastis seperti sorbitol dapat mengubah laju
pelepasan komponen terapeutik yang terkandung dalam sistem penghantaran obat
transdermal.

1. Kinetika Pelepasan dan Mekanisme L-CyS-HCl dari L-CyS-HCIRTV-Si-


TDPs

Data rilis menunjukkan korelasi yang baik dengan pola orde pertama dengan
r2 nilai 1, menunjukkan bahwa kinetika pelepasan obat bergantung pada
konsentrasi. Menyesuaikan data rilis dengan model Higuchi mengungkapkan nilai

26
koefisien regresi yang tinggi 1, menunjukkan mekanisme dominan yang
dikendalikan difusi dari pelepasan obat.

Mekanisme pelepasan L-CyS-HCl dari L-CyS-HCl-RTV-Si-TDPs dipelajari


dengan menerapkan model Korsmeyer pada rilis data hingga 60% rilis.
Diungkapkan bahwa, pelepasan L-CyS-HCl dari L-CyS-HCl-RTVSi-TDPs
mematuhi model difusi Fickian dengan nilai eksponen (n) <0,45. Analisis lebih
lanjut dengan model Peppas dan Sahlin menunjukkan nilai konstanta difusi (k1)
lebih tinggi dibandingkan dengan konstanta relaksasi (k2). Hasil penelitian
menunjukkan dominasi mekanisme difusi sebagai mekanisme pelepasan obat untuk
semua kasus dalam penelitian. Nilai R/F ratio untuk (F2) sangat rendah (0,0896);
menunjukkan bahwa mekanisme pelepasan obat terutama difusi, karena
kekencangan yang sangat dekat dari tambalan polimer. Dengan meningkatnya
konsentrasi plasticizer, F3–F6, nilai rasio R/F meningkat secara bertahap
tergantung pada konsentrasi sorbitol tetapi masih kurang dari 1. Dimana
peningkatan konsentrasi plasticizer menyebabkan pengaruh mekanisme difusi
terhadap pelepasan obat kurang relevan dan memungkinkan matriks terkikis
(Rahman dkk., 2011).

C. Studi Perembesan Kulit

Karena tidak ada perbedaan signifikan yang diamati untuk persen obat yang
dilepaskan dari (F3 dan F4) serta (F5 dan F6); F3 dan F5 dipilih dan dibandingkan
dengan F2 untukex-vivo studi permeasi kulit; untuk mengklarifikasi pentingnya
efek sorbitol pada parameter yang dipelajari dan oleh karena itu, jelaskan dan pilih
formulasi yang optimal.

Pengaruh kandungan plasticizer pada permeasi kulit L-CyS-HCl dinilai.


Gambar 5 dan Tabel 3 menunjukkan profil permeasi serta parameter permeasi L-
CyS-HCl melalui kulit punggung tikus yang dipotong dari berbagai patch (F2, F3
dan F5). Tingkat permeasi (Jakug/ cm2/h) L-CyS-HCl meningkat secara signifikan
(p <0,01) karena rasio sorbitol meningkat di patch, dengan tingkat permeasi kulit 2
kali lipat lebih tinggi di patch yang mengandung obat: sorbitol 1:3 (F5)
dibandingkan patch yang mengandung obat tanpa sorbitol (F2).

27
Jeda waktu untuk pelepasan L-CyS-HCl ditunjukkan pada: Tabel 3, di mana
konsentrasi plasticizer memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jeda waktu
yang diamati. Efek pada jeda waktu ini mungkin karena koefisien permeabilitas
yang lebih tinggi (Kp) obat di seluruh kulit dengan meningkatkan konsentrasi
sorbitol, dalam urutan jeda waktu yang terbalik. Jeda waktu yang diperoleh dapat
dijelaskan sebelumnya, dimana setelah obat hidrofilik dilepaskan dari film polimer,
mereka mencapai permukaan kulit, kemudian lolos ke sirkulasi dermal melalui
permeasi melalui sel-sel epidermis (lipid) dan/atau melalui pelengkap kulit
(aqueous). (Riviere dan Papich, 2001). Dengan demikian, permeasi obat yang
tertunda ke media akseptor dapat menjadi hasil dari koefisien partisi yang rendah
dari obat hidrofilik; di mana obat penetrasi harus memiliki beberapa kecenderungan
untuk partisi ke dalam lipid antar sel stratum korneum, (Riviere dan Papich, 2001).

Gambar 6. Profil Permeasi L-Cys-HCl melalui kulit tikus yang dipotong dari
berbagai RTV

Tabel 3. Parameter permeasi L-CyS-HCL melalui kulit tikus punggung


yang dipotong dari berbagai RTV-SiTDP yang dimuat L-CyS-HCl

28
TL: jeda waktu, J: laju permeasi kulit, Kp: koefisien permeabilitas ± SD (n
= 3). A Berbeda tidak nyata dengan kontrol (F2) (p > 0,05).B Berbeda
nyata secara statistik dengan kontrol (F2) (p < 0,05).C Berbeda nyata
secara statistik dengan kontrol (F2) (p < 0,01).

