Anda di halaman 1dari 2

Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Shalat Jum’at dan dalil yang mewajibkannya?


2. Bagaimana hukum Shalat Jum’at dan tata cara pelaksanaannya?
3. Apa saja keutamaan serta fadilah shalat Jum’at?

Hari Jumat adalah hari yang mulia. Di antara tujuh hari dalam sepekan, dialah yang teragung. Nyaris
semua ulama menyepakati hal ini, kalau tidak untuk dikatakan semuanya. Kata Syekh Abu Bakr
Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi (1300 H), pada hari inilah Allah ‫ ﷻ‬membebaskan
600.000 hamba-Nya dari api neraka, juga Allah mencatat pahala sebagai syahid, lagi tak tersentuh
api neraka bagi kaum muslimin yang mati di hari itu. Keutamaan lainnya—yang dikutip Syekh
Syatha ad-Dimyathi dalam Hasyiah I’anah at-Thalibin (juz 2, hal. 89)—disampaikan Sayyid al-Habib
Abdullah bin Alawi al-Haddad (1044-1132 H), sang corong terbesar Islam Ahlussunnah wal Jama’ah
kelahiran Tarim, Hadramaut, Yaman. Di antaranya, Allah ‫ ﷻ‬menciptakan sang abul basyar Nabi
Adam ‘alaihissalam di hari Jumat, di hari ini juga Allah mengizinkan para penduduk surga kelak
menemui-Nya. Saking mulianya, sampai-sampai sekalian malaikat menamainya ‘yaumul mazid’ (hari
reward besar-besaran). Sebab, di waktu itulah Allah membuka sekian banyak pintu kasih-sayang,
curahan karunia, dan bentangan kebaikan-Nya. Menariknya, di hari yang teramat mulia ini, umat
Islam diperintahkan untuk melakukan sembahyang secara berjamaah yang kemudian kita kenal
dengan shalat Jumat. Dalam tulisan ini, akan saya paparkan sedikit-sekadar yang saya ketahui-
tentang sejarah dan dalil legalisasi shalat Jumat. Sekilas Sejarah Disyariatkannya Shalat Jumat
Adalah As’ad bin Zurarah, seorang sahabat asal Yatsrib (sekarang kota Madinah) pertama yang
masuk Islam. Dialah pula yang pertama kali mendirikan shalat Jumat di sana—lebih tepatnya di
sebuah desa di pinggiran Madinah, desa ini karib dikenal dengan Nuqai’ al-Khadhimat—atas instruksi
dari sahabat Mush’ab bin Umair, sahabat yang diutus Raslullah ‫ ﷺ‬untuk memimpin, mengajarkan
Al-Qur’an dan menyebark an Islam di Madinah al-Munawwarah. Jauh sebelum hijrah ke Madinah,
Rasulullah ‫ ﷺ‬telah lebih dahulu mengutus sahabat-sahabatnya dalam kepentingan dakwah dan
memperkenalkan Islam. Saat itu, penduduk Islam Madinah yang minoritas sedang dalam diskriminasi
sosial dan pelecehan nilai kemanusiaan oleh kaum kafir Quraisy Makkah. Karena merasa tidak aman,
Baginda Nabi akhirnya mencari tempat, masyarakat, dan lingkungan yang lebih ramah dan bersih
untuk mewadahi nilai-nilai ajaran suci yang dibawanya. Kota Yatsrib adalah kota terbaik untuk
menampung itu semua. Dan, sahabat Mush’ab bin Umair merupakan orang pertama yang diutus
Nabi berhijrah ke sana. Sesampainya di Yatsrib, ia pun meminta izin kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬yang ada
di Makkah untuk mendirikan shalat Jumat, dan Nabi mengizinkannya. Terkait ini, Sayyid Muhammad
bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani dalam karyanya Syari’atullah al-Khalidah (hal. 47)
mengatakan, Fala Garabata fi qauli Abi Hamid; innaha furidhat bi Makkah, “Sehingga, tak heran bila
Abu Hamid berpendapat, ‘Shalat Jumat itu diwajibkan di Makkah’.” Dalil Legalisasi Shalat Jumat
Melihat sejarah di atas, kita memperoleh kesimpulan bahwa kewajiban shalat Jumat disyariatkan di
Makkah. Namun, dilaksanakan pertama kali di Madinah. Kesimpulan ini dapat dirujuk keterangannya
dalam kitab Fathul Mu’in bi Syarh Qurratul ‘Ain di awal fashal tentang shalat Jumat. Lengkapnya lagi
dalam Hasyiah I’anah at-Thalibin (juz 2, hal. 88-89). Lalu pertanyaannya, mengapa ada sebagian
ulama menulis bahwa dalil kewajiban shalat Jumat adalah Al-Qur’an surah al-Jumu’ah (9)? Padahal
