Anda di halaman 1dari 7

ROMANSA DALAM BERLANJUTNYA USIA

Disusun sebagai tugas UAS FM622 Film Studies

Christ Gerry Laurent


00000031541

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA


TANGERANG
2021
PENDAHULUAN

Penulis mengangkat topik berjudul “Romansa dalam Berlanjutnya Usia” yang


mengulik film-film genre romansa (romance) dengan karakter-karakter orang lansia (lanjut
usia) sebagai tokoh utama cerita. Penulis tertarik mengeksplorasi cerita-cerita Asia Tenggara
yang menunjukkan perjalanan romansa seksual manusia di umur-umur yang sudah tidak lagi
muda. Menjalani hubungan percintaan dalam jangka waktu yang lama dapat dikatakan tidak
mudah. Manusia memiliki kecenderungan sifat untuk merasa bosan atau tidak puas. Jika
dalam hubungan pacaran dapat diakhiri dengan “putus”, maka dalam jalinan pernikahan
dapat diakhiri dengan “cerai”.
Berbeda dengan budaya Barat, perceraian adalah hal yang masih tabu di Asia
Tenggara. Di Indonesia sendiri, perceraian tetap dapat dilakukan dalam agama Islam, tetapi
dampaknya adalah konotasi negatif dari masyarakat. Apalagi dalam agama Kristen Katolik
maupun Protestan, perceraian sangat dilarang. Maka dari itu, berkomitmen pada satu
pasangan dalam jangka waktu yang lama membutuhkan usaha yang keras. Penulis penasaran
bagaimana para pembuat film Asia Tenggara menangkap hubungan percintaan orang-orang di
usia tua; usia yang tidak mampu melakukan banyak ataupun berbagai hal.
Secara umum, lansia adalah orang-orang yang sudah mencapai umur 65 tahun ke atas.
Namun, menurut riset Orimo, et al. (2006) yang mencoba mendefinisikan ulang umur lansia,
mereka merekomendasikan umur 75 tahun ke atas sebagai umur yang dapat disebut lansia (p.
149). Lansia adalah fase tahap akhir dalam kehidupan manusia. Berhentinya pembelahan diri
sel-sel tubuh mengakibatkan penuaan, sehingga kemampuan motorik, pancaindra, mental, dll.
bekerja lebih lambat atau lemah. Melemahnya kondisi tubuh dapat mempengaruhi kehidupan
seksual.
Seperti kebutuhan-kebutuhan manusia lain yang harus dipenuhi, kebutuhan seksual
juga sama pentingnya. Dengan menurunnya kondisi tubuh akibat penuaan, memenuhi
kebutuhan seksual sulit untuk dilakukan. Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengulik
bagaimana para lansia Asia Tenggara memenuhi kebutuhan seksualnya yang
direpresentasikan melalui film-film produksi Asia Tenggara sendiri. Penulis mendapat lima
film pendek dengan berbagai macam cerita yang unik seputar topik yang diambil. Satu
benang merah yang mengikat kelima film pendek tersebut adalah genre romansa.
Genre romansa tidak jauh bedanya dengan genre melodrama di Hollywood. Pokok
pembahasan genre melodrama adalah drama domestik dan romansa heteroseksual (Watson,
2012, p. 194). Namun, genre romansa tidak harus heteroseksual tetapi ceritanya berputar pada
kisah cinta dan drama hubungan seksual (sexual relationship) satu orang atau dua pasang
tokoh utama. Di sisi lain, genre melodrama berisi mayoritas perempuan sebagai protagonis
dan menceritakan mereka sebagai korban, serta konflik moral dalam masyarakat patriarki
sebagai tema besar ceritanya (Buckland, 2015, p. 124-125). Genre romansa, menurut
Ramsdell (2012), berfokus pada proses hubungan percintaan atau pacaran dari dua tokoh
utama (p. 4).
Genre sendiri adalah “jenis”, “tipe”, “golongan”, “kelompok”, ataupun “kategori”
dalam karya sastra. Penggunaan genre pada film adalah untuk menggolongkan atau mengatur
jumlah film yang banyak menjadi kelompok-kelompok kecil (Buckland, 2015, p.121). Selain
itu, genre film digunakan industri film untuk tujuan komersial dan memiliki fungsi ekonomi.
Cendekiawan dan kritikus film menggunakan genre untuk studi kebudayaan dan memiliki
fungsi sosial budaya. Fungsi lain dari genre film menurut Altman (1999) ada banyak. Genre
dapat menjadi formula atau kerangka dalam produksi film; genre dapat menjadi label bagi
distributor; dan genre dapat menjadi kontrak bagi penonton untuk membangun ekspektasi
dalam menonton.