Karena tingkat permeasi kulit dari obat yang larut dalam air tergantung pada
kelarutannya dan difusi dalam patch, dan karena RTV-Si-TDPs adalah kendaraan
hidrofobik, dengan demikian, diharapkan bahwa L-CyS-HCl sebagai obat yang
larut dalam air memiliki afinitas yang rendah. ke matriks hidrofobik, yang
menghasilkan tingkat permeasi kulit yang tinggi (J akug/cm 2/H). Memiliki sifat
hidrofobik ini, RTV-Si-TDP umumnya memiliki efek oklusif, yaitu, mereka tidak
membiarkan air menguap dari permukaan kulit; efek spesifik yang meningkatkan
perembesan obat ke seluruh kulit. Oklusi terutama meningkatkan hidrasi stratum
korneum, meningkatkan pembengkakan korneosit dan meningkatkan asupan air ke
dalam domain lipid interseluler. Selain itu, hidrasi dapat memfasilitasi pemisahan
senyawa penembus dari stratum korneum ke epidermis. Dengan demikian,
meningkatkan penetrasi, mengingat permeasi terutama transseluler, karena
hidrofilisitas obat (Treffel et al., 1992). Telah dilaporkan sebelumnya bahwa,
peningkatan jumlah plasticizer meningkatkan penyerapan kelembaban film
transdermal, yang terkait erat dengan fitur permeabilitas obat yang larut dalam air
melalui film transdermal (Lade dkk., 2011). Ini mungkin menjelaskan peningkatan
laju permeasi (Jakug/cm2/h) L-CyS-HCl dengan meningkatkan konsentrasi sorbitol
di patch.

D. Studi Permeasi dan Farmakokinetik In-Vivo

Diketahui bahwa Formula FS ini dipilih untuk in vivo tergantung pasa hasil
yang diperoleh dari studi perembesan kulit ex-vivo. Dimana, F5 memiliki tingkat

29
permeasi kulit tertinggi (J), jeda waktu terpendek, serta, koefisien permeabilitas
tertinggi yang diamati (Kp) obat di seluruh kulit, dibandingkan dengan formulasi
diuji lainnya.

Untuk Glautathione (GSH) sendiri merupakan tripeptida linier berbobot


molekul rendah intraseluler yang paling melimpah dari tiga asam amino: sistein,
glisin, dan asam glutamat. Tripeptida ini ada dalam bentuk tereduksi (GSH) dan
teroksidasi (GSSG). Jumlah relatif dari setiap bentuk menentukan status redoks
seluler (rasio GSH/GSSG) yang sering digunakan sebagai penanda keadaan anti-
oksidatif sel (Jones, 2006). Baru-baru ini, beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa suplementasi dengan N-asetil sistein, prekursor sistein, adalah strategi yang
efektif untuk meningkatkan produksi GSH. Dan tentu saja asam amino (sistein)
adalah faktor utama yang membatasi sintesis GSH (Li et al., 2002).

Pada Gambar 6 dan juga Tabel 4 menunjukkan profil waktu konsentrasi plasma
rata-rata serta parameter farmakokinetik non-kompartemen dari sintesis endogen
in-vivo GSH pada tikus, setelah menerima dosis bolus IV L-CYS-HCl dan
menerapkan RTV-Si-TDPs (F5) yang dimuat LCYS. Setelah 20 mg IV dosis bolus
L-CyS-HCl, konsentrasi plasma GSH dengan cepat meningkat menjadi 100Mg/ml
dalam waktu 1 jam dan mencapai konsentrasi maksimum (Cmaksimal) 0,42 mg/ml
dalam 5 jam (t maksimal), kemudian menurun secara eksponensial dengan waktu
paruh eliminasi (t1/2) dari 6,5 jam. Namun, setelah 80 mg L-CyS-HCl dimuat
aplikasi RTV-Si-TDPs, L-CYS-HCl perlahan diserap dari situs aplikasi diikuti oleh
in-vivo sintesis GSH endogen, dengan peningkatan konsentrasi plasma GSH dari
garis dasar, dalam waktu 5 jam (waktu jeda).

30
Gambar 7. Rata-rata profil plasma waktu konsentrasi GSH pada tikus
setelah pemberian dosis bolus IV tunggal (20 mg) L-CyS-HCl dan L-CyS-HCl
Loaded RTV-Si-TDP (F5) (80 mg L-CyS- HCl). (Rata-rata ± SD, n = 8)

Tabel 4. Parameter farmakokinetik GSH pada tikus setelah pemberian IV 20 mg


dosis tunggal L-CyS-HCL dan 80 mg L-CyS-HCL dimuat RTV-Si-TDP (F5)

Seperti yang sudah ditentukan sebelumnya dalam studi perembesan kulit L-


CyS-HCl, jeda waktu 3,04 jam ditetapkan untuk perembesan kulit L-CyS-HCl dari
RTV-Si-TDP yang dimuat L-CyS-HCl, yang dapat dikembalikan ke kulit yang
tertunda. penetrasi hidrofilik L-CyS-HCl, sehingga memperlambat laju obat untuk
mencapai plasma, diikuti dengan jeda waktu untuk sintesis GSH endogen.
Akibatnya, tingkat sintesis GSH endogen dapat terpengaruh. Konsentrasi GSH
mencapai C-nya maksimal (0,34 mg/ml) dengan t maksimal sekitar 36 jam;
selanjutnya, kadar GSH dipertahankan hingga 4 hari (waktu aplikasi). Konsentrasi
GSH mencapai dataran tinggi sekitar 36-96 jam. Setelah 96 jam aplikasi, tambalan
dilepas yang mengakibatkan penurunan kadar GSH. Tidak seperti dosis IV, waktu
paruh eliminasi (t1/2) GSH setelah aplikasi patch lebih lama dari pada pemberian
bolus IV. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa, eliminasi GSH
setelah aplikasi patch membatasi laju pelepasan, artinya konstanta laju eliminasi (k)
lebih tinggi daripada laju pelepasan/penyerapan (flip-flop). Akibatnya,
membandingkan kemungkinan waktu tinggal rata-rata (MRT) setelah kedua rute
administrasi yang terpengaruh.