ayat ini tergolong dalam surah Madaniyyah (surah yang turun setelah nabi hijrah ke Madinah).
Artinya, ini kontradiksi dengan kesimpulan di atas bahwa kewajiban shalat Jumat disyariatkan di
Makkah. Misalnya, sebut saja Syekh al-Islam Abu Yahya Zakaria al-Anshari (925 H) dalam kitab
Tuhfah at-Thullab bi Syarhi Tahriri Tanqih al-Lubab pada awal bab shalat Jumat. Ia menulis: ‫واألصل‬
‫ فيه‬:‫) أي‬٩ :‫ في وجوبها آية {إذا نودي للصالة من يوم الجمعة} (الجمعة‬Artinya, “Dalil kewajiban shalat Jumat adalah
ayat, ‘Apabila (manusia) telah diseru untuk melakukan shalat di hari Jumat..’” Bila kita mengikuti
sedikit lebih dalam tentang dalil kewajiban shalat Jumat, kita akan menemukan bahwa di sini ada
silang pendapat ulama. Pendapat pertama, sebagaimana yang dikatakan Abu Hamid di atas, bahwa
shalat Jumat disyariatkan di Makkah. Pendapat kedua, adalah yang mengatakan bahwa shalat Jumat
disyariatkan di Madinah. Hal ini tegas diungkapkan oleh Syekh Ibnu Hajar al-Atsqallani (852 H) yang
dikutip Syekh Syatha ad-Dimyathi, berikut redaksinya: ‫دلت األحاديث الصحيحة على أن الجمعة فرضت بالمدينة‬
Artinya, “Ada beberapa hadits sahih yang menunjukkan bahwa shalat Jumat diwajibkan di Madinah.”
Menanggapi pernyataan al-Hafidz Ibnu Hajar ini, tanpa menyampingkan jejak sejarah yang ada,
Syekh Syatha menggunakan pendekatan teori al-jam’u wa at-taufiq baina al-aqwal al-muta’aridhah
(upaya mendialogkan beberapa pendapat yang kontradiktif). Dalam I’anah at-Thalibin ia
mengatakan: ‫ويمكن حمل قوله فرضت بالمدينة على معنى أنه إستقدر وجوبها عليهم فيها لزوال العذر الذي كان قائما بهم‬
Artinya, “Statement Syekh Ibnu Hajar yang mengatakan ‘Shalat Jumat diwajibkan di Madinah’ itu,
boleh jadi bermakna bahwa nabi berharap agar kewajiban shalat Jumat mampu dijalankan di
Madinah, mengingat tak ada penghalang apa pun yang menghambat mereka di sana.” Menguatkan
pendapat pertama, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam Syari’atullah al-Khalidah (hal. 48)
mengatakan bahwa surah al-Jumu’ah (9) tersebut bukanlah dalil legalilasi kewajiban shalat Jumat.
Melainkan dalil tentang keharaman melakukan jual-beli (atau transaksi lainnya) saat adzan
dikumandangkan. Ia menjelaskan: ِ ‫ي لِلص َّٰلو ِة ِم ْن يَّوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا اِ ٰلى ِذ ْك ِر هّٰللا‬
َ ‫أما قوله تعالى { ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا نُوْ ِد‬
‫ للتنصيص على ترك البيع وقتها ولتأكيد ما أثبتته السنة بالقرآن‬،‫ َو َذرُوا ْالبَ ْي ۗ َع } فهي مدنية نزلت بعد فرضيتها بكثير‬Artinya,
“Adapun firman Allah yang berbunyi, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk
melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli’, tergolong dalam surah Madaniyyah yang turun jauh setelah sekian banyak dalil mengenai
shalat Jumat. Di mana, maknanya untuk menegaskan keharaman melakukan jual-beli saat azan
berkumandang, dan untuk menguatkan hukum (wajib shalat Jumat) yang ditetapkan hadits.”
Terakhir, saya pribadi, lebih sepakat dengan pendapat yang pertama. Jadi, kesimpulannya, surah al-
Jumu’ah ayat 9, bukanlah dalil pensyariatan shalat Jumat. Dalilnya adalah hadits Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika
memerintahkan sahabat Mush’ab bin Umair untuk melaksanakan shalat Jumat pertama. Walaupun,
tidak salah juga bila mengatakan bahwa surah al-Jumu’ah ayat 9 adalah salah satunya. Tetapi hanya
sebagai dalil penguat semata (al-muakkid lissunnah). Wallahu a’lam bisshawab.

Sumber: https://islam.nu.or.id/jumat/sejarah-dan-dalil-disyariatkannya-shalat-jumat-
gmBXZ#:~:text=Artinya%2C%20%E2%80%9CDalil%20kewajiban%20shalat%20Jumat,di%20hari
%20Jumat..’%E2%80%9D&text=Artinya%2C%20%E2%80%9CAda%20beberapa%20hadits
%20sahih,shalat%20Jumat%20diwajibkan%20di%20Madinah.%E2%80%9D

Anda mungkin juga menyukai