1
Genre film memiliki perdebatan hingga sekarang. Menurut Buckland (2015), genre
film tidak ada yang benar-benar tetap, tetapi terus berkembang (p. 122). Satu genre dapat
dibagi menjadi sub-genres; contohnya genre komedi yang dapat dibagi menjadi slapstick,
farce, satire, komedi hitam, dan screwball (Reich, 2017, p. 13). Bahkan, genre-genre dapat
digabungkan menjadi hybrid genres; contohnya romcom (singkatan dari romance comedy)
yang merupakan campuran dari genre romansa dengan genre komedi.
Menurut Buckland (2015), pembagian genre film memiliki dua pendekatan: deskriptif
dan fungsional (p. 121). Pendekatan deskriptif membagi genre-genre film dari pola-pola atau
atribut-atribut umum. Atribut yang dilihat adalah dari dalam teks filmnya, seperti karakter,
sinematografi, mise-en-scene, teknis penceritaan, bahkan konten dari filmnya sendiri.
Sedangkan pendekatan fungsional melihat fungsi genre pada masyarakat. Selain itu,
pendekatan fungsional melihat dampak sosial, politik, atau sejarah terhadap terciptanya suatu
genre.
Dengan topik “Romansa dalam Berlanjutnya Usia”, penulis melihat lima film pendek
Asia Tenggara yang bergenre romansa. Penulis melihat bagaimana para pembuat film Asia
Tenggara mengeksplorasi kisah cinta dengan menggunakan karakter-karakter lansia. Hasil
penemuannya sangat unik, karena cerita-ceritanya beragam dan menonjol. Pembuat film tidak
hanya mengeksplorasi struktur, watak tokoh, dan gaya penceritaannya, tetapi juga
mengaitkannya dengan budaya Asia Tenggara sehingga menjadi relevan.

2
PEMILIHAN KARYA

Kencan (2021)
Produksi: Sahwahita Production, Universitas Multimedia Nusantara
Sutradara: Leonardus Jalu
Negara: Indonesia
“Kencan” bergenre komedi romansa (romance-comedy) yang menceritakan Darto,
seorang duda tua yang kesepian, mencari pasangan melalui sebuah aplikasi kencan (dating
app). Komedi yang ditawarkan dalam film ini adalah prosesnya mencari pasangan yang
tampilan aslinya berbeda dari tampilan profil aplikasi kencan. Di dunia nyata, kasus tersebut
memang terjadi.
Penulis sudah pernah lihat film-film lain yang menggunakan cerita yang sama.
Namun, perbedaan film ini dengan film-film lain yang formatnya sama adalah dari
karakternya. Karakter yang menggunakan aplikasi kencan adalah seorang lansia. Statusnya
dalam cerita adalah duda. Karena sudah kehilangan istri, hidupnya menjadi kesepian dan
kebutuhan seksualnya tidak terpenuhi. Untuk memenuhinya, sang protagonis berniat mencari
pasangan. Latar ceritanya yang modern—di mana teknologi serba digital dan menggunakan
internet—memberikan akses bagi Darto untuk memenuhi kebutuhannya berupa aplikasi
kencan. Penulis yakin generasi Darto tidak pernah menggunakan teknologi tersebut untuk
mendapat pasangan, sehingga aplikasi tersebut adalah hal baru juga bagi Darto.
Oldies Buddies (2019)
Produksi: Rubamera Creative Lab, Viddsee Original Production
Sutradara: Rein Maychaelson
Negara: Indonesia
“Oldies Buddies” bergenre komedi romansa yang menceritakan sepasang suami-istri
yang sudah lama bersama, Guntur dan Siti, baru bergabung di grup messenger WhatsApp
alumni SMA mereka dulu. Permasalahan muncul ketika mantan kekasih Siti, Primus, juga
ikut bergabung ke dalam grup. Guntur yang khawatir kehadiran Primus akan membuat
istrinya selingkuh, berusaha untuk mencegahnya.
Sama seperti film “Kencan”, film ini menunjukkan karakter lansia yang menggunakan
teknologi modern. WhatsApp adalah aplikasi messenger yang digunakan generasi baby
boomers di Indonesia. Hal tersebut dimanfaatkan pembuat film menjadi sebuah cerita lucu.
Lucunya adalah para karakter lansia yang dibuat menjadi ke-remaja-an. Tokoh Guntur yang
cemburu dan merasa terancam adanya orang ketiga dalam hubungan percintaannya
memberikan kesan lucu karena pada usia tua pun masih memiliki watak yang masih muda.
Tingkah suami-istri yang saling marah dalam diam menunjukkan sifat yang tidak dewasa
layaknya remaja.
Film ini memberikan komedi pada kontrasnya usia fisik dengan sifat atau watak. Film
ini juga relevan dengan potret masyarakat Indonesia (khususnya generasi baby boomers)
yang menggunakan aplikasi messenger WhatsApp sebagai alat komunikasi modern mereka.
Selain memberi pesan tentang pentingnya komunikasi antar pasangan dalam suatu hubungan,
film ini juga memberi arti bahwa dalam usia tua pun, para lansia tetap memiliki emosi atau
perasaan layaknya manusia.