31
Sehingga didapat dari profil farmakokinetik yang diamati dalam penelitian ini,
diungkapkan bahwa RTV-Si-TDP yang dimuat L-CyS-HCl memberikan
pengiriman L-CyS-HCl yang lancar dan terkontrol dengan Cmaksimal GSH yang
disintesis secara endogen, setara dengan dosis efektif dan maksimal yang secara
signifikan lebih lama dibandingkan dengan pemberian L-CyS-HCl IV (p <0,001),
tanpa fluktuasi puncak.

Setelah aplikasi patch, konsentrasi sistemik GSH tetap relatif konstan karena
deposisi L-CyS-HCl yang cepat ke dalam stratum korneum, yang kemudian secara
stabil dikirim ke plasma, dimetabolisme di hati dan dikirim ke plasma sebagai GSH.
McPherson dan Hardy (2012) telah menunjukkan bahwa, karena sistein mewakili
33,6% dari molekul GSH, 200 mg sistein (dosis komersial) akan cukup bagi tubuh
untuk secara teoritis mensintesis hingga 600 mg GSH (McPherson dan Hardy,
2012). Akibatnya, suplementasi dengan NAC (produk antioksidan) menghasilkan
3 kali lipat produksi GSH secara endogen oleh tubuh. Oleh karena itu, tingkat GSH,
tiol tereduksi, meningkat secara signifikan dibandingkan dengan baseline (0,25 mg/
ml GSH endogen) pada pemberian NAC.

Temuan ini sesuai dengan peningkatan tiga kali lipat dalam bioavailabilitas
absolut (F) setelah aplikasi patch dibandingkan dengan pemberian IV.

Hasil yang memungkinkan kepastian yang lebih besar dari pemuatan sel GSH
dan meningkatkan kemanjuran dan akses ke paparan EMR secara aman dengan
titrasi L-CyS-HCl sederhana menggunakan RTV-Si-TDP yang dimuat L-CyS-HCl.

E. Evaluasi In-Vivo Efek Perlindungan L-CyS-HCl-RTV-Si-TDPs Terhadap


Bahaya Stres Oksidatif Dari Ponsel yang Memancarkan EMR

Tikus menerima dosis L-CyS-HCL 30 mg (kelompok 7, 8 dan 9) menunjukkan


kematian (data tidak ditampilkan). Sebelumnya telah diklarifikasi bahwa, untuk
penggunaan terapeutik, L-CyS-HCL dan prodrugnya bila diberikan pada tingkat
tinggi bertanggung jawab atas banyak efek samping, yang mungkin terkait dengan
gangguan status redoks cairan ekstraseluler atau asidosis metabolik. Di mana pun,
peningkatan besar tiol bebas dalam sirkulasi dikaitkan dengan reaksi yang

32
dimediasi radikal tiil. Selain itu, efek destabilisasi dari peningkatan tiol/disulfonat
rasio fide dalam plasma, yang biasanya dalam keadaan lebih teroksidasi daripada
kompartemen intraseluler. Perubahan gradien redoks tiol di seluruh sel juga dapat
berdampak buruk pada setiap transpor atau proses pensinyalan sel, tergantung pada
pembentukan dan pecahnya hubungan disulfida dalam protein membran.Deneke,
2001).

Kelompok kontrol positif serta kelompok perlakuan profilaksis sama-sama


terpapar EMR setelah 2 jam pasca pengobatan dengan L-CyS-HCL IV; sedangkan
kelompok yang diobati dengan L-CyS-HCL-RTV-Si-TDPs (F5) terpapar EMR
setelah 2 hari pasca pengobatan. Oleh karena itu, menurutin-vivo studi, konsentrasi
GSH yang disintesis secara endogen mencapai tmaksimal pada 36 jam dengan
dataran tinggi pada 36-96 jam.

