Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Penyakit Tidak Menular


1. Definisi
Penyakit tidak menular (PTM) merupakan salah satu atau masalah
kesehatan dunia dan Indonesia yang sampai saat ini masih menjadi perhatian
dalam dunia kesehatan karena merupakan salah satu penyebab dari kematian
(Jansje & Samodra 2013). Penyakit tidak menular (PTM), juga dikenal sebagai
 penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang, mereka memiliki durasi
yang panjang dan pada umumnya berkembang secara lambat (Riskesdas, 2013).
Menurut Bustan (2007), dalam Buku Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
mengatakan bahwa yang tergolong kedalam PTM antara lain adalah; Penyakit
kardiovaskuler (jantung, atherosklerosis, hipertensi, penyakit jantung koroner dan
stroke), diabetes mellitus serta kanker.
2. Prevalensi Penyakit Tidak Menular
Menurut data WHO, PTM merupakan penyebab kematian utama di
dunia di bandingkan penyebab lainnya. Hampir 80% kematian akibat PTM
terjadi di
 Negara   Negara berpenghasilan bawah - menengah (WHO, 2010).
 –  

Penyakit Tidak Menular (PTM) di Indonesia diprediksi akan mengalami


 peningkatan yang signifikan pada tahun 2030. Sifatnya yang kronis dan
menyerang usia produktif, menyebabkan permasalahan PTM bukan hanya
masalah kesehatan saja, akan tetapi mempengaruhi ketahanan ekonomi Nasional
 jika tidak dikendalikan secara tepat, benar dan kontinyu.
Berdasarkan Riskesdas tahun 2013 diketahui bahwa penyakit tidak
menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke
orang. Data PTM dalam Riskesdas 2013 meliputi : (1) asma; (2) penyakit paru
obstruksi kronis (PPOK); (3) kanker; (4) DM; (5) hipertiroid; (6) hipertensi; (7)
 jantung koroner; (8) gagal jantung; (9) stroke; (10) gagal ginjal kronis; (11) batu
ginjal; (12) penyakit sendi / rematik.
Selain penyakit kanker, penyakit tidak menular (PTM) yang menyebabkan
kematian tertinggi di dunia adalah penyakit kardiovaskuler. Tingginya angka
mortalitas tersebut disebabkan oleh faktor risiko utama, yaitu peningkatan tekanan
darah. Peningkatan tekanan darah seseorang akan meningkatkan risiko terkena
stroke dan penyakit jantung koroner (WHO, 2011). Tekanan darah tinggi atau
hipertensi merupakan suatu keadaan tekanan darah seseorang > 140/90 mmHg
(Essop & Naidoo, 2009). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibedakan
menjadi 2, yaitu: hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi primer / esensial
merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan telah mendominasi
95% kasus-kasus hipertensi. Sementara itu, hipertensi sekunder (5%) adalah
hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain, seperti penyakit parenkim ginjal,
 penyakit renovaskuler, endokrin, sindrom Cushing, dan hipertensi gestasional
(Gray, 2002).

Global Atlas on Cardiovascular Diseases Prevention and Control 2011,


PTM meningkatkan 36 juta kematian di dunia antara lain: penyakit jantung dan
 pembuluh darah (kardiovaskular) 48%(17,3 juta), kanker 21%(7,5 juta), penyakit
saluran pernapasan kronis 12% (4,3 juta),dan penyakit diabetes melitus 3% (1
 juta). Hampir 80% kematian akibat PTM terjadi di negara - negara
 berpenghasilan rendah dan sedang sekitar 17 juta kematian akibat penyakit
kardiovaskular (penyakit jantung, stroke, dan penyakit pembuluh darah perifer),
3 juta diantaranya terjadi pada usia dibawah 60 tahun. WHO pada tahun 2006-
2008 diperkirakan sebanyak 5,4 juta orang di dunia meninggal akibat rokok. Ada
kecenderungan prevalensi perokok ini selalu meningkat dari waktu ke waktu.
Global Adult Tembacco Survey  (GATS) tahun 2011 menemukan di Indonesia
terdapat perokok laki -laki (67%), perokok perempuan (2,7%).
B. Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi abnormal dan diukur paling tidak
 pada 3 kesempatan yang berbeda (Corwin, 2009). Sedangkan menurut Wijaya
dan Putri (2013) hipertensi adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan
tekanan darah secara abnormal dan terus menerus pada beberapa kali
pemeriksaan tekanan darah yang disebabkan suatu atau beberapa faktor resiko
yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam mempertahankan tekanan darah
secara normal. Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah arteri yang
persisten (Nurarif dan Kusuma, 2013).
2. Etiologi
Menurut Sagala (2009), hipertensi tergantung pada kecepatan denyut
 jantung, volume sekuncup dan Total Peripheral Resistance  (TPR). Peningkatan
salah satu dari ketiga variabel yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan
hipertensi.
Peningkatan TPR yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan
rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan
dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan
 penyempitan pembuluh darah. Pada peningkatan TPR, jantung harus memompa
secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar,
untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit. Hal ini
disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan
 peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama,
maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrofi (membesar). Hipertrofi
menyebabkan kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga
ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi
kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai tegang
melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan
kontraktilitas dan volume sekuncup (Hayens, 2003).
3. Patofisiologi hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor pada medula di otak, dari pusat vasomotor ini
bermula
 jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari
kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan
 pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah
melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
 pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah (Sagala, 2009).

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi


respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan
 jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Sagala, 2009).

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh


darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi
epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol
dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh
darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang
 pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
 peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus
keadaan hipertensi (Sagala, 2009).
4. Tanda dan Gejala Hipertensi
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan
darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti
 perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada
kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus).

Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala


sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler,
dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh
 pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat
 bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan
azetoma [peningkatan nitrogen urea darah ( Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin].
Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan strok atau serangan
iskemiktransien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi
(hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan (Sagala, 2009).

Menurut Sagala (2009) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis


timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa : nyeri kepala saat
terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan
darah intrakranial, penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi,
ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat,
nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema
dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain
yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit
kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-
lain (Sagala, 2009).

5. Faktor-faktor Resiko Hipertensi


i. Usia
Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan
 bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat resiko hipertensi.
Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Ini sering
disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi
 jantung, pembuluh darah dan hormon. Hipertensi pada yang berusia
kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan
kematian prematur (Yulianti, 2005).

ii. Jenis Kelamin


Jenis kelamin juga sangat erat kaitanya terhadap terjadinya
hipertensi dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit
hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55
tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause.

Laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6%


dari pria dan 11% pada wanita. Laporan dari Sumatra Barat menunjukan
18,6% pada pria dan 17,4% wanita. Daerah perkotaan Semarang
didapatkan 7,5% pada pria dan 10,9% pada wanita. Sedangkan di daerah
 perkotaan Jakarta didapatkan 14,6 pada pria dan 13,7% pada wanita
(Gunawan, 2001 dalam Sagala, 2009).

iii. Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah


terjadinya hipertensi. Hipertensi cenderung merupakan penyakit
keturunan. Jika seorang dari orang tua kita memiliki riwayat hipertensi
maka sepanjang hidupnya memiliki kemungkinan 25% terkena hipertensi
(Sagala, 2009).

iv. Garam Dapur


Garam dapur merupakan faktor yang sangat dalam patogenesis
hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa
dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram
tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah jika asupan garam antara 5-
15 gram perhari, prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%.
Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadai melalui
 peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah (Basha,
2004 dalam Sagala, 2009).
Garam mengandung 40% sodium dan 60% klorida. Orang-orang
 peka sodium lebih mudah meningkat sodium, yang menimbulkan retensi
cairan dan peningkatan tekanan darah (Sagala, 2009). Garam berhubungan
erat dengan terjadinya tekanan darah tinggi gangguan pembuluh darah ini
hampir tidak ditemui pada suku pedalaman yang asupan garamnya rendah.
Jika asupan garam kurang dari 3 gram sehari prevalensi hipertensi
 presentasinya rendah, tetapi jika asupan garam 5-15 gram perhari, akan
meningkat prevalensinya 15-20% (Wiryowidagdo, 2004).

Mengkonsumsi garam lebih atau makan-makanan yang diasinkan


dengan sendirinya akan menaikan tekanan darah karena garam
mempunyai sifat menahan air. Hindari pemakaian garam yang berlebih
atau makanan yang diasinkan. Hal ini tidak berarti menghentikan
 pemakaian garam sama sekali dalan makanan. Sebaliknya jumlah garam
yang dikonsumsi batasi (Wijayakusuma, 2000 dalam Sagala, 2009).

v. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat diubah, adapun
hubungan merokok dengan hipertensi adalah nikotin akan menyebabkan
 peningkatan tekanan darah karena nikotin akan diserap pembuluh darah
kecil dalam paru-paru dan diedarkan oleh pembulu darah hingga ke otak,
otak akan bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar
adrenal untuk melepas efinefrin (Adrenalin). Hormon yang kuat ini akan
menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih
 berat karena tekanan yang lebih tinggi. Selain itu, karbon monoksida
dalam asap rokok menggantikan oksigen dalam darah. Hal ini akan
menagakibatkan tekanan darah karena jantung dipaksa memompa untuk
memasukkan oksigen yang cukup kedalam organ dan jaringan tubuh
(Sagala, 2009).

vi. Aktivitas/Olahraga
Aktivitas sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi, dimana pada
orang yang kurang aktvitas akan cenderung mempunyai frekuensi denyut
 jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantung akan harus bekerja lebih
keras pada tiap kontraksi. Otot jantung semakin keras dan sering
memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri
(Sagala, 2009).

vii. Depresi/Stres
Depresi juga sangat erat merupakan masalah yang memicu
terjadinya hipertensi dimana hubungan antara depresi dengan hipertensi
diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan
tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Depresi yang
 berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi.
Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat
 perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat
dihubungkan dengan pengaruh depresi yang dialami kelompok
masyarakat yang tinggal di kota (Dunitz, 2001 dalam Sagala, 2009).

6. Komplikasi Hipertensi
i. Stroke
Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau
akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan
tekanan tinggi.Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-
arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal,
sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang.

Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah


sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (Sagala,
2009). Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti,
orang bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah
satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah,
mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta
tidak sadarkan diri secara mendadak (Santoso, 2006). Infark Miokard
dapat
terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat menyuplai
cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang
menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut.Karena
hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen
miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia
 jantung yang menyebabkan infark.Hipertropi ventrikel dapat juga
menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi
ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan
resiko pembentukan bekuan (Sagala, 2009).

ii. Gagal Ginjal


Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Rusaknya
glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron
akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian.
Rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga
tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang
sering dijumpai pada hipertensi kronik (Sagala, 2009).

iii. Gagal jantung


Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa
darah yang kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan
terkumpul di paru, kaki dan jaringan lain sering disebut edema. Cairan
didalam paru   paru menyebabkan sesak napas,timbunan cairan ditungkai
 –  

menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan edema (Sagala, 2009).

Ensefalopati dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna


(hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam
ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron
disekitarnya kolap dan terjadi koma serta kematian (Sagala, 2009).

Anda mungkin juga menyukai