3
The Broken Vinyl Record (2019)
Produksi: Bahagreyna Pictures
Sutradara: Janina Gacosta & Cheska Marfori
Negara: Filipina
“The Broken Vinyl Record” bergenre drama romansa queer yang menceritakan Lolo
Bert, seorang kakek di usia 60-an yang mengidap penyakit HIV selama 10 tahun. Semenjak
ditinggal mati oleh kekasihnya, Lolo hidup kesepian. Suatu hari, ia mendapat kiriman
piringan hitam dari mendiang kekasihnya yang ternyata rusak. Lolo pun membawanya ke
penjual piringan-piringan hitam yang bisa memperbaikinya; namanya Miyo. Ia juga hidup
kesepian sejak ditinggal mati oleh istrinya. Dalam perjalanan cerita, Lolo dan Miyo
membangun hubungan percintaan.
Film ini menunjukkan betapa kedua karakter utama membutuhkan kebutuhan
seksualnya terpenuhi. Kehidupan mereka ditinggal pasangan yang dicintai dan hidup
kesepian dalam jangka waktu yang panjang membuat mereka menemukan masing-masing.
Dalam usia tua pun, manusia akan tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan seksualnya.
A Song of a Yearning Soul (2021)
Produksi: Galingin Productions
Sutradara: Dan Versoza
Negara: Filipina
“A Song of a Yearning Soul” bergenre drama romansa yang dibawakan secara puitis
dalam waktu yang singkat. Film pendek ini menceritakan seorang nenek yang merasa
semakin jauh dari suaminya. Suaminya itu cuek terhadap istrinya. Penulis menginterpretasi
bahwa hubungan mereka berdua semakin renggang akibat rasa bosan dari Si Kakek. Pada
akhirnya, Si Kakek menyesal karena sudah ditinggal mati oleh istrinya. Film ini
menggunakan monolog Si Nenek yang memberi pesan kepada suaminya dan sempat
berkeinginan untuk pergi meninggalkannya. Pada akhirnya, nyawa Si Nenek telah direnggut
terlebih dahulu daripada itu. Film ini menunjukkan bagaimana manusia dapat merasakan rasa
tidak puas atau bosan terhadap pasangannya. Pembuat film ini memutuskan untuk memberi
penutup cerita yang tragis untuk menyampaikan pesan tersebut.
Wan An (2012)
Produksi: Institut Kesenian Jakarta
Sutradara: Yandy Laurens
Negara: Indonesia
“Wan An” bergenre drama dengan sedikit unsur romansa dan komedi. Film ini
menceritakan sepasang suami-istri lansia keturunan Tionghoa, Tji dan Ing, dan kehidupan
kecil mereka di masa tua. Rutinitas mereka digambarkan dengan sarapan bersama,
melakukan aktivitas masing-masing, mencuci pakaian bersama, bermain mahjong dan minum
teh bersama dengan teman mereka, Liem, menonton televisi di malam hari, lalu ditutup
dengan tidur bersama setelah mengucapkan “wan an” yang berarti “selamat malam” dalam
bahasa Mandarin. Konflik mulai terjadi ketika Ing khawatir jika suatu pagi, salah satu dari
mereka telah meninggal dunia terlebih dahulu. Dengan pengandaian tersebut, Ing dengan
isengnya berpura-pura meninggal. Aksi Ing tersebut membuat Tji marah dengannya dan
rutinitas mereka berubah. Hingga pada malam hari itu, giliran Tji yang berpura-pura
meninggal untuk membalas Ing. Keesokan harinya, giliran Ing yang marah kepada Tji.
Film ini menjadi komedi atas tingkah pasangan suami-istri yang saling iseng satu
sama lain. Di usia yang sudah tua, mereka dapat mengisi hari-hari biasanya yang monoton

4
dengan melakukan sesuatu yang dilakukan saat muda. Akhir cerita pun ditutup dengan
kebahagiaan kedua pasangan yang saling berpura-pura meninggal selama satu hari seolah
mereka berlomba siapa yang paling ahli menipu. Film ini juga menunjukkan bagaimana
kedua pasangan tua kompak mengatasi rasa bosan atau tidak puas mereka bersama.

5
REFERENSI

Altman, R. (1999). Film/genre. London, UK: British Film Institute.


Buckland, W. (2015). Film studies: An introduction. London, UK: Teach Yourself.
Orimo, H., Ito, H., Suzuki, T., Araki, A., Hosoi, T., & Sawabe, M. (2006). Reviewing the
definition of elderly. Geriatrics & Gerontology International, 6, 149-158.
Ramsdell, K. (2012). Romance fiction: a guide to the genre (2nd ed.). Santa Barbara, CA:
Libraries Unlimited.
Reich, J. (2017). Exploring movie construction and production. Geneseo, NY: Open SUNY
Textbooks.
Watson, P. (2012). Approaches to film genre - taxonomy/genericity/metaphor. In J. Nelmes
(Eds.), Introduction to film studies (5th ed.) (pp. 188-208). New York, NY: Routledge.

Anda mungkin juga menyukai