1. Studi Hematologi
a. Tes kerapuhan osmotik eritrosit (EOF).

Pada Gambar 7 menggambarkan bahwa, sampel darah dari kelompok yang


berbeda (kelompok 1-6) yang diencerkan dengan konsentrasi NaCl (0% &
0,1%) menunjukkan hemolisis yang hampir sempurna. Pada konsentrasi NaCl
0,2, 0,3 dan 0,4%, kelompok kontrol positif dan negatif menunjukkan
hemolisis lengkap. Sementara kelompok perlakuan awal dengan konsentrasi L-
CyS-HCL yang berbeda, sebagai antioksidan yang efektif, mengungkapkan
perlindungan eritrosit dari kerusakan kerapuhan oksidatif akibat ROS yang
dihasilkan oleh EMR pada tikus dengan urutan sebagai berikut: kelompok 6
kelompok 5 > 4 > 3, disajikan sebagai reduksi dalam persen hemolisis dengan
perbedaan yang signifikan dalam nilai persen hemolisis (p <0,05)
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (kelompok 1), dengan
menerapkan one way ANOVA dilanjutkan dengan uji Post Hock (Dunnett)
untuk perbandingan ganda. Pada konsentrasi NaCl 0,4%, kelompok 5 dan 6
menunjukkan perlindungan 40% terhadap hemolisis akibat paparan EMR,
dibandingkan dengan kelompok kontrol positif (kelompok 2). Mulai dari 0,5
dan berakhir hingga 0,9% konsentrasi NaCl yang digunakan untuk
pengenceran sampel darah dari kelompok yang berbeda, persentase hemolisis

33
menunjukkan penurunan tajam dengan peningkatan dalam persen
perlindungan terhadap hemolisis (83%, 75%, 80%, 82%, 95% dan 94%) untuk
kelompok (1, 2, 3, 4, 5 dan 6) masing-masing, pada konsentrasi NaCl 0,9%.

Gambar 8. Pengaruh konsentrasi L-CyS-HCl terhadap fragilitas osmotik


eritrosit (EOF) pada tikus, diindikasikan sebagai hemolisis darah, setelah
pemberian IV konsentrasi tunggal L-CyS-HCl yang berbeda dan terpapar
medan kontinu RF/MW 900 MHz selama empat jam (Rata-rata ± SD, n = 8).

Perbedaan yang signifikan dalam persentase hemolisis, indikasi kerapuhan


osmotik, diamati antara kelompok tikus yang berbeda, dengan nilai yang lebih
rendah pada tikus kontrol negatif & tikus yang diberi profilaksis dibandingkan
dengan kelompok kontrol positif, dapat dikaitkan dengan ROS besar yang
dihasilkan pada hewan kontrol positif sebagai akibat stres oksidatif, yang
bertanggung jawab atas kerusakan jaringan dan efek merugikan pada
sitomembran eritrosit. Telah ditemukan sebelumnya bahwa, membran eritrosit
kaya akan asam lemak tak jenuh ganda yang bertanggung jawab terhadap
peroksidasi lipid dan bertanggung jawab atas hilangnya fluiditas membran, dan
karenanya lisis seluler. Brzezińska-Ślebodzińska, 2003). Karena stres oksidatif
terjadi ketika sistem pertahanan antioksidan dalam tubuh dilumpuhkan oleh
radikal bebas dan meningkatkan kerapuhan eritrosit (Alhassan dkk., 2010),
pemberian L-CyS-HCL pada tikus percobaan tampaknya, mengurangi
intensitas stres oksidan dengan meningkatkan mekanisme pertahanan
antioksidan dan meminimalkan penghancuran eritrosit.

2. Gambar darah

34
Pada tabel 5 menunjuka bahwa, terdapat pengaruh yang signifikan
terhadap struktur darah tikus akibat paparan EMR ponsel. Nilai hitung RBCs,
Hb dan PLT serta nilai HCT, MCV, MCH dan MCHC menurun, sedangkan
LY count meningkat dengan paparan EMR. Kontrol positif (kelompok 2),
kelompok 3 & 4 tikus yang menerima 5 mg, 10 mg L-CyS-HCL, masing-
masing, dan terpapar EMR menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam
nilai gambaran darah lengkap dibandingkan dengan alternatif kontrol negatif.
(grup 1). Tikus yang menerima 20 mg L-CyS-HCL (IV) dan L-CyS-HCl-RTV-
Si-TDPs (F5), dan terpapar EMR (kelompok 5 & 6), masing-masing,
menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan. dalam nilai gambaran darah
dibandingkan dengan kontrol negatif (kelompok 1) (p <0,05) tidak seperti tikus
kelompok positif.

Dari sudut pandang biologis, darah dapat dianggap sebagai jaringan yang
terdiri dari berbagai jenis sel (sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit)
dan cairan bahan antar sel (plasma).El-Bediwi dkk., 2013). Hipotesis telah
mengilustrasikan bahwa sebagian besar fungsi fisiologis dalam organisme
hidup bersifat elektrokimia; gangguan proses listrik atau kimia intrinsik dalam
struktur sel berpotensi mengganggu fungsi sel yang mengarah ke mal-fungsi
sistem organ. Baru-baru ini, telah dijelaskan bahwa, karena efek pada muatan
listrik, EMR dapat memodifikasi struktur ionik elemen dalam membran sel,
mendistribusikan masuk dan keluarnya berbagai elemen termasuk ion kalsium;
dengan perubahan struktur sel berikutnya dan gangguan fungsi sel, dengan
gangguan jaringan berikutnya dan disfungsi organ (Jelodar dkk., 2011).

Tabel 5. Nilai gambar darah sebelum dan sesudah terpapar radiasi


elektromagnetik ponsel

35
Hasil yang diperoleh dikonfirmasi dengan yang dilaporkan sebelumnya
dengan penurunan yang signifikan dalam pengukuran darah, seperti
hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct). Selain itu, indeks sel darah merah
(jumlah sel darah merah, MCV, MCH dan MCHC) dan rata-rata jumlah
trombosit (PLT) tercatat menurun dengan meningkatnya periode paparan
EMR. Oleh karena itu, EMR yang dipancarkan dari ponsel dapat menyebabkan
pengaruh berbahaya yang jelas pada dinding sel, terutama dinding sel darah
merah dengan ketidakseimbangan enzim darah (Alghamdi dan ElGhazaly,
2012). Selain itu, terdapat pengaruh yang signifikan terhadap struktur molekul
hemoglobin karena kerusakannya setelah tikus terpapar EMR (ElBediwi dkk.,
2013). Penurunan konsentrasi hemoglobin dapat dikaitkan dengan interaksi
antara besi heme dan medan elektromagnetik, dimana medan magnet
memasuki tubuh dan bekerja pada ion di semua organ vital seperti limpa,
sumsum tulang, ginjal dan hati, yang mengubah potensial membran sel dan
distribusi ion (Singh dkk., 2013).

Parameter darah (HCT, MCV, MCH dan MCHC) adalah cara yang paling
penting dimana penurunan jumlah sel darah merah dapat ditentukan, di mana
penurunan nilai parameter ini bisa menjadi akibat dari kerusakan dalam
eritrosit yang bersirkulasi (Fatayer, 2006). Karena (HCT) sesuai dengan rasio
volume sel darah merah terhadap volume darah keseluruhan, temuan ini dapat
menjelaskan penurunan nilai (HCT) yang diperoleh dalam penelitian untuk
kelompok 2 dibandingkan dengan kelompok 1, di mana volume sel darah
merah turun sebagai akibat dari Paparan EMR dengan peningkatan volume
plasma mengakibatkan penurunan nilai (HCT). Nilai semakin berkurang
(MCV) yang diperoleh, indikator ukuran sel darah merah, merupakan hasil dari
kerusakan sel darah merah akibat paparan EMR. Karena (MCH) menunjukkan
(Hb) di dalam sel darah merah, akibatnya penurunan kedua nilai secara
individual akhirnya akan menurunkan nilai (MCH), juga (MCHC) adalah rasio
(Hb) dan (HCT), dan karenanya mereka berkurang bisa langsung menurun
(MCHC) nilai. Hasil yang diperoleh dikonfirmasi dengan yang dilaporkan
sebelumnya; Alghamdi dan El Ghazaly, 2012).

3. Studi Biologi

36
a. Penentuan tingkat GSH

Pada Tabel 6, menunjukan bahwa konsentrasi glutathione menurun


secara signifikan pada kelompok kontrol positif (kelompok 2) (p < 0,001)
dibandingkan dengan kelompok negatif (kelompok 1). Hasilnya dapat
dikaitkan dengan penipisan glutathione yang bertindak sebagai pemulung
langsung ROS. Di sisi lain, tingkat glutathione mulai terisi kembali pada
kelompok tikus yang diobati dengan L-CyS-HCl (5 & 10 mg) (kelompok
3 dan 4). Tikus yang menerima 20 mg L-CyS-HCl IV dan L-CyS-HCl-
RTV-Si-TDPs (F5) dan terpapar EMR (kelompok 5 dan 6), masing-
masing, menunjukkan perbedaan kadar GSH darah yang tidak signifikan
dibandingkan dengan tikus negatif. kelompok kontrol (p < 0,05).

Karena GSH endogen memiliki peran perlindungan dalam menangkal


radikal dan dalam perbaikan molekuler, penipisan konsentrasi GSH
mungkin karena konsumsi GSH yang lebih tinggi untuk mengais produksi
radikal bebas karena EMR. Namun, pemulungan semacam itu dapat
menghasilkan produksi rantai H . yang bergantung pada
superoksida2HAI2 dan glutathione teroksidasi, yang akan menekankan sel
dengan oksidasi

b. Penentuan tingkat MDA

Sesuai dengan penelitian sebelumnya (Yurekli et al., 2006), NS


Tingkat MDA meningkat secara signifikan untuk tikus kontrol positif
(kelompok 2) serta kelompok 3 dibandingkan dengan tikus kontrol negatif
(kelompok 1) (p <0,001) dan (p <0,05), seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 6. Di sisi lain, kelompok 4, 5 & 6 diobati dengan konsentrasi L-CyS-
HCl. 10 mg & 20 mg dan L-CyS-HCl-RTV-Si-TDPs (F5), masing-masing,
menunjukkan kadar MDA yang lebih rendah dalam plasma yang tidak
berbeda secara signifikan dari kontrol negatif (kelompok 1) (p <0,05).

Gangguan keseimbangan oksidan/antioksidan akibat peningkatan


produksi ROS merupakan faktor penyebab kerusakan oksidatif struktur
seluler seperti lipid, protein, dan asam nukleat. Secara khusus, membran

37
biologis yang kaya akan asam lemak tak jenuh ganda merupakan struktur
paling melimpah yang rentan terhadap serangan radikal bebas. Oleh
karena itu, peningkatan kadar MDA darah dalam penelitian ini (produk
peroksidasi lipid aldehida yang kuat darix3 dan x 6 asam lemak tak jenuh
ganda), mungkin karena tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas
metabolisme oksidatif, dan konsentrasi yang lebih tinggi dari asam lemak
tak jenuh ganda membran yang mudah teroksidasi, sebagai akibat dari
medan elektromagnetik yang dipancarkan dari telepon seluler. Selain itu,
peroksidasi lipid lebih berbahaya yang mengarah pada penyebaran reaksi
radikal bebas yang mudah, di mana rantai karbon asam lemak secara tiba-
tiba terputus selama proses peroksidasi lipid dan menghasilkan pentana,
etana, A, B aldehid asam lemak tak jenuh (Meral et al., 2007).

F. Studi Histopatologi

Pada pemeriksaan histopatologis jaringan otak yang berbeda dari tikus yang
terpapar dan kontrol EMR yang mewakili kelompok yang berbeda dalam studi
disajikan dalam Tabel 7. Efek gelombang mikro yang dipancarkan dari ponsel
padastriatum otak tikus dengan paparan bidang RF/MW 900 MHz selama empat
jam terus menerus ditunjukkan dalam Gambar 8. Kelompok (1) tidak menunjukkan
perubahan histopatologi, Gambar 8- 1. Striatum pada kelompok kontrol positif
(kelompok 2) menunjukkan pembentukan plak eosinofilik fokal seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 8-2 danTabel 7. Kelompok 3 menunjukkan edema
intracytoplasmic dan vakuolisasi di beberapa sel saraf striatum, terkait dengan
pembentukan plak eosinofilik fokalGambar 8-3. Striatum pada kelompok 4
menunjukkan pembentukan plak eosinofilik fokal sedang.

Tabel 6. Efek histopatologi EMR yang dipancarkan dari ponsel pada korteks
serebral, hipokampus dan striatum otak tikus setelah terpapar medan kontinu
RF/MW 900 MHz selama empat jam

38
Studi statistik dengan menerapkan uji non-parametrik independen Mann-
Whitney U menunjukkan perbedaan signifikan yang tinggi (p <0,0001) untuk untuk
membandingkan perubahan histopatologi kelompok kontrol positif (kelompok 2)
dengan kelompok kontrol negatif (kelompok 1), pada Tabel.7 Perbandingan
signifikan (p <0,01) dideteksi dengan membandingkan data kelompok 3 yang diberi
perlakuan awal dengan 5 mg L-CyS-HCL dan terpajan EMR dengan kelompok
kontrol negatif (kelompok 1). Namun, perbedaan yang signifikan (p <0,05)
dideteksi dengan membandingkan data yang diperoleh dari kelompok 4 yang
diobati dengan 10 mg L-CyS-HCL dan terpapar EMR dengan kelompok kontrol
negatif (kelompok 1). Dan untuk perbedaan yang tidak signifikan (p >0,05)
terdeteksi untuk perubahan histopatologi kelompok 5 & 6 yang diberi perlakuan
awal dengan 20 mg IV L-CyS-HCL serta L-CyS-HClRTV-Si-TDPs (F5), masing-
masing , dan terpapar EMR dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif
(kelompok 1).

Pada Tabel 6 menunjukan bahwa efek gelombang mikro yang dipancarkan dari
ponsel pada korteks serebral otak tikus dengan paparan 900 MHz RF/ MW bidang
terus menerus selama empat jam terus menerus. Kelompok 2 menunjukkan piknosis
nuklir yang nyata, degenerasi dan vakuolisasi, dengan edema sitoplasmik pada
neuron korteks serebral, yang berbeda secara signifikan dari kelompok kontrol
negatif (kelompok 1) (p >0,001), yang menunjukkan struktur histologis meninges
dan korteks serebral yang normal. Sedangkan untuk kelompok 3 menunjukkan
piknosis nuklir dan degenerasi di beberapa neuron, juga, kelompok 4 menunjukkan
piknosis nuklir sedang dan degenerasi di neuron korteks serebral. Kelompok 5 & 6
mencatat perbedaan yang tidak signifikan (p >0,05) dibandingkan dengan
kelompok 1 karena korteks serebral menunjukkan struktur histologis yang normal.

39
Efek gelombang mikro yang dipancarkan dari ponsel pada hipokampus
(subiculum, fascia dentate & hilus) otak tikus dengan paparan medan RF/MW 900
MHz selama empat jam terus menerus ditunjukkan dalam Tabel 7. Kelompok 1
tidak menunjukkan perubahan histopatologi dengan hipokampus normal
(subiculum, fascia dentate & hilus). Tidak seperti kelompok 2, degenerasi nukleus
terdeteksi di neuron subikulum dan fasia dentata di hipokampus. Selain itu,
kelompok 3 menunjukkan perbedaan yang signifikan (p > 0,01) dibandingkan
dengan kelompok 1, karena piknosis nuklir dan degenerasi diidentifikasi pada
beberapa neuron di subiculum, fascia dentate dan hilus hippocampus. Kelompok 4,
5 & 6 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p > 0,05) dibandingkan
dengan kelompok 1, karena tidak ada perubahan histopatologi yang teridentifikasi
pada subikulum, fasia dentata dan hilus hipokampus, Gambar 2-1-Sup sd Gambar
2-6 –Sup.

Pada Fungsi EMR yang rusak pada jaringan otak yang berbeda dapat
memperjelas neurotoksisitas histopatologis sebagai edema, vakuolasi dan plak yang
diamati dalam penelitian ini. Usman (2012) telah menyarankan bahwa, kerusakan
lisosom dan penghancuran badan Nissl akibat asidofilia adalah penyebab utama
edema dan kromatolisis pada tikus yang terpajan EMR (Usman, 2012). Baru-baru
ini, perubahan jaringan otak yang dapat disebabkan oleh paparan EMF selama tiga
puluh menit pada frekuensi 940-MHz (radiasi ponsel) telah dipelajari (Razavi dkk.,
2015). Studi tersebut mengungkapkan peningkatan sel apoptosis, peningkatan
permeabilitas BBB (kebocoran albumin dari BBB) dan peningkatan ruang BBB
yang menyebabkan perubahan struktur BBB (edema). Karena BBB bertanggung
jawab untuk pemeliharaan lingkungan mikro neuron, yang dicapai dengan
pemisahan otak dari darah dan dengan transportasi selektif zat dari darah atau otak
oleh sel-sel endotel, dengan demikian, dengan perubahan struktur BBB, kehidupan
neuron berbahaya dan akhirnya neuron rusak (Zhao dkk., 2007). Ujiie dkk. (2003),
telah memverifikasi bahwa, BBB utuh diperlukan untuk perlindungan otak dan
setiap penurunan BBB dapat mengganggu proses perfusi darah dan
mengintensifkan kemungkinan pembentukan plak di otak besar (Ujiie et al., 2003).
Studi tersebut mengungkapkan peningkatan sel apoptosis, peningkatan
permeabilitas BBB (kebocoran albumin dari BBB) dan peningkatan ruang BBB

40
yang menyebabkan perubahan struktur BBB (edema). Karena BBB bertanggung
jawab untuk pemeliharaan lingkungan mikro neuron, yang dicapai dengan
pemisahan otak dari darah dan dengan transportasi selektif zat dari darah atau otak
oleh sel-sel endotel, dengan demikian, dengan perubahan struktur BBB, kehidupan
neuron berbahaya dan akhirnya neuron rusak (Zhao dkk., 2007). Ujiie dkk. (2003)
juga telah memverifikasi bahwa, BBB utuh diperlukan untuk perlindungan otak dan
setiap penurunan BBB dapat mengganggu proses perfusi darah dan
mengintensifkan kemungkinan pembentukan plak di otak besar.

Hasil histopatologi yang diperoleh mengkonfirmasi efek perlindungan L-CyS-


HCL terhadap kerusakan saraf, yang dihasilkan dari efek oksidatif ROS yang
diinduksi sebagai akibat dari EMR yang dipancarkan dari paparan ponsel. Di mana,
telah dilaporkan bahwa, EMF telepon seluler dapat mempengaruhi sistem biologis,
dengan mengubah sistem pertahanan antioksidan jaringan, menyebabkan stres
oksidatif, menyebabkan kerusakan molekuler pada struktur dan fungsi vital
(Ozguner dkk., 2005). Hal itu diklarifikasi olehBeppu dkk. (2015) bahwa,
antioksidan tiol dapat bekerja pada penghalang untuk memperkuat fungsi BBB
melalui mekanisme yang melibatkan peningkatan GSH intraseluler dan penurunan
aktivasi faktor nuklir Kappa B (NF Kappa B) (Beppu dkk., 2015).

41
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peningkatan konsentrasi plastisizer (sorbitol) pada RTV-Si-TDP bermuatan L-


CyS-HCl dapat mempengaruhi sifat fisiknya dan mengakibatkan peningkatan
elongasi, sekaligus menurunkan nilai kekuatan tariknya. Selain itu, tambalan
berpori dihasilkan dari dalam tabung dimana pelepasan L-CyS-HCl meningkat
karena efek sorbitol.
L-CyS-HCl memuat RTV-Si-TDP (F5) dengan parameter fisik optimalnya
menunjukkan tinggi secara in vivo tingkat permeasi melalui kulit tikus. L-CyS-HCl
dimuat RTV-Si-TDP (F5) menunjukkan baik halus, terkontrol secara in-vivo dalam
pengiriman L-CyS-HCl dengan C maksimal GSH yang disintesis secara endogen
setara dengan dosis efektif dan t yang lebih lama maksimal dibandingkan dengan
pemberian L-CySHCl secara intravena, tanpa fluktuasi puncak. NS in-vivo pada
tikus menunjukkan kematian yang mendapat dosis IV L-CySHCl lebih dari 20 mg.
Sistein sebagai prekursor peran utama antioksidan GSH, melindungi eritrosit
dari kerusakan oksidatif akibat EMR, juga mencegah kerapuhan eritrosit pada tikus,
karena ROS yang dihasilkan oleh frekuensi 900 MHZ dari EMR dalam meniru
ponsel menunjukkan dimana, LCyS-HCl yang dimuat RTV-Si-TDP (F5)
memberikan efek perlindungan yang optimal. Kerusakan fungsi EMR pada sawar
darah-otak yang mengarah ke neurotoksisitas, menyoroti efek perlindungan yang
menjanjikan dari L-CyS-HCl yang dimuat RTV-Si-TDP (F5) terhadap gangguan
neurologis dan disfungsi otak. Namun, hasilnya tidak cukup untuk meningkatkan
L-CyS-HCl dimuat RTV-Si-TDP (F5) untuk manufaktur.

42
DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Rahman, M. (2004). Pengaruh L-sistein pada Gambar Darah dan Beberapa


Serum Parameter pada Tikus yang Terkena Medan Elektromagnetik 2 Gauss.
Mesir. J. Rumah Sakit. Med, 17, 197–206.

Andarina, R., & Djauhari, T. (2017). Antioksidan dalam Dermatologi. Jurnal


Kedokteran Dan Kesehatan, 4(1), 39–48.

Bharkatiya, M., Nema, R., Bhatnagar, M. (2010). Designing and characterization


of drug free patches for transdermal application. Int. J. Pharm. Sci. Drug Res,
2(1), 35–39.

Dhiman et al. (2016). Transdermal Patch : A Recent Approch to new drug delivery
system. Internasional Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences,
3(ISSN 0975-14), 26–34.

Goldsmith, Lowell A, S. i katz dkk. (2012). No Title. In Fitzpatrick’s Dermatology


in General Medicine, Eight Edition, 2 Volume set (pp. 57–72). Mc Graw-Hill
Education.

Guney, M., Ozguner, F., Oral, B., Karahan, N., & Mungan, T. (2007). 900 MHz
Perubahan Histopatologi yang diinduksi Frekuensi Radio dan Stres Oksidatif
pada Endometrium Tikus: Perlindungan oleh Vitamin E dan C. Toksikol. Ind.
Kesehatan, 23(7), 411– 420.

Kerman, M., & Senol, N. (2012). Stres oksidatif pada Hipokampus yang diinduksi
oleh 900 MHz Ponsel Pemancar Medan Elektromagnetik: Perlindungan oleh
Melatonin. Bioma. Res, 23(1), 147-151.

Khumar et al. (2016). Transdermal drug delivery system for non-steroidal anti-
inflamatory drugs : A review, indo American journal of pharmaceutical
research. Journal of Pharmaceutical Research, 3, 5.

Klemm, M., & Troester, G. (2006). Penyerapan energi EM pada jaringan tubuh
manusia disebabkan oleh ke antena UWB. Prog. Elektromagnetik. Res, 62,
261–280.

43
Li, J., Wang, H., Stoner, G., & Bray, T. (2002). Suplementasi Makanan dengan
Sistein Prodrugs secara Selektif Mengembalikan Tingkat Glutathione Jaringan
dan Status Redoks pada Tikus yang Kekurangan Protein. J. Nutr. Biokimia,
13(10), 625–633.

Omar, S. M., Nasr, M., & Rafla, D. A. (2019). Transdermal patches loaded with L-
cysteine HCL as a strategy for protection from mobile phone emitting
electromagnetic radiation hazards. Saudi Pharmaceutical Journal, 27(1), 112–
125. https://doi.org/10.1016/j.jsps.2018.09.004

Ozguner, F., Altinbas, A., Ozaydin, M., Dogan, A., Vural, H., Kisioglu, A., Cesur,
G., & Yildirim, N. (2005). Stres oksidatif miokard yang diinduksi ponsel:
perlindungan oleh agen antioksidan baru asam caffeic phenethyl ester. racun.
Ind. Kesehatan 21, 7–8, 223–230.

Ozgur, E., Güler, G., & Seyhan, N. (2010). Radikal Bebas yang diinduksi Radiasi
Ponsel Kerusakan Hati dihambat oleh Antioksidan N-asetil Sistein dan
Epigallocatechin-gallate. Int. J. Radiat Biol, 86(11), 935–945.

Pawar M Priyanka et al. (2018). Recent advancement in transdermal drug delivery


system. International Journal of Pharmaceutical and Clinical Research,
10(3)(SUPPL. 5), 65–73.

Raghavendra, K., Doddayya, H., Patil, S., Habbu, P. (2000). Comparative


evaluation of polymeric films for transdermal application. Eastern Pharmacist
43, 109–112.

Suryani, Musnina, W. O. S., & Anto, A. S. (2015). Optimasi Formula Matriks Patch
Transdermal Nanopartikel Teofilin dengan Menggunakan Metode Simplex
Lattice Design (SLD). Majalah Farmasi, Sains, Dan Kesehatan, 3(1), 26–32.

Tsai, C.-Y., Chang, C.-C. (2013). Auto-adhesive transdermal drug delivery patches
using beetle inspired micropillar structures. J. Mater. Chem, 1(43), 5963–
5970.

Tsai, C.-Y., & Chang, C.-C. (2013). Patch Pengiriman Obat Transdermal
Berperekat Otomatis Menggunakan Struktur Mikropilar yang Terinspirasi
Kumbang. J.Materi. Kimia B, 1(43), 5963– 5970.

44
Werdhasari, A. (2014). Peran Antioksidan Bagi Kesehatan. Jurnal Biomedik
Medisiana Indonesia, 3(2), 59–68.

Yildiz, D., Arik, M., Cakir, Y., & Civi, Z. (2009). Perbandingan N-asetil-L-sistein
dan L-sistein Sehubungan dengan Fluks Transmembran Mereka. Biokimia.
(Moskow) Supl. Ser. J: Anggota. Biol Sel, 3(2), 157–162.

45

Anda mungkin juga menyukai